Chapter. 12
Miapah, aing ngegas, Cuk! 😭
Sama seperti Joy yang selalu ramah dan ceria kepada siapapun, keluarganya pun begitu.
Jere datang menjemput di bandara dengan Om dan Tante-nya yang menetap di Taiwan. Mereka menyambut gue dengan baik dan memperlakukan gue seperti keluarga.
Pertanyaan standard yang bikin gue seneng dari mereka adalah : "Pacarnya Joy, yah?"
Kami cuma senyum-senyum aja sebagai jawaban dari pertanyaan mereka. Nggak mungkin juga kan, kita jujur soal hubungan nggak jelas gini? Daripada dosa karena bohong, jadi biarin aja mereka berasumsi dengan pendapat mereka masing-masing. Gue nggak ambil pusing.
Kami diajak makan malam di sebuah kedai ramen yang katanya enak di pasar malam yang ramenya naujubile. Joy yang nggak suka keramaian, tampak cemberut dan berkali-kali menghela napas lelah. Jujur aja, kami pengennya selonjoran.
Setelah itu, Jere nggak ngasih gue cari hotel dan suruh nginep di flat-nya. Biar gue perjelas kebegoan gue dalam urus perjalanan liburan kali ini.
Papi suruh booking hotel 2 malam saat mereka tiba. Gue udah booking family room di hari mereka tiba. And guess what? Gue lupa kalo gue berangkat lebih duluan dari mereka dan sama sekali nggak ngeh kalo belum booking buat diri sendiri.
Abaikan kebegoan gue, karena sekarang gue udah kelar mandi. Flat Jere cukup besar dengan memiliki dua kamar tidur. Gue satu kamar dengan Jere, dan Joy di kamar yang lebih kecil. Maunya gue sekamar sama Joy, tapi gue lebih sayang nyawa daripada napsu.
"Lu udah lama kenal sama kakak gue?" tanya Jere, saat kami sama-sama merokok di balkon.
"Lumayan," jawab gue setelah mengisap rokok.
Jere terdiam sambil asik mengisap rokok, lalu mengebulkan asap dari mulutnya, dan berbaur di udara dengan asap rokok dari gue.
"Gue nggak nyangka kalo lu bisa ikutan ke sini, but thanks anyway."
"Your welcome," balas gue seadanya.
"Gue nggak bisa basa basi, juga nggak mau ngomong di belakang, jadi tolong jangan tersinggung," lanjut Jere sambil menatap gue tajam tapi masih ada kesan ramah, meski nggak seberapa. "Joy adalah kakak cewek gue satu-satunya. Dia adalah segalanya buat gue setelah nyokap nggak ada. Dalam keluarga kami, gue dan kakak pertama sangat melindungi dia, karena dia termasuk orang yang rapuh soal urusan hati."
Gue mengangguk paham dan membiarkan Jere melanjutkan tanpa memberi interupsi.
"Jadi tolong, jangan sakitin dia. Atau gue yang akan buat lu menyesal," tambah Jere santai, tapi ekspresinya mengancam.
Nggak usah Jere, gue yang temennya aja, juga nggak bakal terima kalo Joy disakitin. Gue bahkan nggak heran kalo Joy bisa dicintai oleh saudaranya sampai segitunya. Karena Joy memang pantas diperlakukan istimewa.
"Gue akan berusaha untuk jaga dia," balas gue kemudian.
Jere mengangguk dan menekan puntung rokok di asbak, disusul oleh gue. Kami berdua kembali masuk ke dalam dan mendapati Joy sedang membongkar isi kopernya, lalu menyusun barang bawaannya di lemari.
Ribet banget sih jadi cewek? Udah tahu capek dan katanya ngantuk, tapi malah ngelapak di situ dan bukannya tidur.
"Ngapain sih bongkar sekarang? Kan bisa besok, lu tuh udah capek," tegur Jere sambil mengambil alih susunan abon dan mi instan.
Gue cuma bisa menggeleng sambil menghela napas. Bener-bener nyusahin diri dengan bawa barang yang sebenarnya dijual di sini. Indomie aja udah bertebaran di warung sekitar sini, malahan jadi favorit orang lokal ketimbang merk sendiri. Yang pasti, niatnya Joy udah kelewatan.
Setelah itu, gue tidur dan melewati satu malam di sana. Meski capek, tetep aja nggak bisa nyenyak. Gue tipikal orang yang nggak gampang beradaptasi, apalagi kalo di rumah orang yang gue nggak kenal baik.
Hari pertama di sana, Jere mengajak kami jalan-jalan. Setiap kali travel, gue pasti bawa SLR untuk foto-foto. Tujuannya simple, gue suka mengabadikan momen yang gue nilai memorable.
Berjalan-jalan mengelilingi pusat kota dengan mengunjungi musium dan tempat ikonik, Jere bener-bener punya niat tanpa batas.
Seharian itu, dia membawa kami ke hampir 10 tempat yang berbeda dan itu-itu aja. Negara itu mulai memasuki musim semi, pergantian dari musim dingin ke panas, dimana udara masih terasa dingin, ditambah dengan angin yang cukup kencang, hingga hawa dingin cukup bikin menggigil.
Joy yang nggak kuat dingin, mulai bersin-bersin karena alergi cuaca dingin. Dia tampak nggak menikmati perjalanan ini.
"Nih, minum," ujar gue sambil menyodorkan segelas coklat panas yang gue beli di Sevel.
"Makasi," balasnya mindeng, sambil menerima minuman itu.
Gue menoleh pada Jere yang masih sibuk dengan hape-nya yang menampilkan navigasi.
"Jer, balik aja deh. Tuh lihat, si Joy udah capek," ucap gue sambil menunjuk Joy.
Jere menatap Joy dan memperhatikan kakaknya dalam diam, lalu menggelengkan kepala. "Lu gak asik, deh. Jalan-jalan kayak gini aja gampang banget capek."
"Lu bisa cicil destinasi buat ngajak gue deh, De. Nggak usah sistim rombongan dalam satu hari. Kaki gue udah pegel, udaranya dingin banget," keluh Joy dengan kening berkerut.
Bagi Joy mungkin dingin, bagi gue dan Jere itu biasa aja. Gue cuma pake kaos lengan pendek berwarna hitam dan jeans belel, sedangkan Jere pake kaos tanpa lengan dan celana jeans selutut. Itu aja masih agak gerah dan udara lembap yang bikin badan nggak enak rasanya.
Sedangkan Joy? Doi pake sweater gombrong dengan legging dan sneakers. Udah tertutup banget, tapi masih ngeluh dingin. Mungkin karena orangnya kekecilan.
"Oke, kita mampir buat makan dulu, abis itu kita balik," putus Jere kemudian, sambil merangkul bahu Joy untuk berjalan berdampingan.
Dilihat dari belakang, dua kakak beradik itu nggak keliatan seperti saudara. Orang lain mungkin berpikir mereka itu pacaran. Kayaknya, badan Joy emang telat tumbuh, selalu aja dianggap pacarable sama siapapun yang lagi di samping doi.
Kami makan malam dengan menu otentik yang agak oily tapi oke juga. Gue dan Jere makan kayak kuli bangunan yang butuh makan berporsi-porsi setelah seharian jalan. Sedangkan Joy seperti biasa, pesen makanan apa aja yang dianggapnya menarik, trus cuma icip-icip, yang ujung-ujungnya gue dan Jere yang ngabisin. Emang dasar kelakuan tuh bocah.
Selama 2 hari berada di sana, gue cukup senang. Di samping itu, gue bisa mengenal keluarga Joy lebih banyak. Di hari kedua, Om dan Tante Joy yang mengajak kami jalan-jalan dan menawarkan untuk nginep di rumah mereka.
Sampai tiba hari dimana keluarga gue menyusul, dan Om-nya Joy menawarkan diri untuk menjemput, gue merasa terbantu. Cukup nggak menyangka dengan kebaikan mereka sama gue yang baru dikenalnya selama dua hari ini.
Ofcoz, Papi dan Mami udah liat-liatan dengan muka curigation-nya yang nyebelin. Sasa? Bukan main. Tuh cewek paling bisa kuarin sindiran yang bikin orang kelabakan.
Kami tiba di hotel dengan dibantu Jere, Joy, dan dua Om-nya. Pantes aja keponakannya baik banget, Om-nya juga nggak kalah baik. Intinya, keluarga Joy perwakilan dari kata baik yang lu bisa cek artinya di kamus.
Papi dan Mami berterima kasih kepada mereka, gue juga. Mereka pamit dan gue yang nggak rela karena Joy ikut mereka.
"Nggak mau nginep di sini aja bareng keluarga gue?" bisik gue pelan, saat yang lain masih mengobrol.
Joy menatap gue dengan ekspresi bingung sambil menggeleng. "Nggak. Gue sama mereka lha, kenapa harus nginep sama keluarga lu? Demen amat jadi bahan ghibah?"
Gue hanya tersenyum geli mendengar ocehan Joy dan mengantar mereka sampai ke lobby. Kemudian, gue kembali ke kamar.
"Gue yakin kalo lu sama Joy ada apa-apanya. Hayo ngaku!" tembak Sasa saat gue baru buka pintu.
Baru juga masuk, belum lepas sepatu, tapi si Comel bener-bener blingsatan gak sabaran.
"Udah deh, Sa. Jangan bikin keki. Bukan urusan lu pokoknya," balas gue malas sambil melepas sepatu.
"Gue sampe oleng, kirain lu yang bakal lamaran di sini, bukan si Septian," sahut Sasa ceria.
Gue mendengus dan menatapnya jenuh. Papi dan Mami hanya terkekeh saja. Gue sangat mengerti kalau mereka menyukai Joy, dan mungkin berharap gue bisa mendapatkan Joy. Terbukti dari kekepohan mereka yang udah mencapai tingkat tertinggi.
Biasanya, keluarga gue nggak ambil pusing dengan cewek yang lagi deket sama gue. Mungkin karena gue nggak pernah bawa cewek pulang ke rumah untuk dikenalin mereka. Memang cuma Joy aja.
Dan untuk rencana keluarga gue buat jalan-jalan di Taipei selama dua hari, sebelum ke tempat sodara di kota lain, mereka mengajak Jere dan Joy ikut serta.
Sayangnya, Jere nggak bisa ikut dan justru menitipkan Joy ke gue. Selain kuliah, Jere gawe di resto sebagai freelancer yang kerjanya cuma di tiap akhir pekan. Nggak heran kalo tuh cowok mulutnya lemes, karena Jere pintar memikat pembeli untuk mampir ke restonya.
"Ntar malem nginep aja sama kami, kan Jere pulang malem," ajak Mami saat kami sedang duduk di bangku kayu untuk beristirahat sehabis mengitari taman wisata.
"Nggak apa-apa, Tante. Aku bisa tungguin Jere pulang," tolak Joy kalem.
"Sendirian di apartemen, terus di negeri orang, nanti ada yang datengin, gimana?" balas Mami.
Bagus, Mi. Pepet terus sampe dapet.
"Joy, lu masih single ato double sekarang?" tiba-tiba Sasa bertanya dan gue auto nengok untuk memberi tatapan peringatan.
Joy diam dan menoleh ke arah gue yang udah melihatnya. Tampak ragu dan bingung untuk menjawab.
"Kenapa nengok ke Chandra? Kan gue yang tanya. Si Chandra ngancem?" lanjut Sasa napsu.
"Lu kenapa, sih?" sewot gue kesal.
Sasa terkekeh geli, Papi dan Mami juga senyum-senyum aja.
"Gue mau minta Joy jadi bridesmaid pas gue nikah. Si Ryan nggak punya adik atau sepupu cewek. Jadi, gue mau pinjem Joy buat nikahan gue nanti. Lu mau kan, Joy?" Ucap Sasa sambil menatap Joy.
"Mmm, boleh aja, Kak," jawab Joy sambil mengangguk.
"Oke! Masalah bridesmaid kelar," seru Sasa girang, dan langsung mengetik cepat di hape.
"Terus yang jadi bestman siapa?" tanya gue keki.
Sasa masih mengetik dan cuek bebek. "Yah, adeknya Ryan lha. Siapa lagi? Jauh lebih oke daripada lu."
Damn.
Sasa mengangkat wajahnya dan menatap Joy dengan serius, "Hati-hati sama Louis, dia itu bajingannya 11-12 sama Chandra."
"Heh, sembarangan aje lu!" sembur gue bete.
Joy hanya terkekeh. "Makasi buat warning-nya, Kak. Sama cowok brengsek mah, gue udah biasa."
"Okesip," balas Sasa sambil mengacungkan jempol.
Kemudian, kami melanjutkan sesi jalan-jalan di taman wisata yang bikin boring abis. Tapi untungnya, masih ada Joy yang temenin. Doi pun santai dan terus tersenyum sepanjang hari itu. Juga, gue diam-diam memotret dirinya.
Banyak hal yang menarik ketika lu mengambil potret secara candid. Lu bisa melihat reaksi yang sebenarnya tanpa perlu berpura-pura. Spontanitas itu bisa terlihat lewat sorot mata, mimik wajah, ekspresi, bahasa tubuh, semuanya.
Dan candid yang gue dapet dari Joy adalah sepenuhnya tersenyum lebar, sorot mata takjub saat melihat sekitar, dan bahasa tubuh yang apa adanya. Semua itu bikin gue gemas.
Taman wisata itu sepi pengunjung karena bukan akhir pekan, hingga membuat suasana sekitarnya menjadi lebih lengang dan sunyi. Ada sesi dimana kami berpencar. Mami yang mau liat pertunjukan memberi makan sapi, lalu Papi dan Sasa yang temenin. Sedangkan gue dan Joy melihat sisi taman yang ada patung-patung dewa dan dewi Yunani yang indah.
Joy mengambil beberapa gambar dari ponsel, terus bergumam keren sambil berkeliling. Sedangkan gue cuma ngikutin dengan SLR yang terarah untuk memotret juga.
Setelah berkeliling, kami berdua duduk di bench yang ada di area itu. Cuma kami berdua yang ada di sana. Seperti yang tadi gue bilang kalo taman wisata itu sepi.
Duduk berdua di bench, tepat di bawah pohon untuk berteduh, dan suasana mendukung buat setan mampir sekarang.
Gue menaruh tangan di sandaran bench yang ditempati Joy. Cewek itu lagi sibuk minum saat gue mendekat.
Sambil meneguk air dari botol, Joy menoleh dan menatap gue dengan bingung. "Lu kenapa?'
"Haus," jawab gue modus.
"Nih, minum," balas Joy sambil menyodorkan botol minumnya.
Gue menggeleng sambil tersenyum miring. "Maunya gue minum dari sini."
Lu pasti tahu apa yang gue lakukan. Yes! Setan mampir di otak untuk berciuman di sana. Gue mengangkat dagu Joy dan menahan tengkuknya, mencium bibir itu dengan seluruh perasaan.
Kangen, itu udah pasti. Hampir tiga hari gue nggak cium bibir Joy selagi kami bersama. Ciuman itu wajib buat gue kalo lagi bareng Joy. Gue suka dengan balasannya, erangan pelannya, dan doi yang kewalahan ngikutin kalo gue udah makin bernapsu.
"Gue lagi pengen banget, Joy," bisik gue parau di sela-sela ciuman, sambil mengarahkan tangan Joy untuk menyentuh gue yang udah keras di bawah.
"Gue pengen mulut lu ada di situ," lanjut gue lirih.
Joy menatap gue dengan sayu dan melumat bibirnya sendiri sambil mengusap naik turun di depan celana gue dengan lembut. Fuck.
"Tahan, yah. Kita bisa lakuin nanti malam," bisik Joy akhirnya.
Hah?
"Adik gue pulang jam 1 pagi. Kalo abis dari sini, kita langsung balik. Lu punya waktu banyak untuk ngerjain gue," lanjut Joy dengan serius.
Anjir nih cewek, cuma ngomong gitu aja, yang ada di bawah makin berkedut.
"Good idea. Gue kangen isepan lu," balas gue pelan, sambil membelai kepala Joy dengan lembut.
Joy tersenyum pelan dan menangkap tangan gue yang membelai kepalanya, lalu mencium telapak tangan gue dengan lembut.
"Kali ini, gue maunya lu masuk, Chan," ucapnya pelan sambil menatap gue tajam.
"Maksud lu?" tanya gue kaget.
Joy mendekatkan diri untuk berbisik ke telinga gue. Nada suaranya berat, juga napasnya. Seolah dia menginginkan hal itu dengan sangat.
"At this time, I want your dick to be inside me and rock my pussy," bisiknya.
◾◾◾
Monday, May 18th, 2020
20.04
Ulalala...
Jempol aing makin napsu.
Mau ikutan dong.
Bagi-bagi, Chan! Cuma lu yang gue kasih bagian enak. Kenyataan gue mah kagak.
Okay, ignore! Haqhaqhaq 🍌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top