Columbine

Jika dirimu mementingkan barang mati yang berharga, maka kuburkanlah sebuah perasaan sebelum hal itu bermekar dan bernilai

.

Tumpukan tanah kentara sulit terkumpul berkat bekas dari deras hujan pada malam hari; membuatnya lebih berat dan lembab. Tetapi bagi seseorang yang memiliki tanggung jawab dalam pekerjaan, terlebih imbalan dari koin emas berharga, ia harus menyelesaikan tugas sesuai janji dan keinginan dari penyewa jasa. Bermodalkan sekop dan cahaya bulan pada pukul satu malam, sosok lelaki telah berkehendak menghasilkan kedalaman lubang yang ia inginkan selama setengah jam. Di mana tidak memakan waktu terlalu lama, tetapi memakan banyak tenaga hingga cucuran keringat. Untunglah kebaikan hati dari klien melebihi cukup untuk memenuhi perutnya saat potongan daging guling serta beberapa buah roti diberikan pada waktu makan malam. Selama lubang tersebut cukup besar guna dimasukkan sebuah peti-- Andrew Kress, pemilik rambut panjang seleher berwarna pirang pudar itu memberhentikan gerak sekop sebelum meletakkannya secara tergeletak di atas permukaan tanah. Menggunakan punggung tangan untuk membersihkan keringat mengalir ada pelipis, kini ia harus memasukkan peti seorang diri.

Secara pelan-pelan? Bahkan manusia dengan otot tangan sekuat apapun tidak akan mampu menopang seluruh bebannya, tetapi bisa dilakukan jika bermodalkan dorongan. Walaupun sang lelaki amat tahu bahwa peti tersebut akan terbanting--- sang klien juga tidak akan peduli dan berkomplen. Jika ditanyakan permasalahan tentang rasa manusiawi, mungkin seseorang akan kembali memikirkan keadaan raga yang telah tiada. Tetapi saat sepasang tangan itu sudah sekuat tenaga mendorong beban peti dari bagian ujung hingga terjatuh sempurna pada dasar lubang berbentuk persegi panjang, bukan suatu halusinasi atau gertakkan horor saat sebuah teriakan tertahan mulai menggema dari dalam peti yang tertutup rapat. Tidak ada gedoran, hanya teriakan, Andrew pun sedikit meringis serta terkekeh canggung setelah merasakan sensasi berulang; walaupun tali telah mengikat sekujur tubuh dan kain yang mengatup rapat bagian mulut-- tetap saja suara dapat terhasilkan dari sosok manusia. Masih sadar? Tentu. Maka, memang benar, semua orang harus mempertanyakan rasa manusiawi dari sosok bernama Andrew Kress.

Walaupun sang lelaki memang melakukannya demi uang.

"Tidak, tidak." Andrew bergumam selagi tangan kembali mengambil sekop sedangkan satu tangan lagi secara perlahan mengusap depan dada guna menghibur diri. "Ini adalah pekerjaanku, semuanya kulakukan demi uang. Aku tidak memiliki urusan apa-apa tentang hidup dan mati."

Kalimat tersebut memang dikeluarkan demi menjadi sugesti, menutupi rasa kesalahan-- mengelak perbuatan keji dan tidak benar, tetapi Andrew terus menerus melakukannya seiring kedua tangan mulai menggengam ganggang sekop untuk meraih kembali tumpukan tanah.

"Lagipula salahmu sendiri, Tuan, karena telah membuat musuh dari kesombonganmu. Jika saja dirimu rendah hati, tidak ada orang yang rela membuang seperempat kekayaannya kepadaku yang tidak berguna ini untuk menguburimu."

Andrew tetap saja menggumam, seperumpama seseorang yang tidak ingin ikut campur walaupun secara betul memiliki keterlibatan kental; jika saja pekerjaan kotor tersebut ketahuan-- maka sebanding pula kehidupannya akan berakhir. Tetapi demi merasakan kejayaan dari kepuasan harta, sang lelaki tak berhenti menimbun atas peti dengan tumpukan tanah, di mana keheningan diisi oleh teriakan yang semakin lama terpendam serta kematian mulai memakan perlahan sang korban malang pemilik dosa umum.

"Aku akan mendoakanmu." Andrew terengah-engah, bukan karena kelelahan melainkan merasakan suatu tekanan yang biasa ia rasakan saat melakukan pekerjaannya. "Tuan, dirimu harus melihat kalung salib yang mengitar di sekitar leherku, maka kau tidak perlu khawatir karena dirimu akan didoakan."

Andrew menancapkan ujung sekop setelah tumpukan tanah telah membentuk sebuah pemakaman di mana batu nisan dengan identitas palsu menjadi suatu pelengkap ironi. Salah satu tangan meraih lambang salib selagi punggung ditegapkan--- menangkap teriakan terpendam melalui indra pendengaran kentara membuat sang lelaki menjadi gatal untuk segera pergi dari sana. Tetapi sesuai janji personal, ia tetap bertahan untuk berdoa setelah salib tersebut diangkat pada hadapan wajahnya seiring kedua kelopak mata terpejam. Mulutnya bergerak tanpa bersuara selayak melontarkan kalimat dalam hati; berisikan pengampunan terhadap seluruh pihak, tetapi entah mengapa, ia sama sekali tidak meminta pengampunan untuk dirinya sendiri. Apakah benar sang lelaki menganggap perbuatannya bukanlah perbuatan noda hitam?

"Lantas berikanlah mereka kesempatan kedua? Aku kira dirimu adalah manusia egois yang akan menyalahkan mereka karena sebuah dosa. Sama seperti yang kau katakan tentang kesombongan."

Kelopak mata Andrew mendadak terbuka lebar setelah menangkap suatu suara yang kentara membuatnya tidak percaya bahwa terdapat orang lain pada daerah pemakaman terlantar, kalimat di mana melakukan ekspos doa dan juga pendapat pribadi dengan suara meremehkan. Di mana eksistensi itu jelas terlihat karena muncul tepat pada hadapannya, menduduki atas batu nisan dengan jubah gelap serta tebal--- menyilangkan kaki dengan sikut lengan yang menopang, membuat telapak tangan menahan dagu saat punggung dengan sengaja dibungkukkan. Senyuman semakin melebar bersamaan kedua mata menyipit, helai panjang berwarna [Hair Colour] terikut hempas angin malam yang dingin.

"A-Ah." Bodoh, hampir saja lelaki itu berteriak jika saja ia tidak menyadarkan dirinya tentang situasi. Bahkan saat sepasang pupil memandang Andrew dengan garis tajam selayak seekor kucing-- sang lelaki tahu betul bahwa yang memergokinya bukanlah sesosok manusia biasa, tetapi bukan pula seorang malaikat.

"Dia akan mati sebentar lagi." Sosok wanita itu menunjuk ke arah bawah dengan jari telunjuk di mana satu tangan lainnya dalam keadaan bebas. Kepala sedikit dimiringkan bersamaan dengusan geli diperdengarkan. "Dan saat dia mati, dirimu memang lebih mementingkan uang dibandingkan sebuah nyawa."

Andrew meneguk ludah selagi mendengarkan, menatap sosok cantik dan mematikan dengan kepala sedikit mendongak berkat ukuran batu nisan terpajang. Apa yang harus dikatakannya justru lebih sulit dibandingkan berlari kabur-- berharap ia mengalami sebuah halusinasi atau kejadian supernatural yang bertujuan hanya untuk menggertaknya saja. Ah, benar-benar, memang sudah benar melarikan diri adalah pilihan tepat, tetapi wanita itu jelas memiliki sisi memikat di mana sukses mempertahankan pijakan sang lelaki; merasukinya dengan intimidasi dan kebingungan pikiran.

"Apakah aku harus menyelamatkannya?" Bodoh, dua kali kebodohan. Perkataan Andrew sukses membuat sang wanita tertawa.

"Aku bukan tuhanmu!" Perkataan tersebut dilontarkan sekuat tenaga pada sela tawaannya. "Apa yang sudah kau lakukan tidak bisa diperbaiki dengan satu tindakan benar. Tetapi dirimu sudah cukup pintar karena tidak ketahuan sampai saat ini."

Andrew semakin panik saat mengetahui bahwa wanita di hadapannya memiliki informasi lengkap, tetapi dengan reaksi serta interaksi mereka-- sang lelaki memang bisa menduga bahwa diri tidak dilaporkan semenjak dahulu, wanita ini hanya terus menyaksikan dengan mulut tertutup. Dan Andrew yakin bahwa lawan bicaranya bukanlah sesosok manusia, tetapi mungkin hanya meminjamkan rupa untuk memudahkan komunikasi dua arah mereka. Tetap saja, kepanikan masih merasuki seluruh tubuh Andrew Kress, pandangannya mulai berubah menjadi buyar secara perlahan; bukan karena ketakutan, melainkan intimidasi sang wanita yang menatapnya seperti menyerap energi dari seluruh tubuh. Lantas benar saja sebelum sang lelaki bisa menjawab, penglihatannya mulai menggelap seiring pandangan masih berusaha menangkap gerak mulut sang wanita tersebut.

"Jangan

Pikir

Ini

Hanya

Mimpi."

.

Suasana itu sangatlah indah. Saat sang pria mengingat tentang sosok pemilik rahim yang melahirkannya, ia selalu merindukan sebagaimana pelukan tersebut menghangatkan seluruh tubuh rapuh dan menyedihkan. Mengusap puncak rambutnya dengan senyuman gundah--- memberi semangat melalui tatapan dan perkataan.

Sang ibu tidak pernah menyesal walaupun ditakdirkan melahirkan seorang anak abnormal pada mata masyarakat; pemilik kulit pucat dan berfisik aneh, pada jaman sedemikian tidak bisa dijelaskan melalui medis.
Maka dari itu, masyarakat hanya memanggil manusia tersebut sebagai sesosok monster.

"Kau lihat itu, Andrew?"

Sang ibu menunjuk dengan gerak lemah di mana tubuh kurusnya membawa tubuh mungil menuju suatu lapang rumput hijau.

"Bunga tersebut bernama columbine dan ibu amat sangat menyukai bunga itu. Kelak kau akan tahu dan ibu ikut pula berharap perjalanan hidupmu membawa arti demikian."

Kedua mata Andrew melihat rupa bunga berwarna keunguan dari kejauhan, berderet indah dan sangat cocok terpandang saat langit senja berpadu. Anak tersebut tersenyum, ia belum cukup mengerti untuk menanyakan apa arti dari bunga tersebut.

Karena ia hanya tahu bahwa sang ibu selalu mendoakan yang terbaik untuknya.

.

Kedua kelopak terbuka perlahan saat cahaya pagi merambat masuk melalui sela jendela pada rumah sederhana yang berada tepat di pinggir kota-- menghirup wangi khas rerumputan membuat sang lelaki merindukan sebagaimana sosok ibu menyiapkan sarapan sederhana untuknya. Tetapi kentara harus menerima kenyataan, ia telah hidup sendiri dan dipaksakan untuk bertahan hidup oleh takdir. Menyadari indra penglihatan tetap sedikit membuyar saat menatap langit rumah; Andrew amat tahu hal tersebut akan semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Karena suatu penyakit seakan merasa tidak senang dengan kehidupannya yang padahal sudah cukup kacau. Memutuskan bangkit duduk dari atas kasur--- sang lelaki merasa seperbagian tubuh digerogoti oleh rasa pegal. Apakah ia tidur dengan tidak nyaman?

"Mimpi?" Andrew bergumam, tetapi saat mengalihkan pandangan; sang lelaki membuang jauh harapan itu setelah mendapati bekas injakan tanah dari permukaan lantai kayu. Sedikit membelalak--- mengingat kembali sosok gadis dengan penampilan yang tidak bisa dikatakan sebagai manusia biasa tersebut.

Jantung berdetak kencang, rasanya Andrew tidak ingin beraktifitas pada hari itu juga.

Tetapi, mau bagaimanapun, sang lelaki harus memulai hari sebisa mungkin. Mengingat persediaan makanannya tidak didapat dari bertanam, di mana ia tidak bisa melakukan itu, Andrew mau tidak mau harus memasuki daerah perkotaan walaupun hanya berkunjung menuju pasar saja. Benar, cukup datang untuk membeli beberapa bahan seiring menghindar dari kerumunan, Andrew bisa kembali dan menikmati hari dengan tenang seorang diri; tanpa harus membayangkan banyak bisikan yang menghakimi penampilannya. Atau memang bisa demikian? Atau sang lelaki malah kembali membayangkan kejadian malam sebelumnya di mana seorang gadis memergokinya dengan tatapan tajam? Jikalau saja memang bisa diputuskan-- Andrew ingin menganggap eksistensi tersebut hanyalah halusinasi yang menghantui benak. Maka untuk menenangkan diri, sang lelaki mulai memijak permukaan bersamaan langkah diberikan menuju daerah jendela, saat mimpi indah itu diingat kembali--walaupun sedikit menyedihkan baginya--Andrew mampu menangkap pemandangan ladang bunga columbine dengan cukup jelas. Ulasan senyuman terpasang cukup lebar di mana kedua kelopak sedikit menyipit.

"Jangan khawatir." Andrew berusaha menenangkan diri, menggantikan ingatan tentang sosok mencekam pada atas batu nisan dengan rupa ibunya. Senyuman mengerikan seakan mengancam perlahan musnah dengan senyuman lembut serta penyayang. "Ibu pasti masih mengamati dan melindungiku. Walaupun jika memang benar perbuatanku adalah hina, setidaknya aku ingin tetap bernapas demi sosoknya."

Setelah itu, sang lelaki memang mencoba untuk tak mengingat kembali. Memutuskan membersihkan lebih dahulu bekas tanah kering yang membuat jalur kotor pada permukaan tanah---di mana Andrew menganggap bahwa ia setengah sadar membawa tubuh beristirahat--ia beralih membersihkan diri sebelum melakukan perjalanan menuju daerah kota. Di mana jaman demikian membutuhkan sedikit usaha, dan kenyataan bahwa Andrew tinggal cukup dari titik modernisasi, ia diharuskan mengambil air dari dalam sumur yang tidak jauh dari belakang rumahnya. Mengganjal perut dahulu dengan sepotong roti, sang lelaki tidak ingin memakan waktu lama dalam bersiap-siap. Karena semakin matahari memuncak, Andrew Kress amat membenci sebagaimana cahaya itu membasuh pandangannya.

.

Gadis tersebut menjerit dan terisak.

Sebuah tanda bahwa ia tetap ingin hidup.

Tetapi, walaupun kematian menjemput, ia tidak mau menerimanya sedemikian rupa.

Sesak.

Gelap.

Lembab.

Seakan diistirahatkan secara paksa, sang wanita harus menerima karena sebuah keegoisan dan kecemburuan.

Yang ia bisa dengar hanyalah suara gumaman di luar sana.

Siapa?

Lantas tidak bisa mencaritahu, sang gadis berjanji kepada diri sendiri bahwa kematiannya akan menjadi sebuah bentuk bernamakan karma.

.

"Sudah lama dirimu tidak ke sini untuk berbelanja, Anak Muda." Sesosok wanita paruh baya mengajak berbicara kepada Andrew seiring gerak tangan mulai meraih beberapa ikat sayur dengan kualitas baik. Mengulas senyuman dan menatap sosok lelaki di hadapan yang mengenakan sebuah jubah di mana setidaknya bagian tudung dapat menutupi seperbagian wajah. "Aku harap dirimu baik-baik saja tinggal seorang diri di sana. Bagaimana dengan keadaan penglihatanmu?"

Andrew melepas tawaan canggung dan senyuman kaku, merasa tidak biasa sebagaimana kerumunan orang melewati daerah belakangnya-- sang lelaki alih-alih memang hanya berani menatap sosok nenek di hadapannya. Dengan hati baik serta ramah, ia tidak perlu mengkhawatirkan penghakiman tidak penting. Terkadang orang dengan umur tua memang tidak mementingkan tentang perbedaan, mereka hanya mementingkan cara guna menikmati sisa hidup dengan sangat maksimal. Maka Andrew sesaat menatap sebelum menjawab pertanyaan tersebut dengan suara yang bertujuan tidak ingin membuat khawatir lawan bicara.

"Aku baik-baik saja, Nek." Andrew kali ini melepas senyuman yang lebih leluasa setelah berusaha mengenyahkan keberadaan orang-orang asing di belakangnya. "Penglihatan ini sebenarnya semakin memburuk secara perlahan, tetapi diriku akan mencari cara."

Bohong.

Pengobatan sangatlah mahal, terlebih dengan penyakit langka yang dideritanya dan juga tingkat keahlian medis-- bagaimana bisa Andrew mengharapkan suatu keajaiban di mana penglihatannya bisa sembuh total? Tetapi, sang nenek terlihat mempercayainya dari bagian raut wajah, mungkin dirinya berpikir bahwa benar masih ada cara dalam menyembuhkan. Walaupun Andrew sendiri merupakan sosok pesimis; ia menerima segala takdir yang akan terjadi pada tubuhnya. Tetapi, Andrew harus tetap terus bertahan hidup, setidaknya ia tak ingin membuat ibunya bersedih karena diri menyerah total dalam kehidupan.

"Jika dirimu membutuhkan uang, katakanlah, Andrew Sayang." Sang nenek melontarkan dengan suara lembut di mana diri memang benar-benar memedulikan keadaan sang lelaki. "Cucuku pasti bersedih jika dirimu mengalami malapetaka dalam hidup dan ia tidak bisa tenang di alam sana."

Andrew yang awalnya merasa tenang, mendadak merasa jantungnya seakan ingin melompat dari tempatnya. Di mana sang nenek menyinggung eksistensi cucu, di mana kabar tidak mengenakkan datang karena sosok gadis itu meninggal karena terhanyut sungai-- mereka masih berusaha mencari keberadaan mayat, tetapi tidak ada hasil apapun. Lantas mengapa sang lelaki merasa sulit menelan ludah? Tentu saja, karena ia mengetahui alasan sebenarnya di mana keberadaan cucu tersebut berada. Tidak mati terhanyut. Justru termakan menjadi korban kecemburuan berkat kecantikan hingga mampu menarik sosok adam, di mana terdapat hawa lain tak menerima, membayarnya untuk memusnahkan agar jalur cinta tak menjadi tragedi. Maka tidak ingin menimbulkan kecurigaan karena terdiam cukup lama, Andrew masih berusaha mengulas senyuman walaupun tersirat agak kaku.

"Ya, pasti dia akan bersedih." Jawaban yang penuh dengan sisi keji dan tidak benar. Walaupun berusaha biasa saja, seharusnya Andrew tahu bahwa hatinya diam-diam menjerit. "Tetapi, tidak perlu khawatir, Nek. Aku akan berusaha dengan keras. Aku harap Nenek juga tidak terus bersedih."

Mengapa harus begini?

Andrew telah membunuh cucu dari sang nenek dan mereka masih memiliki hubungan baik selayak tidak ada apa-apa. Walaupun sang nenek sama sekali tidak merasa curiga, mungkin kenyataan tertutup akan menjadi saksi bisu yang akan terkuak saat sang nenek menyusul pada langkah dunia kematian. Setelah menangkap perkataan itu, sang nenek semakin melebarkan senyuman seiring mengarahkan kantung kertas berisi sayur dan juga buah-buahan kepada Andrew. Di mana diterima oleh sang lelaki setelah pecahan uang juga sudah diletakkan pada atas meja kecil.

"Asal tetap melihatmu, aku rasa kesedihan ini akan berkurang. Berhati-hatilah, baik?" Sang nenek menjawab dengan suara lebih lembut dan membuat akal sehat Andrew semakin tidak menerimanya. Kedua tangan secara refleks sedikit menggenggam kencang bagian sisi kantung kertas-- saat kepala menunduk dan beralih sedikit menggigit bawah bibir, sang lelaki menjawab dengan anggukkan lebih dahulu sebelum beranjak pamit.

Di mana kepala terus menunduk untuk menghindari tatapan dari orang asing, Andrew merasakan hari mulai memuncak dan perjalanannya kembali menuju keluar pinggir kota tidaklah sebentar. Ia tidak suka saat cahaya matahari benar-benar mulai nenghidupkan bumi, sebuah ingatan sementara terbesit saat ibunya memeluk serta lampu minyak yang menghina eksistensinya pada malam hari. Di mana pula pemilik penyewa rumah mengusir mereka karena tidak mampu membayar serta keluhan tetangga karena merasa tidak nyaman. Di mana pula saat ibunya meninggal, ia ditendang oleh beberapa warga kota karena mencuri makanan setelah usahanya dalam meminta dengan lirih justru gagal karena Andrew tidak mendapatkan rasa belas kasihan selain rasa jijik kesumat.

Mengingat itu membuat Andrew berhenti melangkah pada bagian pasar yang mulai sepi--- kentara mengingat sesuatu pula, kedua mata perlahan menoleh ke sekeliling, di mana titik atensi berhenti menuju daerah lorong gelap; sang lelaki mengingat kejadian pertama diri bertemu dengan cucu dari sang nenek penjual buah dan sayur. Terkadang gadis jelita tersebut bersembunyi di dalam lorong untuk bermain dengan seekor kucing, diam-diam membeli sepotong daging dari uang sisihan dan membuat hubungan baik dengan binatang yang dirawatnya. Walaupun kucing itu tidak pernah beranjak dari dalam lorong gelap selayak memang hendak hidup liar. Tetapi dibandingkan mendesis kepada kebanyakan orang, kucing tersebut terlihat sangat bermanja kepada sosok gadis. Hanya kepada gadis tersebut, Andrew berpikir bahwa memang sang kucing senang diberi makan saat tidak ada siapa-siapa yang peduli.

Ah.

Andai saja Andrew tidak menerima tawaran dan membiarkan sosok gadis itu hidup, apakah ia akan dikasihani pula sebagai seorang sahabat satu-satunya?

Maka saat Andrew sedang berandai, ia dikejutkan dengan dua hal spesifik; sepasang mata tajam dari seekor kucing yang menatapnya dari kegelapan lorong sempit serta teriakan dari belakang tubuhnya yang kentara menerobos kerumunan sambil memanggil namanya. Hal tersebut membuat pandangan sang lelaki terpaku sejenak dengan tatapan tajam---ya, terasa familiar, seakan ingin menelannya bulat-bulat dengan cekaman---tetapi saat teriakan semakin membesar, Andrew mulai merasa kepanikan terlebih saat menoleh hingga mengetahui orang-orang yang mencari keberadaanmya; polisi. Hingga tidak ingin berpikir jauh, sang lelaki mulai memandang dengan kedua mata berkaca-kaca seiring tubuh bergemetar, membiarkan kantung berisi belanjaannya terjatuh saat kedua kaki terpaksa berlari menghindar. Di mana tujuannya hanyalah satu saat kalung salib yang mengitari leher bergoyang sampai menghasilkan bunyi gesekan.

.

Jika saja diriku terlahirkan sebagai 'mereka'. Apakah aku harus menanggung semua beban ini?

Kenapa diriku harus menderita? Bahkan ibuku yang tidak memiliki salah harus ikut merasa derita pula dari keberadaan anaknya.

Jika saja ibuku membuangku, ia akan bahagia.

Tidak, tidak.

Aku, yang sudah dewasa, membunuh untuk bertahan hidup.

Ha ... Uang adalah prioritas manusia. Mereka akan hidup lebih tenang dengan uang.

Aku ...

Aku ...

Tidak ingin hidup seperti ini.

.

"I was born sick, but I love it.
Command me to be well.
Amen, Amen, Amen."

.

Andrew menerobos masuk menuju bangunan tua dengan tergesa-gesa, membuka pintu usang dan mendapati penampilan gereja tak terawat di hadapannya. Di mana langit tembok sudah berlubang, kursi-kursi berlumutan, serta bagian altar kusam dan keberadaan salib yang telah tumbang secara menyamping. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya untuk berdoa; gereja yang mungkin hanya menerima sosok sang lelaki karena tidak ada keterlibatan manusia lain dalam membedakan. Merasa tidak begitu yakin tentang keberadaannya yang tidak akan ditemukan pula; sang lelaki sadar bahwa ia hanya mengulur waktu dan sisi kepintaran para polisi tetap akan menyusul sebentar lagi. Jika saja Andrew kembali menuju tempat tinggal, itu sama saja seperti menyerahkan diri. Kemana sang lelaki harus berpijak agar tidak ketahuan? Atau mungkin ia harus meminta pengampunan selagi bisa?

Andrew beralih berjongkok pada tengah ruangan. Menenggelamkan wajah pada atas lutut selagi satu tangan meremas perlahan atas helai rambut pirang pucatnya. Merasakan frustasi hebat, banyak kejadian telah menimpa-- dari yang masuk akal hingga tidak, sang lelaki lagi-lagi tidak bisa berpikir jernih. Tetapi, ia berusaha, mengingat ibunya sering berkunjung ke sini untuk menenangkan diri. Bisa saja sosok ibu memang sedang berada di hadapannya untuk menghibur-- berdiri tegap selagi menatap Andrew dengan kasih sayang orang tua. Mungkin memeluknya dengan kehangatan seperti di mimpi kenangan.

"My, my. Kita bertemu lagi, ya? Tetapi kali ini, dirimu hanya hebat dalam melarikan diri sementara."

Tidak.

Memang benar suara itu bukan sebuah halusinasi. Saat Andrew meluruskan pandangan dalam posisi berjongkok, kedua pupil benar-benar mengecil karena terkejut. Sosok wanita itu lagi-lagi ada dan dengan kasual menduduki atas meja altar dengan kedua kaki menyilang-- menatapnya dengan kedua pupil tajam, tersenyum miring dengan mendengus geli selayak merasa lebih senang dari sebelumnya. Membuat dalam diri sang lelaki menjadi sesak, ia sangat sulit bernapas dan berbicara.

"Membayangkan sosok ibumu? Jangan banyak berharap dan tatap kedua tanganmu itu." Kali ini sang wanita memandang dengan siratan jijik, lidah mendecak sementara salah satu tangannya mengayun pada samping wajah. "Kau ini benar-benar cukup kuat dalam bisa bertahan. Tetapi aku membencimu karena itu!"

Kedok sang wanita dengan tatapan tajam mulai terkelupas menjadi sosok ganas yang hanya tahu caranya membentak dan berkata menusuk. Memenuhi ruang gereja terbelangkai dengan suara menggema--- menjadi sosok utuh dalam menghakimi lawan bicara. Andrew hanya mendengarkan dengan kedua pupil bergetar, perasaan sesaknya hampir sama dengan perasaan sesak yang dialami orang-orang di dalam tanah. Apakah benar bahwa sebuah hukum karma adalah nyata bagi orang-orang dengan perbuatan tidak benar mereka?

"Kau ini memang manusia yang menyedihkan sejak awal. Sekarang dirimu melakukan perbuatan yang semakin membuat orang tidak akan mengasihanimu. Untuk apa dirimu berusaha menghibur diri dengan mengingat sosok seorang ibu? Dia sudah tiada dan ia selama ini tidak pernah ada di sampingmu semenjak kau memutuskan untuk membunuh."

Andrew tidak memercayainya.

Kasih sayang ibu tidak pernah bisa dihalangi oleh apapun.

Semua ini bukan karena salahnya, banyak orang juga berdosa karena mengolok sosok mungilnya yang tidak pernah memiliki salah apa-apa sejak awal!

Tetapi, lagi-lagi, Andrew tidak bisa membalas selain menatap seakan wanita di hadapan memiliki sihir dalam membungkam. Tubuhnya membeku dan kaku berkat ketakutan serta kepasrahan mendalam; seperti kejadian sebelum, sang wanita benar-benar menjadi pemimpin dalam komunikasi dua arah. Tidak ada perasaan kasih pada tatapan itu, tidak sama seperti sosok ibunya yang selalu menatap dalam kasih. Hanya ada perasaan benci bercampur dendam. Apakah harus seperti ini? Apakah memang demikian? Maka seharusnya sejak awal, Andrew Kress memang harus tetap menjadi anak tanpa setitik dosa dan hidup pada tekanan orang-orang? Memalsukan segalanya sebagai anak baik sampai keberuntungan membawanya menuju liku tidak pasti?

"Aku sangat menyayangi gadis itu." Sang wanita menbuka suara dengan suara tegas bercampur siratan sedih, di mana Andrew secara otomatis mengingat-- terbesit sosok cucu dari sang nenek. Pemilik rambut pirang cerah dan pupil biru muda seindah lautan. "Ia memiliki kebaikan murni dan aku sudah berjanji akan menjadi pelindungnya saat nyawa ini terambil karena usia."

Sang wanita mulai menunjuk ke arah Andrew.

"Aku kira kau memang beruntung karena ia memedulikanmu sama seperti manusia lainnya. Sungguh bodoh diriku membiarkan gadis itu terus mendekati dan mencoba peduli kepadamu secara perlahan! Karena, sekarang, kau malah membunuhnya! Kau membunuhnya! AKU HARUS MELIHATNYA DENGAN KEDUA MATAKU SENDIRI PULA."

Ia mulai mengamuk. Salah satu tangan meremas bagian depan dadanya selagi berusaha melepas senyuman di mana ia sendiri merasa kesakitan perasaan luar biasa saat mengingat kejadian kala itu.

"Aku mendengarnya terisak, menjerit meminta tolong dan berusaha keluar dari dalam sana. Sedangkan diriku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengais tanah. Sedangkan kau? Kau hanya mengamati kami. Lalu mendoakan gadis itu selayak dirimu tidak memiliki salah apa-apa!"

Andrew sekarang tahu, makhluk apa sebenarnya yang merupakan identitas asli dari sang wanita. Tetapi, karena tidak bisa menjawab karena ikut pula mengingat, sang lelaki hanya menggigit bawah bibir terlalu kencang.

"Aku penasaran raut apa yang akan diperlihatkan sang nenek saat mengetahui kebenaran tentang kematian cucunya." Sang wanita perlahan menenang, kali ini menatap sosok lelaki yang tetap berjongkok dengan tatapan dingin. "Aku harap dirinya menatapmu sama seperti diriku yang menatapmu penuh dengan rasa kebencian."

Sang wanita bergerak turun dari atas altar guna menghampiri keberadaan Andrew pada tengah ruang ibadah--- melangkahkan dengan sepasang kaki telanjang, berakhir ikut pula berjongkok di hadapan sang lelaki. Ia berakhir melirik ke arah raut Andrew dengan ekspresi datar sebelum memejamkan mata sesaat. Di mana didetik berikutnya salah satu tangan tampak meraih sesuatu dari balik jubah hitam; salah satu tangkai bunga columbine utuh. Maka saat Andrew menatap keberadaan bunga itu, tentu saja, sosok sang ibu menjadi gambaran utama melalui kenangan dan arti. Tetapi, sang lelaki beralih kembali terkejut saat sang wanita membuka kedua kelopak dengan salah satu mata membelalak-- senyuman seringai diperlihatkan serta tawaan terbahak.

"Kau sudah tahu, bukan, arti dari bunga ini?" Sang wanita mengayunkan keberadaan bunga tersebut.

"Ke mana pun perjalananmu tetap membawa dirimu untuk teguh dalam iman, cinta, dan persahabatan."

Andrew memang mengetahuinya dari filosofi buku yang ia beli dengan susah payah menggunakan sisihan uang penghasilan guna untuk mengetahui arti tersebut. Sang lelaki tidak ingin membiarkan ibunya mengetahui bahwa diri tetap tidak tahu sama sekali, tetapi saat bunga tersebut dipegang oleh sang wanita-- entah mengapa Andrew mulai kehilangan segalanya. Lantas benar saja, saat sang lelaki menatap seksama dengan tatapan rindu, sang wanita justru meremas keberadaan bunga hingga kelopak menjadi hancur; membuat kedua mata Andrew kembali membelalak dan secara cepat menjadi kosong.

Iman.

Cinta.

Persahabatan.

...

Ya.

Semuanya sudah hilang karena Andrew Kress telah menghilangkannya.

Hubungan iman dengan kepercayaan telah putus sejak tangan terkotori.

Hubungan cinta dengan sang ibu telah putus sejak lama setelah sosok tersebut meninggalkannya secara fisik.

Hubungan persahabatan dengan gadis itu telah putus sejak lama setelah eksistensinya dihilangkan karena keegoisan.

Tidak ada lagi yang tersisa.

Karena Andrew Kress sudah bertindak bodoh atas rasa tidak terimanya dengan nasib menyedihkan.

"Selamat tinggal, Andrew Kress." Sang wanita menjatuhkan kelopak-kelopak yang telah hancur beserta tangkainya tepat di depan Andrew, melepas senyuman tipis seiring perlahan bangkit dengan punggung masih membungkuk. Salah satu tangan beralih bergerak--- menyentuh bawah dagu sang lelaki bersamaan mengarahkan menuju atas agar mendongak guna menatap. "Mereka sebentar lagi akan masuk untuk memjemputmu."

Sang wanita melepas sentuhan tersebut bersamaan kembali menegapkan tubuh; berkehendak berbalik badan untuk berjalan menjauh, tetapi kedua indra menyadari bahwa sang lelaki tampak berkehendak berbicara dengan raut berantakan. Maka saat wajah menoleh ke belakang-- ia bisa mendapati mulut Andrew mulai bergerak.

"[Name]."

Nama tersebut memang diberikan oleh sosok gadis itu. Andrew mengetahuinya, karena mereka cukup sering sempat bersama.

"Maafkan aku."

Pemilik nama tersebut mendengus pelan, kembali meluruskan tubuh untuk berjalan menjauh. Maka pada saat itu juga pintu terbuka kencang oleh beberapa polisi--- berlari menghampiri Andrew untuk mengerumuni dan menahannya. Kemungkinan mereka akan dibingungkan, mengapa terdapat sosok kucing hitam yang meninggalkan eksistensi sang lelaki tersebut dengan desisan?

.

"Kuburkanlah perasaan bersalah itu, Andrew, seharusnya semenjak awal, karena demikianlah cara terbaik agar kau tidak sehancur ini."

.

.

.

Maka saat semuanya telah berakhir untuk Andrew Kress, setidaknya tubuh kecil tersebut dapat memijak atas tanah dengan keempat kaki--- berakhir berbaring di atas tanah pemakaman, menemani majikannya dengan kehidupan tersisa.

.

.

.

End.

Total words: 4140

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top