Chapter. 14

Warning : 21+

Baca, jangan, baca, jangan.
Batal deh, haqhaqhaq 🍌


Nikmat.

Itu adalah satu kata yang bisa gue katakan saat ini. Sial. Kenapa cewek bisa seenak ini? Oke, gue revisi. Kenapa Joy bisa seenak ini?

Detak jantung gue mengencang dan berpacu dalam kecepatan yang tinggi saat bisa menjilat celah basah Joy sekarang.

Joy udah telanjang. Berbaring telentang di ranjang, membuka kedua kakinya dengan lebar, dengan gue yang sibuk menjilat dari urethal opening, ke labia minora, sampai ke klitoris.

Kenapa gue paham betul soal alat reproduksi wanita yang disebut vagina? Simple, karena itu bagian yang paling gue suka.

"Ahh, Chan..."

Desahan Joy itu terdengar manja dan bikin merinding. Gue sangat suka bagaimana dia bereaksi dengan sentuhan lidah gue di titik sensitifnya.

Sejujurnya, ini adalah pertama kali gue menjilatnya. Biasanya, Joy cuma kasih gue untuk memainkan klitorisnya hingga orgasme. Kali ini, dia benar-benar kasih gue ngelakuin apapun yang gue inginkan.

Gue pun sangat menikmatinya. Juga, gue sangat hati-hati dalam memperlakukan Joy. Bisa dibilang, ini seks paling penuh perasaan karena nggak berani main kasar, meski napsu udah di ubun-ubun.

Joy udah sangat basah. Erangannya mulai memberat, dan gue yakin kalo sebentar lagi, dia akan klimaks. Gue akan buat dia mendapatkannya dulu.

You know why? Cewek kalo udah dapet klimaks, dia akan semakin brutal. Nge-cun ala cewek itu, orgasme sekali, bisa lanjut sampai berkali-kali, apalagi kalo genjotan lu kenceng.

Kalo cowok itu sebaliknya. Udah keluar sekali, langsung drop dulu. Kalo mau on, butuh waktu, baru bisa naik lagi. Nggak cuma dalam hubungan yang butuh pengertian, tapi seks juga.

Cowok nggak bisa main asal enak, tanpa tahu ceweknya udah nyampe atau belum. Kecuali kalo lu main sama jablay, itu lain cerita. Karena lu bayar buat enak, bukan ngenakin. Tapi kalo sama pasangan lu, apalagi yang bener-bener lu sayang, lu nggak boleh egois.

Sex education udah cukup, kan? Sekarang balik ke urusan gue yang masih dalam progress buat bikin Joy enak dulu.

Doi udah semakin basah, apalagi saat gue mengisap klitorisnya sekarang. Joy mulai gelisah, badannya mulai nggak bisa diam, dan erangannya memberat.

Saat dua kakinya gemetar, dan Joy mulai menyebut nama gue dalam jeritan, orgasme pun terjadi. Momen pelepasan Joy paling gue sukai, karena dia bener-bener bisa bikin cowok merasa bangga atas hasil kerjaan tangannya. Muka sange-nya bikin nagih.

Joy bernapas terengah-engah sambil menatap gue sayu, dan mengarahkan dua tangannya ke arah gue. Langsung gue sambut dengan menciumnya keras dan dalam.

Ciuman kami bernapsu, sama-sama nggak sabaran. See? Doi yang udah enak aja masih napsuan, apalagi gue? Tangan gue pun masih mainin klitorisnya dengan gerakan memutar.

"Enghhh, Chan..." desah Joy yang kembali nge-cun karena usapan di klitorisnya, hingga membuatnya makin basah di sana.

"Joy..."

Gue menggeram pelan saat Joy mulai berinisiatif untuk menggenggam penis dan mengocoknya. Fuck. Napas gue memburu dan sesak. Gue nggak bisa tahan lagi.

Kemudian, gue mengambil posisi sambil melebarkan dua kaki Joy. Biasanya, gue cuma arahin penis ke dalam dan bisa langsung masuk. Tapi Joy? Meski dia udah basah banget, tapi tetap nggak ketemu jalan masuknya. Anjir, bikin gue deg-degan aja.

Gue pun menuntun penis ke arah Joy. Baru kali ini, gue gugup setengah mati macam perjaka yang baru kenal ngewe.

Setelah yakin gue berada di posisi yang tepat, gue mencoba untuk menekan. Gagal, shit! Joy yang basah, membuatnya menjadi licin hingga susah buat dimasukin. Ribet juga masuk gawang perawan.

Kening gue mulai berkeringat, antara gugup dan nggak sabaran. Gue mulai fokus untuk menekan lagi, kali ini lebih keras.

"Chandra! Pelan-pelan, ini sakit!" pekik Joy sambil mencengkeram dua lengan gue dengan erat.

"Ini udah pelan-pelan, Joy. Mau lebih pelan gimana lagi?" desis gue geram.

Gue kembali menekan, bisa dibilang mendesak. Tarik sedikit untuk dorong lebih banyak. Tarik lagi, lalu kembali dorong, dan merasa mulai ada hasil karena gue udah bisa merasakan sedikit jalur.

Kemudian, gue menarik napas sambil menarik, lalu mendorong keras ke dalam hingga kepala penis gue berhasil masuk ke dalam. Shit! Gue langsung meringis untuk dua hal yang terjadi secara bersamaan.

Yang pertama karena keenakan. Yang kedua karena kesakitan. Enak karena Joy sempit banget, sakit karena Joy pukul kepala gue dengan keras.

"Sakit, Chandra! Gue udah bilang pelan-pelan, Monyet!" seru Joy yang langsung terisak pelan.

"Ini udah pelan, Bangke!" balas gue sambil menenangkan Joy dengan membelai kepalanya.

"Ya tapi jangan diteken," isak Joy.

Rasanya pengen gue kepret nih cewek. Kalo nggak diteken, kapan masuknya? Dia kagak tahu apa, kalo gue juga pake usaha buat masukin begini?

Gue nggak mau debat karena ini lagi nanggung. Akhirnya, gue menunduk untuk mencium bibirnya, meraba payudara dan meremasnya, lalu memainkan putingnya.

Selain enak, sempitnya Joy bikin gue nyeri. Lu tahu kan kalo kejepit sebagian itu rasanya kayak apa? Sakit, tapi nggak berdarah. Enakan dijepit semua sekalian.

Sambil mencium, gue mulai mendorong pelan-pelan, dan mengalihkan perhatian Joy dengan remasan. Tubuh cewek itu sensitif, cukup lu pegang-pegang, dia bakalan nge-cun dan nagih.

Gue bisa merasakan Joy mulai terangsang karena doi semakin basah di sana. Dengan pelan, gue mendorong masuk. Meski agak tersendat, tapi gue nggak sanggup menahan erangan yang keluar dari mulut gue karena Joy bener-bener sempit.

Gue pun memejamkan mata untuk menikmati momen penyatuan yang semakin dalam, lalu menarik sedikit untuk mendorong kencang.

"Chandra!" teriak Joy yang terdengar kesakitan.

Mata gue langsung terbuka, bukan karena teriakan Joy, tapi karena barusan gue ngerasain ada yang gue tembus di dalam. Kayak sebuah bubble yang lu pecahkan dengan telunjuk, lalu meledak. Nah, sensasi barusan kayak gitu. 

Itu belum apa-apa, karena saat gue masuk ke dalam Joy sepenuhnya, di situ gue merasa sesak dan nyeri di dalam. Tapi konteksnya nikmat, bukan sakit.

Joy masih terisak pelan dan mencengkeram lengan gue erat. Dia berusaha menahan sakit, terlihat dari ekspresinya yang meringis.

Gue menunduk, lalu mencium lehernya, menjilat dan menyesap kulitnya. Nggak kenceng, karena gue nggak minat buat kasih cupang. Selain nanti jadi pertanyaan dari banyak orang, ada baiknya gue main aman.

Tangisan Joy terhenti, dan sekarang mendesah pelan. Gue pun mulai merasa ada banyak cairan yang menyelimuti di dalam sana, tanda bahwa Joy mulai kembali terangsang.

Sambil mencumbu, gue mulai menarik dan mendorong, berulang kali, melakukan gerakan maju mundur yang teratur. Fuck. Kepala gue pusing karena nikmatnya seks yang gue dapatkan kali ini.

Joy mulai bisa menikmati. Cengkeraman di lengan gue udah dilepas, dan dia merangkul bahu gue, meminta untuk berciuman.

Gerakan gue yang tadinya pelan, kini berubah menjadi cepat. Perlahan tapi pasti. Kayak lu naik tangga, kudu satu-satu, kalo kebanyakan nanti jatuh.

"Ahhh, Chandra... Ahhh," desah Joy.

"Enak, Sayang?" bisik gue parau.

Joy mengangguk dan memejamkan mata dengan erat, kemudian menegang di bawah gue.

Fuck! Fuck! Fuck! Saat dia orgasme lagi, vagina-nya memijat ketegangan gue dan memberi sensasi nikmat yang panjang.

Kepala gue semakin pusing, keringat dingin mulai menjalar, dan punggung gue memanas. Gerakan gue makin nggak beraturan, cepat, dalam, dan kasar.

Gue mengentak keras untuk yang terakhir kali, dan langsung mencabut penis gue dari tubuh Joy ketika merasa akan ejakulasi, lalu mengocok kasar penis gue dan sperma langsung menyembur di atas perut Joy.

Gue mengerang dengan napas yang memburu kasar. Nggak ada kata-kata yang bisa gue dapatkan untuk mewakili kenikmatan saat ini.

"Enak?" tanya Joy dan gue langsung membuka mata untuk melihatnya.

Kedua pipinya memerah, rambutnya berantakan, tapi justru terlihat semakin cantik. Muka habis seks ala Joy adalah sempurna.

"Banget," jawab gue sambil menunduk untuk mencium bibirnya.

Kemudian, gue melepaskan diri dan mendesah pelan. Ada noda darah di bawah Joy saat gue menunduk. Senyum gue mengembang dan udah pasti merasa bangga.

Sesi bercinta udah kelar, kami sama-sama ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Joy kesusahan berdiri dan berjalan. Lucu aja lihatnya tapi tetap gue bantu. Udah dikasih enak, harus tahu diri.

"Kenapa bisa sampai sakit? Lu kangen sama gue?" tanya gue pede, sambil membantu Joy untuk membuka bubur pemberian Jere.

"Kalo kangen sama lu aja bikin sakit, ngapain gue memilih untuk bertahan sama lu dengan melepas yang lain?" balas Joy ketus.

Gue langsung mendongak untuk menatap Joy yang sedang menuangkan topping untuk buburnya.

"Joy, kenapa lu memilih gue?" tanya gue untuk memastikan.

Kini, Joy menatap gue dengan ekspresi nggak percaya.

"Seriously? After you fucked me, you just asked me that?" tanyanya dengan wajah keki.

Gue nggak bisa jawab karena otak cowok kalo lagi sange, nggak bakal mikir panjang. Tahunya pengen, ngewe, keluar, udah.

Joy menghela napas ketika gue masih belum memberi jawaban, seolah dia udah nggak heran kalo gue bakalan kayak gini.

"Gue sayang sama lu," ucap Joy sambil mengaduk buburnya. "Sesederhana itu."

"Hanya itu?" tanya gue lagi.

Joy kembali mendongak untuk menatap gue. "Yang ada dalam pikiran gue adalah lu. Rasanya nggak adil kalo gue masih sama Sean, tapi mikirin lu."

"Bukannya lu bilang kalo dia lebih baik daripada gue?" balas gue dengan sindiran.

"Justru karena dia baik, dia nggak pantes dapetin cewek yang nggak setia kayak gue. Waktu kemarin gue minta putus dan jujur soal hubungan lu sama gue, dia yang minta maaf dan merasa bersalah karena terlalu sibuk," tukas Joy dengan nada pahit.

Gue terdiam. Berpikir kalo gue udah bersaing dengan cowok yang begitu menghargai Joy. Berbeda dengan gue yang egois kayak gini.

"Lu nggak perlu merasa bersalah, apalagi terbeban karena udah ambil perawan gue, Chan. Udah jadi keputusan gue buat melepas keperawanan sama lu, dan itu adalah tanggung jawab gue atas tubuh sendiri," tambah Joy sambil menyendok bubur dan mulai memakannya.

"Kenapa lu harus kayak gitu?" tanya gue dengan napas memberat, merasa tersinggung karena diragukan.

"Untuk mendapatkan sesuatu yang berharga, ada hal yang harus dibayar dan dikorbankan," jawab Joy sambil mengunyah.

"Lu korbanin perawan dan hubungan lu sama Sean, cuma demi gue?"

"Kesannya gue bucin banget sama lu, yah?" balas Joy dengan kesan mengejek. "Sistim gue simple, Chan. Gue udah berkorban demi lu, tinggal dilihat bagaimana lu membalas pengorbanan gue."

"Kok jadinya kayak gambling, sih?" Keluh gue nggak suka.

"Memang iya. Peruntungan gue masih fifty-fifty soal pacaran sama lu. Sebagai teman dekat, kita berhasil. Tapi pacar? Gue nggak tahu," sahut Joy jujur.

"Kenapa akhirnya lu mau sama gue, sedangkan lu pernah bilang kalo kekurangan gue, nantinya bisa jadi pengaruh besar buat lu?"

"Gue juga sedang menguji diri sendiri, Chan. Gue pengen tahu perasaan gue sama lu itu obsesi atau cinta? Gue sayang banget sama lu, setara dengan gue menyayangi keluarga sendiri. Lu pun begitu terhadap gue, sampe kita nggak sadar malah kena friendzone kayak gini."

"Joy..."

"Intinya, gue akan berusaha dan nggak berhenti mencoba. Lu pun harus begitu. Yang terpenting, kita harus jujur satu sama lain. Gue nggak suka dibohongi, jadi jangan coba-coba untuk bohong sama gue, karena gue benci pengkhianat."

Saat Joy mengatakan ucapan terakhirnya, ada penekanan dalam nada suaranya. Dia sangat serius dalam menyampaikan maksudnya kali ini.

Gue sadar jika gue nggak berani memberi kepastian karena takut untuk menyakiti, dan seharusnya Joy tahu itu. Ternyata, Joy lebih berani memutuskan hal yang jauh lebih besar demi mencapai kepastian yang dia harapkan dari gue.

Jujur aja, ada keraguan dalam hati gue saat ini. Pengecut? Bisa dibilang begitu. Jika sebelumnya, gue masa bodo dengan perasaan orang lain, tapi dengan Joy, nggak bisa begitu.

Mengingat hal itu, keraguan gue meningkat. Ragu karena nantinya, gue bisa saja merusak Joy lebih dalam dan membuat pengorbanannya menjadi nggak berarti.

◾◾◾

Wednesday, May 20th, 2020
14.20.

Ancuk! Aing syirik 😭🍌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top