💜Makhluk Kecil Berbulu💜
Aku terus tumbuh, walau dunia hanya diisi kegelapan. Dalam lapisan daging hangat yang digenangi cairan, rasanya kian lama gerakanku terbatas, menunggu saatnya tiba. Setiap detik rasanya semakin sesak. Namun, saat itu juga sesuatu dari luar mulai terdengar lebih jelas. Sentuhan lembut dari Ibu selalu membuatku tenang, merasa dunia dilapisi daging lembap bukanlah tempat yang sunyi. Tiap suara lembutnya sayup-sayup terdengar, aku mulai mengenali suara ibuku. Namun, beberapa waktu terakhir dia tidak bicara padaku, hanya elusan sebagai tanda dia masih di sisiku.
Aku coba bergerak, tapi tubuh ini terjepit di antara lapisan daging lembap yang menyelimuti. Padahal dahulu bisa dengan leluasa berputar mengitari duniaku yang gelap. Dalam duniaku saat ini, posisi tubuh hanya menghadap bawah. Cairan yang biasa menggenangi raga mulai berkurang, tersisa aku dalam dunia yang gelap tapi juga hangat.
Kudengar suara helaan napas Ibu. Jemarinya dengan lembut menyusuri lapisan luar daging yang menyelimuti. Meski aku berada dalam lapisan menyerupai sesuatu layaknya benteng lembap, sentuhan penuh kasih itu masih terasa. "Kamu sudah tidak sabar, ya." Belum pernah Ibu sebelumnya seperti itu. Apa gerangan yang terjadi?
Keinginan untuk membalas sentuhannya membuatku bergerak pelan, mencoba sedikit saja menunjukkan pada Ibu bahwa aku ingin bicara. Namun, gerakanku masih terbatas pelan, mengarah pada dunia bawah yang belum pernah kusentuh. Semakin dekat.
Gerakanku barusan memberi reaksi tidak terduga dari Ibu. Dia terus meringis, tapi elusan lembut darinya masih terasa. Sentuhan itu menuntun arahku pada bagian dunia yang belum tersentuh di bawah sana. "Nak, bantu Ibu kalau kamu sudah siap," pinta Ibu. Helaan napasnya terdengar berat, mengisyaratkan saat yang dinantikan kian dekat.
Lapisan yang menyelimutiku bergejolak, memaksa raga ini maju. Pada saat yang sama, gerakan tubuh ini kian berat bagai ditarik paksa oleh lapisan daging di sekitar, mengarah pada bagian lapisan bawah. Semakin dalam, mendekati area yang belum pernah aku jamah sebelumnya. Terasa melebar pada bagian depan sana, tapi belum bisa kuraih. Duniaku terguncang, setiap getaran dari lapisan daging memenuhi diriku terus mendorong maju menuju kegelapan.
Ibu mengatur napas kembali. Detak jantungnya bergetar lebih cepat dari biasanya. Dinding rahim yang mengelilingi raga ini bergerak kian kuat, berlomba-lomba untuk menarikku semakin dalam menuju wilayah yang tidak tersentuh sebelumnya. Lapisan daging yang mengelilingiku mengeras, memandu perjalanan menuju tempat yang sebelumnya hanya ada dalam bayanganku. Erangan Ibu, yang semakin keras, menggiring dorongan pada ragaku. Lapisan daging kembali mendorong perlahan, membawa ke area yang belum pernah terjamah sebelumnya. Semakin dekat, walau hanya perlahan.
Aku tidak mampu bergerak, menyerahkan diri pada lapisan daging yang terus mendorong kian jauh dari tempatku tumbuh. Suara dari luar semakin jelas. Rintihan Ibu membuat hati pilu mendengarnya kesakitan, tapi saat itu juga tubuh ini tergerak dituntun dorongan dari ibuku. Lapisan daging yang mendesak kini seakan menahan diri, gerakanku juga terjeda, hanya suara Ibu yang menarik napas yang memecah keheningan. Elusan tangan yang sebelumnya memberikan kehangatan, sekarang terasa kian jauh, menyisakan gundah dalam ruang gelap ini. Suara pelan yang terdengar dari Ibu seperti isyarat akan sesuatu yang tak terungkap, entah baik atau buruk, terselip di antara helaan napasnya.
Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi. Namun, sepertinya duniaku akan berubah dalam beberapa saat. Menanti dalam keheningan yang diisi helaan napas Ibu, terus menunggu. Apa yang dia lakukan? Tidak tahu pasti. Walau begitu, aku yakin dia tengah membantuku mendorong menuju dunia di luar rahim yang selama ini menyelimuti.
Erangan ibuku memotong keheningan, menggiring raga ini kembali bergerak. Cairan yang dulu memenuhi ruang kian berkurang, mengekspos lapisan kulit lembap yang menyelimuti kepala. Sekeliling raga didorong kembali menuju area bawah, dan dunia ini tiba-tiba terasa mengekang di antara lapisan daging yang terus menyempit. Kepalaku menembus lapisan daging yang dulunya menyelimuti.
Ibu menghela napas. Kurasakan elusan lembutnya kini bersentuhan langsung dengan kulitku. "Nak." Hanya itu yang dia ucapkan, tapi kurasakan kasih sayang yang mendalam dari setiap helaan napasnya.
Meski kepalaku telah menembus lapisan daging yang lama membentengi raga, bagian bawah diriku masih terperangkap di dalam. Sementara dunia di luar sana menunggu, aku tidak mampu bergerak, dan lapisan itu masih menyelimuti sebagian diriku. Kepalaku pertama merasakan embusan angin di sekeliling, begitu dingin, tidak seperti dalam rahim yang selama ini membentengi. Ingin kembali merasakan kehangatan yang selama ini kurasakan saat dalam kandungan.
Lapisan daging kembali mengeras, Ibu menggerang seiring gerakan dari ragaku yang dipaksa maju menerobos lapisan daging yang selama ini menjadi wadahku tumbuh setelah sekian lama terselimuti kegelapan. Seiring helaan napasnya, menggiring aku semakin jauh menuju dunia luar. Tubuh ini perlahan menembus lapisan daging lembab itu, hanya sebahu.
Kembali jeda sesaat, Ibu menarik napas. Suaranya gemetar, masih diliputi cinta. "Sedikit lagi." Sentuhan hangatnya yang pertama menyambut sedikit dari ragaku di dunia. Walau mata ini terpejam sejak awal aku tumbuh, dapat kurasakan belas kasih dari Ibu secara nyata setelah sekian lama hanya merasakan dari balik lapisan rahim.
Rintihannya menghias keheningan, beriringan dengan dorongan perlahan dari daging yang menuntun gerakanku menuju dunia luar. Separuh badanku telah menembus lapisan daging itu, kini aku dapat merasakan embusan angin dingin menjilati raga. Kedua pasang tanganku yang keluar mulai tertekuk, berupaya melindungi diri dari tusukan dingin yang menyiksa. Mata masih terpejam, belum bisa melihat dunia luar apalagi sosok yang membawaku ke dunia.
Sentuhan lembut dari ibuku membelai kulit dingin ini, dua pasang tangan yang menekuk perlahan bergerak ingin membalas sentuhan itu. Namun, saat itu juga lapisan daging tadi kembali menggerat. Ibu menggerang, beriringan dengan lapisan daging yang kini mendorongku kian jauh dari tempatku bertumbuh. Dapat kudengar detak jantung ibuku berdegup kencang, seirama dengan helaan napasnya yang pilu.
Separuh badanku menyambut dunia, meski terasa dingin tidak seperti tempatku tumbuh. Namun, aku tahu suatu saat harus menyambut dunia saat itu tiba. Ibu telah berjuang menuntunku menuju dunia asing itu, meski mungkin tidak akan sempat melihatku tumbuh lebih lama. Aku harus terus maju, membiarkan segala proses ini berlanjut hingga seluruh ragaku keluar. Jika tidak, barangkali diri ini tidak akan mendapat kesempatan menghirup napas untuk pertama kali di lapisan luar yang selama ini hanya jadi angan-angan yang Ibu ucapkan selagi aku tumbuh.
Erangan Ibu kembali memecah keheningan. Tubuh yang tersisa terimpit diiringi gerakan keras dari lapisan daging yang selama ini menutupi raga ini, mendesak bagian yang tersisa. Dunia tempatku bertumbuh memaksa aku menjauh, menuntun keluar dari kegelapan yang familier. Sepasang tanganku kembali keluar bersamaan dengan sisa kaki. Lapisan yang menyelimuti kini terlepas sudah. Aku telah dilahirkan.
Saat itu juga tubuhku bersentuhan dengan lapisan dedaunan untuk pertama kalinya. Bersamaan cairan yang selama ini mendampingi pertumbuhanku di dalam sana. Sentuhan lembut dari ibuku terasa lembut, belum pernah kurasakan kulitnya menyentuh seluruh tubuh langsung. Tangisanku menggema, tanda aku telah menghirup napas untuk pertama kalinya.
Tubuh ini menggigil, belum pernah merasakan dunia di luar lapisan daging itu. Namun, sentuhan lembut Ibu kini berganti jadi pelukan hangat, membuat aku terbuai seketika. Dengan segala kehangatan dari ibuku, aku menyambut dunia baru.
Dengan segala cinta yang mengikat kami, perasaan hangat meliputi hati. Semenjak hari aku pertama kali tumbuh dalam rahim, Ibu telah membantuku lahir ke dunia dengan selamat. Lepas sudah segala tanggung jawab yang dia emban selama ini. Kini, tugasku untuk menjalani hidup. Namun, bagaimana caraku memulai hidup di dunia? Tanpa sedikit panduan, aku hanya makhluk kecil yang akan berjalan sempoyongan di atas lapisan dedaunan.
Napas Ibu masih terengah-engah, sisa dari perjuangan sebelumnya. Kurasakan sentuhan lembut dari kulitnya membelai setiap helai bulu yang tumbuh pada diriku. "Sudah saatnya kamu tumbuh dan menjelajahi dunia ini." Dia angkat aku ke dadanya, bunyi detak jantungnya masih berdegup kencang seperti sebelumnya. Ciuman lembut mendarat pada kening, memberikan kasih sayang melebihi saat aku tumbuh dalam dirinya. "Inilah cinta Ibu untukmu, kita akan bersama selalu."
Bibirku kini terbuka, membiarkan lapisan daging luar dari Ibu masuk ke mulutku. Cairan hangat memasuki ragaku untuk kali pertama, menyesapi saat pertama cinta Ibu memberiku kekuatan untuk terus tumbuh. Gigi-gigi kecil yang bersembunyi di balik bibir mulai menekan pada daging Ibu, berupaya mengambil nutrisi sebanyak mungkin untuk tumbuh. Sementara potongan mungil daging demi daging dari ibuku perlahan meresap dalam diri, memberikan segalanya guna aku bisa berkembang seperti yang dia inginkan.
Setiap gigitan, setiap isapan, segala nutrisi yang Ibu berikan kini menyatu dalam diriku. Belas kasih darinya kini hanya tinggal kenangan, bersama dalam tiap tetes darah yang mengalir padaku. Ibu tidak lagi bisa mendampingiku langsung menjelajahi dunia. Namun, dari cinta pertamaku inilah yang akan membawaku menuju dunia luar, di mana segalanya akan kembali dalam diriku.
Berkat segala nutrisi yang ibuku berikan, tubuh ini perlahan mulai siap untuk melangkah menyambut dunia di luar tempatku tumbuh. Mataku terbuka untuk pertama kalinya, melihat dengan jelas duniaku yang baru. Pemandangan pepohonan serta dedaunan yang berguguran menyapa, sementara tubuh Ibu terkulai di sisiku, masih siap memberikan nutrisi tambahan bagiku.
Aku kembali mengunyah, menikmati setiap tetesan cairan yang selama ini membantu ibuku untuk tumbuh, kini giliranku untuk mendapatkannya. Terus saja minum, tanpa terasa segala cairan yang tersimpan dalam diri Ibu mulai kembali padaku, memberikan sebagian dari cinta yang selama ini dia tawarkan sejak menyaksikan aku tumbuh dalam dirinya.
Bulu yang menghias ragaku berkilau diterpa cahaya matahari pagi, memantulkan warna ungu senada dengan dedaunan di sekitar tempatku dilahirkan. Kedua antena menghias kepala ini kian jelas merasakan keberadaan penghuni hutan, dapat kurasakan gerakan perlahan mendekat maupun menjauh dariku. Setiap bunyi penghuni hutan mulai tertangkap dalam telingaku. Embusan angin menyapu lembut setiap helai bulu yang kini melindungiku dari hawa dingin yang menusuk di pagi hari. Begitu semua nutrisi terpenuhi, aku masih mengunyah yang tersisa, memastikan segala daging yang Ibu berikan tidak tersisa bagiku, karena dia pasti ingin aku tumbuh besar dan kuat dengan segala cinta yang dia berikan.
Keempat kakiku bergerak pelan menyentuh raga Ibu yang perlahan menyatu dalam diriku, mengungkapkan belas kasihku kepadanya atas segala pengorbanan yang dia lakukan demi kelahiranku. Dia yang telah membawaku ke dunia, kini meninggalkan tugas istimewa bagiku. Untuk terus tumbuh.
Ibu telah melakukan segalanya untukku, dia akan berakhir kembali padaku, seperti aku yang dulu tumbuh dalam dirinya. Usai sudah tugasnya, hanya menyisakan lapisan putih keras yang selama ini menyangga tubuhnya–tulangnya. Biarlah menyatu dengan tanah, kembali ke bumi tempat dia berasal. Sementara aku yang masih hidup akan terus melangkah, mencari nutrisi baru untukku tumbuh.
TAMAT
Buset dah, sebenarnya niat emang cerpen mini gini aja dah, singkat padat dan gak jelas aowkwkwk. Btw makasih bagi yang sudah baca, karena yah berhubung aku cuma pengen nambah karya doang, jadi yah gitu. Nambah karya sebanyak-banyaknya, biar ntar pas ada author anu yang pengen adu karya, bisa aku hantam sehantam-hamtannya (sok nambahin istilah baru)
Nanti aku ajak kalian komen di bab berikutnya aja, ya! Biar terkesan kayak anak seni akuh aiwkwkw
Sampai jumpa di karyaku yang lain! Jangan lupa promosikan kepada teman-temannya, biar aku gak lupa kalau aku ini punya pembaca (kalau ada juga) – capek bikin author's note maupun berkarya, tapi gak ada yang nanggapin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top