Chapter. 9

WARNING : 21+

Selama lo masih berpijak di akun CH, itu tandanya nggak ada yang bersih.
Tanda warning : wajib! 🍌

Begitu tiba di kamar hotelnya, Joy langsung bergegas menyalakan laptop yang kayaknya memang tuh cewek lagi asik browsing sebelum keluar.

"Gue nebeng mandi, yah," ujar gue sambil menaruh tas di atas meja, tepat di sebelah travel bag milik Joy.

"Bawa baju, gak? Percuma lu mandi, kalo lu masih pake baju yang sekarang. Bau oli, cuih!" cibir Joy yang auto bikin gue menoleh ke arah dia, yang sedang mengetik di laptopnya.

"Gue tinggal telanjang, susah amat," balas gue dengan alis terangkat.

Joy langsung menoleh dan menatap gue naik turun, kemudian menggelengkan kepala. "Kalo lu nggak bawa baju, gue bisa mampir ke mall sebrang. Gue beliin dulu."

Senyuman gue langsung melebar. Apa kata gue soal cewek di zaman sekarang yang bebas ngapain aja? Yang kayak gini nih, nambahin populasi cowok brengsek yang kepengen ngerebut cewek orang. Kayak gue.

"Lu tahu kan, kalo gue selalu bawa baju ganti? Tenang aja, ada celana training dan kaos," balas gue santai.

"Terus, lu nggak ganti kolor? Jorok banget lu!" cetus Joy dengan ekspresi jijik.

"Yah nggak usah pake, lha. Sama kayak cewek yang kalo tidur nggak pake BH, cowok juga nggak koloran kalo tidur," balas gue lagi.

"Tapi posisinya, lu lagi nggak mau tidur. Abis mandi, bantuin gue booking tiket, trus balik," tegas Joy dengan alis terangkat lantang.

Gue berdecak pelan. "Iya, bawel! Takutan banget, sih!"

Gue pun langsung mangkir ke kamar mandi. Ada shampoo, conditioner, facial foam, dan sabun milik Joy yang udah ditata rapi di washtafle.

Joy termasuk cewek yang rapi. Beda jauh sama gue yang berantakan abis. Pernah satu kali dia main ke rumah lagi, dan histeris liat kamar gue yang kayak kapal pecah. Bukannya main, malah Joy rapihin plus bersihin kamar gue.

Kata Mami, Joy itu baik dan perhatian. Sayangnya, masih terlalu kecil dan nggak percaya waktu gue bilang umurnya udah 22 tahun. Mami kirain, dia masih umur 17 or 18 tahun, dan menuduh gue bohong kalo umur kami cuma beda 3 tahun.

Pesan Mami ke gue cuma satu tentang Joy. Kalo nggak bisa bikin anak orang bahagia, yah jangan dibikin rusak. Sebagai anak, gue bener-bener udah hina di mata Mami sendiri, tapi juga nggak bisa ngelak karena gue mengakui.

Gue bukan nggak pernah pacaran, juga bukan orang yang mutusin jalanin hidup kayak gini tanpa alasan.

Gue punya cinta pertama, yang bisa dibilang cinta sejati.
I mean, dalam hidup lu, pasti ada satu kali lu merasakan jatuh cinta setengah mati. Gue pernah ngerasain yang namanya cinta itu kayak gimana, dan sejahat apa cinta itu dalam hidup yang udah bikin gue rusak kayak gini.

Oke, gue nggak mau salahin cinta, karena hidup itu pilihan dan gue udah memilih jalan yang salah.

Cewek yang jadi cinta pertama itu adalah sosok yang baik dan perhatian. Dia mengutamakan kebahagiaan gue dibanding dirinya sendiri. Selalu ceria dan nggak pernah sedih. Harusnya, kami tetap bersama. Tapi sejak ortunya cerai, dia terpaksa harus pergi dan ikut nyokapnya pindah ke LN.

Waktu itu, kami sama-sama baru lulus SMA. Gue yang lanjutin kuliah ke Jepang, dan dia yang harus pindah ke Kanada. Awalnya masih sering kontekan, tapi beberapa bulan setelah kuliah, juga karena sibuk tugas, kami sempet lost contact.

The worst thing about distance is that you don't know whether she'll miss you or forget you. Gue yang masih positif tentang hubungan jarak jauh itu, sempet mau kasih kejutan untuk visit doi di Kanada. 

Niat gue simple, cuma mau ketemu karena rindu. Tapi begitu sampe di sana, gue nggak menyangka kalo dalam kurun waktu 1 tahun aja, dia berubah.

Doi lagi hamil gede dengan cowok bule sebagai temen satu flat-nya. Katanya, nggak akur sama nyokapnya dan milih untuk keluar dari rumah, lalu jalanin hidup bebas. Lucunya, seminggu lalu, kami masih chat seperti biasa seolah nggak ada apa-apa.

Gue nginjek negara itu, nggak sampe sejam, karena begitu gue tahu hal itu, gue balik ke bandara. Hancur? Nggak. Gue cuma merasa tolol karena dibohongi dan dikhianati.

So, pemikiran soal cinta itu berubah. Untuk apa mencintai, kalo gue bisa dicintai? Jadi, gue putusin untuk jalanin hidup dengan kepala terangkat. Fokus gue adalah diri sendiri, soal cewek? Itu cuma sekedar pemuas. Nggak lebih.

Cukup lama gue nggak punya hubungan deket sama cewek. Maybe around 5 years or so, atau sampai momen dimana gue ketemu dengan Joy.

Dia tipikal yang sangat positif sebagai pribadi, selalu ceria, juga baik. Meski awalnya, niat gue ngajak kenalan adalah buat main-main, tapi akhirnya berubah. Joy kayak punya something yang bikin gue nggak enak hati buat mainin, apalagi nyakitin.

Anjir, gue nggak nyangka bisa berpikir flashback kayak gini, sampe gue udah kelar mandi dan handukan aja.

Keluar dari kamar mandi, gue segera ambil baju dari tas saat Joy masih sibuk ngetik di laptop dan serius banget.

"Jangan nengok yah, gue mau pake baju. Kalo mau nengok, juga nggak apa-apa. Palingan nanti ada yang bangun," ucap gue geli.

Suara ketikan yang keras menjadi balasan dari Joy dan gue hanya bisa tertawa sambil pake baju. Setelah kelar dengan urusan bersih-bersih, gue samperin Joy, yang ternyata doi lagi nulis. Hm.

"Mau booking tiket?" tanya gue saat dia mendongak untuk melihat gue.

Tatapan kami bertemu dan sorot mata Joy saat menatap itu adalah momen yang paling gue suka. Lu cukup bayangin muka mupeng anak kecil yang kepengen es krim kesukaan, terus nggak sabaran itu kayak gimana? Udah pasti ngeliatin terus dengan kesan gigih untuk harus dapetin banget. Nah, Joy kayak gitu kalo lagi liatin orang.

"Gue udah coba cari, tapi kayaknya karena lagi high season, harganya tetep tinggi deh," ujarnya kemudian.

"Sini, gue lihat," balas gue.

Joy spontan berdiri dan membiarkan gue untuk duduk di satu-satunya kursi yang ada di situ. Gue mengambil alih laptopnya, sambil menariknya untuk duduk di pangkuan gue.

Kami berdua sama-sama fokus pada laptop untuk membuka beberapa website penerbangan dan memang nggak ada promo yang berarti. 

"Harusnya lu pesen sejak awal tahun, biar bisa dapet murah," ujar gue sambil terus meng-klik untuk mencari tanggal ajib supaya bisa dapet perbedaan harga yang lumayan.

"Last minute decision, Dude. Mendadak kepengen liburan aja," balas Joy ketus.

"Kayaknya ini udah yang paling oke. Kebetulan, pesawat ini emang kepunyaan negara itu. The price is much more reasonable," tunjuk gue ke laptop dan menoleh pada Joy yang sedang menganggukkan kepala.

"Oke, kalo gitu gue beli yang itu," putusnya langsung.

"Lu bawa passport buat isi data?"

"Bawa dong."

"Ya udah, sekalian tolong lu ambil dompet gue di tas."

Kening Joy berkerut heran. "Buat?"

"Tuh, kalo pake kartu ini, bisa dapet cashback 1 juta dan bonus reward poin. Kan lumayan," kembali gue menunjuk ke laptop dan Joy menyipitkan mata untuk memastikan.

"Oke, gue transfer ke lu," ujar Joy sambil menganggukkan kepala.

"Kayak sama siapa aja, sih? Beli juga belom, udah langsung transfer aja. Lagian, pake kartu kredit, tagihannya juga bulan depan," balas gue ketus.

"Gue tuh nggak suka kalo lu nggak mau dibayar kayak yang dulu-dulu. Harga tiketnya tuh mahal. Kalo pun lu punya duit, simpen buat masa depan," sahut Joy dengan lugas.

Gue tersenyum lembut sambil memeluk pinggangnya. "Gue memang lagi nabung buat masa depan, kayak beliin tiket ini misalnya."

Joy mengerjap bingung sambil memperhatikan gue dengan seksama. Kemudian, dia menghela napas dan menatap gue dengan lirih.

"Sebenarnya, apa yang lu tawarkan ke gue, Chan? Gue nggak ngerti," tanyanya.

"Maksud lu?" tanya gue balik.

"Kita udah kenal deket selama hampir satu setengah tahun ini. Deketnya itu sampe disangka orang tuh kita pacaran. Temen gue pun kiranya lu pacar gue, makanya pas gue jalan sama Sean, mereka kaget. Jujur aja, gue jadi bingung," jawab Joy dengan nada pasrah.

Gue diam.

Joy mengusap wajahnya dan tampak berpikir di sana. Jika biasanya dia selalu santai dan ceria, kali ini serius banget. Seperti bergumul or something.

"Dan sekarang, gue senang ketemu sama lu, tapi juga galau. Harusnya, gue ngerasa nggak enak hati sama Sean sekarang, karena lagi sama lu tanpa sepengetahuan dia. Tapi, waktu jalan sama Sean, gue justru jauh merasa bersalah sama lu. Makanya, 3 bulan ini gue berusaha untuk ikutin alur hati, tapi malah makin pusing, trus jadinya telepon lu tadi," lanjut Joy sedih.

Gue tertegun, juga nggak menyangka jika Joy akan tampak sesedih itu. Bukan cuma sedih, tapi dia juga mulai nangis. Shit. Hati gue merasa sesak dan nggak suka melihat wajahnya menangis.

"Jadi, gue harus gimana? Gue bingung dengan perasaan ini, Chan. Gue sayang Sean, tapi gue lebih sayang lu. Cuma, gue nggak bisa bedain perasaan ini, juga sangat egois dengan nggak bisa memilih salah satu," ucap Joy sambil terisak.

Jadi cewek, mungkin lebih bisa jujur karena mereka cenderung perasa. Buat gue sebagai cowok, justru apa yang ada di otak, cuma bisa disampaikan dalam hati.

Entah harus merasa senang atau sedih, yang gue tahu saat ini adalah Joy berusaha mengungkapkan perasaannya dan ingin memperjelas hubungan kami yang absurd.

Akhirnya, bukan kata-kata yang menjadi balasan, tapi justru gue memeluk dan mencium Joy. Tepat di bibirnya yang gemetar menahan isakan tangis.

Joy nggak menolak atau mendorong gue kayak biasanya, tapi justru memeluk leher gue dan memperdalam ciuman itu.

Dengan Joy yang duduk di pangkuan, gue mencium Joy dengan sepenuh hati. Cukup dalam dan semakin liar, menandakan bahwa kami merasakan kerinduan di jalur dan tujuan yang sama.

Gue cukup kaget dengan Joy yang mampu membalas ciuman gue sampai sedalam apa pun. Dia cukup expert, mungkin pengalaman make out sama mantan dijadikan ajang uji coba, tapi gue suka. Lidah gue masuk ke dalam mulutnya, dan dia membalas dengan menggigit bibir bawah gue. Dua tangannya mengusap kepala, menjambak rambut gue, dan mulai mengerang pelan.

Dua tangan gue? Mulai menyelinap masuk ke balik oversized t-shirt-nya dan  merayap ke atas untuk menyentuh dadanya. Napas gue memburu, dengan hasrat yang sudah mencapai ke kepala, dan memberi sinyal ke otak, hingga rasanya mau pecah.

Setelah membuka pengait bra-nya, tangan gue berganti posisi. Baru kali ini, gue menyentuh Joy. Payudaranya kencang, bulat, dan membuat gue gemas untuk meremasnya.

Joy melenguh pelan, tubuhnya melengkung saat gue mulai mengusap putingnya yang sudah keras, tanda bahwa dia terangsang oleh sentuhan gue.

"This is not right, Chan," ucap Joy di sela-sela ciuman kami. Berusaha tetap waras.

Sayangnya, gue nggak mendapatkan kewarasan itu. Apa yang kami lakukan memang nggak benar, tapi saat ini, semua terasa benar bagi gue.

Sesekali, gue merasa perlu bersikap egois. Gue ingin Joy hanya buat gue sendiri dan merasa senang kalau ternyata, Joy menyembunyikan kedekatan kami dari cowoknya.

Fuck you, Sean!

"Just tonight, Joy," ucap gue parau dan melepas ciuman untuk memindahkan bibir gue ke dadanya.

"Chandra!" pekik Joy saat gue mengangkatnya ke atas meja, tepat di sebelah laptop, dan gue membungkuk untuk mengisap kulitnya hingga memerah.

Gue nggak akan berhenti, itu adalah tekad gue saat ini. Senggaknya, gue mau Joy berteriak dan memanggil nama gue, bukan orang lain.

Joy begitu sempurna di bawah gue. Atasannya sudah gue lepaskan, dan dia hanya memakai celana jeans pendeknya.

Gue mengisap, menjilat, dan menggigit di sekitar dadanya. Sengaja memberi banyak tanda merah di sana. Ada kepuasan tersendiri saat melihat hasil kerjaan gue di dada Joy yang membusung indah, tampak menantang untuk dijamah lebih lagi.

Bibir gue bekerja di dada, tangan gue udah menyelinap ke dalam celana jeans-nya. Damn. Celana dalam Joy sudah begitu basah. Saat gue mengusap permukaan licin di tengah-tengah celahnya, Joy menjerit kaget dan mendesah lebih keras.

"Chan..."

"Ssshhh, gue mau lu nikmatin malam ini, Joy. Tutup mata lu dan cukup pikirin gue, nggak usah yang lain," sela gue dengan serak.

"Ini gila, Chan."

"Yes, ini gila. Dan gue udah positif gila karena mikirin lu," balas gue sambil menatapnya tajam dan mengusap naik turun lebih cepat di titiknya yang basah kuyup dari balik celana dalamnya.

Kemudian, Joy berteriak kencang, memanggil nama gue dengan terengah, dan tubuhnya bergetar. Gue mengangkat kepala untuk menatap wajah Joy saat mencapai orgasme. Anjir, muka sange-nya bener-bener bikin gue makin mupeng.

"Joy..." panggil gue lirih.

Seperti tahu apa yang gue maksud, Joy memeluk gue dan berbisik serak di sana. "Terserah lu mau ngapain supaya bisa keluar, asal jangan masukin."

Selalu ada jalan di saat lu mau usaha. Gue tahu jika Joy sangat menjaga dirinya dengan tetap mempertahankan selaput dara-nya. Itu nggak cupu, menurut gue itu keren.

Berhubung gue udah kepalang tanggung dan napsu yang udah mencapai ke ubun-ubun, gue melakukan petting. Menurunkan celana training untuk membebaskan milik gue, disusul celana jeans pendek Joy yang gue lepaskan, di situ gue menggesekkan diri ke celah basah Joy yang masih terbalut celana dalam.

Gue mencapai kepuasan setelah menggesekkan kedua tubuh kami dan mengerang pelan saat itu terjadi. Damn. Sebagai cowok, gue termasuk penggila seks dan nggak pernah melakukan petting. Tapi ternyata, rasanya puas. Sama sekali nggak menyangka jika Joy adalah orang pertama yang memberi gue pengalaman seliar ini.

Apalagi saat gue menegakkan tubuh dan melihat Joy yang hanya memakai celana dalam, dengan semprotan air mani gue di sekitaran perut hingga mencapai dadanya, itu adalah pemandangan yang sempurna.

Nggak ada kata yang terucap saat momen liar itu selesai. Hanya pengertian lewat sorot mata yang bertemu dalam arti yang sama.

Malam itu, gue menginap bersama Joy dengan tidur bareng dan saling berpelukan. Hanya tidur, nggak lanjut ke hal yang lebih dari itu, tapi ada dua hal yang terjadi tanpa pernyataan atau peringatan.

Yaitu : Joy yang nggak jadi pesen tiket, dan gue yang naik jabatan jadi selingkuhan.

◾◾◾

Saturday, May 17th, 2020.
22.48

Jangan ketok kepala aing.
Ini cuma tulisan, bukan kenyataan, anjir!
Tapi baper tuh... Lol 🍌




P.S. Start on Monday, I'll go to my routine and can't update properly.
But my Joy is exception, because she's special and this is my favorite story.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top