Mengungkap Chrysanthemum putih-Niall Horan

Aku memperhatikan wajah Calantha yang tengah tertidur. Sejak kejadian kemarin, aku dan yang lainnya sepakat agar Calantha tinggal bersama kami di villa yang kami sewa. Aku sudah membujuknya sejak kemarin, untuk bercerita tentang apa yang terjadi, tapi, ia hanya bungkam. Satu-satunya kalimat yang keluar dari bibirnya adalah 'aku baik-baik saja' membuat aku dan yang lain mau tidak mau merasa bersalah. Seharusnya, aku sudah membangunkan Calantha untuk mendiskusikan masalah kemarin, tapi, melihat wajahnya yang damai, seakan kejadian kemarin tidak pernah ada, membuatku tidak tega untuk membangunkannya. Aku mengusap pipinya pelan, sama sekali tidak merasakan adanya bekas air mata. Apa dia tidak menangis semalam? Atau ia sama sekali tidak menyesal meninggalkan ibunya?

Tanganku meraih barang yang satu-satunya yang Calantha bawa dari rumahnya. Aku membuka notesnya, melihat-lihat isi dari kumpulan kertas itu, aku tidak menemukan coretan yang berisi keluhan atau curhatan seperti gadis lainnya. Di notesnya hanya ada arti dan bahasa bunga, beberapa foto masa kecilnya dan tempelan bunga kering di beberapa kertas belakang. Ck, kalau ia sama sekali tidak menuliskan apa yang sedang ia rasakan, bagaimana bisa aku mengetahui apa yang ia pikirkan?

Erangan pelan terdengar dari gadis yang tengah berbaring di sampingku, "Calantha? Kau sudah bangun?"

"Ni? Jam berapa ini?" Calantha bangkit dari posisi berbaring menjadi duduk. Matanya menangkap kalau aku sedang membuka notesnya.

"Eh, sekarang jam sembilan pagi. Cal, aku..em..aku bisa menjelaskan kenapa aku membuka notes mu, em..maaf aku sudah lancang ya?" Calantha menggelengkan kepalanya pelan, tangannya meraih notes yang berada di genggamanku sambil tersenyum kecil.

"Tidak apa-apa, Niall. Aku tahu kau sangat penasaran dengan notes itu, sejak kita pertama kali bertemu. Aku sama sekali tidak keberatan kalau kau membacanya, toh menurutku tidak ada hal yang penting di dalam notes itu," Calantha meregangkan kedua tangannya keatas. Aku tersenyum lebar melihatnya. Entah dia yang terlalu hebat untuk menyembunyikan perasaannya, atau memang aku yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang perasaan seorang gadis.

"Kau ini bagaimana, Nialler? Bukannya mengajak Cal ke meja makan untuk sarapan, kau malah asyik berduaan dengannya disini? Dasar kau ini," aku dan Calantha menoleh kearah pintu bersamaan, wajah Louis dan Harry-lah yang terlihat dibalik pintu. Astaga, mereka berdua memang perusak suasana.

Aku menjulurkan tangan kearah Calantha, membantunya untuk bangun dari atas kasurnya, Calantha menerima juluran tanganku dan bangun dari posisinya.

"Ayo cepat, pemalas. Liam dan Zayn sudah memarahiku karena kelaparan, tumben sekali kan, aku tidak menerima protes 'kelaparan' dari seseorang berambut pirang yang aku kenal," aku tertawa, tentu saja aku tahu siapa yang dimaksud oleh Louis. Itu aku sendiri.

"Kurasa, laki-laki berambut pirang itu terlalu fokus pada gadisnya, sampai tidak menghiraukan kita, Lou."

Wajahku menghangat mendengar pernyataan Harry, apa aku benar-benar terlihat terlalu fokus pada Calantha dan keadaannya? Eh, tunggu sebentar...Harry tidak pernah berkata kalau 'gadis' yang ia maksud adalah Calantha, kan? Lalu kenapa aku berpikir kalau gadis itu adalah dirinya? Ya ampun, apa aku sudah gila atau kepalaku ini sudah dipenuhi oleh bunga sampai yang dipikiranku hanya dirinya?

Lamunanku pecah saat Zayn ikut-ikutan mengeluarkan suaranya, "kurasa kau benar Lou, ia sampai tidak sadar kalau ia tengah menggenggam tangan Cal dan tidak melepasnya, ia juga tidak sadar kalau kita sudah duduk dan siap sarapan. Kurasa makanan sudah tidak ada lagi dipikirannya."

Aku mendengus pelan, lalu menarik kursi untuk Calantha duduki. Seluruh mata yang ada di ruang makan menatapku dengan heran(seperti beberapa hari lalu saat mereka menginterogasi dengan sosok asli Calantha)tapi aku mengabaikannya. Aku menduduki kursi di sebelah kanan Calantha, lalu mengambil panekuk yang dibuat Harry.

"Kau mau, Cal?" Aku menyodorkan piringku yang berisi panekuk kearah Calantha. Ia tersenyum lebar dan mengambil sedikit dari makananku.

"Harry, aku tidak tahu kalau kau benar-benar koki yang hebat. Lain kali ajarkan aku membuat panekuk seperti ini ya?" Harry menganggukkan kepalanya pelan, matanya masih menatap aku dan Calantha tidak percaya. Setelah aku lihat, tidak hanya Harry, Liam, Louis dan Zayn juga menatap kami tidak percaya dan bingung.

"Hei, kalian kenapa?" Tanyaku.

Louis menatap ketiga sahabat kami yang lain,"sudah kutebak saat seperti ini akan datang cepat atau lambat. Kalian ingat interview waktu itu? Saat aku menjawab pertanyaan tanda-tanda tentang Niall?"

Sedetik kemudian, wajah keempat sahabatku tersenyum lebar, sangat lebar sampai aku bisa melihat barisan gigi mereka. Aku dan Calantha saling berpandangan bingung, kurasa bukan aku yang aneh, tapi sahabat-sahabatku inilah yang aneh.

"Kalian ini kenapa sih? aku jadi bingung kalau kalian merubah raut wajah kalian dengan cepat seperti itu, tahu!?"

Liam mengibaskan tangannya, raut wajahnya kembali serius, "kita bisa bahas tentang hal itu nanti. Sekarang, kita harus membahas tentang Cal, kau harus menjelaskan apa yang terjadi kemarin, Cal."

Aku bisa merasakan Calantha kembali tegang, rahangnya mengeras dan pandangannya mendingin. Sama sekali bukan Calantha yang pertama kali kutemui, bukan Calantha yang menantang Harry dan pastinya, bukan Calantha yang kukenal. Apa yang terjadi kemarin benar-benar serius sampai dia sangat berubah seperti itu?

"Sebelumnya aku ingin meminta maaf pada kalian, karena kalian melihat ibuku pada kondisinya yang seperti itu. Ibuku memang sudah seperti itu selama beberapa bulan ini, tepat setelah kecelakaan ayahku. Dia trauma karena kecelakaan ayahku ada sangkur-pautnya denganku, dan setelah itu ia memang melarangku untuk berbicara dengan orang luar. Aku tahu, saat pertama kali bertemu dengan Niall, raut wajah takutlah yang kuperlihatkan, itu karena aku takut ibuku akan menyakiti Niall. Kalian lihat sendiri, kan, bagaimana ibuku saat ia marah? Aku tidak ingin ibuku melampiaskan amarahnya pada kalian," aku menggenggam erat tangan Calantha, berharap dengan gestur sekecil itu akan memberinya kekuatan, walau hanya sedikit.

Zayn berdehem pelan, "aku tidak bermaksud untuk menyinggung atau membuka luka lamamu, tapi aku sangat penasaran dengan apa yang menyebabkan ibumu menjadi seperti sekarang, boleh?"

Liam menepak belakang kepala Zayn lalu memberinya tatapan tajam. Calantha menggelengkan kepalanya pelan, "tidak apa-apa, Liam. Kalau aku berada di posisi Zayn pun, aku akan bertanya hal yang sama."

Calantha menghela nafas panjang, "dulu, aku pernah mempunyai kekasih dan dia sangat suka melakukan 'kontak fisik' denganku. Jangan salah sangka, kontak fisik yang kumaksud adalah menamparku, sama seperti yang suka dilakukan ibuku. Satu malam, ayahku mengetahui hal ini dan ia membelaku, ia mengejar kekasihku itu dan menghajarnya habis-habisan sebagai balasan karena sudah menyakiti putrinya. Saat itu, aku yang merasa tidak tahan dengan sikap kekasihku, perlahan mulai tenang karena ia tidak pernah mengangguku lagi. Tapi, baru saja aku merasa benar-benar tenang, kekasihku itu kembali menerorku, lebih tepatnya meneror ayahku. Ia memberi ancaman mati berkali-kali tapi ayahku hanya mengabaikan ancaman kosong itu, sampai pada akhirnya ayahku meninggal karena mereka. Ia dan teman-temannya menghadang jalan mobil ayahku lalu memintanya turun, aku dan ibuku sudah menasehatinya agar tidak turun, tapi dengan keras kepalanya ayahku tetap turun. Tepat saat ia turun, mantan kekasihku dan teman-temannya mengeroyok ayahku sampai meninggal di tempat, aku dan ibuku yang syok hanya bisa diam. Sejak saat itu, ibuku melarangku untuk berbicara dengan oranglain karena takut kejadian yang sama akan terulang lagi padanya."

Aku tidak percaya apa yang baru saja Calantha katakan, mantan kekasihnya itu benar-benar brengsek, memperlakukan seorang gadis dengan cara seperti itu. Sepertinya bukan hanya aku saja yang merasa marah dan kesal, keempat sahabatku yang lain pun sepertinya merasa demikian. Tanpa kusadari, aku sudah mengeratkan genggamanku pada tangan Calantha sampai gadis itu meringis pelan, "maaf."

"Kau yakin ibumu memang seperti itu sejak meninggalnya ayahmu?" Tanya Harru dengan suara pelan.

Calantha mengangguk, "ya, aku yakin akan hak itu."

"Apa kau sudah pernah memeriksanya? Semua trauma bisa disembuhkan kau tahu?" Kali ini Louislah yang bertanya

"Ya, tapi aku tidak pernah bisa membiarkan orang-orang itu membawa ibuku. Aku tidak punya siapapun lagi selain dirinya, dan aku tidak akan pernah bisa selamat kalau hidup sendirian," aku memperkecil jarak antara aku dan Calantha tanpa melewati batas privasinya.

"Siapa bilang kalau kau hanya sendirian, hm? Kau masih punya kami berlima dan aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu. Siapapun, tanpa terkecuali," ucapku pelan. Keempat sahabatku juga mengangguk dan tersenyum menyemangati Calantha. Aku yakin, kalau orang yang lebih mengerti tentang hal seperti ini akan membantu mengembalikan keadaan mental ibu Calantha seperti dulu lagi.

"Kau akan tinggal bersama kami, kau akan ikut kami kembali ke London dan selama itu, kau akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu kau khawatirkan jika kau sudah bersama kami," ucap Liam.

Aku tersenyum lebar melihat sahabat-sahabatku, mereka memang hebat dengan hal seperti ini. Ah, aku jadi mengingat salah satu bahasa bunga ketika aku membuka nites Calantha tadi pagi. Chrysantemum atau bunga krisan putih memiliki arti kebenaran, cocok dengan suasana pagi ini, bukan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top