geranium
Seorang bocah lelaki berlarian dengan semangat menelusuri jalanan kompleks rumahnya. Senyum terkembang di wajah bocah tersebut, merasa senang akhirnya dapat melepas penat seusai kegiatan sekolah yang melelahkan.
Matahari musim panas yang berterik tepat di atas kepala membuat semangat bocah tersebut semakin membara. Ia berhenti berlari ketika telah sampai di taman tempat bocah itu biasa bermain dengan teman-temannya.
Senyumnya memudar, matanya memandang kecewa taman bermain yang kosong dan tak ada siapa-siapa.
Sang bocah menghela napas, bertanya keberadaan teman-temannya dalam benak. Ia melangkahkan kaki dengan gontai menghampiri salah satu sisi taman, meneduh di bawah bayang-bayang pohon oak, merasa kesepian.
Angin berembus semilir menyejukkan. Bocah itu tenggelam dalam pemikiran hal apa yang harus ia lakukan seorang diri, hingga sebuah suara ranting pohon patah diikuti suara benda jatuh membuatnya kembali tersadar.
Penasaran, sang bocah berjalan ke sisi lain pohon. Matanya terbelalak mendapati seorang gadis tak dikenal sedang terbujur di atas hamparan rumput sambil merintih.
"Hei, apa kau baik-baik saja?" tanya sang bocah lelaki sembari menghampiri.
Gadis yang nampak sebaya dengan sang bocah merengut. Ia mencoba berdiri sendiri, "Aku baru saja jatuh dari pohon, tentu saja tidak baik-baik saja!"
"Apa yang baru saja kau lakukan dari atas pohon sampai terjatuh begitu?" Bocah berambut sehitam jelaga mengangkat alis heran. Gadis yang ditanya menanggapi dengan mengangkat jari telunjuknya.
"Tadi mau mengambil bunga itu, tapi aku tidak bisa."
Pandangan si bocah terarah pada objek yang ditunjuk oleh si gadis. "Aku bisa mengambilkannya untukmu."
Ia bergegas memanjat dahan-dahan pohon oak yang memang tidak terlalu tinggi dengan lincah. Diambilnya beberapa petik bunga dari daun-daun oak di ranting, lalu ia segera turun dan memberikannya ke si gadis.
"Terima kasih!" seru gadis itu riang.
Bocah berambut hitam mengangguk sambil tersenyum simpul. "Mengapa kamu sangat ingin mengambil bunga itu sampai membahayakan diri seperti tadi?" tanyanya, memandangi bunga berwarna kuning terang yang berada di genggaman tangan gadis di hadapannya.
Dia menyengir, "Aku butuh teman bermain. Aku kesepian ketika ke sini sendirian, tetapi ketika aku melihat bunga di atas daun pohon ini, aku merasa dia bisa jadi temanku," jelasnya. Tangan mungil gadis itu bergerak menyematkan sepetik bunga ke telinganya. "Bagaimana? Apa kelihatan bagus?"
Lagi, si bocah mengangguk. "Hei, mau bermain bersama tidak?"
Mata si gadis membulat senang. Sontak, ia berseru, "Mau!"
***
Yukimitsu Hima tak henti-hentinya menggerutu sebal semenjak beberapa belas menit lalu. Ia kini berada di depan gedung gimnasium yang sudah sepi. Kalau bukan karena permintaan Atsumu untuk menunggunya pulang bersama, Hima mungkin sekarang sudah sampai di rumah dan berbarinh di kasur nyamannya.
Tetapi baik Atsumu maupun sang kembaran semenjak tadi belum menampakkan hidung. Bahkan pesan spam gadis itu juga belum dibalas.
"Yukimitsu temennya Miya ya?" Hima menoleh kaget saat seseorang memanggil namanya.
Sosok lelaki bertubuh tegap dan bermata sipit yang mengenakan setelan jaket Klub Voli SMA Inarizaki menghampiri Hima yang tengah bersandar di luar dinding gimnasium sendirian.
"Iya. Anu, lihat Atsumu sama Osamu nggak?"
"Mereka sudah pulang dulu tadi."
Mendengar itu Hima mendelik. "Serius?" Mendadak kekesalannya naik ke ubun-ubun kepala.
"Klub Voli hari ini latihan sebentar cuma sampai sore," terang si pemuda. Ia adalah Suna Rintarouーsalah satu sosok middle blocker yang disegani di tim voli Inarizaki.
Mendengar itu Hima mendumel sendiri, "Bisa-bisanya mereka gak ngabarin kalau pulang duluan. Pantesan ini gimnasium daritadi tumben udah sepi!" Tatapan gadis tersebut beralih ke mata sayu pemuda di depannya. "Terus kamu kok baru pulang?"
"Aku kebagian beres-beres, sama ada keperluan tadi. Miya kembar serius gak ngasih tahu?"
Gadis berambut blonde cokelat mengangguk.
Bersamaan dengan itu, sebuah notifikasi pesan muncul di layar ponselnya. Bibirnya mendecih begitu membaca nama yang tertera di layar.
[Tsumu]
Sbb
Tadi bunda nyuruh buru-buru pulang duluan, mau ada acara sama keluarga besar
Ini tadi sampe dijemput
Sorry baru sempet ngabarin shshdj
Aku nitipin kamu ke Rin, awas klo dia ga nganterin kamu sampe rumah
hehe🌚
Hima menghela napas, menahan untuk tidak mengumpat teman dari jaman oroknya itu. Dan lagi, apa-apaan itu "hehe" sama emot di akhir pesan?
Gadis itu melirik Suna, "Ini dia baru ngabarin. Makasih ya, kalau gitu aku duluー"
"Tunggu."
"Hm?"
"Keberatan pulang bersama? Tsumu bilangー"
Buru-buru, Hima menyanggah dengan sedikit gelagapan, "O-oh gak usah gak apa ...," ucapnya canggung, lalu melenggang beranjak dari tempatnya berdiri terlebih dahulu.
Suna menaikkan sebelah alis melihat tingkah si gadis. Dari ekspresi bersungut, gadis itu beralih menjadi kikuk. Meskipun ajakannya telah ditolak, Suna tetap mengekor dari belakang, mengawasi jalannya sosok sobat karib si Kembar yang tadi sempat menitipkan pesan padanya juga.
Di penyeberangan jalan, Hima menunggu lampu merah dengan tidak sabaran dan sedikit gelisah. Katakanlah dia masih agak kesal dengan Atsumu yang membuatnya membuang sekian waktunya untuk menunggu dengan sia-sia. Hima juga mendadak terpikirkan apakah dia telah menolak secara kasar tawaran baik-baik Suna Rintarou tadi?
Kaki gadis itu melangkah ketika lampu baru berubah hijau, tanpa menelengkan kepala untuk mengecek kendaraan yang berada di jalan.
Bertepatan dengan itu, sebuah mobil yang nekat menerobos lampu merah hampir-hampir menyerempet tubuh si gadis kalau saja tubuhnya tidak ditarik seseorang.
"Hei, hati-hati," bariton suara berat nan lembut terdengar tepat di samping telinga Hima.
Ia menoleh ke sosok yang menariknya. Hima berjengit, "Kau mengikutiku?"
"Enggak, rumahku juga ke arah sini."
Gadis itu tersipu karena sudah kepedean.
"Lagipula Atsumu juga sudah berpesan padaku sekalian mengawasimu di jalan karena searah."
Hima tidak bisa mengelak lagi. Setelah mengucapkan terima kasih, dia membiarkan Suna berjalan beriringan dengannya.
Dia tengah perjalanan, ia menengok ke langit malam di atasnya. Bintang-bintang berkelip di atas langit membuat Hima berkedip untuk sekadar meyakinkan diri bahwa ia sedang tidak bermimpi.
Berjalan berdampingan dengan Suna dan dengan bersama. Pemuda yang sudah cukup lama Yukimitsu Hima sukai secara diam-diam.
"Terima kasih," kata Hima sambil mengulas senyum simpul begitu mereka berdua telah sampai di depan pagar rumah si gadis.
"Sama-sama," balas pemuda berponi belah tengah.
Atensi Suna tiba-tiba tertarik pada beberapa pot bunga yang diletakkan di depan pagar. Bunga-bunga tersebut sedang mekar dan warnanya indah berkontras dengan warna langit malam.
"Kamu penggemar bunga?" tanya Suna tiba-tiba.
Hima mengerutkan kening ketika mencoba mengikuti arah pandang si lelaki. Ia lalu menjawab, "Ibuku lebih tepatnya. Tapi aku tahu banyak karena ibuku."
"Ini namanya apa?" Suna menunjuk bunga-bunga yang bermahkota warna kuning.
"Geranium kalau tidak salah. Kenapa?"
Suna menggeleng pelan. Dia lalu menatap netra gadis di depannya. "Bukan apa-apa. Duluan ya,"
Suna Rintarou melenggang meninggalkan Yukimitsu Hima yang terpekur dengan benak heran di depan pagar rumah.
Angin malam berembus menyapa kulit sang pemuda. Di sela-sela langkah kakinya menyusuri jalanan malam, bayangnya mengembara berusaha memetakan hal familiar yang tiba-tiba terlintas di otaknya.
Hingga sesampai di rumah pun, Suna Rintarou belum menemukan hal yang sedari tadi mengganjal di sepanjang perjalanannya itu.
***
"Uhuy, gimana kemarin pulang bareng gebetan?"
Masih pagi dan Hima baru saja mendudukkan diri di bangkunya, suara Atsumu bikin gadis itu menoleh geram.
"Kau sengaja ya kemarin, 'Tsum?"
Hima jengkel sekali melihat senyum Atsumu yang menggodanya. Rasanya jadi pingin nimpuk, sungguh.
"Eits, ya enggak dong, Princess. Kemarin tuh bener-bener lagi ada acara dadakan, terus Rin kebetulan yang bagian beres-beres jadi sekalian aja minta tolong sambil ngasih peluang kawanku yang jones ini biar bisa pdkt!" jelas Atsumu sambil terkekeh sendiri. "Jadi gimana? Udah nanya nomer dia gak?"
"Mana ada," sahut Hima, "Yang ada kemarin dia malah nanya bunga depan pager rumah. Emang Suna suka bunga ya?"
"Nggak tuh, baru tahu." Atsumu mengendikkan bahu. "Ngomong-ngomong ntar anak voli mau makan siang bareng, join gak? Tenang, ada Rin."
Hima menggeleng ragu. Atsumu berdecak.
"Ayolah gak usah malu-malu. Biasanya juga malu-maluin gitu. Sampe kapan kamu gak mau gerak dan cuma mendem doang? Hima yang aku kenal tuh anaknya nyablak dan pemberani. Masaー" ucapan Atsumu terhenti karena guru telah memasuki kelas. Ia beringsut kembali anteng di bangku.
Yukimitsu Hima dalam hati bersyukur karena tidak perlu repot-repot memotong ceramah mendadak seorang Atsumu. Hima sedikit setuju dan tidak setuju dengan apa yang Atsumu ucapkan tadi.
Dia tidak setuju ketika Atsumu berbicara semudah itu, karena berpendapat tidak ada seorang pun yang paham tentang perasaan rumit bernama suka yang gadis itu rasakan, kecuali dirinya seorang.
Di lain sisi dia juga setuju, sejak kapan Hima jadi orang yang hampir-hampir berbeda hanya karena dihadapi dengan hal rumit berkenaan dengan perasaan?
Padahal selama ini dia selalu bisa menjadi gadis yang mengedepankan rasionalitas. Ternyata ia juga terjerembab di kubangan yang tak pernah ia kira.
***
"Cinta itu seperti mahkota bunga yang indah berseri dan harumnya memikat hati. Membuat tak ada seekor lebah pun yang tak tertarik untuk menghisap nektar madunya dan membuat candu."
***
"AAHー"
Gadis berkuncir kuda memekik takut.
Bocah lelaki di sampingnya terkikik tertahan melihat ekspresi panik si gadis.
"Apanya yang lucu?" tanya gadis itu heran.
"Ekspresi takutmu."
"Gimana gak takut kalau ada lebah yang hinggap di kepalaku?"
"Tapi dia cuma hinggap di bunga yang ada di kepalamu."
"Sama saja, itu membuatku takut."
Kedua bocah itu sekarang berada di ayunan taman bermain, mengobrol santai sambil menikmati angin musim panas yang berembus.
"Katamu kau biasa bermain bersama teman-temanmu di sini? Kemana mereka?"
Bocah lelaki berambut hitam menggeleng tak tahu. Ah, mungkin teman-temannya sedang tidak boleh keluar untuk main karena besok persiapan ujian akhir semester sebelum liburan.
"Sayang sekali," kata si gadis.
"Tak apa, aku jadi bisa bermain denganmu."
Gadis tersebut tersenyum riang. Bersyukur hari mengunjungi rumah saudaranya jadi tidak membosankan karena dia telah membuat keputusan nekat yang tepat untuk menyelinap keluar rumah dan bermain di taman dekat kompleks.
"Kau tahu, dari buku yang kubaca katanya lebah madu itu tidak bisa menyengat."
Si bocah lelaki menghentikan ayunannya yang bergerak, lalu menghadapkan tubuh ke arah gadis di sampingnya.
"Oh, ya? Lalu kenapa kau tadi takut kalau ia tidak bisa menyengat?"
"Ralat, ralat, bukan tidak bisa. Dia hanya bisa menyengat sekali lalu mati. Aku takut kalau dia menyengatku lalu dia mati. Tragis sekali kalau harus mati di musim panas yang indah," jelas si gadis panjang lebar. Bocah lelaki yang mendengarnya pun jadi terkagum.
Ia lalu terkekeh lagi, "Ada-ada saja penjelasanmu."
"Huh, kau tidak percaya? Kapan-kapan kalau aku main ke sini lagi akan kubawakan bukunya."
"Nggak, nggak. Aku percaya, kok."
Bocah berambut hitam mengembangkan senyum tipis. Mata sayunya masih menatap kagum gadis bermahkota cokelat dengan masih berhias kelopak bunga warna kuning di selipan telinganya.
"Lagipula di antara banyaknya bunga di taman ini kenapa dia memilih hinggap di bunga yang ada di kepalaku sih?"
"Entahlah, mungkin karena kamu juga manis?"
"Hah?"
***
"Yukimitsu?"
Hima mengejap-ngejap tak percaya ketika menengok ke pemuda yang memanggil namanya. Ya, mendengar suara si pemuda saja bisa bikin dia jantungan, apalagi mendapati eksistensi seorang Suna Rintarou yang kini ada tepat di sebelahnya.
"Oh, Suna. Kebetulan sekali."
"Sedang beli bunga baru?" tanya Suna melirik pot bunga yang ada di tangan Hima saat ini.
"Iya, permintaan ibu. Kau sendiri?" Hima ganti bertanya, pasalnya ia heran kebetulan bertemu dengan Suna di toko bunga yang sedang ia kunjungi. Suna Rintarou benar-benar menyukai bunga? batin Hima menerka-nerka.
"Kebetulan kau ada di sini, boleh minta tolong?"
Hima sama sekali tak keberatan, maka ia langsung menganggukkan kepala. Suna berkata dia membutuhkan saran pembelian bunga untuk seorang rekan cewek dari Tokyo yang hendak berkunjung ke Hyogo besok.
"Kenapa bunga? Apa kau mau menyatakan cinta?" tanya Hima to the point, sekalian sedikit menggoda Suna yang kelihatan kebingungan.
"E-enggak. Entah kenapa, bunga adalah yang terbersit pertama di pikiranku."
"Katamu rekanmu ini seorang model 'kan ya, kupikir pot bunga kecil untuk ditaruh di nakas cukup bagus sebagai hadiah. Hm, bunga apa ya tapi?"
Hima memimpin langkah memutari rak-rak toko bunga. Mengira-ngira jenis bunga yang kiranya cocok.
Suna yang mengikuti dari belakang menyeletuk, "Bunga yang di depan rumahmu waktu itu apa?"
"Ah ... itu geranium, istilah umumnya tapak dara."
"Itu saja, kurasa bagus."
Mata Hima berbinar setuju. "Kalau gitu tinggal pemilihan warnanya saja. Merah yang ini atau putih yang itu menurutmu?"
Dahi Suna berkerut tak paham. "Apa bedanya?"
Hima mengembangkan sudut bibir. "Begini, kalau kau mau memberi hadiah bunga pada seseorang, alangkah baiknya mempertimbangkan makna bunga tersebut terlebih dahulu," ujar gadis itu. Ia lanjut menjelaskan, "Geranium merah dan putih sama-sama bagus sebagai hadiah untuk diberikan ke orang spesial. Bedanya yang putih netral dan lebih ke esensi keindahannya, sedangkan yang merah bisa bermakna mendoakan keberuntungan."
Suna terperangah kagum, meskipun ia tak sepenuhnya paham. "Hebat sekali, kau tahu banyak," katanya sambil tersenyum.
Hima mendadak tersipu mendengar secuil pujian dari Suna. Dia berdeham untuk menenangkan diri. "Ekhem, kurasa karena temanmu ini model yang super sibuk, ada baiknya memberinya bunga merah sekaligus mendoakan keberuntungan untuknya, bagaimana?"
Tak perlu waktu lama bagi Suna untuk menyetujui saran cemerlang dari Hima. Setelah itu keduanya bergegas menuju kasir. Suna yang sudah menyelesaikan pembayaran barangnya menunggu di luar, dan terheran ketika melihat Hima keluar dengan menenteng dua pot bunga.
"Ini, buatmu."
"Aku hanya perlu satu bunga untuk rekanku. Dua terlalu banyak."
Hima menggeleng-geleng. "Aku bilang ini buatmu, bukan buat rekanmu itu," jelasnya sambil mengeluarkan kekehan kecil.
Sebuah pot berisi bunga geranium pink diberikan oleh Hima dan diterima Suna dengan heran.
"Apa ini artinya?"
Yukimitsu Hima tak membalas. Dia hanya mengulas senyum dan bergegas beranjak sambil melambaikan tangan. "Duluan ya!"
***
Hima masih tidak menyangka dengan perbuatannya sendiri yang ia lakukan tadi.
Ia juga tidak tahu terbersit darimana pikiran untuk tiba-tiba memberikan Suna se-pot bunga geranium pink, yang secara implisit menyatakan makna pengakuan perasaan gadis itu.
Argh! Mengingatnya saja membuat Hima malu sampai ke ubun-ubun.
Tapi Suna tidak tahu artinya kan? Mungkin bagi Suna, ia akan menganggap itu hanyalah pemberian semata. Mungkin Suna juga tidak akan sepenasaran itu untuk mengorek pesannya. Atau bisa jadi juga sebaliknya.
Apapun itu, Hima memutuskan untuk tidak mengambil pusing. Ada secercah perasaan lega yang mengalir di dadanya. Ia merasa tadi tak sebegitu kikuk seperti biasanya ketika bertemu dan berbincang dengan sosok Suna Rintarou.
Hima tak pernah berharap perasaannya diketahui oleh Suna. Ia berencana memendamnya sendirian. Kalaupun pemuda itu tahu, Hima juga tak menaruh harapan mendapat jawaban atau balasan atas perasaannya.
Maka ketika keesokan harinya di depan pagar rumah ia menemukan se-pot bunga geranium kuning cerah dan seamplop surat, Hima bingung bukan kepalang.
Untuk : gadis berkucir kuda yang kutemui di taman, musim panas 10 tahun lalu
Ketika pertama kali melihat rambut cokelatmu, kau mengingatkanku pada warna daun oak yang menua.
Ketika pertama kali melihat senyum dan tawamu saat kau bersenda-gurau bersama sobat karibmu si Miya Kembar, kau mengingatkanku tentang cerah dan terik mentari musim panas di hari itu.
Ketika mendengarkanmu menjelaskan makna bunga di toko bunga kemarin, mengingatkanku tentang ocehan sengatan lebahmu di hari itu.
Momen tersebut sangat berkesan bagiku, dan sayang sekali aku hampir-hampir tak mengingatnya untuk waktu yang lama.
Hingga beberapa hari lalu ketika kita pulang bersama, aku baru kembali samar-samar teringat dan ingatan itu seiring hari semakin jelas. Aku tidak tahu apakah kau mengingatnya juga atau tidak, semoga aku tidak salah orang. haha.
Aku mencari tahu arti bunga pemberianmu dari internet, dan kalau aku tidak salah memaknai, sebagai gantinya biarkan aku memberimu ini. Aku yakin dengan pengetahuanmu kau pasti mengerti, 'kan?
Terima kasih, dan maaf karena belum bisa secepat itu menuangkan rasa yang sama.
Namun kuharap, setelah ini kita tidak hanya menjadi sebatas 'teman bermain di hari itu saja'.
-Suna Rintarou
Yukimitsu Hima meringis ketika usai membaca surat tersebut. Tidak tahu kalau Suna bisa menjadi sosok semenyentuh itu.
Dia kembali memandang pot bunga pemberian si pemuda.
Bunga geranium kuning daun pohon oak. Bermakna pertemanan sejati.
Dada gadis itu bergemuruh oleh gelombang perasaan campur-aduk. Haru dan pilu bercampur jadi satu.
Tentu saja Hima mengingatnya. Hima mengingat momen salah satu hari terbaik di musim panasnya kala itu. Ia tak pernah melupakan mata sayu dengan tatapan meneduhkan seorang Suna Rintarou.
Dan bukan hanya karena kebetulan semata ia bisa tiba-tiba bergumul dengan perasaan yang bak bunga berseri di hatinya saat bertemu pemuda tersebut di SMA.
Dia menyukai Suna Rintarou bukan karena pemuda itu adalah middle blocker dari tim voli Inarizaki yang disegani banyak orang.
Bukan juga karena Suna Rintarou adalah teman akrab dari dua kawan sejawat semenjak masa kecilnyaーsi Miya Kembar.
Ia menyukai pemuda itu karena dia adalah Suna Rintarou yang Hima temui di satu hari musim panas kala itu.
Di pagi hari yang cerah, Yukimitsu Hima menahan air matanya untuk tidak menetes. Dia mendongak ke langit biru yang bersih tanpa dihiasi gumpalan awan. Mencoba untuk tersenyum.
Hima kira, hanya ia sendiri yang mengingat semuanya. Ternyata ia salah.
Memang benar mereka berdua berbagi momen berkesan yang sama. Namun, ironinya masing-masing dari mereka berdua saat ini tidak berbagi perasaan dan hati yang sama pula. []
fri(E.N.D)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top