Chapter. 4
Yang nulis namanya Bambang, bukan Chandra.
Hobi : Menggoda.
Terutama buat doi yang suka ngambek haqhaqhaq 😛
Setelah mengetukkan palu ke paku terakhir, akhirnya gue bisa menghela napas dengan lega.
Jadi temen, sebenarnya nggak ada untungnya. Lu akan dijadikan orang yang ditunjuk buat bantu-bantu, atau kalau lagi susah. Kayak gini misalnya.
Joy yang pindahan, gue yang kesialan. Dia pindah ke sebuah unit apartemen model two bedrooms. Semua interior sangat simple kayak orangnya. Dekorasi warna? Nggak perlu ditanya, udah pasti pink, tapi nggak norak. Pink pastel.
Ruang utama dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang duduk yang ada satu TV flat dengan player, satu sofa panjang, dan karpet beserta boneka-boneka jelek yang berbaris di dekat gordyn. Sebagai pemanis katanya, biar kalau ada yang datang, bisa langsung senyum sumringah karena ada boneka lucu yang nyambut. Buat gue, itu bikin eneg.
Satu ruangan lain, adalah mini kitchen yang terhubung dengan kabinet kecil di depan pantry yang fungsinya buat meja makan. Jadi kayak meja mini bar gitu. Konsepnya minimalis, fungsional, dan nggak makan tempat.
Kamar utama dijadikan sebagai kamar tidur Joy, yang belum apa-apa, kepala gue udah pusing liatnya. Tembok sudah dicat pink pastel, satu set furniture yang terdiri dari ranjang, meja rias, dan lemari berwarna putih harusnya nggak jadi masalah. Tapi tempelan stiker yang katanya bakal glow in the dark itu yang nyakitin mata.
Sprei yang terpasang adalah Winnie the Pooh dengan dasar warna pink, stiker-stiker mungil ditempel di sisi-sisi kaca meja rias, nakas, dan lemari. Katanya, biar seolah-olah beruang jelek dan nggak six-pack itu ada di sekelilingnya. Gue bersumpah akan cabut semua stiker sampah itu. Suatu hari nanti.
Satu kamar yang lebih kecil ingin dibuat seperti perpustakaan kecil, sekaligus ruang kerjanya. Dinding kamar adalah rak buku yang akan memamerkan sebuah koleksi bukunya. Dan tukang yang bikin rak buku itu adalah gue sendiri.
"Udah kelar nih, lu bersihin deh! Gue capek!" ucap gue ketus sambil menaruh peralatan kerja seperti palu, mesin bor, dan lain-lain ke dalam box.
Derap langkah tergesa seperti berlari langsung datang dan itu adalah Joy yang langsung berteriak girang dan melompat-lompat seperti anak ayam.
"Gokil! Gokil! Gokil! Ini rak buku keren banget. Impian gue. Mini library yang bakalan jadi tempat favorit!" seru Joy sambil berjalan menyusuri rak buku yang dibuat setinggi plafond, dan seluas ruangan itu.
Gue yang udah duduk di pojokan untuk istirahat, hanya bisa menggelengkan kepala melihat antusias Joy yang kesenangan sendiri.
"Chandra, bantuin dong buat lap bagian atasnya. Gue nggak nyampe!" Joy memanggil tanpa menoleh karena sibuk meloncat-loncat sambil mengarahkan kanebo basah untuk membersihkan rak teratas.
"Mau loncat ampe nangis juga nggak bakalan sampe, Dodol. Heran banget sama lu yang kepedean minta rak tinggi begitu. Oh, gue lupa, orang pendek suka banyak maunya," sewot gue sambil beranjak ketika Joy sudah berhenti loncat dan berbalik untuk menatap gue kesal.
"Orang tinggi juga banyak lagunya. Katanya temen, tapi minta bantuan aja nggak ikhlas!" omelnya.
"Tuh bibir pengen banget gue caplok, yah. Siapa yang nggak ikhlas? Gue cuma heran aja sama lu yang nggak bisa mikir. Lu mau bikin rak tinggi-tinggi itu, sama aja nyusahin diri sendiri. Kalo nggak ada gue, dengan cara apa lu ambil buku bagian atas?" balas gue dengan alis terangkat tinggi.
Joy menengadah, terlihat sok berani dengan posturnya yang cuma sedada gue. Lucu, julukan Daud dan Goliath dari Babon langsung teringat, dan itu membuat gue menahan senyuman.
"Gue belom beli tangga kecil buat naik!" sahutnya lantang.
"Tangga kayak gitu nggak guna. Selain bahaya kalo lu naik tinggi-tinggi, itu juga bikin sempit," ujar gue sambil menyilangkan tangan.
Joy berdecak dan kembali berbalik untuk melanjutkan kegiatan bersih-bersih, membelakangi gue. "Kalo nggak mau bantu, ya udah. Nggak usah cari-cari perkara dengan bikin gue kesel."
Gue tersenyum dan melihat Joy yang masih berusaha membersihkan rak teratas. Spontan, gue mendekat lalu menekuk sedikit lutut untuk mendekap pinggangnya dari belakang, dan mengangkat tubuh Joy dengan ringan.
"L-Lu ngapain?' tanya Joy kaget.
Dia menoleh dan tatapan kami bertemu dalam posisi kepala yang sama. "Gue nggak bisa bersih-bersih. Lu aja yang bersihin, gue yang gendongin."
"Nggak mau ah. Apa-apaan sih?' tolak Joy sambil menggeliat.
"Susah yah jadi orang bener? Niat bantu, tapi diginiin. Kesel banget gak, sih? Mau banget gue lempar ke jendela?" sewot gue galak.
Joy cemberut dan mendengus sambil berbalik ke rak, lalu mulai membersihkannya. "Kenapa harus gendong-gendongan? Nggak bisa yang natural aja?"
"Emangnya pikiran lu udah sampe mana? Gendong lu kayak gini, nggak bikin sange," celetuk gue keki.
"Ini tuh nggak etis. Dilihat orang tuh nggak enak," balas Joy sambil terus membersihkan, selagi gue berjalan mengikuti arahnya untuk bergerak ke samping.
"Nggak ada orang selain kita berdua. Misalnya ada orang pun yang liat kita begini, nggak jadi masalah. Gue nggak peduli apa kata orang, yang penting apa kata Mami," cetus gue langsung dan Joy tertawa sambil menoleh.
"Lu itu brengsek tapi anak Mami, yah," ejeknya geli.
Gue hanya mengangkat bahu sambil mengeratkan dekapan di pinggangnya dan kembali mengarahkannya untuk membersihkan sudut terakhir rak itu.
"Mami itu berjasa karena udah gedein gue sampe sekarang. Cerewet sih, tapi yang namanya cewek kalo nggak cerewet, yah susah hidupnya," ujar gue dan tawa Joy langsung meledak.
"Cerewet itu karena sayang dan peduli. Bersyukur aja kalo masih punya Mami. Gue aja suka sirik sama orang yang masih punya nyokap buat dijadikan tempat curhat. Turunin gue, udah kelar."
Gue menurunkan Joy dan kami kembali melanjutkan aktifitas bersih-bersih itu.
"Walaupun lu udah nggak punya nyokap, lu masih punya gue," ujar gue tulus dan dia mengangguk.
"Thank God for that," balasnya yang memulai membersihkan bagian rak tengah dan bawah.
"Apa lu tahu kenapa bokap bisa tega mukul waktu nyokap lu masih ada?" tanya gue dengan pelan, berusaha mengawasi ekspresi Joy yang tampak biasa saja.
"Pergaulan, mungkin? Ketemu teman bisnis, suka minum, lalu mabok dijadikan new habit. Kadang, bokap kaget waktu liat muka nyokap gue lebam di pipi, setelah dia sadar," jawab Joy sambil sibuk membersihkan rak.
"Jadi, dia mukul pas mabok?" tanya gue kaget.
"Iya. Dia juga pernah mukul gue."
Gue tersentak dan spontan menariknya untuk berbalik menatap gue. "Kapan?"
Dia tersenyum hambar. "Waktu masih remaja. Waktu gue belain nyokap dan dia nggak terima."
"Gimana mukulnya?"
"Jedotin kepala gue ke tembok sambil merutuk gue bakalan jadi pelacur."
Tertegun. Seumur hidup, gue nggak pernah denger ada bokap yang tega sama anak ceweknya. Sedih dan trauma, itu adalah kesan yang gue dapatkan dari sorot mata Joy. Meski ekspresinya datar, tapi gue tahu dia berusaha menahan diri.
"Karena itu, lu berusaha cari cowok yang jauh lebih dewasa? I mean, lu kurang figur seorang bapak?" tanya gue lagi.
Joy terkekeh pelan. "Kenapa sih hari ini jadi kepo?"
"Cuma pengen tahu," jawab gue.
"Lanjutin bersih-bersih, tolong ambilin dus gede yang ada di depan, gue mau susun buku."
Gue tahu Joy ingin menyudahi pembicaraan yang mengusik dirinya. Gue pun tahu jika sudah lewat batas dan nggak memperpanjang lagi.
Dus besar yang teronggok di depan ada dua. Sialnya, itu bener-bener berat. Isiannya batu bata kayaknya, berat banget. Begitu gue udah bawa masuk ke ruangan itu dan gue buka, semua macam buku ada di sana. Komik, novel, majalah, dan beberapa buku tulis yang berisi tulisan tangan.
"Buku tulis ini cerita yang lu bikin sendiri?" tanya gue.
Joy menyahut. "Iya."
Tanpa menoleh ke arahnya, gue mengambil lagi beberapa buku yang disusun di dalam dus. Kali ini bukan tulisan, tapi gambar yang disertai cerita.
"Lu juga bikin komik?" Tanya gue takjub.
"Iseng aja karena gue suka Mari-Chan," jawabnya dan dia sudah menghampiri dengan ikut membongkar isi dus.
"Lu suka balet?" tanya gue lagi.
"Lebih ke MD," jawabnya.
"Koreografer juga?"
"Yes."
"You got to be kidding me. Badan kecil kayak lu, mana bisa nge-dance ka... Aduh! Jangan mukul gue!"
Joy memukul punggung gue dengan buku yang dipegangnya. Cukup sakit. Sial. Dia benar-benar nggak bisa lembut kalo udah tersinggung.
"Bodo!" sahutnya dan langsung mengangkat beberapa buku untuk disusun di rak.
Gue hanya merengut dan ikut membantu menyusun buku-buku itu. Ternyata, punya rak yang dipenuhi buku-buku kesukaan adalah kepuasan. Gue cukup senang dengan ruangan itu, sama seperti Joy.
Memasang karpet, meletakkan meja kecil di sudut, menaruh laptop dan berbagai peralatan, juga Joy menaruh dua beanbag yang berfungsi untuk bersantai sambil membaca di sana.
Kerjaan selesai, kita pun makan siang, dan sudah mandi. Surprisingly, Joy menyiapkan kaos putih Ambercrombie dan celana training Adidas warna hitam sesuai ukuran gue.
"Ukuran boxer gue L, kalo nanti lu mau siapin juga," ujar gue sambil menyeringai geli ketika Joy hanya mendengus saja.
"Ngomong jangan sama gue, sama pacar-pacar lu aja," balas Joy sambil mengambil satu buku dari rak, lalu ikut bergabung dengan gue yang sedang duduk senderan di karpet.
Sehabis makan dan mandi, kami memutuskan untuk beristirahat di ruang baca itu.
"Kenapa bisa siapin baju buat gue?" tanya gue sambil membetulkan posisi beanbag yang gue jadikan sandaran, selagi Joy merebahkan kepalanya di perut gue.
"Di Singapore, Ambercrombie lagi diskon sampe 80 persen. Trus Adidas juga on sale. Berhubung gue lagi nggak punya cowok, karena liatnya lucu, gue inget lu yang suka pake-pake kasual kayak gini," jawabnya sambil membaca buku yang diambilnya.
Novel RL. Stine yang tadi gue baca, langsung gue singkirin karena kepala Joy lebih menarik. Tangan gue udah membelai rambut panjangnya dan mengusap kepalanya.
"Lu ke Singapore udah sebulan yang lalu, kan?"
Joy mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
"Kok baru ngasih sekarang?" tanya gue lagi.
"Penyakit lupa gue itu kumat. FYI, bajunya udah gue cuci. Jadinya lu nggak bakalan jorok karena main pake baju baru tanpa dicuci," jawabnya sambil mendesis. "Udah ah, gue mau baca. Lu lanjut baca aja. Jangan ganggu."
Senyum gue mengembang saat mengetahui hal kecil yang terkesan manis buat gue. Kebiasaan gue yang suka main pake baju yang baru gue beli, adalah karena sikap efektif yang gue ambil karena pada akhirnya, baju itu akan dicuci juga setelah gue pake.
Tapi Joy nggak gitu. Dia paling sewot kalau baju baru nggak boleh langsung dipake. Karena katanya jorok. Proses pembuatan baju pun pasti nggak higienis dan kemungkinan soal baju itu udah pernah dicobain orang. Sama sekali nggak heran kalau Joy bakalan ribet kayak gitu, karena gue sama sekali nggak kepikiran sampai ke situ.
"Joy," panggil gue.
"Apa?" balas Joy yang masih fokus membaca novelnya.
"Gue udah nggak punya cewek selama seminggu," sahut gue.
Joy mengerutkan kening sambil membaca, pertanda bahwa dia sedang begitu serius dalam mengikuti cerita yang sedang diikutinya.
"Bukan urusan gue," balasnya dengan nada malas.
"Gue kurang asupan," sahut gue tanpa ragu.
"Minum vitamin sana. Gue ada stok CDR di nakas."
"Bukan di nakas, tapi di sini," ujar gue sambil mengarahkan jempol untuk mengusap bibir bawahnya.
Joy tersentak dan langsung menoleh dengan muka galak. "Jangan macam-macam. Lu bisa gue gampar! Kalo kemarin gue kasih lu cium, itu karena gue perlu buktiin bibir lu manis atau nggak. Sekarang, gue mau baca!"
Terlambat. Joy yang ingin bangun dari rebahannya, langsung gue tahan karena tangan gue sudah menekan perutnya untuk merebah kembali.
"Lu mau apa?" serunya kaget.
"Gue udah bantuin lu, jadi lu harus kasih gue reward," ucap gue nggak mau tahu.
"Kenapa sih lu pake pamrih mulu kalo abis tolongin temen?" Decaknya kesal.
"Gue udah bilang bukan pamrih, tapi nagih. Intinya, gue butuh asupan. Bibir gue bakalan mati rasa kalo udah seminggu nggak ciuman," tukas gue sambil menarik Joy dalam dekapan dengan mudah.
Memiliki tangan dan kaki yang panjang, sangat mudah untuk mengukung tubuh Joy yang mungil.
"Ini tuh pemaksaan!" Semburnya geram.
"Bukan, tapi pemberian. Gue suka sama bibir lu, apalagi kalo lagi cemberut kayak gini," balas gue yang langsung membawa bibir itu dalam kuluman dan sesapan yang keras.
Yeah, berteman dengan Joy selama hampir satu tahun, ternyata ada hal yang membuat gue tahu tentang satu hal, bahwa bibir teman baik lebih nikmat dari bibir pacar.
Sayangnya, ciuman kali ini nggak terjadi sesuai harapan. Karena Joy langsung mendorong gue dengan sekuat tenaga, lalu menampar pipi gue dengan keras. Shit. Itu cukup sakit. Tapi, sepadan.
You know what? Bibirnya yang membengkak karena hisapan dan gigitan gue, membuat rasa puas dalam diri gue menguar dengan seringaian yang membuat Joy geram dan beranjak untuk tinggalin gue di ruang baca itu.
◾◾◾
Tuesday, May 12th, 2020
17.58.
Tulis lapak ini mudah. Nggak pake lama. Cuma sejam, jadi.
Asik, kan? Haqhaqhaq 🍌
Nah, Joy jinjit aja, harus ada tanjakan biar nyampe bibirnya lol.
Part ini ditulis buat yang lagi sensi dari pagi 🍌😛
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top