4. The Past

"Ini... di mana..?"

Seorang gadis kecil bersurai [Hair Color] memandang keheranan sekitarnya yang ditumbuhi oleh pepohonan. Padahal dia tadi hanya mengejar kupu-kupu di taman, tapi kenapa ia bisa tersesat hingga ke hutan ini?

"Hiks... hiks... ayah... ibu... tolong aku..." Gadis itu menangis sesenggukan sambil berjongkok. Hutan ini tampak sangat menakutkan untuk seorang gadis kecil yang baru berusia 3 tahun sepertinya. Ia ingin pulang, tapi ia tak tahu jalan kembali.

"Hei, apa kau tak apa-apa?" Sebuah suara lembut memasuki indra pendengaran gadis kecil itu, membuatnya spontan mendongak untuk melihat si pemilik suara.

"Kenapa kau menangis sendirian di sini? Apa kau tersesat?"

Tampak seorang anak laki-laki bersurai merah kecoklatan dengan manik ungu lavender kini tengah berdiri di hadapan si gadis.

"U-um... kau siapa?" Tanya gadis itu takut-takut.

Anak laki-laki tersebut tersenyum hangat, kemudian berjongkok menyamakan tingginya dengan tinggi si gadis.

"Namaku Tsukasa Suou, usiaku 7 tahun. Kalau kau?"

"[Name]... na-namaku, [Name] [Fullname]..." ujar gadis kecil bersurai [Hair Color] itu memperkenalkan dirinya.

Bibir Tsukasa lantas membentuk seulas senyum tipis, "Nama yang bagus... [Name]-chan." Ia berujar seraya mengulurkan tangan kanannya kepada [Name] kecil, "Mulai sekarang, kita ini adalah teman, oke?"

Mata gadis kecil itu berbinar-binar kala mendengar perkataan si anak laki-laki. Tangan kecilnya ia ulurkan untuk membalas uluran tangan Tsukasa dengan senyum lebar terpatri pada wajahnya.

"Hn! Nii-san!"

Tsukasa tertawa pelan melihat ekspresi [Name]. Ia pun mengulurkan sebelah tangannya untuk mengelus rambut gadis tersebut.

"Nah, karena sekarang [Name]-chan adalah temanku, maka aku akan menunjukkan sesuatu yang luar biasa kepadamu. Apa kau mau?" Tsukasa mengajak dengan senyum terpatri pada wajahnya.

Mendengar kata 'sesuatu yang luar biasa', spontan saja mata [Name] berbinar-binar.

"Aku mau!" Katanya yang langsung mengiyakan ajakan Tsukasa dengan semangat, membuat Tsukasa lagi-lagi tertawa karena tingkahnya.

"Ayo, lewat sini." Tsukasa berdiri dari jongkoknya, lalu berjalan sambil menggenggam tangan [Name].

Mereka berdua terus berjalan dalam keheningan, hingga akhirnya Tsukasa yang pertama angkat bicara.

"Oh ya, kenapa [Name]-chan bisa tersesat di hutan?" Ia bertanya penasaran.

"A-aku juga tidak tahu..." [Name] menjawab dengan suara pelan, "Tadi aku hanya sedang mengejar kupu-kupu di taman. Tapi begitu aku sadar, tiba-tiba saja aku sudah berada hutan ini."

Tsukasa mengangguk pelan, tanda bahwa ia mengerti akan penjelasan gadis kecil itu.

"Ah, kita sudah sampai."

Tsukasa berhenti melangkah, membuat [Name] spontan ikut berhenti juga.

"[Name]-chan, selamat datang di taman rahasiaku~" Tsukasa berujar, tersenyum lebar sembari menunjuk taman bunga yang dipenuhi oleh bunga berwarna ungu yang ada di depan mereka.

"Huaa~ indahnya~"

[Name] dibuat terpukau dengan pemandangan yang ada. Ia tak pernah tahu, kalau di balik hutan yang tampak menyeramkan ini ada terdapat sebuah taman bunga yang indah. Taman ini seperti taman bunga yang biasa ia lihat di buku dongeng. Bedanya, ini adalah taman bunga yang nyata.

Tsukasa yang ada di sampingnya pun tersenyum simpul melihat reaksi [Name]. Ia kemudian berjongkok di hadapan gadis itu dan mengulurkan jari kelingkingnya pada [Name].

"Nah, [Name]-chan, sekarang berjanjilah kepadaku, kalau kau tak akan memberitahukan tempat ini kepada siapa pun. Apa kau janji?"

[Name] tersenyum manis menatap Tsukasa, dan balas mengulurkan jari kelingkingnya.

"Aku janji!"

○●○●○●

Hari ini, [Name] kembali mengunjungi taman bunga rahasia yang ia datangi bersama Tsukasa tempo hari. Begitu ia tiba di taman, ia melihat Tsukasa tengah duduk di bawah pohon rindang sambil membuat sesuatu dengan tumpukan bunga ungu di pangkuannya.

"Huaa~ apa itu yang kau buat, Nii-san?" [Name] bertanya dengan mata yang berbinar-binar pada Tsukasa.

Anak laki-laki itu lantas menoleh ke arah [Name] dan tersenyum lembut padanya, "Ini namanya mahkota bunga, [Name]-chan. Ini adalah hadiah untukmu."

"Hadiah... untukku?" [Name] memiringkan kepalanya keheranan, "Tapi Nii-san, hari ini 'kan bukan hari ulang tahunku," kata gadis kecil itu dengan polosnya, sukses membuat Tsukasa terkekeh pelan.

"Hadiah itu tak selamanya harus diberikan saat seseorang berulang tahun, [Name]-chan." Anak laki-laki tersebut berujar seraya mengusap lembut kepala [Name], "Kau bisa memberikan hadiah kepada orang yang kau sayangi kapan saja dan di mana saja."

Tangannya pun lantas mengambil mahkota bunga yang tadi telah selesai ia rangkai, kemudian meletakkannya di atas kepala [Name].

"[Name]-chan adalah orang yang kusayangi, karena itulah aku memberikan mahkota bunga ini padamu," ujar Tsukasa tersenyum lembut.

[Name] lantas meraba mahkota bunga yang ada di kepalanya selama beberapa saat, lalu balas menatap Tsukasa dengan senyum lebar terukir di bibirnya.

"Terimakasih banyak, Nii-san~" ucapnya, kemudian memeluk Tsukasa erat, "Aku sayang Nii-san~"

Pipi Tsukasa sedikit merona begitu mendengar pengakuan polos dari gadis kecil yang tengah memeluknya kini. Tapi perlahan-lahan, ia pun balas memeluk gadis itu sambil sesekali mengelus rambutnya.

"Aku juga sayang, [Name]-chan."

"Hehehe~" [Name] terkekeh kecil mendengar balasan sang Nii-san. Ia merasa aman sekaligus nyaman saat berada di dekat Tsukasa, sama seperti saat ini misalnya. Dan tanpa ia sadari, ia pun tertidur pulas di dalam pelukan Tsukasa.

"[Name]-chan?" Tsukasa berusaha memanggil nama gadis kecil itu, namun respon yang ia dapatkan hanyalah sebuah suara dengkuran halus yang menandakan bahwa [Name] telah tertidur.

Tsukasa hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis. Yah, siang-siang begini memang adalah waktunya anak kecil seperti [Name] untuk tidur siang, jadi wajar saja apabila anak itu tiba-tiba merasa mengantuk dan tertidur.

"Kalau kau merasa lelah, kau boleh saja tidur di sini, kok, [Name]-chan." Tsukasa berbisik pelan kepada [Name], lalu ikut tertidur bersama gadis kecil itu.

○●○●○●

Sudah lima hari berlalu sejak hari di mana [Name] tertidur bersama Tsukasa di bawah pohon, dan sudah lima hari lamanya pula Tsukasa tak pernah muncul lagi di taman bunga rahasia mereka.

Biasanya, [Name] akan selalu mendapati Tsukasa tengah duduk di bawah pohon yang rindang itu, mereka berdua akan saling menyapa satu sama lain lalu bermain bersama. Tapi kini, tak ada seorang pun yang duduk di bawah pohon tersebut.

'Mungkin Nii-san terlambat.' [Name] berusaha menyakinkan dirinya sendiri dan menunggu kedatangan Tsukasa.

Namun menjelang matahari terbenam, Tsukasa tak kunjung juga menampakkan dirinya.

'Mungkin Nii-san tak akan datang hari ini...' batin [Name] kecewa, 'Tapi tak apa! Besok pasti aku akan bertemu Nii-san lagi!'

Gadis kecil itu tetap berpikir positif, lalu segera pulang ke rumahnya. Ia tak sabar menunggu hari esok untuk bertemu sang Nii-san!

○●○●○●

Langit yang mendung tak kunjung juga mematahkan semangat [Name] untuk bertemu Tsukasa. Lengkap dengan mantel hujan berwarna [Favourite Color], ia kembali menunggu Tsukasa di bawah pohon rindang.

Lama menunggu, tapi Tsukasa tak kunjung datang juga. Yang datang malahan adalah rintik air hujan dari langit kelabu.

'Aku tak boleh pulang sekarang! Jika Nii-san datang nanti, ia pasti akan mencariku!' Batin [Name] yang tetap kukuh dengan pendiriannya untuk menunggu Tsukasa.

Tapi makin lama, hujan semakin deras. Bunga-bunga ungu yang tumbuh di taman itu bahkan sampai layu akibat terlalu banyak menyerap air.

Suara guntur serta petir yang menakutkan bahkan tak bisa menggoyahkan hati [Name]. Ia tetap keras kepala untuk tak beranjak dari bawah pohon sedikit pun.

Langit sudah gelap, namun hujan tak kunjung reda juga. [Name] mulai merasakan ketakutan yang amat sangat. Ia ingin pulang, tapi bagaimana dengan Tsukasa?

".. -chan! ... me]-chan! [Name]-chan!"

"[Name]! Kau di mana?!"

"[Name]!"

Suara beberapa orang yang memanggil namanya membuat [Name] sedikit terperanjat kaget. Dari kejauhan, ia dapat melihat beberapa orang tengah membawa senter serta payung. Di antara orang-orang tersebut, [Name] melihat Papa dan Mamanya.

"Papa! Mama! Aku di sini!" Ia berseru sambil melompat-lompat, berusaha menarik perhatian mereka.

Beruntung, gerombolan orang itu melihat [Name] dan segera mendekati gadis tersebut.

Ibu [Name] memeluk anak gadisnya itu dengan erat sambil menangis.

"Ya ampun, [Name], kau membuat kami khawatir..." Sang Ayah berujar seraya ikut memeluk keluarganya.

Setelah berpelukan selama beberapa saat, [Name] melepas pelukan kedua orang tuanya.

"Hiks... hiks... m-maaf, papa... hiks... m-maaf, mama..." ujarnya lirih, berusaha menahan tangis.

"Apa yang kau lakukan di sini, [Name]?" Ibunya bertanya penasaran, tak ingin asal memarahi sang anak.

"A-aku... aku sedang menunggu Nii-san..." [Name] menjawab dengan suara pelan, "Sudah lima hari... hiks... Nii-san tak datang kemari.. hiks..."

"Nii-san?" Kedua orang tua [Name] saling bertukar pandang keheranan, lalu kembali menatap putri mereka, "Siapa Nii-san yang kau maksud, [Name]?"

"Hiks... hiks... Tsu-tsukasa-Niisan..."

Deg

Wajah seluruh orang dewasa yang ada di situ mendadak menjadi tegang begitu mendengar jawaban [Name], terlebih lagi Ayah dan Ibunya.

"[Name]..." Sang Ibu memanggil nama anaknya itu dengan suara yang lemah, "Tsukasa... Tsukasa dia... dia..."

Ibu [Name] tak dapat melanjutkan perkataannya lagi. Ia memeluk [Name] erat dan mengusap punggung anaknya tersebut.

[Name] keheranan melihat sikap Ibunya yang sedikit berbeda dari biasanya. Matanya kemudian beralih kepada sang Ayah, berusaha meminta penjelasan.

Ayahnya menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, bersiap untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada sang putri.

"[Name]... Nii-sanmu itu, Tsukasa Suou, dia... sudah meninggal..."

...

..

.

Shhr

"Eh?"

[Name] menatap Ayahnya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan.

"Tsukasa... meninggal... kecelakaan... beberapa hari lalu... pulang... sekolah..."

Penjelasan Ayahnya tak dapat [Name] dengar dengan baik karena suara rintik hujan yang entah kenapa mendadak terdengar lebih jelas dibandingkan suara yang lain.

Pandangan gadis itu perlahan mulai mengabur. Kesadarannya makin memudar. Ia mendadak pingsan tak sadarkan diri sebab tak sanggup menerima kenyataan ini terlalu cepat. Hal terakhir yang dapat [Name] dengar adalah suara orang-orang yang menyerukan namanya dalam kepanikan.

○●○●○●

"Dok, bagaimana keadaan anak kami?"

"Secara fisik, anak Bapak dan Ibu baik-baik saja. Tapi secara mental, ia mengalami sedikit masalah dengan ingatan."

"Apa maksud anda, dok?"

"Begini, otak anak anda ini tampaknya telah menerima serangan internal dari dalam dirinya sendiri. Dan sebagai bentuk perlindungan diri, otak pun melepaskan beberapa memorinya agar bisa bertahan dari serangan ini. Mudahnya, anak anda telah terkena amnesia. Biasanya, memori yang hilang memiliki kaitan dengan faktor penyebab serangan internal. Dalam kasus ini, faktor penyebab serangan internalnya adalah kabar kematian anak Tsukasa. Jadi kemungkinan besar, anak anda tidak akan mengingat apa pun tentang kenangnya bersama Tsukasa."

"Apa amnesianya parah?"

"Tidak, tenang saja. Dilihat dari kondisinya, tampaknya anak anda hanya menderita amnesia ringan. Tapi saran dari saya, sebaiknya ia jangan dipaksa untuk mengingat hal-hal yang ia lupakan. Takutnya, nanti dia justru akan mengalami masalah ingatan yang lebih parah."

"Baik, dok. Terimakasih banyak."

○●○●○●

"[Name]? Bagaimana keadaanmu?" Ibu [Name] masuk ke dalam kamar sang anak sambil membawa sepiring kue kering.

[Name] bergeming dari tempatnya. Sejak dirinya sadar dari pingsan, entah mengapa ia tak pernah berhenti menatap jendela kamarnya yang berhadap langsung dengan hutan. Ia sendiri juga bingung. Memangnya, apa yang spesial dari hutan menyeramkan seperti itu? Yang ada palingan hanya pohon, binatang, tanaman liar, dan lain sebagainya. Tak ada hal khusus di sana.

Namun, hati [Name] merasa seperti ada yang aneh dengan semua ini.

"Rasanya seperti aku telah melupakan sesuatu... sesuatu yang tak seharusnya aku lupakan..." [Name] bergumam pelan pada dirinya sendiri.

"Hm? Apa kau mengatakan sesuatu [Name]?" Tanya sang Ibu kepadanya.

Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, lalu menoleh ke arah sang Ibu dengan senyum manis terpatri pada wajahnya.

"Tak ada apa-apa, kok~"

'Abaikan saja perasaan aneh itu, [Name],' batinnya kepada dirinya sendiri, 'Benar, abaikan saja...'

To Be Continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top