Pappermint

.

.

.

Fandom: Arknight
Phantom x Doctor!Reader

.

.

.

"Nyanyianku mengakhiri semuanya. Malam tiada akhir, lagu tanpa henti, nada tinggi yang bergetar dan potongan melodi yang keluar dari tenggorokan, sangat mencekik dan menakutkan. Tapi itu semua ... begitu indah. Dokter, beri tahu aku, apa yang ... harus aku lakukan?"

.

.

.

"Ingin mendengar suara asliku?"

Phantom menatap sosok yang berjalan di sebelahnya. Dokter (Name), seorang ahli strategi Rhodes Island. (Name) sendiri hanya tersenyum lalu mengangguk semangat.

"Aku ingin mendengarnya lagi," ucap (Name) tak menghilangkan senyumnya.

'Lagi? Ah, apa dia mendengarnya saat di medan perang?'

Phantom tak memikirkannya lebih jauh, dia hanya menggeleng.

"Tidak, aku tidak bisa melakukannya," jelas Phantom, "suaraku bukanlah hal yang bisa kau tahan, dokter."

"Tapi saat pertarungan, kau menggunakannya," balas (Name).

"Itu karena ada musuh."

"Kalau begitu, apa aku harus menjadi musuhmu dulu agar aku bisa mendengar suaramu?" tanya (Name) terkekeh.

"Bahkan jika kau tahu suara asliku bisa membunuhmu, dokter?"

(Name) memutar bola matanya.

"Di dunia yang sekarang, aku bahkan tidak yakin aku bisa hidup besok, Phantom. Aku tidur dengan sebelah mata terbuka, asal kau tahu."

Phantom mengerutkan alisnya, tangan kirinya terangkat guna menyentuh alat yang melingkari lehernya.

.

Ini adalah sebuah kisah.
Kisah seseorang bernama Phantom.
Phantom of Rhodes Island.

.

"Dokter, kau tahu kenapa aku menolak permintaanmu, kan?"

(Name) yang masih terkekeh perlahan menghentikan tawanya, lalu tersenyum kecil pada Phantom, dengan pandangannya fokus ke depan.

"Aku tahu kok," jawab (Name), "maaf meminta sesuatu yang mustahil, Phantom."

Phantom tak lagi membalas ucapan sang dokter, dia hanya diam berjalan di sebelah (Name) sepanjang lorong Rhodes Island.

"Oh, setelah ini kau boleh kembali ke ruanganmu, Phantom," ucap (Name) seolah baru teringat, "semua pekerjaan sudah kukerjakan, tersisa patroli keliling dan aku bisa beristirahat di ruanganku~"

"Kalau begitu izinkan aku menemanimu berpatroli, karena aku adalah asistenmu, dokter."

(Name) menatap Phantom yang masih berjalan di sebelahnya, dengan Miss Christine setia berada di pundaknya.

"Hm~" senyum kembali muncul di wajah (Name), "jika itu keinginanmu-maka sayang jika kutolak tawaranmu, kan?"

.

Tidak, cerita ini tidak menyerupai cerita dengan judul yang serupa.
Cerita ini tidak menceritakan tentang si buruk rupa Erik.
Atau tentang tragisnya kisah Christine dan Raoul.

.

Langkah kaki (Name) mengisi kosongnya lorong Rhodes Island, tak jarang mereka menemui beberapa operator yang sedang bertugas. Semuanya menyapa (Name) karena Phantom selalu menghilang [entah ke mana] saat operator lain muncul.

"Apa semua Ras Feline begini?" tanya (Name) memecah keheningan antara mereka berdua.

"Begini seperti apa, dokter?"

(Name) menunduk, tampak mendengar langkah kaki satu orang, padahal di lorong itu jelas ada dua orang, dia dan Phantom.

"Langkah kaki kalian tidak terdengar," komentar (Name), "SilverAsh, Broca, Melantha, Pramanix, Cliffheart-bahkan Blaze!"

"Sepertinya begitu, dokter," sahut Phantom, "we are feline, after all."

"Kalau begitu-bagaimana dengan Projekt Red?" tanya (Name), "dia Lupo, kan?"

"Setiap pembunuh harus bisa menyembunyikan langkah kaki mereka agar bisa melakukan tugas dengan lancar, dokter," jawab Phantom langsung.

"Ah," (Name) berkedip sadar, "benar juga."

Suasana kembali hening, langkah kaki (Name) masih terdengar di lorong. Sampai akhirnya (Name) berhenti, membuat Phantom ikut berhenti. Mereka sudah sampai di atap Rhodes Island, tempat landasan helikopter. Langit malam yang ditaburi bintang menjadi pemandangan yang pertama kali mereka lihat.

"Oh, jarang sekali langit malamnya bersih seperti ini," komentar (Name) berjalan ke tengah landasan dengan kedua tangan terentang.

Phantom hanya diam di tempat, memerhatikan sang dokter yang asyik menikmati pemandangan yang ada.

.

Cerita ini mengisahkan Phantom yang kesepian.
Phantom yang bernyanyi di tengah medan perang.
Menyanyikan lagu kematian.

.

"Biasanya saat aku kemari, langitnya selalu dipenuhi oleh awan. Apa karena hari ini Phantom menemaniku?" tanya (Name) menoleh ke arah Phantom.

"Mana mungkin, dokter," jawab Phantom mendengus geli, "keberadaanku di sini hanya kebetulan semata."

(Name) tidak membalas ucapan Phantom. Dirinya melangkah mendekati Phantom lalu duduk di lantai, membuat Phantom ikut duduk.

"Belum ada yang tahu hal ini ...," ucap (Name) memulai, "sebenarnya, aku ada sedikit mengingat beberapa hal."

"Dokter-"

"Ini bukan ingatan yang Rhodes Island inginkan," potong (Name) menatap Phantom, "tapi ada hubungannya denganmu, Phantom. Oleh karena itu aku memberitahumu."

"Ada hubungannya denganku?"

(Name) mengangguk, dirinya kembali menatap ke langit.

"Aku ingat, bahwa aku pernah melihat salah satu penampilanmu, nyanyianmu-bersama kelompok teater kecilmu."

Phantom terdiam mendengar ucapan (Name).

Dia terkejut? Ya, dia terkejut, sangat terkejut.

.

Lagu perenggut nyawa yang mendengarnya.
Entah itu musuh ataupun teman.
Bahkan si penyanyi sendiri.

.

"Sepertinya saat itu aku sedang ada urusan di Siracusa, kebetulan tim teatermu sedang tampil di Siracusa," jelas (Name).

(Name) menutup matanya-seolah sedang mengingat saat itu, tapi dia tidak bisa, dan Phantom tahu itu-karena tidak ada senyum yang terlukis di wajah sang dokter.

"Tapi aku tidak ingat apa-apa selain itu, dan perasaan hangat saat mendengar suaramu," jelas (Name), "ironisnya, aku tidak ingat seperti apa suaramu."

'Jadi itu menjelaskan ucapannya tadi,' pikir Phantom mengingat permintaan (Name) untuk mendengar suaranya.

"Ah, aku hanya ingin memberitahumu itu," ucap (Name) tertawa canggung-lalu berdiri dari posisi duduknya, "ini tujuan terakhir patroliku, ayo kembali ke ruangan kita masing-masing."

.

Namun, tidak menyerupai bukan berarti tidak memiliki kesamaan sama sekali.
Tetap ada alasan kenapa cerita ini dinamakan Phantom of Rhodes Island.
Itu karena mereka memiliki satu hal yang serupa.

.

Menyadari bahwa sang laki-laki tidak bergerak dari posisinya, (Name) menoleh ke arah Phantom dengan heran.

"Phantom?"

Phantom berdiri dari posisinya, namun di luar dugaan dirinya meraih tangan kanan (Name) lalu mengecup singkat jari-jari (Name). Sang dokter sendiri, langsung berkedip kaget dan rona merah menyapa pipinya.

"Dear Doctor (Name)," Phantom menatap (Name) dengan serius-namun senyum kecil terlukis di wajahnya, "you must know that I am made of death, from head to foot."

(Name) terdiam-dia tahu maksud ucapan Phantom. Namun dirinya tersadar saat Phantom menggenggam pelan tangan kanannya.

"But, it is a corpse who loves you, adores you and will never, never leave you."

Rona merah di pipi (Name) sukses jadi semakin jelas, dan irisnya melebar kaget. Mulutnya terbuka, namun dia tidak bisa berkata-kata.

"Ugh," setelah sekian lama akhirnya (Name) bersuara, "tidak adil menggunakan quotes dari Phantom of The Opera. Kau tahu aku menyukai buku itu, Phantom."

"Justru karena itu, dokter," balas Phantom mantap.

(Name) hanya memutar matanya, namun kemudian sadar Phantom belum selesai bicara.

"Aku mungkin tidak bisa bernyanyi untukmu sekarang, dokter," ucap Phantom perlahan mengeratkan genggaman tangannya, "tapi suatu hari nanti-aku pasti akan bernyanyi untukmu, di depanmu."

(Name) berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya tersenyum kecil.

"Mhm, aku menantikan saat itu tiba, Phantom."

.

Mereka adalah laki-laki yang rela melakukan segalanya.
Segalanya demi sosok yang mereka cintai.
Bahkan mati ataupun membunuh.

.

"Ah, aku baru ingat," ucap (Name) teringat sesuatu.

Sang dokter spontan mundur selangkah dari Phantom, membuat pegangan Phantom pada tangannya juga terlepas. (Name) merogoh saku jas dokternya, mengeluarkan ponselnya, kemudian tampak mencari sesuatu dari ponselnya, setelah itu menunjukkan ponselnya pada Phantom.

"Hm, kenapa kau memotret rumput, dokter?"

"Enak saja rumput!" protes (Name) mengerutkan alis tak senang.

(Name) menarik ponselnya, menatap foto yang dia tunjukkan pada Phantom. Foto yang dia ambil setelah operasi melawan Reunion minggu lalu. Foto yang dia asal-asalan karena diburu waktu untuk segera kembali ke Rhodes Island.

'Ah, kurasa wajar Phantom bilang ini rumput,' pikir (Name) menatap aneh foto yang dia ambil sendiri.

"Ini Pappermint," jelas (Name) memulai, "yang melambangkan kehangatan perasaan-seperti saat aku mendengar suaramu, yang aku sendiri tidak ingat."

Phantom membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi terhenti saat (Name) menghela napas singkat sambil tersenyum.

"Karena kau bilang akan bernyanyi di depanku suatu saat nanti, aku hanya perlu bersabar sampai saat itu tiba, benar?"

Phantom perlahan menutup mulutnya, kemudian mengangguk singkat. (Name) yang melirik ke arah Phantom hanya terkekeh pelan, menarik perhatian Phantom.

"The passion I feel for you is more than you're prepared for."

.

Namun bukan kematian yang menyambutnya.
Melainkan kehangatan dari orang tercintanya.
Dialah Phantom of Rhodes Island.

.

Phantom mengangkat kedua alis saat mendengar ucapan (Name), sementara sang dokter masih terkekeh, sebelum akhirnya perlahan menghentikan tawanya.

"Kau bilang kau mencintaiku, kan?" (Name) tersenyum.

(Name) mundur beberapa langkah, hingga kini dia berada di tengah landasan helikopter. Senyum (Name) melebar, seraya dirinya merentangkan kedua tangannya.

"Then say you'll love me every waking moment! Say you'll share with me one love, one lifetime. Say you want me with you, here beside you."

(Name) tak menghilangkan senyumnya.

"Ayo Phantom, katakan apa yang kau inginkan, aku tahu kau menginginkan aku mengatakan itu, tapi sedikit memohon tidak salah, kan?"

Phantom menatap (Name) yang masih tersenyum lebar, tapi ucapannya barusan tidaklah cocok dengan senyum polos yang sedang sang dokter berikan sekarang.

'Ingatanmu mungkin memang tidak kembali, tapi sepertinya sifat naturalmu yang sadis sudah mendarah daging, dokter.'

Phantom menarik napas panjang, kemudian menatap lurus ke arah (Name).

"Love me-that's all I ask of you."

(Name) menepuk kedua tangannya yang terbentang, lalu berlari kecil mendekati Phantom-di luar dugaan memeluk sang laki-laki.

"I shall grant your wish, Phantom of Rhodes Island."

.

.

.

"Aku bisa mengambil banyak nyawa untukmu, tapi pertama-tama aku harus tahu bahwa aku tersadar sepenuhnya. Ada sesuatu yang mencoba untuk merasukiku. Dia tidak ingin aku turun dari panggung ini. Dia ingin nyanyian ini terus bergema selamanya ... bahkan dia ingin membunuhmu. Sebelum aku menjadi pembunuhmu lagi, aku harus mencari kebenarannya terlebih dahulu."

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top