Chapter. 19

Cuma mau bilang, slow aja.
Tahan emosi. Lol.

Gue bernapas dalam buruan kasar sambil menatap Joy yang juga melakukan hal yang sama. Tapi, doi keliatan lebih capek.

Gue klimaks setelah satu jam pergulatan di ranjang dengan Joy yang udah klimaks entah berapa kali.

Meski Joy lelah, tapi dia berusaha untuk ngikutin kemauan gue. Joy juga terlihat kebingungan selama seks berlangsung, tapi nggak menanyakan apa-apa dan membiarkan gue ngelakuin apa aja.

Pengertian yang dia berikan, melebihi batas normal. Kenapa dia harus sebaik dan semustahil itu jadi cewek?

Gue akui, gue masih marah dan melampiaskannya lewat seks yang gue lakuin dengan kasar. Dan itu baru gue sadari setelah kelar.

Mata gue mengerjap sayu, merasa menyesal melihat Joy yang begitu kecil dan ringkih di bawah gue. Dia sama sekali nggak pantas terima pelampiasan kayak gini.

"Sorry, Joy," ucap gue pelan dan langsung menariknya untuk memeluk dari posisi di atas gue. Nggak tega kalo gue harus menindih dia lagi.

Joy mengusap kepala gue dan membelainya lembut. Mencium kening gue berkali-kali dan tetap diam. Kami masih sama-sama bernapas terengah-engah.

"Istirahat dulu. Lu masih mau makan? Kalo mau, gue bikinin spaghetti-nya dulu," ujar Joy lembut.

Gue mendongak dan tersenyum pada Joy. "Yakin bisa jalan?"

Joy memukul pelan bahu gue dan berdecak kesal. "Rese."

Joy beranjak dari tubuh gue dan meringis pelan ketika menapakkan kakinya di lantai. Hampir oleng, tapi gue langsung menangkap tangannya sebagai penopang.

Gue terkekeh melihat Joy yang kembali berdecak dan berusaha berdiri dengan benar, lalu berjalan keluar. Kayaknya ke kamar mandi.

Saat Joy nggak ada di kamar, gue bersandar sambil menatap plafond dengan pikiran yang udah kemana-mana.

Irene yang ada di apartemen gue. Apa Babon masih sama dia? Apa dia udah makan? Kenapa mukanya terlihat nggak punya semangat hidup dan ketakutan? Shit. Buat apa gue mikirin Irene?

Itu bukan urusan gue.

Gue mengambil hape di nakas dan menyalakannya karena tadi gue sempet matiin pas keluar dari sana. Ada puluhan miskol dari Babon dan ratusan chat di situ.

Grup chat yang cuma ada kami bertiga langsung dipenuhi chat antara Babon dan JoJo. Isiannya untuk cari tempat buat Irene. Fuck. Buat apa mereka berdua sampe kepo begitu? Apa masalah Irene terlalu besar dan serius?

Belum lagi, chat permintaan maaf Irene yang nomornya masih belum gue simpan. Bukan gue nggak simpan, gue sengaja nggak mau masukin ke list kontak supaya bisa lupa. Sialnya, gue masih mengingat nomor teleponnya dengan sangat baik di otak.

Gue bingung dengan pikiran gue saat ini. Mengikuti isi chat Babon dan JoJo, gue ikut cemas dengan posisi Irene. Kenapa harus mikirin dia? Seharusnya, gue nggak perlu tahu dan nggak mau tahu.

"Lu kenapa?"

Gue tersentak kaget saat mendengar pertanyaan Joy yang sedang memakai kamisolnya. Doi udah balik dari kamar mandi.

"Nggak kenapa-napa," jawab gue sambil menggeleng dan mematikan hape.

Saat ini, gue dengan Joy. Memang seharusnya begitu. Besok pagi, urusan ini akan kelar karena Irene pergi dari tempat gue. Jadi, nggak ada yang perlu gue jelaskan di sini.

"Gue yakin ada yang salah di sini," celetuk Joy sambil duduk di tepi ranjang, tepat di samping gue, setelah kelar pake baju.

Gue hanya tersenyum pelan dan kembali menggeleng. Saat gue melakukan hal itu, ada rasa nggak nyaman yang timbul dalam hati. Gue udah berbohong pada Joy.

"Ada masalah sama keluarga? Temen? Atau hal lain?" tanya Joy lagi sambil menilai ekspresi gue.

Joy selalu kritis dalam menilai segala sesuatu. Doi pernah bilang kalo berusaha untuk nggak mau menghakimi, meski terkadang hati kecilnya selalu benar. Saat ini, Joy pasti memiliki firasat lewat hati kecilnya itu.

"Gue ada beban pikiran, tapi saat ini, nggak bisa ngomong sama lu. Apa itu salah? Apa itu bakalan jadi masalah?" balas gue seadanya.

Karena tiap kali Joy udah bertanya, dia pasti akan menuntut jawaban sekarang juga.

Joy nggak langsung menjawab, masih memperhatikan ekspresi gue yang mungkin aja kacau sekarang.

Sampai akhirnya, Joy tersenyum dan mengarahkan satu tangan untuk membelai kepala gue.

"Itu normal. Gue yakin lu udah cukup dewasa dalam menimbang besar kecilnya masalah. Meski gue pacar lu, tapi gue nggak punya hak untuk tahu semua tentang pribadi lu. Semua orang pasti punya satu atau dua rahasia yang nggak bisa dibagi, untuk kebaikan bersama," jawab Joy lugas.

"Benarkah?" tanya gue untuk memastikan.

Joy mengangguk dan masih tersenyum. "Selama rahasia itu masih dalam tahap normal, dan nggak sampai harus ada korban yang tersakiti."

Gue terdiam saat Joy memberitahu hal terakhir. Seharusnya, nggak ada yang tersakiti. Irene besok akan pergi dan gue bisa balik ke tempat gue tanpa perlu penjelasan ke Joy.

Joy tahu tentang Irene. Saat kami masih berteman baik, nggak ada yang gue tutupi. Gue akan dengan santai memberitahu semua masalah hidup tanpa beban pada Joy saat itu.

Mungkin, gue akan langsung bisa cerita hal ini jika Joy masih jadi temen baik. Sekarang? Beda. Dia bukan sekedar teman, tapi segalanya. Pikiran tentang menjaga perasaan, langsung terngiang di kepala.

Joy beranjak dan segera membuatkan makanan buat gue. Melihat dia yang begitu baik dan perhatian, tentu aja bikin rasa nggak nyaman di hati, berubah menjadi rasa bersalah. Meski malam itu bisa gue lewatin dengan nginep di tempat Joy, tapi gue nggak bisa tidur.

Acara malam mingguan kami pun nggak bisa gue nikmatin seperti biasa. Kami pergi nonton dan makan bareng, sempet ML juga setelah pulang ngedate. Bahkan, gue nggak sabaran nungguin malam.

"Lu yakin nggak ada yang mau lu sampaikan ke gue?" tanya Joy dengan penuh perhatian saat gue pamit pulang.

Gue menggeleng. "Nggak."

Joy terdiam sambil memperhatikan gue dengan seksama, lalu mengangguk paham. "Kalo gitu, hati-hati di jalan."

Setelah mencium Joy, gue segera pergi dari situ. Degup jantung gue bergemuruh kencang, dengan harapan yang sulit gue jelaskan.

Gue balik ke apartemen dan mendapati Irene yang masih ada di situ. Harusnya gue marah, tapi sialnya ada kelegaan di dalam hati kalo dia masih di tempat gue.

Irene tampak kaget ngeliat kedatangan gue dan buru-buru mengemasi barangnya ke koper.

"Maaf, Chan. Aku lagi nunggu Babon jemput. Tapi katanya dia harus anter maminya ke rumah tantenya dulu," ucap Irene yang langsung inisiatif menjelaskan. Mungkin karena takut gue marah.

Harusnya gue usir dia sekarang juga, karena nggak mau liat ada di rumah gue. Tapi, gue justru menatapnya lekat dan mempelajari ekspresi wajahnya.

Kulit wajahnya berkerut, seolah terlalu banyak berpikir. Sorot matanya redup, seperti udah lama nggak bahagia, dan gugup. Sangat berbeda dengan terakhir kali gue ketemu.

"Kenapa lu ke sini, Rene?" tanya gue dingin.

Irene tampak ragu dan gelisah. "Aku juga nggak tahu, Chan. Aku nggak bisa mikir apa-apa lagi dan tiba-tiba ingat kamu."

"Karena apa? Karena gue bakalan terima dan terlalu goblok buat lu?" Sindir gue.

Irene menggeleng. "Karena kamu adalah orang terbaik yang aku kenal dan aku menyesal karena udah khianatin kamu."

Gue tersenyum sinis sambil menatap Irene dingin. "Nyesel selalu belakangan. Lu tahu kan itu nggak ada artinya?"

"Aku cuma pengen liat kamu untuk terakhir kali, sebelum bener-bener pergi lagi, Chan. Aku belum sempet bilang maaf waktu itu."

Ada ketakutan dalam nada suaranya. Seperti ucapan selamat tinggal yang putus asa dan membuat dada gue sesak. Apakah selama ini, Irene nggak bahagia? Apakah dia juga cukup kacau kayak gue? Fuck!

Singkat ceritanya, gue melakukan sesi tanya jawab tentang kehidupan Irene dan alasan kenapa dia harus balik Indo dengan tiba-tiba.

Alright, this will be sound so drama, but story is a story. Irene yang sempet selingkuh sama bule, ternyata udah pisah setelah kunjungan gue. Hamil sendirian, keluarga nggak mau ngakuin dan usir dia dari rumah, akhirnya dia desperate.

Irene yang nggak punya siapa-siapa, ketemu dengan bule yang bernama Greg di satu restoran, lalu kenalan, deket, dan katanya bersedia jadi bapaknya si anak yang lagi dikandung. Ibarat beli kucing dalam karung, Greg ternyata pengguna narkoba dan sering bikin onar, termasuk pukul Irene.

Akhirnya, Greg ditangkap polisi sekitar sebulan lalu, dan Irene manfaatin kesempatan itu buat cerai. Tapi, keluarga Greg nggak terima dan culik anaknya sebagai sandera supaya Irene nggak gugat cerai.

Anak buah Greg ditugasin buat ancam Irene. Dikejar-kejar kayak buron, lalu akhirnya pilih balik Indo buat sembunyi, dengan harapan laporan dan gugatan cerai segera diproses.

"Aku udah salah langkah dan merasa kalau ini adalah karma buatku. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakuin, dan nggak yakin kalo kamu mau terima. Ternyata emang bener kamu nggak terima dan benci banget sama aku," ujar Irene sambil mengusap pipinya yang basah.

"Sekarang, lu mau kemana?" tanya gue kemudian.

"Babon dan JoJo udah dapetin kontrakan buat gue. Lebih baik gue tinggal di tempat yang tersembunyi dulu. Gue takut orangnya Greg cari gue sampe sini," jawab Irene sambil tersenyum hambar.

Gue menghela napas dan mengusap wajah dengan kalut. Kenapa harus ada urusan ribet kayak gini? Gimana kalo misalnya anak buah Greg dapetin Irene? Bisa jadi, tuh cewek nggak bakalan selamat.

"Lu tinggal di sini aja. Nggak usah pindah. Butuh waktu seminggu? Dua minggu? It's okay. Lu bisa pake kamar tamu," ucap gue pelan.

Irene menatap gue nggak percaya. Sama seperti diri gue sendiri yang nggak percaya dengan apa yang barusan gue keluarkan. Apa ini namanya nggak cari masalah?

Tapi, gue merasa perlu bantu. Senggaknya, mastiin Irene baik-baik aja. Sampe akhirnya, Babon dan JoJo datang ke tempat gue. Kami berempat berdiskusi diselingi makan malam yang dimasak Irene.

"Sementara, gue pulang ke rumah ortu. Tempat ini biar Irene yang tinggal dulu," putus gue saat Irene kembali ke kamarnya.

"Terus, kalo bokap nyokap lu tanya, lu bakal jawab apa?" tanya JoJo dengan alis terangkat.

"Bisa gue pikirin," jawab gue dan langsung membayangkan cibiran Mami dan Sasa yang bakalan bilang gue adalah cowok manja yang nggak tahan banting hidup di luar sendirian.

"Terus, si Joy gimana? Lu nggak bilang soal Irene yang dateng ke sini?" tanya Babon.

Gue menggeleng. "Sementara nggak dulu. Dia nggak perlu tahu masalah ini. Cukup kita bertiga aja. Paham?"

"Lu nggak salah, Chan? Lu nggak mau kasih tahu Joy soal ini? Ini tuh bukan urusan kecil. Kalo misalkan ada orang jahat yang ngincer kita, itu gimana? Bantuin Irene kayak gini, resiko juga gede," balas JoJo dengan nada nggak setuju.

Gue terdiam. Pikiran soal pengen jadi bener nggak gampang itu kembali terngiang. Gue membantu Irene karena nggak tega, bukan masih ada rasa. Gue hanya nggak mau Joy mikir yang nggak-nggak. Berbohong demi kebaikan bersama, harusnya nggak jadi masalah.

Keputusan gue tetap mutlak. Bahwa Joy nggak perlu tahu soal Irene yang tinggal di apartemen gue.

Irene tinggal yang tadinya seminggu, berubah jadi dua minggu, tiga minggu, lalu sebulan. Tiap weekday, gue akan mampir untuk liat keadaannya. Di weekend, gue akan ngabisin waktu bersama Joy.

Sialnya, pikiran gue kini terbagi. Saat gue bersama Joy, pikiran gue ke Irene. Saat bersama Irene, pikiran gue ke Joy. Gue mulai goyah. Apalagi serangan datang di dua arah.

Dari sisi Irene, dia makin berani. Tahu gue akan datang berkunjung, Irene mulai berani pake baju yang menantang, seperti lingerie, atau hot pants.

Dari sisi Joy, dia semakin sering bertanya tentang larangan untuk main ke apartemen gue.

I'm so fucked up.

◾◾◾

Monday, May 25th, 2020.
14.25

Jangan maki-maki aing dong, karena aq maunya dimanjahhh... 🍌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top