Chapter. 18
Doain Babang, Fellas.
Lagi usaha bikin drama kayak sinetron azab. Lol.
I don't know what the fuck is happening, but this is so fucking shit.
Menerima telepon dadakan dari Irene, jujur aja bikin gue waswas dan bingung. Mau ngapain tuh cewek? Apa dia merasa kurang rusakin hidup gue?
Dia telepon berkali-kali, gue nggak angkat. Tapi berakhir dengan Babon kampret yang terima telepon Irene dan jemput doi di bandara. Sialnya lagi, tuh Monyet malah bawa Irene ke apartemen gue.
Biar gue perjelas di sini, Irene adalah mantan sekaligus teman SMA, yang juga kenal dengan Babon dan JoJo. Nggak tahu pake pelet apa tuh cewek, Babon sampe nggak tega dan jemput Irene di bandara.
"Mau ngapain lu bawa dia ke sini?" tanya gue sambil melotot saat membuka pintu, lalu melirik sinis pada Irene yang terlihat kaget dengan sikap gue.
"Irene minta ke sini," jawab Babon sambil melirik ke Irene dan kembali ke gue.
"Mau ngapain ke sini?" tanya gue ke Irene.
"A-aku... bingung mau ke mana, jadi pikir ke sini aja," jawab Irene lirih.
"Kalo bingung, itu urusan lu!" decak gue sebal.
"Chan, jangan kasar gitu dong. Irene kan baru landing, dia juga masih jetlag," tegur Babon.
Gue langsung mendelik tajam pada Babon. "Eh, Babi! Kalo lu nggak tega, itu urusan lu! Bukan gue! Lu tahu jelas apa yang udah dia lakuin ke gue! Sekarang lu belain dia daripada temen lu sendiri? Tai kuda lu!"
"Babon nggak salah, Chan. Aku yang maksa," bela Irene langsung.
Emosi gue makin menanjak. "Mau ngapain lu maksa ke sini? Pengen liat gue sengsara, gitu? Sorry to say, Rene. It's over between us! Untuk temu muka sama lu, gue udah najis!"
Ada apa sih dengan cewek yang suka banget pake nangis kalo lagi terpojok? Tuh, liat si Irene. Pake nangis sekarang. Kalo cowok mulai kasar, selalu dibilangnya cowok yang nggak pengertian.
"Chan, masuk dulu. Gue yang jelasin kalo lu nggak mau dengerin Irene," sela Babon.
"Lu dibayar berapa sama dia, hah? Gue nggak ada waktu buat urusin masa lalu!" sahut gue sengit.
"Irene kabur, Chan!" balas Babon gemas.
Wait! Kabur? Darimana? Kenapa? Terus larinya ke tempat gue, gitu? Bagus banget! Nih cewek emang biang rusuh dalam hidup gue.
"Things were complicated, Chan. Greg kasar sama aku dan suka KDRT, udah gitu anak kami diculik sama mertuaku. Sekarang, aku gugat cerai dan dia nggak terima. Aku bingung harus kemana dan datang ke Indo buat..."
"Tunggu dulu! Lu ada masalah keluarga dan mau kabur ke sini? Gitu maksud lu?" sela gue tajam.
Irene mengerjap lirih dan mengangguk pelan. "Cuma butuh seminggu aja, Chan. Aku nggak mau sampe dia ketemu aku. Yang penting gugatan udah keluar dulu."
"Lu pulang ke rumah keluarga lu, lha. Kenapa ke rumah gue?" sembur gue emosi.
"Keluargaku udah pindah semua ke Kanada. Cuma ada sodara, tapi mereka nggak tahu kalo aku lagi ada masalah dan..."
"Dan lu pikir gue tahu masalah lu?" sela gue nyolot.
"Chan, udah dong. Lu kalo ngebacot gede gitu, nanti tetangga lu pada keluar," ujar Babon yang mencoba tenangin gue.
Gue mendengus kesal dan segera masuk karena nggak lucu kalo gue dapet laporan dari tetangga soal gangguan kenyamanan.
Babon yang menarik koper dan Irene masuk sambil melihat-lihat unit gue. Cih! Kekesalan gue menumpuk. Ngeliat muka Irene, bikin rasa benci dan muak gue terhadap cewek mendadak muncul.
"Aku butuh satu minggu buat ngumpet di sini, Chan. Habis itu, aku janji nggak balik-balik lagi. Cuma kamu satu-satunya orang yang bisa bantuin aku," ujar Irene dengan suara gemetar.
Gue melihat Irene sambil bertolak pinggang dengan tatapan penuh penilaian. Dia cantik, tinggi, langsing, dan menarik. Tapi cuma bagus di luar aja, dalemnya zonk. Gue bego banget kenapa dulu bisa cinta mati sama dia? Sampe dibohongin pun, gue nggak sadar.
"Hotel di Jakarta ada banyak, Sis. Deket bandara apalagi. Lu nggak usah terlalu banyak alasan! Kalo lu nggak punya duit buat booking hotel, gue bisa kasih duit ke lu," balas gue sinis, lalu menoleh pada Babon. "Ini urusan lu, yah. Lu yang bawa dia kemari. Gue nggak mau ikutan!"
"Chandra, please. Tolongin aku. Kalo kamu mau bantu, aku akan bersedia jadi cewek simpanan kamu," sahut Irene.
Gue langsung menoleh dan menyeringai sinis, lalu melirik Babon yang kasih muka bego di situ.
"Lu boleh aja nawarin diri lu, but sorry to say, gue nggak doyan makanan basi," cetus gue sambil menyipit tajam.
Kemudian, Irene nangis. Babon kebingungan dan keliatan serba salah di sana. Gue bahkan nggak peduli kalo Irene mau nangis darah. Aturan gue itu nggak muluk. Lu jual, gue beli. Itu aja.
Babon menarik gue untuk keluar ke balkon, supaya kami bisa mengobrol berdua, dimana Irene masih menangis di dalam.
"Chan, udah deh. Gini aja, malam ini kasih Irene di sini dulu. Besok gue baru pikirin," ucap Babon dengan nada mendesak.
"Eh, Tai! Lu yang bener aja! Ada juga lu bawa dia keluar cari hotel, sekalian aja lu pake sana! Mau ngapain gue nampung dia di sini?" desis gue marah.
"Ini udah mau jam 11 malam, Chan. Gue tahu kalo gue keterlaluan, tapi gue nggak tega. Biar gimana, Irene juga temen gue," balas Babon dengan tampang memelas.
Gue mendengus dan menatap Babon dengan berang. Temen itu bisa jadi bangke, juga bisa jadi kampret kalo lagi kepo kayak gini.
"Lu tahu jelas apa yang dia lakuin ke gue dulu, Bon," ucap gue dingin.
"I know," sahut Babon.
"Dan lu tahu apa yang bikin gue jadi brengsek, Bon!" tambah gue dengan emosi yang semakin menjadi.
Babon kicep. Mungkin dia bisa melihat ekspresi gue yang semakin berang sekarang. Bukan gue belum memaafkan, tapi hal itu nggak bisa gue lupakan.
"Gue juga udah punya Joy. Menurut lu, apa etis kalo gue kasih cewek yang adalah mantan gue, untuk nginep di sini?" lanjut gue sengit.
Joy.
Satu nama yang memberi banyak arti buat hidup gue. Saat gue sebutin namanya kayak tadi, ada rasa nyeri dalam dada gue.
"Gue masih usaha buat jadi bener. Menurut lu juga, apakah Irene yang lagi ada masalah, layak gue bantu dengan resiko kalo Joy bakalan marah dan putusin gue?" tanya gue lagi.
Babon masih kicep. Mungkin baru menyadari kesalahannya, tapi udah terlambat. Gue terlanjur kecewa karena ternyata, temen baik gue sendiri, sama sekali nggak paham dengan apa yang menjadi duri dalam daging di hidup gue.
"Setelah malam ini, jangan pernah nongolin muka lu di depan gue, Bon! Irene mau nginep di sini? Fine. Lu atur aja!" Ucap gue sinis dan segera kembali masuk, mengabaikan panggilan Babon.
Irene yang masih terisak, terlihat berdiri menghadap gue dengan tatapan memohon dan menyesal. Tapi, buat gue, semua itu kebohongan. Palsu.
"Lu boleh nginep malam ini. Tapi jangan di kamar gue! Terserah lu mau tidur dimana, gue nggak peduli!" ucap gue sambil lalu, dan masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci.
Ada kamar tamu yang bisa ditempatin Irene kalo dia mau. Tapi gue nggak kerajinan buat kasih tahu, karena kepengen buru-buru keluar dari rumah gue sendiri.
Gue mengambil beberapa pakaian dan memasukkannya ke dalam ransel. Nggak peduli berapa kali Babon mencoba memanggil gue, menjelaskan, dan meminta maaf. Buat gue, itu nggak penting.
Terlalu banyak kecewa dalam hidup gue. Untuk ratusan kalinya, mau jadi bener emang susah banget. Setelah gue yakin nggak ada yang ketinggalan, gue mengunci pintu kamar, dan berbalik untuk melihat Irene yang masih berdiri di tengah ruangan, dengan Babon yang berusaha menenangkannya.
"Chan, lu mau kemana? Kok jadi lu yang pergi?" tanya Babon serba salah.
"Jangan, Chan. Kamu tetep di sini aja, aku yang pergi. Maaf kalo udah ganggu," sahut Irene dengan suara serak.
"It's okay, Fellas. Atmosfir rumah gue udah nggak enak. Hawa-hawanya udah panas kayak di neraka karena banyak setan yang masuk," balas gue santai.
"Lu ngomong apa sih, Chan?" decak Babon.
Gue menyeringai sinis sambil menatap keduanya bergantian. "Besok pagi, gue harap unit ini udah kosong! Kalo mau ngewe, jangan lupa pake kondom, Bon! Sprei ranjang di kamar tamu belum dijorokin sama gue. Tahu diri sama yang punya rumah."
Babon mengumpat dan gue hanya berbalik untuk keluar dari sana. Napas gue terasa sesak dengan emosi yang meluap. Shit. Gue kesal karena harus merasakan kebencian kayak gini.
Udara malam cukup dingin karena habis hujan deras. Gue menyetir tanpa arah tujuan, tapi tangan gue bergerak otomatis ke arah apartemen Joy.
Joy.
Nama itu terngiang di kepala, merambat turun dengan rasa tenang saat mencapai dada. Meski degup jantung gue masih berdetak kencang, tapi emosi gue perlahan menurun. Terlebih lagi waktu gue tiba di gedung apartemen Joy dan sudah parkir mobil di basement.
Sambil memakai ransel gue di satu bahu, gue berjalan menuju ke unit Joy. Bisa dibilang, gue nggak sabaran untuk bisa cepat sampe di sana.
Jam udah mendekati 12 malam, otomatis kedatangan gue bikin Joy bingung saat membuka pintunya.
Joy pasti masih asik nonton drama atau baca buku karena belum ada chat dari doi yang udah mau tidur. Senyum gue mengembang saat melihat Joy tampak cantik dengan setelan kamisol berwarna beige, yang membuat kulitnya semakin terlihat cerah. Rambut panjangnya tergerai dengan poni yang dijepit ke atas.
"Ngapain lu ke sini, Chan? Ada apa? Ada masalah?" tanya Joy cemas.
Gue mengangguk dan melangkah maju untuk memeluknya erat. Aroma bedak bayi dan minyak kayu putih dari Joy, langsung memberi ketenangan dalam diri gue saat ini.
Joy adalah penawar bagi racun yang ada dalam tubuh gue.
Joy adalah penghibur hati gue yang udah luka parah.
Joy pernah bertanya jika seandainya hubungan kami nggak berhasil, dia akan jadi apa? Justru sebaliknya, pertanyaan itu lebih pantas buat gue pertanyakan. Akan jadi apa gue nantinya, kalo nggak ada Joy?
"Chandra, lu kenapa?" tanya Joy lagi sambil melepas pelukan dan menangkup wajah gue dengan dua tangannya.
Gue menatapnya lirih. "Kangen."
Joy mengerjap bingung, dan berusaha memperhatikan ekspresi wajah gue dengan seksama. Ofcoz, dia nggak bakal percaya dan udah curiga sana sini.
Sorot matanya yang cerdas saat tertuju sepenuhnya sama gue, adalah momen yang paling gue sukai. Gue merasa dicintai, dilindungi, dan dimengerti.
"Kenapa, Sayang? Ada masalah apa?" tanyanya lembut.
Sayang, panggilan yang akan sama-sama kita ucapkan, ketika salah satu lagi bad mood. Itu ampuh buat netralin perasaan. Lu boleh coba sendiri. Kalo lu jomblo, ngomong sendiri aja di depan cermin. Kurang lebih sama rasanya.
Joy masih menunggu saat gue masih belum kasih jawaban. Jujur aja, gue belum bisa ngomong soal kedatangan Irene sekarang. Gue masih emosi dan nggak tahu gimana caranya menyampaikan, supaya Joy nggak salah paham.
First thing first, I need her.
"Laper, gak? Gue ada bikin spaghetti hari ini," celetuk Joy ringan sambil melepas ransel gue dan membawanya ke dalam kamar.
"Kok nggak kirimin kalo ada bikin spaghetti?" tanya gue dengan nada protes.
"Easy, Baby. Gue udah bikin saus bolognaise-nya tadi, biar besok tinggal rebus spaghetti dan panasin sausnya. Kan, besok jadwal malam mingguan," jawab Joy santai dan kembali berjalan menghampiri gue.
Gue merangkul Joy dan menunduk untuk menciumnya. Damn. Bibirnya terasa manis, juga rongga mulutnya hangat, memberi kenikmatan di lidah gue yang meliuk lincah di dalam.
Ciuman gue cukup dalam dan kasar. Gue menggigit bibir bawahnya, menyesap keras lidahnya, dan meremas payudaranya dari balik kamisol.
"Engghhhh, Chan... Kok jadi gini? Spaghetti-nya..."
"Ssshhh... Gue butuh main course dulu, appetizer belakangan," ucap gue serak, lalu mengangkat Joy dalam gendongan untuk gue bawa ke ranjang.
"Chan..."
Gue butuh pengalihan. Dan itu berhasil. Joy adalah pengalihan yang luar biasa. Tanpa ampun, gue membawanya dalam sesi bercinta yang berbeda dari biasanya. Bahkan, sisi liar gue pun dikeluarkan untuk luapin hasrat dan memberinya klimaks yang panjang.
"Chan, lu kenapa?" tanya Joy dengan suara terengah.
Gue masih asik mencumbu dan membelai sekujur tubuhnya. "Gue baik-baik aja. Cuma kepengen egois dan bikin lu jadi milik gue sepenuhnya. Kayak gini!"
Gue menekan keras tubuh Joy, bersamaan dengan jeritannya yang parau. Menambah jumlah klimaksnya yang tak terhitung.
Semua karena gue ingin memiliki Joy dan nggak mau ada yang mengambilnya dari gue. My heart leads me to Joy, and that means she belongs to me. All of hers.
◾◾◾
Sunday, May 24th, 2020.
18.59
Babang dan Chandra ucapin Minal Aidin buat sayang-sayang sekalian.
Maafin qlo Babang ada salah kata.
Mami kocak.
Doi liat Babang sibuk sama hape sambil goweran di kasur, terus ngomong gini : "Duilee, Bang, udah punya pacar, ngetem aja di kasur. Salamin yah, jangan lupa ajakin ke rumah."
Haqhaqhaq 🍌
Hidup aing emang selucu itu sejak punya Mami.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top