Chapter. 7

Keuntungan lainnya kalo punya temen baik yang nggak tegaan kayak Joy, dia akan bersedia membuatkan makanan kesukaan gue.

Menu yang gue mau hari ini tuh sederhana. Cuma kepengen indomie telor aja. Tapi kalo doi yang bikin, bisa jadi kayak ramen ala ala Korean Jjigae.

Udah janjian sejak dua hari lalu, gue datang ke apartemen Joy untuk menikmati makanan itu. Waktu gue tiba, dia lagi sibuk masak.

"Lu bikinnya berapa banyak? 5 bungkus, kan?" tanya gue.

Joy mengangguk sambil mengaduk panci. Nggak cuma mie aja yang ada di situ. Ada sosis, potongan daging, bakso, sayur-sayuran, pokoknya komplit! Bumbunya juga bukan bumbu indomie, meski mie-nya diambil dari situ.

"Pake telor, kan?" tanya gue lagi.

"Iya, gue bikin half boiled egg. Udah kelar direbus, tinggal gue buka aja nanti," jawab Joy sambil mengambil sendok, lalu mencicipi kuah.

"Ada seaweed, kan?"

Joy mendengus dan menatap gue sinis. "Bawel banget sih lu! Tinggal makan doang, nanya mulu!"

"Kali aja lu lupa sama pesenan gue," balas gue sambil terkekeh.

"Gue juga tambahin toppoki," lanjut Joy.

"Gue nggak suka makanan chewy-chewy gitu," keluh gue.

Toppoki itu Korean rice cake yang kenyal-kenyal nggak jelas. Herannya, Joy suka banget sama makanan itu. Pokoknya, cewek itu kalo udah suka sesuatu, pasti bener-bener disukai tanpa batas.

"Masih lama? Gue udah laper, nih," tanya gue lagi, yang langsung membuat Joy segera mengambil sendok, hendak menimpuk tapi gue udah keburu kabur sambil tertawa geli.

Gue pun membiarkan Joy melanjutkan urusannya dan duduk lesehan di ruang tengah. Ada meja lipat yang sudah disiapkan Joy, dan itu akan menjadi meja makan kami untuk berbagi.

Senyum gue mengembang saat Joy datang sambil membawa sebuah panci yang berisi mie dan kawan-kawannya.

Baru gue sadari kalo penampilan Joy hari ini cukup menggoda. Lace tank top warna hitam dan celana jeans pendek. Rambut panjangnya dibundel kayak donat, dan anak rambut yang nggak terjangkau di bundelan, tampak menghias wajah mungilnya dengan manis.

Kulitnya putih dan sehat, juga mulus. Lace tank top yang dia pake, memperlihatkan sedikit belahan dada dan...

"Eh, mata lu lagi jajan ke mana?" tiba-tiba Joy mendesis dan gue spontan mengangkat pandangan ke wajahnya yang tampak judes.

"Jajan bakpao," jawab gue iseng, lalu menjulurkan lidah untuk mengejeknya.

"Nggak usah liat-liat, punya gue nggak seberapa!" balas Joy ketus dan kembali beranjak ke dapur.

"Biar nggak seberapa, tapi bisa bikin sange, kok. Lagian, ukuran lu sesuai dengan postur badan lu. Terus, bentuknya bisa bulat gitu, kayak mangkok yang lu pegang. Aduh!"

Sial! Gue meringis karena Joy mengetok kepala gue pake mangkok yang dibawanya. Sakit banget, anjir!

"Nggak usah komentarin badan gue! Lu tetep nggak bisa pegang!" Sewotnya sambil duduk di depan gue.

"Kenapa gitu? Pedih amat jadi temen lu," balas gue asal, lalu menerima mangkuk yang udah diisi dengan mie olehnya.

"Iya, ngomong sembarangan aja terus! Lu kira gue pamerin tete ke temen-temen gue buat dipegang? Sialan lu!"

Gue cuma bisa ngakak.

Dengan Joy, gue bisa ngobrol apa aja. Bahkan, dia nggak pernah tersinggung dan nggak ambil pusing dengan omongan gue yang suka seenak jidat.

"Gila, enak banget! Jago amat sih bikin mie sampe seenak ini. Kayak gini, gue jadi pengen pacarin lu," celetuk gue dengan mulut yang sedang mengunyah.

"Lu pacarin aja Mbak lu yang kerja di rumah, dia juga bisa masak," sahut Joy cuek.

"Kampret lu!"

Joy hanya terkekeh dan kami menikmati mie kuah dengan seru. Satu panci mie ditaruh di meja lipat dan kami duduk berhadapan. Mangkuk yang diambil terlalu kecil dan gue nggak puas. Ribet.

Akhirnya, gue makan langsung dari panci, sedangkan Joy makan di mangkuk dengan kalem. Sesekali, gue menyuapi Joy dengan bakso kesukaannya.

"Btw, gue lagi deket sama cowok," cerita Joy di sela-sela sesi makan kami.

Gue langsung mengangkat wajah untuk melihat Joy yang asik menyeruput kuah. "Siapa? Darwin, temen baek adek lu? Atau Orlando, kakak pembina rohani lu?"

"New guy, Bro," jawab Joy sambil menatap gue tanpa ekspresi. "Ada orang baru di kantor, dan dia itu keponakannya komisaris."

Alis gue terangkat, menatapnya nggak percaya. "Lu jadi mainannya Om-Om?"

Pletak! Gue kembali mengadu kesakitan. Sial. Joy demen banget ngelakuin kekerasan sama gue.

"Dia itu bukan Om-Om. Masih muda lha, cuma lebih tua 3 taon di atas lu," ucap Joy ketus.

"Ya udah lu ngomong aja, ngapain pake mukul? Emang lu pikir nggak sakit?" balas gue nyolot.

"Habisnya lu bikin keki. Gue kan mau sharing sama lu."

"Iya, Iya. Sensi banget sih, lu! Terus gimana? Orangnya ganteng? Tajir?" tanya gue kemudian.

"Ganteng dan tajir itu nggak menjanjikan," jawab Joy lugas.

"Kata siapa? Gue buktinya," balas gue dengan kening berkerut.

"Kalo lu itu, nggak ada kepastian," sahut Joy cuek.

"Jadi, dia udah kasih lu kepastian?"

Joy mengangkat bahu. "Nggak tahu juga sih. Cuma udah nunjukkin kalo dia lagi pedekate."

"Ah, lu yang kege-eran kali!"

"Segitu nggak percayanya kalo ada yang lagi deketin gue," celetuk Joy dengan judes.

Bukan gue nggak percaya, tapi justru sebaliknya. Joy itu baik, bahkan terlalu baik untuk semua orang. Cowok mana pun pasti akan tertarik, karena dilihat dari sisi mana pun, Joy punya nilai lebih.

Anehnya, ada rasa nggak rela yang timbul dalam hati gue. Seolah ada ancaman yang berusaha untuk mengambil apa yang gue miliki, dan gue berniat untuk merebutnya kembali.

Ada yang salah di sini.

"Emangnya dia udah ngajak lu ngedate?" tanya gue kemudian.

"Dia bahkan udah ngajak gue ke rumah neneknya," jawab Joy langsung.

"What? Kok lu langsung mau, sedangkan waktu gue ajak lu main ke rumah selalu nolak?"

"Itu juga gue nggak tahu. Dia bilang mau ngajak makan sop buntut paling enak, eh nggak tahunya malah bikinan tantenya. Sialnya, mereka pas lagi ada acara keluarga."

Gue mendengus kesal. Mendadak keki. "Itu namanya, dia udah ngejebak lu dong?"

Joy menggelengkan kepala. "Gue juga nggak tahu. Sebenarnya juga, dia pernah bilang suka."

"Terus lu jawab apa?" tanya gue kaget.

"Gue belum kasih jawaban," jawabnya.

Seharusnya, gue perlu biasa aja. Sama halnya ketika gue cerita tentang kedekatan gue dengan cewek lain, dan Joy cuma mengangguk maklum. Tapi saat dia yang bercerita, rasanya dada gue sesak.

Joy nggak pernah cerita banyak soal kedekatannya dengan cowok lain semenjak putus. Semua yang dekat dengannya, cuma sekedar cerita. Tapi kali ini, Joy tampak serius, tanda bahwa itu bukan bercanda.

Nggak ada obrolan sampai sesi makan selesai. Joy yang langsung bersih-bersih dapur, dan gue yang mangkir ke ruang bacanya, lalu membaringkan tubuh di beanbag.

Kemudian, Joy menyusul dan duduk di satu beanbag yang ada di samping gue.

"Lu kenapa diem?" tanyanya.

"Nggak kenapa-napa," jawab gue sambil menggeleng.

"Lu nggak suka kalo ada yang deketin gue?" tembaknya langsung.

Tanpa ragu, gue mengangguk. Kalo boleh jujur, gue pun bingung dengan rasa egois yang terjadi dalam diri gue sekarang. Gue bebas sama siapa aja, tapi kenapa Joy nggak boleh sama orang lain? Shit.

"Kenapa gitu?" tanya Joy heran.

"Gue nggak mau lu disakitin," jawab gue langsung.

Joy tertawa pelan. "Chan, saat gue membuka hati, itu artinya gue siap dengan berbagai kemungkinan. Salah satunya, disakitin."

"Senggaknya, lu belajar dari hubungan yang sebelumnya. Bukan jatuh di lubang yang sama."

"I know that. Tapi balik lagi, Segala urusan yang berhubungan sama cowok, pasti ada unsur rasa sakitnya. Secara cowok itu kepalanya ada dua. Batu di atas, keras di bawah, yang tahunya cuma enak doang. Gue juga udah paham banget," cetus Joy tanpa dosa.

Sialan juga nih cewek, kalo ngomong emang bener.

"Lu udah suka banget sama cowok itu?" tanya gue kemudian.

Ada jeda cukup lama bagi Joy untuk terdiam. Dia tampak berpikir dan serius banget. Itu berarti, siapapun cowok yang lagi deketin dia, udah ngelakuin pedekate dengan bener. Gue akui itu. Karena nggak pernah gue liat Joy sampai seserius itu.

"Gue nggak tertarik secara visualnya," jawab Joy akhirnya. "Cuma gue terkesan dengan caranya bersikap dan bersuara. Beda visi dengan cowok-cowok yang pernah deketin gue. Dia tuh nggak niat main-main dan udah sampe ke tahap serius."

"Anjir lu, Joy! Lu udah mau nikah?" seru gue kaget.

Joy langsung menggelepak kepala gue sambil berdecak kesal. "Nggak gitu, Chan! Ya kali gue langsung nikah, kenal banget juga belom."

"Jadi, apa maksudnya lu cerita kayak gini sama gue?" tanya gue sambil mengusap kepala dan menatap Joy sebal.

Joy kembali berpikir dan tampak hati-hati dalam memberi jawaban.

"Kayaknya, gue mau terima dia jadi pacar gue."

Deg.

Ada satu jeda yang bikin gue kayak ngerasa detak jantung gue berhenti dan kayak ada batu gede yang menekan di dada. Oke, gue lebay! Maksudnya gue nyesek.

Seharusnya, itu nggak jadi masalah. Joy happy, gue pun happy.

Seharusnya, gue ikut senang dan kasih dia pelukan sebagai bentuk dukungan. Bukan dengan diam dan menatapnya lirih.

Seharusnya lagi, itu bukan urusan gue, apalagi perasaan. Karena Joy adalah Joy, dia berhak lakuin dan putusin apapun dalam hidupnya, tanpa perlu memberitahu soal ini.

Masih banyak seharusnya yang terlintas dalam pikiran, tapi gue pegel untuk sampaikan dan tuliskan. Kesannya jadi ngenes banget.

"Chan, kok lu diem? Lu nggak setuju kalo gue punya pacar lagi?" tanya Joy dengan ekspresi penuh harap.

"Emangnya kalo nggak, lu bakal tolak?" tanya gue balik.

"Nggak, karena gue yang berhak nentuin soal keputusan itu. Lu cuma gue kasih tahu karena lu itu teman baik yang selalu ada saat gue susah. Otomatis, lu juga harus ada saat gue senang," jawab Joy.

Nggak bakal heran kalo Joy bisa ngomong kayak gitu. Lagian, jawaban apa yang gue harapkan dari Joy? Ckck.

"Oke, kalo lu siap dan merasa dia yang terbaik, silakan," ujar gue pelan.

"You seem unhappy, Chan," balas Joy sambil mendekatkan beanbag-nya ke arah gue dan mencondongkan wajahnya untuk menatap gue dari dekat.

"Gue janji kalo gue akan jaga diri. Lu nggak usah kuatir," lanjut Joy lembut sambil menggenggam satu tangan gue dengan dua tangannya.

Soal jaga diri, gue nggak perlu ragukan itu dari Joy. Tapi hatinya? Gue bahkan nggak bisa tahu bagaimana nantinya karena sulit untuk ditebak.

"Promise me one thing, Joy," balas gue lirih.

"What?" tanyanya.

"Don't change because of someone you love. Always be yourself whenever or wherever you are," jawab gue.

Joy memberi senyuman terlembut yang pernah gue lihat, seolah itu caranya untuk meyakinkan gue bahwa dia akan baik-baik aja. Tapi nggak buat gue.

Seminggu kemudian, doi umumin kalo udah jadian. Biasanya, kita bisa ketemu secara rutin di 2-3 kali dalam seminggu. Sekarang? Seminggu sekali aja belum tentu, meski chat masih setiap hari.

Ada yang hilang dalam diri gue, dan masih belum tahu itu apa. Yang pasti, gue merindukan Joy. Gue menghabiskan waktu untuk kerja lebih banyak, pergi minum lebih banyak dengan temen-temen gue, dan cari selingan buat mencoba untuk melepas Joy dalam pikiran gue.

Ternyata nggak semudah itu.

Semakin gue berusaha nggak mikirin, justru gue semakin kangen. Sampai akhirnya, gue tahu kalau ternyata ada rasa ingin memiliki yang terabaikan selama ini, hingga tanpa sadar, rasa itu terlalu banyak untuk terpendam.

Saat ini, rasa itu justru meluber karena sang penadah nggak ada.

Ya, karena dia sudah pindah ke hati yang lain untuk menadah rasa yang seharusnya sudah diambilnya sejak dulu. Harusnya dari gue. Dan bukan dia.

◾◾◾

Friday, May 15th, 2020
10.05

Sumpah! Tulis cerita ini addicted banget.
Jempol aing gak bisa slow.

Chandra, you are strong.
Ganbatte! Lol.

I love this pic so much.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top