10* Genius Monster

"Dandi-Di, kau sangat berbakat dalam terbang. Kuni-Ni saja belum bisa menguasainya, namun kau... Apa kau pernah mencoba terbang sebelumnya?"

Ya iyalah aku bisa, orang aku peri. Tapi aku tidak boleh mengatakan identitasku. Entah apa yang akan terjadi jika mereka sampai tahu ada peri di bangsa penyihir. Aku mengunci bibirku rapat-rapat.

Sabune-Ne melompat dari sapunya dengan napas tersengal. "Gawat, Feinte! Profesor Verina-Na sedang dalam dinas. Katanya baru kembali dua hari lagi."

"Verina-Na? Siapa dia?"

"Sepertinya dia semacam administrator di sini," celetuk Kuni, berdecak sebal karena lagi-lagi jatuh dari sapunya.

Feinte-Te menatap Kuni tertarik. "Hebat! Itu tebakan yang akurat. Beliau adalah Penyihir Ramuan yang suka berekspedisi mengelilingi seluruh pelosok Asfalis. Jadi beliau tahu seluk-beluk dunia ini, termasuk Kota yang ingin kalian tuju."

Aku menyikut lengan Kuni. "Kok tahu?"

"Ini hanya psikologi tingkat dasar, Dandi. Verina-Na adalah orang yang pertama mereka cari. Jelas Verina-Na ini sosok berkuasa di sini," ucap Kuni kembali kesal karena tidak bisa melayang.

"Anu, a-apa kalian terburu-buru ke Fairyda? Kalian bisa menunggu di akademi sampai beliau datang. Belajar sihir itu menyenangkan lho," tawar Sabune-Ne malu-malu, melirik Kuni yang jengkel dengan sapunya. "Kalian bisa mengikuti kelas untuk mempelajari cara mengendarai sapu terbang."

Telinga Kuni tegak mendengarnya. Klan Penyihir adalah bangsa yang ditargetkan Kuni sebelum tiba ke sini. Jelas dia ingin meraup semua pengetahuan sihir.

"Apakah itu diperbolehkan? Kami seorang turis, bukan akademia," kernyitku.

"Boleh." Feinte-Te yang menjawab. Dia tersenyum lembut kepadaku. "Asal kalian mengisi biodata. Mari ikut aku ke ruang ketua akademi. Mungkin masih keburu."

Aku tersenyum kaku. "Ah, tidak usah. Aku akan menunggu profesor Verina-Na. Tapi temanku mungkin ingin mendaftar," tolakku, menunjuk Kuni yang menggebu.

Feinte-Te terlihat kecewa.

"Kau yakin baik-baik saja kutinggal sendirian?" kata Kuni sebelum pergi.

Aku bersedekap. "Ini bukan kali pertama aku datang ke dunia paralel. Sudah, pergi sana. Kau mau jadi penyihir, kan?"

Kuni membalasnya dengan cengengesan.

.

.

Tak banyak yang bisa kulakukan. Padahal aku di Klan Penyihir yang fantastis, tapi hatiku tidak menginginkan tempat ini. Kuharap Verina-Na segera kembali supaya aku bisa ke Fairyda secepatnya.

Tapi, aku merasakan keganjilan.

Aku menatap penyihir-penyihir yang tunggang-langgang ke asrama dan kamar masing-masing saat matahari digantikan oleh bulan. Mereka takut dengan malam? Atau mereka akan berubah jadi penyihir buas kalau melihat cahaya bulan?

Tidak bisa nih. Aku kepo. Aku ingin tahu.

Saat aku ingin bangkit dari posisi duduk, seseorang terjun dari lantai atas dan mendarat di depanku. Surai biru dan mata birunya terlihat berkilauan oleh rembulan. Bagian anehnya adalah...

... kenapa dia dalam keadaan basah?!

"Maaf, apa aku mengganggumu?"

Aku menelan ludah, menggeleng. "Apa kau habis kena hujan atau jatuh ke air?"

"Ah, ini kecenderunganku. Tolong jangan kasih tahu siapa pun kalau kau melihatku. Aku harus pergi. Selamat tinggal."

Woah, cewek itu cantik sekali. Mau ke mana dia tergesa-gesa begitu?

Bruk! Aku tersentak mendengar suara benda jatuh, menoleh. Ternyata Kuni menjatuhkan sapunya. Tunggu, aku mengernyit heran melihat ekspresi si biang kerok itu yang tampak terhipnotis.

"Woi, Kuni. Apa ada yang korslet dengan kepalamu?" seruku tepat di telinganya.

"G-gadis tadi siapa?"

Aku mengedikkan bahu. "Entah, aku juga tidak kenal... Kau?! Ekspresi blushing itu! Jangan-jangan jatuh cinta pandangan pertama pada gadis barusan?? Ingat Yui!"

Wajah Kuni memerah, menepuk lenganku. "J-jangan sembarangan ngomong dong! Lagian aku dan Yui hanya teman."

"Hanya teman katanya..."

"Ngomong-ngomong Dandi, ternyata Klan Penyihir pernah dikutuk. Aku membaca sejarahnya di perpustakaan."

Wah, timing yang bagus. Aku baru saja ingin mencari tahu tentang itu. "Kutukan?"

"Benar. Cahaya bangsa ini dicuri oleh seseorang. Mereka telah hidup di malam hari selama bertahun-tahun. Sang Dewa mengembalikannya beberapa bulan lalu."

Pantas saja mereka takut dengan malam... Klan Penyihir memiliki kisah sendiri.

"Selain itu...," Kuni mengambil kartu identitas. Dilihat-lihat dia mengenakan jubah dan seragam formal akademi ini. "Aku sudah mendapatkan gelarku. Aku ditempatkan sebagai Penyihir Mantra."

"APA?!" Aku melotot, mengambil kartu tersebut—aku tahu benda itu karena dia pernah menunjukkannya padaku.

Levelnya 93 dalam tujuh jam?! Tidak hanya itu, Kuni langsung dapat titel dalam sehari?! C-cowok ini monster ya?

Kuni menyengir, memberi tanda peace. "Aku genius, kau ingat? Tidak sulit bagiku beradaptasi dan menyerap pelajarannya seperti spons. Tadi pagi aku memang tidak bisa menaiki sapu terbang, tapi dalam beberapa menit setelah mendengar arahan dari ahlinya, aku sekarang penerbang yang lebih hebat darimu."

"Jangan sombong!" kataku gregetan.

"Bahkan aku bisa membuatkan peta untukmu ke Fairyda lhoo," katanya menyeringai, menyerang titik lemahku.

"Benarkah? Kalau begitu—"

"Ya, ya, ya. Itulah rencanaku kemari, membuatkanmu peta ke Fairyda. Tapi tentu ada bayarannya dong. Kau harus bilang 'Terima kasih Kuni teman tersayangku yang genius, rajin menabung, dan tampan melebihi ketampanan idol favoritku—"

Aku gemas, menendang tulang keringnya. "Ngelunjak kau! Mending aku menunggu Nona Verina-Na saja daripada minta bantuanmu, dasar genius sombong!"

"M-maaf, Dandi... Aku hanya bercanda..."

Kuni berkonsentrasi. "Mapgraficas. Penguncian Tipe: Penunjukan," ucapnya komat-kamit melafalkan mantra.

Aku pikir Kuni bercanda soal dia menerima gelarnya—setiap penyihir memiliki titel yang berbeda-beda seperti peri di Fairyda yang punya aneka ragam jenis kekuatan—ternyata dia sungguh serius. Kuni bukan lagi manusia. Dia kini penyihir.

"Nah, ini dia. Jaraknya lumayan jauh dari sini, Dandi. Kau perlu terbang lima kilometer dalam kecepatan stabil dan beristirahat dua kali dalam sejam."

Aku menerima bulu itu. "Apa yang akan kulakukan dengan benda ini?"

"Dia kompas yang akan mengarahkanmu ke Fairyda. Tenang saja, itu akan menghilang begitu kau tiba di sana."

"Eh, lalu bagaimana denganmu? Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini. Apa kata Mama dan Papamu jika putra mereka menghilang?! Aku akan menjadi kriminal! Dituduh melakukan pembunuhan!"

Kuni mendesis, menjentik dahiku. "Aku tidak bilang akan tinggal selamanya di sini! Kau ini orangnya panikan deh."

Aku menatapnya yang mendongak ke langit malam. "Masih banyak yang harus kupelajari di sekolah sihir, Dandi. Jika aku pergi bersamamu ke Fairyda sekarang, takutnya aku menjadi beban yang tak punya pengalaman bertarung. Terlebih aku ingin mempelajari sesuatu. Makanya aku harus menaikkan level pemahamanku dulu dan memperbanyak menghafal mantra ini mantra itu. Jangan khawatir padaku. Aku tahu kau sudah ngebet ke Fairyda."

"Tapi tetap saja aku khawatir. Aku tidak mau orangtuamu sedih jika kau tersesat di dunia yang tak kau kenali. Aku juga belum terlalu mengenal dunia ini."

"Kalau kau sekhawatir itu... Kau masih memakai kalung rantai pemberianku?"

Aku mengangguk, mengeluarkannya dari bajuku. "Kenapa dengan ini?"

"Akan kutambah intensitas pelacaknya. Mejoramento!" kata Kuni melafal mantra lagi. "Nah, jika kalungnya bergetar, maka aku dalam bahaya. Jika tidak, berarti aku baik-baik saja. Sudah puas?"

Aku menyengir. "Mantap. Kalau kau hilang, siapa lagi yang akan membelikanku cemilan snack pas nonton drakor?"

"Begitu toh niatmu. Kurang asem!"

Aku tertawa. "Bercanda, bercanda." Kulirik sekeliling yang sepi. Yah, dari tadi memang sudah sepi sih karena para penyihir trauma dengan malam hari.

Aku membuka sayapku. "Kalau begitu aku harus pamit dengan Feinte-Te dulu—"

"Jangan!" cegah Kuni menepuk dahi. "Apa kau tidak peka terhadap tatapannya?"

Aku mengerjap. "Tatapannya?"

"Dia itu naksir samamu! Lebih baik kau pergi sekarang sebelum dia confess. Atau perjalananmu bisa tertunda lagi."



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top