Day 01 • (Un)usual Dream
Pagi ini, aku dibangunkan oleh mimpi itu lagi.
Agnes membuang napas panjang memandangi halaman yang diawali kalimat tersebut. Terbangun lebih awal hingga tidak bisa tidur lagi, dia memilih menulis di buku harian. Untuk apa, ia pun tidak yakin. Harapan untuk menemukan kebenaran di baliknya tak pernah terwujud. Sejak pertama kali mimpi itu muncul pada ulang tahun yang kelima belas, petunjuk pun tak ia temukan.
Mimpi itu sendiri tak terlalu jelas, tetapi justru itulah yang membuat Agnes penasaran setengah mati. Di sana ia hampir tak melihat apa-apa. Kabut tebal menghalangi pandangan. Namun, entah mengapa dia bisa merasakan hawa kehadiran seseorang. Begitu dekat, begitu hangat.
Terkadang, seseorang itu berbicara. Suaranya menenangkan, tetapi mendebarkan di saat yang sama.
“Di dunia ini, ada seseorang yang aku cintai. Seseorang yang membuatku takkan ragu berkorban. Dan itu kau.”
Agnes mungkin bisa dengan mudah mengabaikannya. Kalau saja mimpi itu tidak terus-menerus berulang. Kalau saja saat terbangun tak muncul perasaan hampa yang membuatnya berderai air mata tanpa sebab.
Apakah aneh jika merindukan seseorang yang bahkan tak pernah ditemui?
Oh iya. Benar juga. Kalau tidak salah dia pernah mendengar soal semesta alternatif. Suatu konsep di mana ada versi dirinya yang lain. Menjalani kehidupan sendiri di dunia yang bisa jadi hampir sama, atau benar-benar berbeda.
“Kalo multiverse itu bener, apa mungkin mimpi itu sebenernya Agnes lain yang mencoba berkomunikasi?” gadis itu bergumam pada diri sendiri. Dia memutar-mutar pulpen, tetapi pikirannya sudah melayang entah ke mana. “Kira-kira di multiverse, kehidupanku kek gimana ya?”
“Mungkin aku lahir di negara yang ada saljunya. Mungkin aku bisa jadi agen rahasia, atau petugas perdamaian. Oh, atau aku jadi anak presiden ya? Bisa aja kan.” Khayalan liarnya membuat ia tertawa cekikikan sendiri.
Masih dengan buku harian di tangan, Agnes merebahkan diri di atas ranjang. Matanya menjelajah dinding kamar sebelum akhirnya mencapai jam dengan kedua jarum yang lurus secara vertikal.
Spontan dia bangkit memekik. “Astaga, ini kan hari Senin!”
Pada akhirnya, Agnes bersiap dengan sedikit terburu-buru sampai tidak sempat mengepang rambut seperti biasa. Rute angkutan umum dari rumahnya selalu berhadapan dengan macet. Karena itulah memanfaatkan jalur pesepeda adalah pilihan terbaik. Dia menyambar benda itu dan mengayuhnya dengan kecepatan kilat.
Terserah bagaimana nasibnya di semesta alternatif. Di sini dia tetap seorang siswi SMA biasa, yang kalau telat satu menit saja harus tertahan di gerbang sekolah.
Beruntungnya masih sempat. Agnes tiba lima menit sebelum gerbang depan ditutup untuk para siswa. Langsung saja sepeda itu dikayuh menuju tempat parkir. Dia sibuk bernapas lega, sampai-sampai tidak sadar akan seseorang di melintas – yang juga sama tidak fokusnya.
“Eh! Awas!”
Pemuda itu terperanjat, bergegas pindah ke tempat aman. Untung dia bukan aktor sinetron yang akan menjerit alih-alih menyelamatkan diri.
Agnes menarik rem, menoleh ke arah siswa tadi. “Maaf, Er. Aku nggak liat.” Dia mengenal laki-laki itu, tentu saja. Erick dari kelas sebelah. Orang yang menolongnya saat jatuh dari sepeda di hari pertama masuk SMA. Seseorang yang dengan senyum lembutnya selalu berhasil membuat dadanya berdesir.
“Ah, iya nggak papa. Lain kali hati-hati, ya.” Dia melambai sebelum berbalik menjauh.
Tanpa sadar Agnes ikut tersenyum memandang punggungnya dari kejauhan.
Yah, mungkin benar dirinya di semesta yang lain bisa menikahi seorang pangeran, atau menjadi putri dari penguasa dunia sekalipun. Namun, kehidupan yang ini pun tidak kalah menakjubkan.
*
1 Februari 2024, 23:55 WITA.
DAY 1:
Buatlah cerita yang berawalan "Pagi ini, aku dibangunkan oleh ...."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top