Day 03 • Unforgivable Crime

Begitu bel tanda waktu istirahat bergema, Dante langsung menuju meja bundar di depan ruang perpustakaan. Markas rahasia mereka. Seperti yang diduga, di sana sudah ada yang lain. Tampaknya meski dia tidak ada, mereka tetap menyempatkan diri untuk mampir ke sana.

“Nih, buat kalian berdua.” Di hadapan mereka, pemuda itu meletakkan dua kotak manisan yang sama seperti yang dibagikan kepada teman-teman sekelasnya. 

Salah satu dari dua orang itu gadis berambut panjang. Demi melihat pemberian Dante, ia mengalihkan perhatian dari laptop yang dipenuhi tabel-tabel entah apa. “Oh, kamu bawain yang begini?” 

“Aku tahu Silvia bukan pecinta makanan manis. Makanya aku beli yang itu lagi.” Dante merespons pertanyaan datar sahabatnya dengan senyum hangat. Dia menarik satu kursi yang masih kosong. “Kalo Erick, kayaknya suka apa pun selama bukan racun.”

Laki-laki berambut cokelat gelap yang sibuk dengan karya Fyodor Dostoyevsky itu menurunkan novel. “Untung kamu cepet balik. Rasanya agak ngeri-ngeri sedap duduk di sini,” ia mengucapkan kalimat terakhir dengan sedikit berbisik.

Dante mengangguk pelan, ikut bergumam. “Ah, cewek es batu.”

“Maksud kalian apa, hah?” Silvia menatap tajam, sadar bahwa lirikan aneh dua laki-laki tersebut tengah tertuju padanya.

“Nggak, nggak papa,” respons Dante cepat. 

Erick membentuk seringai tipis. “Ini si Raskolnikov nekat juga, ya, kalo dipikir-pikir. Bikin merinding.”

Gadis itu memicing. Jelas-jelas cewek es batu mengerikan yang mereka maksud tadi adalah dirinya. Anak kelas satu SD pun tahu itu adalah cara paling bodoh untuk mengelak. Namun, Silvia tak ambil pusing pada akhirnya. Dia kembali fokus pada tabel-tabel di layar laptop.

“Ngomong-ngomong, tugas esai kalian udah pada rampung?” Dante mengalihkan topik.

“Belum. Data pendukung dan referensinya masih kurang,” jawab Silvia tanpa mengalihkan perhatian sedikit pun dari pekerjaannya.

“Aku masih perlu revisi lagi.”

Ia membuang napas panjang, mendengar pengakuan Erick. “Kamu itu, ya, seratus kali revisi pun nggak cukup.” Dibalas dengan kekehan pelan.

“Mau ngerjain bareng?” tawar Silvia. “Sebentar aku share lokasi. Ada kafe sekitar dua kilo dari sini. Biasanya nggak terlalu ramai. Tempatnya juga lumayan adem,” jelasnya seraya membuka aplikasi maps di ponsel.

Erick mengernyit melihat pesan yang baru saja masuk di group chat yang berisi mereka bertiga. “Kok baru bilang sekarang ada tempat sebagus ini?”

Helaan napas panjang terdengar dari mulut Silvia. “Maaf. Aku males diserang cewek-cewek pick me,” ujarnya. “Begini aja banyak rumor kita pacaran. Apalagi kalo sampe ke kafe berdua.”

Sudah menjadi rahasia umum di ketiga angkatan. Banyak yang mengejar-ngejar seorang Tuan Muda Erick. Di samping statusnya sebagai calon pewaris aset bernilai fantastis, hampir tak ada yang bisa berbohong soal keindahan fisik warisan dari ayah keturunan Inggris-Jerman. Semua daya tarik itu belum termasuk karisma dan sikap hangat yang membuatnya semakin terlihat seperti pangeran dari negeri dongeng.

Laki-laki itu tercenung. “Maaf. Jadi gara-gara aku, ya.”

Ya, memang sudah risiko bagi Silvia, bahkan sejak duduk di bangku SMP. Apalagi sahabatnya yang satu lagi juga popularitasnya tidak kalah. Ayahnya pengacara yang menjunjung tinggi nilai keadilan, dan terkenal karena aktif angkat bicara soal isu-isu pelanggaran HAM. Dante yang memiliki minat di bidang yang sama dengan sang ayah akhirnya ikut tersorot atensi.

Bagaimana mereka bertiga bisa menjadi dekat, entahlah, Silvia juga tidak begitu ingat detailnya. Kalau saja dia tahu akan berakhir begini, dia juga enggan membuang waktu.

“Jadi gimana?” tanya Silvia lagi.

“Boleh. Pulang sekolah, ya.”

*

Sepulang sekolah, mereka bertiga tiba kafe yang dimaksud usai pulang ke rumah masing-masing dan berganti pakaian. Semua berjalan sesuai rencana. Suasana tenang membantu fokus. Namun, mau senyaman apa pun, beda ceritanya kalau sudah lapar.

“Kamu makan apa, Dan?”

Yang ditanyai menurunkan menu, membaca rincian pesanan. “Spageti marinara. Minumnya jasmine tea biasa.”

Awalnya tidak ada yang aneh. Sembari menunggu pesanan, mereka hanya mengobrol ringan. Mencoba menjauhi topik pembicaraan yang menyangkut tugas sekolah. Sampai akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba.

Setelah menurunkan semua isi nampan, Dante mengucap terima kasih pada pelayan. Tidak, bukan itu bagian anehnya. Setelah si pelayan pergi, pemuda itu memandangi spagetinya sejenak. Lalu mengeluarkan dari ranselnya sebuah kotak bekal berisi nasi.

“Eh?”

Dua temannya terdiam. Memastikan apa mungkin mereka salah lihat, tetapi tidak. Itu benar-benar nasi. 

“Seingatku ibunya Dante orang Italia,” Silvia bergumam pada Erick yang berada di sebelahnya.

Erick hampir tak berkedip. Masih terlalu syok menyaksikan ada orang yang makan spageti dengan nasi. Akan masih masuk akal jika pelakunya adalah orang lokal, bukan laki-laki dengan wajah serupa warga negara asal makanan itu sendiri. “Makanya itu. Kalo sampe tau, fix dicoret dari KK.”

“Laporin kali, ya. Ini jatuhnya kriminal nggak, sih?” Silvia menatap bingung, sementara Dante sama sekali tidak menyadari.

“Orang yang memiliki hati nurani menderita kala menyadari dosa. Itulah hukuman baginya.” Erick memegang dagu. “Masalahnya, Dante nggak merasa itu salah.”

Akhirnya, selama hampir lima menit mereka hanya menonton Dante makan seperti di warung. Berteman sejak SMP tampaknya tak lantas membuat mereka saling paham satu sama lain. Tetap ada hal yang menjadi kejutan. Inilah salah satunya.

*

7 Februari 2024, 06:30 WITA.

[1] “The man who has a conscience suffers whilst acknowledging his sin. That is his punishment.” – Crime and Punishment by Fyodor Dostoyevsky.

DAY 3:
Buatlah cerita yang dengan tema warung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top