11* Mysterious Girl
Aku merindukan teman-temanku.
Satu tahun ditambah sepuluh bulan, hampir dua tahun aku tidak kembali ke sini. Bagaimana aku tidak rindu?
Sebenarnya aku bisa saja membuka sayapku lebih lama dan melenting cepat ke Kota Fairyda, tapi aku tidak mau membuat siapa pun yang kebetulan lewat di angkasa curiga melihat sayapku yang tidak mencerminkan sayap peri normal.
Jadilah aku menaiki seekor hewan mirip kuda di Bumi yang parkir di dekat pohon. Bedanya kaki kuda ini tidak menapak ke tanah, melayang dua meter. Yah, namanya juga dunia lain. Aku sudah terbiasa dengan pemandangan ganjil ini.
"Permisi, Tuan Kuda, bolehkah aku menunggangimu?" Aku tersenyum ramah.
"Jarang-jarang aku bertemu penyihir berkemampuan bisa berkomunikasi dengan hewan. Naiklah, Nak, aku akan mengantarmu karena kau menarik."
Nikmat Tuhan mana lagi yang kudustakan.
Senyuman manis terpatri di wajahku. Ah, Natural Converse adalah kemampuan yang amat berguna. Aku mengangguk cepat, menaikinya dengan anggun. Walau ia salah paham mengira aku penyihir, tapi tak apalah. Setidaknya aku dapat kuda.
Aku mendongak ke langit, menghirup udara. Aku benar-benar kembali ke dunia ini. Takdir memang lucu. Awalnya aku berpikir aku takkan pernah menginjakkan kaki ke Asfalis lagi, tapi lihatlah, aku sedang berkuda di bawah sorotan cahaya bulan.
Mataku memanas. Aduh, jangan lebay deh, Dandi. Masa kau sampai menangis terharu? Malu-maluin saja.
Untung Kuni tinggal. Dia pasti akan tertawa meledekku yang baperan.
*
Kami beristirahat setelah berjalan tiga jam tanpa henti di sebuah pohon ek. Bokongku kebas, butuh duduk meluruskan kaki. "Apakah kau punya nama, Tuan Kuda? Tak enak memanggilmu begitu," tanyaku mengisi waktu dengan mengobrol.
"Panggil saja aku Kudaku, Nona Ajaib."
Wajahku pias. Panggilan macam apa itu, heh? Kali pertama ada yang menyebutku dengan embel-embel "ajaib" terlebih seekor kuda. Ini pengalaman aneh.
Kami berdua ditutupi oleh kegelapan. Aku sih tidak asing lagi dengan benda UFO melayang di atas kami. Katedral terbang kediaman Sang Dewa alias Sabaism. Istana megah itu mengelilingi Asfalis, berpatroli seperti yang biasa ia lakukan.
Aku berdecak kagum, menatapnya santai. Istana tersebut tidak berubah sedikitpun dari terakhir kali yang kulihat. Dengan sayap malaikatku, aku bisa terbang ke sana namun aku tidak punya ambisi atau impian apa-apa. Sabaism sangat lah menggoda merujuk ia bisa mengabulkan apa pun laksana jin dalam botol.
Fiuh! Untung aku kuat iman.
"Hmm?" Aku mengeluarkan surat undangan FLY Academy yang berpendar. "Apa yang—"
Sebuah sayap kecil tumbuh pada surat itu. Ia meloloskan diri dari genggamanku, kemudian kabur ke udara.
"Tunggu! Kau pikir kau ke mana?!" Aku membuka sayapku, menoleh ke kuda yang makan rumput. "Maaf, Kudaku-san, aku akan meninggalkanmu di sini."
Kuda itu meringkik. Aku segera melesat ke langit menangkap surat undangan yang gesit menghindari tangkapanku.
Gawat. Kalau aku tidak punya undangan, bisa saja aku dilarang masuk ke FA. Tapi jika aku memakai Swift Growers, takutnya aku justru merobek suratnya.
Tidak ada pilihan selain mengejarnya dengan manual. Bikin repot saja!
Aku tidak ingin mengambil resiko terbang di jarak pandang perkotaan. Lebih aman melesat di ratusan kapas lembut dan langit malam sejuk. Sudah lama aku tidak merasa sebebas ini. Di Bumi, aku jarang terbang. Takut. Bagaimana kalau aku menabrak helikopter? Pesawat komersial?
Makanya sayapku gatal ingin mengepak sepuasnya di cakrawala, membuat garis panjang di awan. Here we go! Ini sangat menyegarkan! Tapi karena harus mengejar surat undangan ke FA, aku tidak begitu menikmati penerbangan ini.
Tiba-tiba aku teringat Mama dan Papa. Aku kepikiran tentang kebohonganku. Mereka berdua kan orangtuaku, lalu aku membohongi mereka.
Tidak sekali dua kali tiga kali aku pernah hampir mengatakan yang sebenarnya pada Mama dan Papa. Tapi setiap saat aku melakukan itu, rasanya ada jahitan tak kasat mata di mulutku, memaksaku untuk tidak membicarakannya.
Aku sangat ingin mengatakan pada Mama dan Papa kalau putri mereka ini seorang peri, yang punya sayap istimewa, lain dari yang lain. Kira-kira bagaimana reaksi mereka? Terkejut? Pingsan? Apa pun itu, yang jelas bukan reaksi yang baik.
Takutnya Mama dan Papa menganggapku seorang monster karena memiliki sayap di punggung. Seperti di film-film itu. Anak mereka sedikit 'istimewa' lalu mereka menjerit dan kabur. Aku tidak mau bernasib seperti dia! Mengerikan.
Andai aku punya sedikit keberanian untuk menerangkan yang sejujurnya pada mereka, apa aku bisa berangkat bertualang dengan perasaan ringan?
Aku menggelengkan kepala. Aku harus fokus mengejar surat undanganku dulu. Sisanya bisa dipikirkan nanti-nanti.
Aku menambah kecepatan terbangku, hingga akhirnya aku berhasil meraihnya. "Dapat kau, dasar surat nakal!"
Mataku melotot saat melihat sekelebat bayangan melesat cepat ke arahku, hendak menabrak. Aku telat memutar atau memperlambat laju terbangku. Tabrakan pun terelakkan. Karena sayap malaikat masih hal baru di sini, aku pun menutup sayap itu dan memilih terjun ke bawah.
Orang yang menabrakku, tergesa-gesa memanggil tongkat. "Rallentare!"
Selepas membaca mantra perlambat gravitasi, tubuhku jadi seringan bulu. Aku mendarat dengan amat pelan ke tanah, mengerjap polos. "S-selamat..."
Gadis itu berasal dari Klan Penyihir, tentu. Hanya bangsa mistis itulah yang bisa menyihir. Dia bergegas turun ke depanku. "M-maaf, aku ngebut dan tidak melihat jalur langit. Kau baik-baik saja?"
"Tidak, tidak. Aku yang harusnya minta maaf. Aku tidak melihat kedatanganmu. Aku tak fokus terbang..." Aku menatapnya, berseru. "Lho, kau kan gadis yang tadi!"
Ya, benar. Si cewek berambut biru. Tidak disangka kami bertemu lagi.
Dia memperhatikanku, tepatnya ke punggungku. "Jadi kau seorang peri?"
Apa dia terlanjur melihat sayapku? Aku menelan ludah, memutuskan mengangguk.
"Kenapa ada peri di wilayah Klan Penyihir? Ngapain kau di bangsa ini?"
Aku menghela napas pelan lega. Lega karena gadis ini sepertinya tidak mempersalahkan soal sayapku atau memang tak melihatnya secara gamblang.
"Aku tersesat dan ingin bertanya pada salah satu penyihir di sana," jawabku tidak sepenuhnya bohong.
Dia ber-oh ria, tersenyum. "Namaku Oceana-Na. Salam kenal. Karena namaku terlalu panjang, panggil Ana saja."
Untunglah dia sosok yang welcome.
"Aku Verdandi." Aku menerima uluran tangannya, sontak menaikkan satu alis ke atas. Tangannya berkeringat. Apa dia gugup? Tunggu dulu. Kalau diperhatikan, penampilan Oceana seperti habis...
"Kau basah kuyup lagi, ya?"
"I-iya nih, haha." Oceana tertawa kikuk, menggaruk kepala. Rambut birunya diikat menggunakan mainan kerang. "Aku memang biasa seperti ini. Selalu basah."
"Dia seorang Spirit Air," cetus rerumputan.
"APA?! KAU ROH AIR?!"
Astaga! Dasar Verdandi goblok! Aku menutup mulut demi melihat perubahan raut wajah Oceana. Mulut sialan, mulut kampret, mulut ember pecah, lambe penuh dosa! Bisa-bisanya kau langsung bersorak tanpa rem seperti itu!
Lihatlah, Oceana mundur selangkah. Memegang erat tongkat sihirnya, lalu menatapku tajam. "Bagaimana kau tahu? Tidak ada yang tahu rahasiaku selama ini. Kau orang pertama, dan kau orang asing yang baru kutemui. Siapa kau?" Hanya tinggal hitungan detik Oceana akan mengeluarkan mantra dan menyerangku.
Oh, ayolah. Aku baru saja kembali ke dunia ini. Petualanganku baru dimulai, namun aku sudah mendapat masalah. Bisa makin runyam suasana kalau aku membohonginya. Tidak ada pilihan lain.
"Aku punya kenalan seorang spirit sepertimu," kataku serius.
Oceana mendengus. Tak mudah percaya.
"Kalau kau tidak percaya, kau bisa ikut aku ke Klan Peri, Kota Fairyda. Spirit yang kukenal tinggal di sana."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top