ᴅᴀɴᴅᴇʟɪᴏɴ
BUNGA DANDELION terbang
disapu angin menyaksikan
insan bersatu menuai senyum
dalam kehidupan baru.
.
Randa tapak namanya. Kecil, mungil dan rapuh. Berkali-kali dihempas nakalnya angin, diganaskan oleh sang raja langit, kini terbang bebas tetap setia mengikuti detik demi detik embusan udara. Kala sekon memutar lingkar waktu, lebih dari sekadar matang untuk berpisah dengan induk tangkai, dirinya ... tetap terhubung dan jatuh pada tanah yang siap menerima kehadirannya. Menumbuhkan perasaan baru dan tiada sekali pun melupakan perihal rasa yang kian usang. Melambangkan cinta dan benih bulu pun mustahil menuai lembaran baru kalau saja ia lupa tangkainya.
Dominasi tanah subur Hyogo seolah menghampar di kebunnya. Puluhan jenis tumbuhan andai saja ilalang berdersik turut dihitung, [Name] merasa lebih dari sekadar baik-baik saja dibanding duduk kebosanan di dalam naungan tak berteman. Kendati pun Miya Osamu melarangnya melakukan rutinitas berat, memang rutinitas berat apanya? Toh, ia hanya berkebun. Mekarnya mahkota bunga jelas saja menjadi euforia tersendiri. Wanita berparas manis itu telah bersusah payah dan menuai secercah harapan demi kesehatan benih bunga yang ditanamnya, seperti tak ingin jerih payah menjadi kesia-siaan belaka.
Dahinya berpeluh dengan kilauan samudera di siang hari. Rambut terikat jelas sudah tiada sesempurna kuncir kuda tinggi yang rapi. Meski penguasa langit sudah mulai menujukkan senja indie, pikirnya katakan semua ini terlalu tanggung. Bersirobok dengan sosok pot yang terisi belum mencapai ukuran pasnya. Berkonflik dalam hati kalau pinggang tunjukkan pegal dan nyeri. Seperti nenek tua, wanita itu mengurut pinggang berharap rasa akan segera mereda. Memutuskan untuk tidak memaksakan diri, genggaman pada sekop tak lagi dilakukan.
"Kenapa tiba-tiba pinggangku lebih pegal dari biasanya?" keluh [Name].
"Lalu, kenapa ibu hamil yang satu ini nakal sekali?"
Keadaan seakan mendramatisir. Angin sore menari kencang. Anak poni yang selalu menjadi bagian favorit guna Osamu selipkan dengan manis nyatanya menimbulkan sensasi geli menggelitik wajah. [Name] jelas saja dikejutkan oleh kehadiran sang suami yang kembali lebih cepat dan kalimat pertamanya pun bukan sambutan seperti biasanya. Apa pria itu marah karena sang istri menjadi sosok yang nakal?
"[Name] ... aku hanya bertanya padamu. Jangan menangis." Meski kata-katanya terdengar tenang, sesungguhnya Miya berhelai abu-abu terhalangi topi kedai juga rasakan kenapa wanita kesayangannya lebih sensitif dari biasanya. Diri mendekati sang hawa. Tangan pria matang yang terbentuk hasil kerja keras itu tentu memukau, kini ulurkan jemari menyentuh wajah terpahat secantik pun senada dengan bunga di taman merekah seelok musimnya. Diusap lembut sudut aksa sang wanita, nyatanya pun sang hawa bergeming tak kunjung berikan reaksi berarti.
Tidak, bukan seperti yang dibayangkan. Miya [Name] katakan tanggapan negatif kalau dirinya dibilang menangis seperti yang sang suami tuturkan. Juga, dramatisir angin bertiup sebenarnya menjadi problematik yang sekarang kenapa sudut matanya berair. Ia hanya kelilipan. Berulangkali sepertinya sanggup wanita itu jabarkan kalau dirinya sangat candu oleh sikap lembut Miya Osamu. Ia menikmati bagaimana kulit mereka berjumpa, juga senyum yang menurut [Name] menggemaskan dibalik netral ekspresi yang menguasai raut suaminya. Semuanya terlalu ia sukai.
[Name] loloskan gelitik tawa. Lantas jemari sang adam ditautkan oleh jemarinya yang lebih ramping. Menggenggamnya. Persetan dengan tanah subur mengotori telapak di antara keduanya, ia tak akan melepasnya.
"Osamu, aku hanya terkejut atas kedatanganmu yang mendadak lalu aku kelilipan," jelasnya kentara geli. "Oh, lalu ... selamat datang kembali." Tangan usil meraih topi warna pekat, perlihatkan mahkota kelabu ditiup semilir anila. Jemari meraih helai demi helai meski tinggi badan kentara tak seimbang. Wangi maskulin bercampur keringat menyeruak pada indera penciuman.
"Ya, aku pulang, [Name]."
.
"Apa hari ini kedai tutup lebih cepat, Osamu?"
Sendok logam dengan cangkir berdenting. Wanita muda usaikan bentuk kristal gula untuk dilarutkan dalam teh sewarna cokelat klasik yang apik. Pijakan kayu berderit kuasai indera pendengaran. Osamu terlihat mendekat. Genggam lembut telapak sang hawa.
"Hari ini aku hanya ingin saja menutupnya lebih cepat," jawabnya. "Kupikir pada masa hamil tuamu, kau harus banyak ditemani. Aku sebenarnya khawatir."
Lantas Osamu melingkarkan tangan pada perut berisi buah hati dari sisi belakang. Usianya masih tiga puluh enam minggu, tapi jelas disaat itu kontraksi dini atau apa pun cukup mengkhawatirkan. Namun, setelah ditilik dari semua yang tengah berlalu, nyatanya [Name] tak mengalami suatu gejala sanggup timbulkan kecemasan. Demikian bersama pelukan yang terjalin, pria itu meletakkan kepala pada bahu kesukaannya.
"Padahal aku yang akan melahirkan, tapi sepertinya Osamu yang manja, ya?" Sontak sosok berhelai kelabu mengernyit.
"Tidak apa kalau itu bersama [Name]."
"Baiklah ...." Rona rajai pipi di antara kulit seindah siraman madu. Netra menemukan kalender kehamilan. Coretan spidol hitam menghias di segala sisinya. Sekarang pun ia melakukannya─mencoret tanggal enam belas yang bertajuk hari ini sudah ia lewati. Salah satu dari sekian itu pun ada yang dilingkari berwarna merah, berupa beberapa tanggal prediksi kelahirannya.
"Kau tahu?" [Name] kembali bersuara, membuat Osamu gerakan mata melirik masih pada posisi yang belum kunjung berubah. "Dia anak yang kuat. Aku tahu itu. Tidak sekali pun menyusahkan kita. Dia itu mandiri. Semoga dia tumbuh menjadi anak yang sehat dan berbakti."
Nyatanya Osamu bergeming sejenak.
"Ya, toh kita yang buat."
"Osamu, aku serius ...."
.
Setiap tiga bulan sekali randa tapak dengan kemilau kuning raja langit kian bermetafora menyanjung nabastala. Ia terbang melepas beban, dipandu angin menari yang mungkin akan menuntun ia kepada kehidupan yang baru. Jikalau ditakdirkan oleh tanah subur, maka sekali mendayung dua pulau terlampaui. [Name] mungkin terlihat seperti sosok yang seperti itu. Namun, Miya Osamu tak menyetujuinya.
Pengharapan, cinta dan segala bentuk kesetiaan. Jelas Osamu akan lebih setuju untuk yang satu ini. [Name] bukanlah pemuja nabastala yang menemukan hamparan tanah gembur seperti sosoknya. Melainkan [Name] sendirilah keindahan yang mengisi sela kosong kelabu yang dikatakan lambang hampa. Ia mengisi tanahnya. Ia mengisi hatinya.
Tepat hari ini metafora cantik itu lepas ke angkasa.
Hari ini tangisan manusia tiada akan dosa jelas nyaring menguasai indera pendengaran manusia dalam ruangan nuansa putih. Bau khasnya enggan dikatakan semerbak, mengingat bahwa rumah sakit bukanlah tempat yang terdengar sebagai sumber tawa. Hanya saja beberapa pengecualian dilantunkan. Kehidupan insan baru dan keselamatan sang ibu. Osamu suarakan seribu satu puja kepada Yang Kuasa.
Miya Atsumu yang notabenenya kembaran Osamu katakan kalau tidak ingin lewati hari-hari menjadi sosok paman yang baik. Kini siapa yang tahu, kalau kehadiran atlet voli tersebut menjadi sasaran peluk dengan perasaan yang menggebu. Namun, ia mafhum atas hal itu. Ini adalah saat-saat bahagia Osamu, pun turut dirinya.
Gelak tawa bahagia terdengar. "Selamat, Samu. Jadilah sosok ayah yang terbaik baginya."
"Pasti."
Baginya itu adalah doa terbaik.
Dokter memberi arahan kepada salah satu perawat, izinkan salah satu dari dua insan identik untuk menemui istri terkulai. Osamu ucapkan terimakasih setelah menanti, tanpa basa-basi hampiri sang adiratna berwajah pias sosoknya jelas letih.
Rasa dalam dada terlalu campur tak kentara. Genggaman tangan katanya ada guna selalu menguatkan, maka pria itu melakukannya.
"[Name] ...."
"Oh, Osamu rupanya." Bahkan dalam kondisi seperti itu pula istrinya masih tunjukkan kurva termanis.
"Terimakasih ... terimakasih karena telah berjuang."
Lantas dirinya kecupi dahi, pelipis dan pipi dengan kentara sayang. Berakhir pada bibir senada persik.
"Kata Dokter, ia perempuan. Padahal waktu USG katanya laki-laki," [Name] jabarkan keheranan. Kendati pun demikian, kedua di antaranya tertawa. Perihal jenis kelamin sama sekali bukan ganjalan dalam benak. Meski akhirnya, nama yang telah disepakati harus diubah kembali.
"Bagaimana kalau namanya ...."
.
Hari itu [Daughter's Name] mendapatkan ijazah pertamanya. Gadis mungil bermahkota kelabu tersebut jelas rasakan letusan kembang api kesenangan dalam diri. Kakinya melangkah dengan riang, tak melupakan pot bunga kecil bibit dandelion belum tahap dewasa. Ia mendapatkannya dari seseorang yang berarti. Pula berniat menunjukkan kegembiraan pada sang ayah di kedai Miya keluarga itu.
[Name] nyaris kehilangan oksigen setelah mengejar sang buah hati. Rombongan ibu-ibu wali murid tak sekali pun membiarkannya lepas dalam lingkaran pembicaraan. Bahas sana bahas sini. Parahnya, wanita yang sudah menyandang gelar ibu tersebut malah benar-benar terlarut dan sempat tak ingin ketinggalan topik. Hanya saja tiba-tiba anaknya hilang tak berizin. Nasib baiknya, saat keduanya bertemu, [Daughter's Name] berjumpa dengan Kita Shinsuke yang merupakan orang yang dikenal cukup dekat.
"[Daughter's Name]-chan, tolong jangan berlari! Kau bisa jatuh."
Gadis mungil itu tak lagi melangkahkan pijakan pada seluk jalan. Menunggu ibunya menyusul. Senyum bagai ladang bunga merekah.
Kata gadis Miya kelabu itu, "Maaf, Bu. Aku tak sabar ingin menunjukkan sesuatu pada Ayah."
[Name] memilih menetralkan napas. Jemari mungil digenggam dalam tautan. Kurva bahagia turut menghias wajah sang wanita.
"Tapi Ayah akan khawatir kalau kau ke sana kemudian terluka karena jatuh. Ia tetap akan di kedai, kok. Ia akan tetap menunggu, [Daughter's Name]-chan."
Anak berusia enam tahun memilih untuk menurut. Senang dengan kelulusannya, senang dengan hadiahnya, senang dengan segala kasih sayang yang ada. Ya, nampaknya seringan itu kehidupan anak-anak ketika masih menyandang belia. Seolah diperlakukan bak raja dan senantiasa tanpa dosa. Dengan segala harapan orangtua kalau di masa depan nanti, dirinya sanggup menghadapi kerasnya dunia.
"Ayah ...!"
Tepat dengan sambutan ceria itu, Osamu tersenyum simpul. Menanggalkan plastik tangan tak lagi digunakan mengepal onigiri. Pria itu merentangkan tangan, berlutut guna menyambut buah hati dalam pelukan hangat. Tubuh keduanya bertabrakan, nyaris timbulkan bunyi yang nyeri. Namun, keduanya terlihat baik-baik saja atau bahkan lebih dari sekadar itu? Keduanya bahagia.
"Ayah, aku pulang!"
Dengan lembut puncak kepala sewarna dibelai. Ia menjawab, "Selamat datang kembali, [Daughter's Name]."
"Ayah, kau tahu? Aku tadi bertemu dengan Paman Kita. Dia menghadiahkan aku satu pot dengan isi bunga yang cantik atas kelulusanku. Lihatlah."
Mahkota bunga tersebut jelas berkilauan. Sewarna dengan cahaya sang raja angkasa. Meski berhelai daunnya masih tergolong muda, tapi indahnya luar biasa. Miya Osamu tentu tahu, Kita Shinsuke orang yang sempurna dalam melakukan sesuatu.
"Nama bunganya ru ... ra ...─eh?"
"Namanya randa tapak, [Daughter's Name]-chan," [Name] menimpali. "Biasanya dikenal dengan nama dandelion."
"Oh, begitu rupanya."
"Baiklah, simpan pemberian Kita-san baik-baik, lalu ayo masuk. Ayah sudah menyiapkan onigiri spesial kesukaanmu," Osamu bersuara.
Perannya sebagai seorang suami juga seorang ayah. Dari sekian anak Adam, mungkin sosoknya tak lebih baik dari yang ada di luar sana. Ia bukan seorang yang lihai berekspresi seperti kembarannya, pun bukan pula sosok yang gigih dan meraih sukses dengan karir yang lebih baik selain membuka usaha makanan. Hanya saja bagi [Name], dialah Miya Osamu─pria sempurna yang menjadi teman hidupnya, juga ayah yang baik bagi buah hati kedua insan.
[Name] tak kuasa menahan senyum dan Osamu meraih jemari dua sosok berharga itu.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top