Eucalyptus

.

.

.

Fandom: Arknight
Executor x Doctor!Reader

.

.

.

"Anda bisa fokus pada pekerjaan Anda, dokter. Semua bom sudah pada posisi mereka, dengan begitu tidak ada yang akan mengganggu pekerjaanmu, ataupun waktu istirahatmu, dokter."

(Name) yang sedang mengerjakan laporannya, spontan mengangkat kepalanya dengan ekspresi kaget.

"Kau APA!?"

"Anda tidak perlu khawatir, akan saya pastikan Anda tidak menginjak bom tersebut."

(Name) menggeleng.

"Executor," nama asisten (Name) terlontar, "masalahnya bukan itu. Bagaimana jika ada operator muda yang tidak sengaja menyentuhnya—seperti Vermeil atau Popukar?"

Executor terdiam cukup lama, sebelum akhirnya mengangguk.

"Kalau begitu, saya akan menginfokan semua operator Rhodes Island yang masih muda untuk berhati-hati—"

"Itu terlalu merepotkan!" potong (Name), "lepaskan saja bomnya, itu lebih mudah."

Exexutor terdiam, sebelum akhirnya menatap (Name).

"Menurut saya memberitahu mereka lebih mudah."

(Name) berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya menghela napas lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali.

"Bagaimana kalau aku sendiri yang terganggu dengan keberadaan bomnya?"

Kali ini alis Executor berkerut.

"Dokter merasa terganggu?"

(Name) diam-diam merasa bersalah karena sudah membuat asistennya ini merasa sedih. Namun (Name) segera memendam rasa bersalah itu lalu mengangguk mantap.

"Aku tahu kau akan memastikan bahwa aku tidak akan menyentuh bomnya, namun human error adalah salah satu hal yang tidak bisa diprediksi oleh siapa pun, Executor."

Executor kembali terdiam, dan pada akhirnya mengangguk.

"Baiklah, jika Dokter berkata demikian. Saya akan segera melepaskan semua bomnya."

'Memangnya ada berapa bom yang kau pasang?' pikir (Name) melihat Executor keluar dari ruang kerjanya.

Beberapa saat kemudian ruang kerja (Name) menjadi sunyi. Sang dokter menghela napas panjang lalu menatap pintu kantornya.

Jika ditanya apakah (Name) terganggu dengan sifat Executor, maka jawabannya tidak.

Tidak setelah Executor berterima kasih pada (Name) karena bersikap biasa saja pada Executor, tidak seperti operator atau staff Rhodes Island yang lain. (Name) menutup matanya sejenak, lalu kembali menghela napas.

'Namun ada beberapa hal yang tidak bisa kubiarkan begitu saja,' pikir (Name), 'seperti ini salah satunya.'

(Name) membuka matanya saat mendengar suara pintu ruangannya dibuka, dan melihat Executor dengan setumpuk kertas di tangannya.

"Setelah saya membereskan bom, Operator Amiya datang dengan membawa semua kertas ini. Operator Amiya juga bilang bahwa semua kertas ini sudah harus selesai hari ini," jelas Executor panjang lebar, meletakan tumpukan kertas itu di atas meja kerja (Name) yang kosong.

(Name) tertawa hambar menyadari hari ini dia akan lembur lagi.

"Aah, karena ada pekerjaan yang lebih penting, aku rasa pekerjaan lain bisa menunggu," ucap (Name) mulai mengumpulkan kertas yang berhamburan di atas mejanya.

"Dokter bisa fokus pada pekerjaan dokter, saya akan merapikannya."

(Name) berkedip beberapa kali saat melihat Executor dengan cekatan mengambil semua kertas laporannya, kemudian menyusunnya di lemari yang berada tak jauh dari mejanya.

"Ah, terima kasih, Executor," sahut (Name) tersenyum—sebelah tangannya meraih kertas yang akan dia kerjakan.

'Setidaknya Executor adalah asisten terbaik dalam urusan pekerjaan,' pikir (Name) tersenyum senang, kini fokus mengerjakan pekerjaannya.

.

.

.

"Operasi di Lungmen?"

"Eh, bukannya memang ada operasi?" kaget (Name) saat Executor menatapnya sambil memiringkan kepalanya—seperti baru mendengarnya pertama kali.

"Mohon tunggu sejenak, Dokter," ucap Executor membuka folder operasi mendatang.

(Name) menggaruk kepalanya.

'Seharusnya ada, kan? Karena aku sudah menyuruh operator yang terlibat untuk bersiap.'

"Ah."

"Bagaimana, Executor?" tanya (Name) saat mendengar suara asistennya.

"Ternyata memang ada operasi di Lungmen hari ini," ucap Executor memegang beberapa lembar kertas, "terlebih lagi, saya ikut dalam operasi ini."

"Oh, aku memang belum memberitahumu, maaf," jelas (Name) mendekati Executor, "hari ini kau hanya menemaniku sebagai asisten, bukan sebagai operator."

"Tapi tetap saja, sebagai asisten Dokter setidaknya saya harus tahu jadwal Anda selama satu hari ini, walaupun tidak Anda beritahu karena sudah ada jadwalnya."

(Name) menghela napas, lalu tersenyum sambil menjitak kening Executor—mengagetkan sang laki-laki.

"Dokter ...?"

Senyum (Name) melebar saat melihat ekspresi Executor.

"Ini yang dinamakan human error, Executor."

.

.

.

"Hm, sejauh ini sudah sesuai dengan strategi," gumam (Name) melihat para operator melakukan tugas mereka melawan Reunion, "Executor—apa perekamnya bekerja seperti biasa?" tanya (Name) melirik ke sebelahnya.

Executor mengangguk singkat, melihat perekam yang sejak awal sudah bekerja. Hasil dari rekaman ini tentu akan berguna bagi para operator baru ataupun operator lama.

"Bagus, sekarang kita hanya perlu—"

"Dokter! Ada musuh dari arah jam enam darimu!"

Saat mendengar teriakan salah satu operator—Nearl—(Name) refleks menoleh ke arah belakangnya. Irisnya melebar saat melihat seorang musuh memegang pedang yang siap menyerang dirinya.

Namun semuanya terjadi dengan cepat. (Name) melihat seseorang menarik tubuh (Name) ke belakang, dan orang itu mengangkat tangan kirinya—membiarkan tangannya yang menerima serangan musuh.

(Name) merasa jantungnya melewati satu detakan saat melihat darah yang keluar dari tangan si penyelamat, dan saat itu juga (Name) mengenali penyelamatnya—yang tak lain dan tak bukan adalah Executor.

"Executor—"

Tangan kanan Executor dengan cepat menarik senapan miliknya, dan langsung menembak musuh. Saat sang musuh sudah jatuh, Executor langsung menoleh ke arah (Name).

"Dokter, apa kau baik-baik saja? Tidak ada yang terluka?"

(Name) berkedip beberapa kali, begitu tersadar dia langsung menggeleng kuat.

"Apa maksudmu!? Jelas-jelas yang terluka itu kau!" (Name) menoleh ke arah para operator, "tim medis—"

Namun (Name) menghentikan ucapannya saat menyadari bahwa semua operator yang dia bawa sedang sibuk dengan tugas mereka.

"Ini bukan apa-apa," sahut Executor mengangkat tangan kirinya, "yang penting dokter baik-baik saja, itu prioritas kita sekarang."

(Name) mendengus kesal.

"Dan kau tahu aku baik-baik saja, prioritas selanjutnya adalah lukamu."

"Tidak perlu khawatir, dokter—aku sudah sering mendapat luka seperti ini, jadi aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang," ucap Executor merogoh sesuatu dari tasnya.

(Name) melihat Executor mengeluarkan perban dan alat pertolongan pertama lainnya. Lalu dengan cekatan dirinya mengurus lukanya, dimulai dari membersihkan lukanya dengan air, lalu memberinya antiseptik kemudian membalut lukanya dengan perban.

Executor yang selesai dengan pekerjaannya, menyadari bahwa (Name) tidak berkata apa-apa. Dirinya menoleh ke arah (Name), mendapati sang dokter masih menatap lukanya dengan syok.

"Dokter, kau bilang kau tidak apa-apa, tapi wajahmu pucat," komentar Executor menyadarkan (Name).

"Ah!" (Name) menoleh ke arah Executor, "aku tidak apa-apa, tapi kau tidak!"

Napas (Name) mulai tidak teratur, dirinya mulai panik.

"Seharusnya aku bisa memprediksi ini, aku selalu memastikan tidak ada satu pun dari kalian terluka parah setiap kita ada operasi, di mana pun itu, tapi lihat apa yang terjadi!"

Ocehan (Name) terus terlontar tanpa henti.

"Dokter," Executor kembali memanggil (Name), namun sang dokter tidak berhenti.

Tangan kanan Executor terangkat, lalu memegang pundak (Name) dan sedikit menggoyangnya—sukses membuat (Name) berhenti dan menoleh ke arahnya.

"Untuk sekarang, fokuslah pada operasi terlebih dahulu."

Iris (Name) melebar—seolah dirinya baru saja sadar karena disiram air es. (Name) langsung menjadi tenang dan menoleh ke arah para operator yang sedang berjuang melawan Reunion. Ekspresi kepanikannya kini berubah datar dengan ketenangan yang jelas terasa.

"Kau benar, Executor. Mari kita selesaikan masalah yang ada di depan."

.

.

.

"Kerja bagus, dokter~" ucap Myrtle saat mereka semua dalam perjalanan kembali ke Rhodes Island, setelah operasi di Lungmen sukses total.

Setidaknya itulah yang dipikirkan para operator.

(Name) sendiri hanya tersenyum lemah menanggapi ucapan Myrtle, setelah itu dirinya kembali menatap kosong jalan di depannya. Executor yang sedari tadi berada di sebelahnya, tidak mengatakan apa-apa.

'Banyak operator yang bilang bahwa dokter yang dulu tidaklah seperti dokter sekarang.' Executor menatap para operator yang berjalan di depan mereka berdua, 'setidaknya, apa yang mereka ucapkan, memiliki maksud yang positif.'

"Dokter."

"Hm?" (Name) menoleh ke arah Executor dengan lemah, namun sorot matanya yang panik tidak bisa membohongi bahwa (Name) masih khawatir pada Executor.

"Dokter itu manusia," ucap Executor membuat (Name) mengangkat sebelah alis dengan heran, "oleh karena itu dokter tidak harus sempurna dalam segala hal, kesalahan itu hal yang lumrah."

"Ini bukan kesalahan yang dianggap sepele, Executor," balas (Name) mengerutkan alisnya—kedua tangannya mengepal kuat, "bagaimana kalau tangan kirimu terluka lebih parah? Bagaimana kalau tangan kirimu tidak bisa digunakan lagi? Bagaimana kalau—"

"Tapi itu semua tidak terjadi, dokter," potong Executor, "semua itu hanyalah skenario 'what if' yang tidak pernah terjadi."

"Tapi tetap saja," protes (Name).

"Apa dokter mengatakan bahwa aku harus diam saja saat melihat pedang itu mengenai dokter?" tanya Executor membuat (Name) tertegun sebelum akhirnya mengangguk.

'Sepertinya dokter tidak menduga aku akan melindunginya.'

"Dokter, apa dokter sadar pedang itu mengarah ke kepala dokter? Salah satu bagian vital dokter?" tanya Executor.

(Name) tidak menjawab.

"Sekarang kita kembali ke skenario 'what if', bagaimana jika dokter mengalami luka fatal dari serangan itu? Bagaimana kalau hal itu membuat dokter tidak bisa membantu Rhodes Island lagi?"

"Itu tidak mungkin terjadi," jawab (Name) langsung.

"Hal itu juga berlaku untuk skenario 'what if' dokter barusan," balas Executor.

(Name) menggerutu pelan, berdebat dengan orang dengan logika tertinggi adalah kesalahan besar.

"Tidak bisakah kau memikirkan faktor perasaan dalam kasus ini, Executor?"

"Ada beberapa orang yang memikirkan faktor perasaan dalam kasus ini, yang salah satunya adalah kau, dokter," sahut Executor membuat panah imajiner menusuk (Name), "tapi tidak untukku."

"Jadi kau merasa menang debat karena tidak memikirkan perasaan," gerutu (Name) mengerutkan alis tak suka.

Executor menatap (Name) yang mengoceh pelan, kemudian menoleh ke depannya. Para operator sudah cukup jauh, mereka bahkan mungkin tidak sadar bahwa dirinya dan (Name) sudah tertinggal jauh. Setelah itu Executor kembali menoleh ke arah (Name) lalu menepuk pundak sang dokter.

"Dokter."

Panggilan dari Executor kembali menyadarkan (Name). Sang dokter berhenti lalu menoleh ke arah Executor, yang tiba-tiba menjitak keningnya, mengagetkan (Name).

"Eh ...?"

Dua sudut mulut Executor sedikit naik, tidak ada yang menyadarinya—termasuk Executor itu sendiri.

"Ini yang dinamakan human error, dokter."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top