Chapter. 5

Jika lu menemukan teman baik, maka urusan berantem, berdebat, atau selisih akan langsung selesai tanpa lu sadari. Apalagi kalau dengan teman yang nggak tegaan, kayak Joy misalnya.

Tiga hari lalu, gue ditampar dan langsung diusir dari apartemennya. Cuma gara-gara gue cium bibirnya dan dia marah. Meski sebenarnya, dia marah bukan karena itu, tapi kesel gue usik saat dia lagi asik baca buku.

Joy marah, hidup lu kelar. Lu akan dianggap sampah masyarakat yang nggak pantes direkonsiliasi. Nomor gue di-blocked, dan gua nggak bisa hubungi dia selama tiga hari. Itu udah biasa.

Mungkin aja dia masih kesel dan nggak kepengen diganggu. Adatnya emang jelek kalau lagi nyebelin, tapi nggak bisa gue pungkiri kalau dia juga punya hati yang baik.

Tiga hari nggak bisa hubungi, gue coba iseng kirim email dan kasih tahu kalau gue lagi sakit. Iya, gue memang sakit dan bukan lagi modus. Gara-gara urusin satu mobil temen yang butuh urgent karena mau dipake buat masuk ke majalah otomotif, gue begadang dan nggak makan teratur selama dua hari.

Siang ini, badan gue tiba-tiba demam. Gue yang masih selonjoran di kasur sambil main hape, pintu kamar gue tiba-tiba dibuka tanpa permisi. Siapa lagi kalau bukan nyonya rumah rese yang berani seenaknya? Nyokap gue.

"Mi, nggak bisa ketuk pintu dulu, yah? Kalo aku lagi telanjang bulet gimana?" Keluh gue untuk kesekian kalinya.

Mami masuk ke kamar sambil bertolak pinggang. "Kenapa? Kamu lagi nonton bokep?"

"Astaga, Mami. Please, deh. Nggak usah bikin keki karena aku lagi nggak enak badan," sewot gue kesal.

Mata Mami menyipit tajam dan membungkuk perlahan ke arah gue. "Kamu ngapain anak orang?"

"Hah?"

"Ada ABG di bawah. Kayak masih SMP menuju SMA. Orangnya kecil, imut, dan kayaknya masih polos banget. Dia datang ke sini cariin kamu. Itu kenapa? Dia nggak hamil, kan?"

Punya nyokap yang kepo bin rese kayak Mami, rasanya kayak nano-nano. Antara pengen gue jitak tapi sayang, mau gue sahutin tapi takut durhaka.

"Dia temen Chandra, Mi," jawab gue sambil beranjak.

"Kenapa dia sampe datang segala? Katanya dia tinggal di Utara, ngapain samperin ke Selatan? Ujung ke ujung gitu? Lu kadalin apa ke dia sampe rela jalan jauh gitu?" hardik Mami dengan tatapan yang masih curiga.

"Eh tolong banget mulutnya dijaga, yah. Yang Mami tuduh itu anak sendiri," keluh gue dengan jengkel.

"Justru karena tahu anak Mami sendiri, makanya curiga adalah satu keharusan," tegas Mami.

"Aku nggak tahu dia kenapa ke sini, Mami. Cuma tadi aku ada kirim email kalau aku lagi sakit," balas gue.

"Hallah, alasan aja! Manja banget jadi cowok, sakit aja pake ngadu. Mami yang serumah sama kamu aja nggak tahu kalau kamu lagi sakit!" Elak Mami sambil memegang kening gue, lalu menggelepak kepala gue. Damn.

"Biarin manja, yang penting ada yang perhatian. Emangnya Mami? Suudzon mulu jadi orang tua," sahut gue sambil berjalan keluar dari kamar.

Dalam hati, ada rasa senang. Joy paling nggak tega kalau ada yang sakit atau tertimpa bencana. Dia pasti akan jadi orang pertama yang repot untuk kasih perhatian dan beli-beli makanan. Mumpung lagi lapar, gue penasaran apa yang dia bawa buat gue.

Saat gue turun, di situ gue melihat Joy sedang mengobrol dengan kakak perempuan gue, yang nggak kalah keponya dengan nyokap gue. Namanya Samantha, dipanggil Sasa, mirip merk MSG yang dijual di pasaran.

"Joy," panggil gue dan dia segera menoleh.

Meski ekspresinya masih dingin saat melihat gue, tapi sorot matanya terlihat kuatir. Pantas aja nyokap bilang dia kayak anak SMP, hari ini dia pake rok lipat selutut bermotif kotak-kotak berwarna merah dan atasan lucu berwarna putih. Rambutnya diikat satu, dengan poni yang berbaris rapi menutupi kening.

"Eh, Monyet. Temen lu dateng nih, pake bawain nasi tim segala. Sakit macam apa lu? Gue yang di sini aja nggak tahu lu sakit," celetuk Sasa yang langsung membuat gue mendengus kesal.

Nggak nyokap, nggak kakak, sama aja nyinyirnya. Tuh, lihat! Muka Joy jadi busuk sekarang.

"Gue emang sakit," balas gue ketus.

"Sakit apa lu?" Tanya Sasa dengan nada curiga.

"Sakit hati dicuekin anak orang. Puas lu?" balas gue sengit.

"Anak orangnya itu Joy?" Nyokap langsung celetuk dari arah belakang dan membuat Joy terlihat gugup.

"Bagus, Joy! Nggak usah kasih ati sama cowok model begini. Bikin rusak aja bisanya, reparasi kagak pernah mau," sahut Sasa berapi-api.

"Comel banget sih mulut lu, Sa?" sewot gue yang mulai emosi.

"Chandra nggak parah-parah banget kok, Kak. Sebenarnya dia baik, cuma belum ketemu waktunya aja buat kena karma," balas Joy menengahi.

Sial. Gue hanya menatap Joy kesal dengan balasannya yang justru membuat nyokap dan Sasa ketawa geli sambil mengejek gue.

Tanpa peduli lagi, gue mendekati Joy dan menoleh ke luar rumah. "Kenapa lu bisa tahu rumah gue? Sama siapa dateng?"

"Gue ke bengkel, tapi lu nggak ada. Kata JoJo, lu di rumah, jadinya dia yang anter gue ke sini," jawab Joy datar.

Gue berdecak sebal karena Joy diantar JoJo. Menurut cewek itu, JoJo adalah yang paling oke diantara kami bertiga. Padahal, nilai yang gue punya jauh lebih tinggi ketimbang JoJo yang krempeng.

"Lain kali nggak usah dianter sama JoJo. Lu bisa telepon gue," sewot gue.

Joy merengut dan mengarahkan satu tangan ke kening gue. "Hmm... Gue baru tahu kalo lu bisa demam juga. Sok-sokan begadang sih lu. Kalo nggak benerin mobil, mainin cewek ckckck."

Satu lagi orang yang seneng banget buat ngejulidin gue. Sama sekali nggak ada bagus-bagusnya gue di mata para cewek yang ada di sini.

Nyokap dan Sasa masih setia berdiri sambil menonton. Mereka pikir ini sinetron, karena nggak biasanya ada cewek yang dateng ke rumah. Cuma Joy aja.

Mami dan Sasa nggak pernah tahu siapa Joy karena gue nggak cerita. Lagian, buat apa gue cerita kalo pada akhirnya mereka niat kepo kayak sekarang? Gue juga bukan nggak pernah ngajakin Joy main ke rumah, tapi dia yang nggak mau. Katanya, nggak mau karena takut disangka cewek bergilir. Sial.

"Joy, udah makan?" Tanya Mami dengan ramah.

Keramahan Mami justru bikin gue curiga. Sasa juga.

"Udah, Tante," jawab Joy sopan.

"Kalo gitu, temenin kita makan yuk. Kebetulan, kita belum makan, Chandra juga," balas Mami sambil menggandeng tangan Joy.

Dasar SKSD.

"Bokap kemana?" Tanya Joy pelan saat duduk bersebelahan dengan gue di meja makan.

"Ada bisnis di luar kota. Tar malem baru pulang," jawab gue yang juga pelan.

Joy mengangguk mengerti sambil membuka sebuah kantung plastik merah dan mengeluarkan satu kotak styrofoam.

Dengan telaten, Joy membuka kotak dan menaruhnya di depan gue. Hal itu membuat gue tersenyum senang dengan perhatian kecil yang dia berikan.

"Tante sama Kakak, kalo mau nasi tim, ini aku ada beli lebih. Pas buat kalian bertiga," ujar Joy memberitahu Mami dan Sasa.

"Lu kenapa nggak beli buat makan sendiri? Kenapa cuma beli tiga?" tanya gue sambil menyendok satu suap dan melahapnya. Hm, ini enak.

"Tadi udah makan bareng JoJo, jadinya bungkus buat kalian karena katanya ada Tante sama Kakak di rumah."

Jawaban Joy membuat gue tersedak nasi tim dan buru-buru ambil segelas air yang udah ditaruh sama Inem waktu siapin makan siang.

"Kenapa, Bro? Ada yang nyangkut tapi bukan di tenggorokan?" ejek Sasa sambil memberi cengiran lebar di sana.

Mami senyum-senyum geli sambil membuka kotak nasi tim yang dibeli Joy. "Karma udah nyampe kayaknya."

"Siapa yang kena karma?" tanya Joy bingung.

Mami dan Sasa cekikikan, keliatan seneng banget liat gue yang masih sengsara karena tersedak tadi.

"Lu kenapa sih makan kayak anak kecil? Nasi tim itu kan lembek, nggak keras," sewot Joy pelan.

Sasa menyahut. "Yang lembek itu bukan nasinya, Joy. Tapi..."

"Bacot!" sela gue keki sambil melotot pada Sasa.

Mami tertawa dan sesi makan siang pun dimulai. Para cewek mengobrol, atau lebih tepatnya semacam interview yang dilakukan Mami dan Sasa untuk Joy.

Seperti biasa, Joy sama sekali nggak paham soal jebakan betmen ala Mami dan Sasa yang suka mau tahu urusan orang. Naluri keponya semakin menjadi, termasuk tanya soal gimana caranya kami saling kenal.

Gue tahu kalau Mami dan Sasa heran dengan kedekatan kami. Karena mereka tahu kalau hubungan gue dengan yang namanya cewek, nggak akan lebih dari sebulan ato dua bulan. Juga, liat Joy yang datang sambil bawain makanan, udah jadi kecurigaan Mami yang daritadi ngelirik terus ke arah gue waktu Joy menjawab pertanyaannya.

"Kalau Chandra ada macam-macam sama kamu, bilang sama Tante. Pokoknya, jadi cewek harus ada self defense, jangan lemah. Cewek lemah, itu sasaran empuknya cowok buaya yang suka ngebual," titah Mami dan Joy mengangguk mantap.

Waktu Mami ngomong buaya, matanya benar-benar ngeliatin gue. Fix, gue yang jadi buaya di sini.

Padahal banyak cewek yang terima godaan dengan mudah, nggak pake maksa, tapi mau aja. Juga, nggak jarang ada yang nyosor duluan. Hidup jadi cowok emang berat. Seringnya dihina dan dicaci sama cewek yang berharap lebih.

Cowok itu simple. Gue mau, lu mau, sama-sama mau, lanjut. Apalagi urusan seks, sama sekali nggak susah, karena sama-sama mau dan enak.

Lucunya, cewek berpikir dengan kasih seks, dia bisa ngendaliin cowok, padahal justru dia yang terjun ke pikiran absurd-nya soal tidur bareng yang ending-nya kudu sampe nikah. Horor banget.

Sama-sama enak, kenapa ujung-ujungnya harus nuntut? Kecuali kalo cowok bego yang nggak main aman dan bikin anak orang hamil. It's double shit.

Intinya, obrolan Mami dan Joy berbau peringatan supaya cewek itu jangan terlalu berharap sama gue. Ckck. Punya Mami sotoy emang gini. Dia kira Joy itu bego apa? Daritadi, gue udah bisa ngeliat muka Joy yang nahan ketawa sambil ngelirik ke arah gue.

"Nyokap lu asik juga," komentar Joy saat sudah masuk ke kamar gue dan melihat-lihat sekelilingnya.

"Kepo gitu, dibilang asik," celetuk gue ketus sambil menutup pintu kamar dan menguncinya.

Joy berbalik dan duduk di tepi ranjang. "Dia sayang sama lu, makanya kepo. Kalo cuek, itu harus dipertanyakan."

Gue hanya mendengus dan duduk di sampingnya. "Kenapa bisa datang ke sini?"

"Karena lu sakit," jawab Joy dan langsung membuka tas selempangnya, lalu mengeluarkan satu kantong plastik kecil dari situ.

"Bawa apaan lagi?" tanya gue heran.

"Ini vitamin, juga Panadol. Kalo udah nggak demam, minum vitamin. Jaga badan lu, jangan sampe sakit gini. Percuma punya badan gede tapi soak," jawabnya santai sambil mengambil sebutir obat dan tumblr minum miliknya. "Nih, lu minum dulu."

Gue tersenyum dan menerima obat serta tumblr-nya. Dia memang sebaik itu, bahkan suka memberikan perhatian yang nggak gue sangka. Meski mungkin masih marah sama gue, tapi dia bisa kesampingkan rasa marahnya dengan memberi perhatian seolah nggak ada masalah.

Kalo gue udah marah, gue bahkan nggak peduli kalo orang itu mati di depan gue.

"Thanks, Joy," ucap gue tulus dan dia mengangguk sambil menerima kembali tumblr-nya.

"Lu nggak marah lagi sama gue?" tanya gue kemudian.

Joy menggeleng. "Gue nggak marah sejak hari itu, kok."

"Terus, kenapa lu malah nggak balas telepon atau chat gue? Malah nge-block gue segala," balas gue dengan kening berkerut.

"Gue cuma butuh waktu buat mikir, kita ini sebenarnya apa?" ujarnya dengan alis bertautan, seolah berpikir.

"Kita teman baik," balas gue cepat.

Dia tersenyum hambar. "No, kita lebih dari sekedar teman baik kalo kelakuan lu kayak gitu."

"Maksud lu..." ucap gue dengan nada mengambang, berusaha mencari kalimat yang tepat, "... lu mau jadi pacar gue?"

Joy malah tertawa pelan dan menggeleng dengan tegas. "Not like that, Brother. You're more to me than someone to be with."

"Jadi, lu nggak mau jadi pacar gue?" tanya gue dengan sisipan rasa kecewa yang tiba-tiba muncul dalam hati.

"Jadi pacar bukan solusi. Misalkan kita jadian, apa lu yakin bakal berhasil? Yang gue takutkan bukan soal memulai, tapi mengakhiri. Kita udah punya hubungan yang sangat baik, dan rasanya nggak sepadan kalo hancur cuma gara-gara kita nggak cocok sebagai pacar," jawab Joy dengan lugas.

Gue mengubah posisi untuk bisa berhadapan dengannya, Joy juga. Membuka kedua kaki agar Joy bisa duduk di antara kedua kaki, memberikan kedekatan yang menyenangkan bagi kami.

"Gue sayang lu," ucap gue tulus.

"Gue tahu, karena gue juga begitu," balas Joy lirih.

"Tapi..."

"Gue udah banyak temuin cowok yang jauh lebih brengsek dari lu. Terakhir aja, gue diselingkuhin. Juga, gue punya bokap yang sama sekali nggak bisa jadi bokap yang bener buat anaknya, sampe gue harus cari tahu sendiri tentang sosok cowok yang bener buat diri gue, supaya jadi orang yang lebih baik. Itu nggak gampang," sela Joy.

"Gue nggak akan nyakitin lu, Joy," sahut gue serius.

Joy mengangguk setuju. "Kalo gitu, biarkan lu tetep jadi orang baik dalam daftar hidup gue. Saat jadi pacar, gue nggak yakin apakah lu tetep masuk dalam daftar itu?"

"Lu meragukan gue?"

"Nggak. Gue ragu sama diri sendiri. Sebagai teman, gue bisa terima semua kekurangan lu. Tapi sebagai pacar, gue rasa ada banyak kemungkinan buruk yang akan mempengaruhi penilaian gue terhadap lu."

"Gue bisa jadi diri sendiri saat bareng lu."

"Gue juga. Karena itu, kita sama-sama berjuang buat hubungan yang udah baik. Misalkan nanti kalo kita sama-sama belum temuin orang yang pantas buat kita dalam waktu dua tahun, ntar baru dipikirin lagi."

Gue terdiam sambil menatap Joy. Cewek itu tampak berusaha meyakinkan, juga nggak memaksa untuk gue harus supaya mengerti. Dia hanya menyampaikan pemikiran dan pendapatnya.

Selama setahun berteman, ini adalah topik paling serius karena memang kami nggak pernah membahas hubungan macam apa yang kami jalani saat ini.

Hanya bermodalkan rasa nyaman, senang, perhatian, dan ingin mengenal lebih banyak, kami masih menjalin hubungan itu.

Tentu aja, sebagai orang yang paling mengerti akan dirinya, gue mengangguk sambil tersenyum lebar. Joy mendesah lega dan memeluk gue dengan erat.

"Udah baikan, kan? Nggak perlu ngambek lagi?" tanya gue santai.

"Asal jangan main cium kayak kemarin," jawabnya tegas.

Gue mengangguk lalu mengeratkan pelukan untuk berguling ke tengah ranjang. Joy memekik kaget dan mulai sewot nggak karuan.

"Gini yah yang gue nggak suka. Lu selalu cari kesempatan!" sewot Joy sambil berusaha melepaskan diri.

Seperti guling, gue memeluk Joy yang mungil dalam dekapan sambil berbaring di ranjang.

"Being a good friend, there's more benefits to come, Baby," ucap gue sambil terkekeh ketika Joy pasrah karena nggak sanggup melepas pelukan gue.

"And I don't need that kind of loyalty," balas Joy dingin.

"My loyalty will always be yours, even the benefits stop."

Joy langsung mendongak untuk menatap keseriusan di wajah gue. Sorot matanya melembut dan dia tersenyum sambil menaruh satu tangan di pipi gue.

"You have a good soul, but never appreciate your own value with being jerk," ucapnya lembut.

"Karena versi baik yang itu, cukup lu aja yang tahu. Sekarang, temenin gue tidur. Gue ngantuk," balas gue nggak mau tahu sambil memeluk Joy erat.

Joy nggak menolak, tapi justru merapatkan dirinya pada gue. Senyuman gue semakin mengembang sambil memejamkan mata. Membawa gue dalam lelap yang cukup panjang, cukup lama hingga nggak menyadari kalau ternyata Joy udah nggak ada saat gue terbangun.

Meninggalkan gue dalam rasa damai dan senyum yang terus mengembang di wajah kayak orang bego.

Joy is special. She brings up her positive vibes to fulfil my value and always be my favorite human.

◾◾◾

Wednesday, May 13th, 2020
13.20

Part ini ditulis karena lagi lapar. Ada yang mau kayak Joy untuk datang bawain makanan? Haqhaqhaq 😛

Mungkin kayak gini usaha Joy buat kabur waktu Chandra tidur lol.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top