Chapter. 2
I wrote this in the middle of the night, and missed her.
Morning, Joy 🍌
"Lu beneran main sama Joy? Lu gila kali yak? Tuh cewek masih boncel gitu lu mainin, kayak nggak ada mainan lain aja lu," sewot Babon, temen main yang udah gue kenal sejak kami masih koloran dan main hujan depan rumah.
Nama aslinya Barlow Sutedja, cuma karena badannya gendut dengan muka yang mirip babi, maka dipanggilah dengan sebutan Babon. Bukan gue yang bikin, karena waktu kenalan, dengan bangga dia sebut nickname keramatnya itu. Jadi, gue cuma ikutan aja.
"Nggak boncel, Bon. Tapi dia perawakannya kecil aja," balas JoJo, temen main yang juga udah gue kenal dari zaman SD. Nama panjangnya Joseph Irawan Pratama Hartono Gouw.
Pusing kan lu sebut namanya? Itu karena nama buyut, kakek, dan bokapnya dimasukin ke dalam situ. JoJo pasrah aja biar diakui sebagai bagian keluarganya yang totok alias kuno. Nama panggilan JoJo berasal dari nyokapnya yang ogah panggil nama akhir dengan Seph, yang takutnya dikira orang jadi Asep.
"Nggak boncel, tapi bonsai maksud lu?" balas Babon dengan nada mengejek.
Gue berdecak ketika melihat mereka berdua tertawa geli. Dua teman kampret itu emang paling julid kalo udah ngatain orang. Gue juga, sih. Biasanya, kami bertiga punya stok hinaan terbanyak dengan kasta paling hina jika ada yang mengusik penglihatan kami. Tapi kalo Joy yang jadi bahan hinaan, of course, gue nggak terima karena yang boleh menghina Joy cuma gue seorang.
"Kalo lu berdua udah kelar, mendingan pergi urus mobilnya Anton yang ada di pojok!" Tegur gue sambil bertolak pinggang.
"Shit! Ngapain lagi sih tuh monyet kirim balik mobilnya lagi? Ngehe banget tuh orang, pake mobil udah kayak pake cewek," dengus Babon sambil melirik ke sisi kanannya.
"Emang ada masalah apa lagi sih mobilnya?" tanya JoJo heran.
"Kurang ceper, minta ganti velg," jawab gue sambil lalu dan kembali memeriksa mesin mobil yang gue kerjakan.
Gue menyukai mobil. Nyokap bilang waktu gue unur setahun, saat diberi pilihan antara kalkulator, buku, duit, Lego, dan mobil-mobilan, gue langsung pilih mobil, yang konon katanya pilihan itu akan jadi masa depan.
Menurut gue, itu absurd. Meski kenyataannya, gue memang menyukai otomotif, tapi sebenarnya itu cuma satu kebetulan.
Mengambil jurusan otomotif, gue kuliah di Jepang dan lanjut di Jerman karena dua negara itu memang udah terkenal di bidang dunia otomotif dalam menciptakan mobil keren. Jepang dengan Toyota-nya yang udah menjamur, sedangkan Jerman dengan Mercedes Benz, Porsche, Audi, dan masih banyak lagi.
Gue menyukai mesin mobil dan senang mengutak-atik. Karena itulah, bersama dengan dua teman yang punya minat sama, kami kolabs untuk buka bengkel mobil khusus modifikasi. Dimulai dari airbrush, knalpot, velg, mesin, sampai ke interior, kami akan merombak mobil standard jadi mobil keren.
Juga, kami suka racing. Oleh karena itu, kami suka ikut ASAF, balapan liar yang ada di Asia Afrika. It was fun, memacu adrenalin, sekaligus bisa kenalan sama cewek cakep yang bisa lu bawa pulang untuk lu pake. Life is fun, Man.
"Jadi lu beneran lagi jalan bareng sama Joy?" tanya Babon kepo.
"Emangnya kenapa sih lu nanya-nanya mulu, Bon? Lu naksir dia?" tanya JoJo heran.
"Bukan naksir, tapi prihatin, Jo. Menurut gue, Joy itu bukan cewek yang asik buat diajak sangean. Mukanya polos macam anak ilang, melas banget. Kasian aja kalo dimainin sama Chandra," jawab Babon.
Gue hanya bisa tersenyum geli saat Babon menjabarkan Joy yang memang benar adanya. Dia polos, tapi cuek. Bukan tipikal cewek nakal yang bisa diajak dugem atau make out di parkiran. Dia nggak pantes lakuin hal sampah kayak gitu.
"Tuh, lu liat si Bangke! Pake acara cengengesan kayak gitu. Udah pasti si Joy diapa-apain," seru Babon sambil menunjuk gue.
"Apaan sih lu? Kepo banget! Joy itu bukan urusan lu!" balas gue ketus.
"Serius lu, Chan? Lu sama Joy..."
"Dia teman baik," ucap gue santai menyela perkataan JoJo. "Segalanya buat gue."
"Termasuk ngocokin dan bantu kuarin peju lu?" tanya Babon antusias dan langsung gue gelepak.
Babon mengadu kesakitan.
"Otak lu daritadi emang udah ke arah situ, kan? Tai banget lu! Gue belum apa-apain tuh cewek karena dia nggak segampang itu! Kalo mau gue jadiin mainan, udah dari kapan-kapan! Nggak mungkin masih kontekan hampir setaon gini," omel gue murka.
"Ih, sensi," sahut JoJo.
Gue hanya mendengus dan kembali menunduk untuk melanjutkan sisa pekerjaan. Mulai gerah dengan obrolan yang dimulai oleh mereka dan berpikir untuk fokus pada mesin yang udah gue modifikasi.
Sebuah tepukan keras mendarat di bahu, membuat gue berdecak kesal sambil menoleh pada Babon dan melotot galak.
"Sakit, anjir!" Maki gue kesal.
Babon mengerjap cepat sambil menunjuk-nunjuk ke arah depan. "Panjang umur tuh. Orangnya dateng."
"Wuih, udah main samperin ke sini. Cieee," ejek JoJo.
Dengan kening berkerut, gue menegakkan tubuh dan langsung menyeringai lebar ketika bisa melihat Joy datang. Cewek itu terlihat kesal dengan ekspresi cemberutnya yang menggemaskan. Juga penampilannya yang cute, yang udah menjadi gaya andalan. Tank top, celana jeans pendek, dan cardigan. Juga tidak ketinggalan, sneaker pink New Balance kesukaannya.
Rambut panjangnya selalu berponi, dan pasti diikat satu. Joy selalu bilang kalau dia kesal dengan rambut panjangnya, tapi nggak pernah mau gunting karena malas untuk antri di salon.
"Eh, ada Joy. Mau ngapain?" Sapa Babon centil.
Gue terkekeh saat melihat Joy mendelik sinis pada Babon.
"Diem lu!" sahutnya judes.
"Galak banget, sih!" balas Babon kesal.
Joy nggak mempedulikan Babon atau sapaan Jojo padanya, karena saat ini, dia sepenuhnya menatap gue dengan mata menyipit tidak suka.
"Apa?" tanya gue tanpa beban.
"Maksud lu apa kasih nomor gue ke cewek lu yang namanya Jasmine?" tanyanya lantang sambil bertolak pinggang.
"Jasmine?" tanya gue balik, sambil mengingat-ingat siapa cewek yang dimaksud.
"Jangan bilang kalo lu lupa! Jedotin kepala lu ke tembok, biar inget sana!" omel Joy yang sepertinya semakin murka.
"Ada apa sih? Dateng-dateng kok ngegas?" celetuk JoJo bingung.
"Jasmine siapa?" tanya gue akhirnya, setelah nggak berhasil mengingat siapa Jasmine yang dimaksud.
"Katanya, lu pacarnya," jawab Joy dengan nada gemas.
"Semua cewek juga ngaku pacarnya," timpal Babon yang auto bikin gue keki.
"Berisik banget sih lu? Bisa diem, gak?" Decak Joy sambil melotot galak pada Babon.
"Kecil kecil cabe rawit lu!" cibir Babon.
"Nggak usah main fisik, karena udah jelas lu yang paling empuk buat jadi bahan bully!" sahut Joy nyolot.
Gue tertawa saja melihat aksi debat keduanya. Satu nilai tambahan untuk Joy adalah dia bisa masuk dengan dua teman baik gue. Secara nggak sadar, Babon dan JoJo menerima Joy, meski sering mempertanyakan posisi cewek itu buat gue.
"Jadi, kenapa? Ada apa dengan Jasmine?" tanya gue kalem dan tatapan Joy kembali pada gue.
"Dia bilang kalo lu putusin dia karena gue! Dia juga ngatain gue tukang rebut cowok orang! Maki-maki gue cewek kegatelan!" jawab Joy kesal.
"Terus lu diem aja?" tanya gue dengan alis terangkat setengah.
"Ya nggak lha, enak aja dia ngatain gue kayak gitu!" jawab Joy geram.
"Terus lu balas apa?" tanya JoJo ingin tahu.
Ekspresi Joy semakin cemberut, tapi ada kesan puas dari sorot matanya. "Gue bilang aja kalo dia yang jadi selingkuhan. Terus, gue bilang juga kalo gue hamil."
Senyuman gue lenyap, disusul sentakan kaget dari Babon dan JoJo yang langsung melihat gue dengan tatapan menuntut penjelasan. Sebaliknya, Joy terlihat puas melihat ekspresi gue.
"Ngomong sembarangan! Gue belum apa-apain lu!" desis gue.
"Mau gimana lagi? Tiap kali lu putus, cewek-cewek lu pasti neror gue. Udah berapa kali gue kudu ganti nomor, Kampret? Semua gara-gara lu yang punya keong pecicilan!" balas Joy dengan nada nggak mau tahunya yang nyebelin.
"Wait, what? Keong? Apaan tuh keong?" tanya JoJo cepat, antara kaget dan geli bersamaan dengan muka brengseknya.
"Maksudnya k*nt*l kali hahaha," seru Babon girang.
"Heh! Gue nggak ngomong sama lu!" omel Joy kesal.
Untuk menyudahi ocehan dan kehebohan yang akan semakin menarik perhatian, gue menarik Joy setelah melepas sarung tangan untuk memasuki ruang kerja gue yang ada di sudut terjauh bengkel itu.
Rasa sejuk dari AC menyambut ketika gue membuka ruang kerja, merasa lega dengan hawa dingin yang langsung menyegarkan gue yang kepanasan dan berkeringat di depan sana.
"Gue tuh nggak mau yah kalo kayak gitu terus. Emang lu pikir gue itu apaan? Tiap kali mau putusin cewek, gue lagi yang dijorokin dan dijebak jadi pelakor dadakan," sewot Joy saat gue mengunci pintu ruang kerja, supaya Babon atau JoJo nggak tiba-tiba datang saat gue berusaha menenangkan si macan kecil.
Gue berbalik dan melihat ekspresi Joy yang masih cemberut dan terlihat kesal di sana. Hanya tersenyum dan mengarahkannya untuk duduk, tapi dia dengan tegas menolak.
"Kenapa lu bisa samperin gue di sini? Kangen?" tanya gue sambil mengulum senyum geli, ketika dirinya bertambah cemberut saat dengar pertanyaan gue.
"Siapa yang nggak bisa dihubungi? Tiap kali kalo kayak gini, hape lu pasti nggak aktif!" semburnya emosi.
"Gue males dicari-cari sama mereka," ujar gue santai.
"Anjir lu! Dengan jadiin gue sebagai korban gitu?"
"Bukan korban, sebagai teman kan harus saling bantu. Kayak yang lu bilang, kita itu kayak ban serep."
"Ya tapi nggak kayak gini, Chandra Hardijapto!"
"Gue selalu bantu lu waktu ada masalah dan putus sama mantan."
"Kok lu jadi pamrih?"
Gue tersenyum geli mendengar ucapan Joy yang semakin kesal. Dengan santai, gue membungkuk untuk menyamakan posisi karena tingginya yang nggak seberapa.
"Gue bukan pamrih, gue nagih. Lu adalah orang yang bisa gue percaya dan gue andalkan untuk bikin mereka nyerah ngejer-ngejer gue," ucap gue sambil menyipitkan mata.
"Lu nggak tahu apa susahnya jadi gue karena cewek-cewek lu itu bener-bener beringasan! Apa sih bagusnya lu sampe harus diusahain kayak gitu?" Joy kembali sewot.
Gue menangkup wajahnya dan menatapnya sambil melebarkan senyuman. "Karena mereka cuma liat hal semu dan selalu menuntut, beda sama lu yang liat gue dengan cara lain."
Joy mendengus sambil menepis dua tangan gue dari wajahnya. "Gue nggak peduli. Pokoknya, lu tuh harus berubah. Jangan kayak gini terus, mau sampe kapan gue bantuin dan bilang gue hamil segala?"
"Lu mau gue hamilin?" tanya gue spontan dan Joy langsung memukul lengan gue dengan kesal, hingga gue meringis kesakitan.
"Otak lu itu bener-bener sampah, yah! Pokoknya ini jadi yang terakhir dan lain kali gue nggak mau bantu! Gue udah berkali-kali ganti nomor hape gara-gara lu."
"Iya, Iya, nggak lagi kayak gitu," balas gue sambil mengusap lengan yang terasa pedas karena pukulan Joy.
"Kalo gitu, gue mau pulang!" tukas Joy yang langsung berbalik tapi gue buru-buru menahan langkahnya.
"Apa lagi sih?" Decaknya kesal sambil menoleh.
"Gue anter lu pulang. Tunggu gue ganti baju," ucap gue sambil menariknya untuk duduk di salah satu kursi.
"Gue bawa mobil," balasnya.
"Gue akan suruh Babon atau JoJo untuk jemput gue di rumah lu," sahut gue sambil berjalan menuju ke lemari besi dan membukanya untuk mengambil sesuatu.
"Gue nggak mau, lu bisa... holy crap! I-Ini... buat gue? Serius?" pekik Joy sambil mengambil boneka yang gue siapkan untuknya dengan cepat, lalu memeluk boneka itu sampai melompat-lompat girang.
"Marahnya udah kelar?" tanya gue sumringah.
Joy berhenti melompat dan menatap gue dengan sorot mata haru. Dia segera mendekati gue dan berjinjit untuk mencium pipi. "Makasi yah, gue suka."
Untuk semua hal yang terjadi, nggak ada yang sulit untuk membuatnya tertawa dan bahagia kembali. Sebab, Joy adalah pembawa sukacita itu.
Dia adalah penggila Winnie The Pooh dan penyuka warna pink. Cukup memberi dua hal itu saja, segala kemarahan yang Joy rasakan akan hilang begitu aja. Sama sekali nggak membutuhkan sesuatu yang mahal untuk merasa senang, apalagi merajuk untuk mencari-cari keuntungan. Dia adalah Joy yang apa adanya.
That's why I like her and always appreciate her in every moment of my life. Until now.
◾◾◾
Sunday, May 10th 2020
09.42.
Siapa penyuka Winnie The Pooh di sini? Juga, suka banget sama warna Pink?
Babang kenal 1 orang yang cinta Winnie the Pooh setengah mati. Dari sprei, boneka, sampul buku, sampe ke gordyn, semuanya WTP dan berwarna pink.
Pokoknya ucul banget qlo inget doi. Haqhaqhaq.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top