Chapter. 11
"You got to be kidding me," ucap Joy dengan ekspresi nggak percaya, saat dirinya melihat gue sudah menunggu di pintu keberangkatan.
Gue hanya terkekeh, lalu sungkeman dulu sama Om dan Tante-nya yang mengantar Joy ke bandara. Cari muka.
"Janjian sama temen kok nggak bilang, Joy?" tanya si Om sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Dadakan, Om. Kebetulan ada keluarga di sana, mau ikut lamaran," jawab gue sambil melirik Joy yang menatap gue dengan kening berkerut curiga.
"Kamu mau pergi lamaran? Pacar kamu ada di sana?" tanya si Tante, yang auto bikin gue merinding.
Joy tertawa pelan dan gue langsung menggelengkan kepala.
"Bukan gitu. Sodara, Tan. Nanti keluarga saya nyusul besok lusa," jawab gue buru-buru.
"Oh, oke deh. Bagus kalo gitu, jadi Joy punya temen. Safe flight yah buat kalian," balas Tante kalem.
Setelah berdadah ria dengan Om dan Tante, gue segera masuk bersama Joy untuk melakukan check in bagasi. Pastinya, si Joy nanya-nanya kayak polisi soal keberangkatan gue kali ini.
"Sepupu Mami punya anak mau lamaran, terus kita sekeluarga pikir sekalian liburan aja, gitu lho," jelas gue.
"Terus kenapa nggak bilang sama gue? Sok banget kasih kejutan! Lu nggak tahu apa gue udah stress. Tadinya, gue pikir penerbangan bakalan batal karena topan makin gede di sana," sewot Joy geram.
Meski Joy sewot, tapi dia sibuk mengetik di hape. Gue melirik ke arah hapenya, lalu mendengus pelan karena cewek itu lagi kasih kabar ke pacarnya.
"Mau ngapain kasih kabar, kalo dia aja nggak bisa nganterin lu ke bandara?" tanya gue keki.
Joy mengangkat wajahnya dan menatap gue heran. "Kita udah sepakat untuk nggak perlu kepo tentang urusan pribadi. Gue yang masih berusaha yakinin diri dan lu yang masih mencari. Gitu kan maunya?"
"Ya tapi nggak gitu juga, dong. Emang lu pikir, gue nggak tersinggung lu kayak gitu? Jalan sama gue, tapi ngabarin cowok lain," balas gue yang semakin keki.
Joy mengerjap bingung dan memasukkan hape ke dalam tas. Dia nggak ngomong apa-apa dan gue pun males buat ngebacot lagi.
Seharusnya, gue nggak perlu baper soal itu. Konsekuensinya udah jelas, gue yang nggak berani kasih kepastian dan ngegantungin anak orang, tapi malah ngarep lebih.
Joy pun memberi gue kesempatan untuk memutuskan, tapi nggak gue manfaatkan dengan baik, sehingga dia tetap menjalani hubungan dengan Sean.
Kami berdiri bersisian, mengantri untuk mendapat giliran. Nggak ada obrolan, selain menunggu dalam diam, dan memperhatikan sekeliling yang ramenya ngalahin Tanah Abang.
Tiba giliran kami, Joy meminta passport dan tiket gue, lalu menyerahkan langsung pada Mbak konter. Bagasi kelar, boarding pass udah dapet, tinggal antri imigrasi.
"Bulan madu ya, Kak?" tanya Mbak kepo yang lagi antri di barisan sebelah.
Joy dan gue sama-sama menoleh untuk menatapnya bingung.
"Tanyain saya?" tanya Joy sambil menunjuk dirinya sendiri.
Si Mbak kepo mengangguk, lalu melirik centil ke arah gue, dan gue langsung melengos.
"Nggak. Cuma mau liburan," jawab Joy singkat.
"Wah, asik yah liburan sama pacarnya," balas si Mbak.
Gue mendengus dan menarik Joy untuk pindah posisi. Paling nggak suka sama orang SKSD, yang tujuannya nggak bener dan udah pasti bikin keki.
Merasa gue nggak suka, si Mbak akhirnya kicep. Dia kembali mengantri dan mulai mengacuhkan kami.
"Lain kali, nggak usah ladenin orang yang ngajak ngobrol tiba-tiba kayak tadi," tegur gue dalam suara rendah.
Joy mendongak dan mengerutkan keningnya. "Kenapa jadi sensi? Masih marah gara-gara gue chat Sean?"
"Nggak!"
Joy menghela napas dan berjalan lebih dulu ketika gilirannya tiba. Kami memberikan passport untuk mendapatkan stempel keluar dari negara, lalu berjalan bersisian menuju terminal keberangkatan.
"Ngopi dulu, boarding masih dua jam lagi," ajak gue ketika melihat ada kafe kesukaan kami.
Joy mengangguk dan kami memesan kopi, lalu duduk di meja dengan dua kursi, dekat jendela.
Hape Joy berbunyi saat gue baru mengaduk minuman. Spontan, gue mendongak dan melihat Joy masih menyeruput minumannya tanpa terganggu dengan suara hape-nya.
"Kenapa nggak diangkat? Lu takut gue marah karena yang telepon itu Sean?" tanya gue dengan alis terangkat setengah.
Joy menatap gue dengan seksama. "Kalo iya, kenapa? Kalo nggak, kenapa?"
"Angkat aja. Kenapa harus takut gue marah?" balas gue keki.
Kening Joy berkerut dan menatap gue kesal. Kemudian, dia mengangkat hape dan berbicara dalam suara rendah tapi masih bisa gue dengar.
Intinya, Sean yang telepon dan menanyakan keberadaan Joy sekarang. Ada rasa nggak suka dalam hati, juga emosi dalam diri.
"Kalo kesel, mendingan keluar sana. Nggak usah banting-banting hape di meja. Berisik!" tegur Joy setelah menutup teleponnya.
"Gue nggak kesel," balas gue nggak terima.
"Tapi marah," sahut Joy galak.
"Gue nggak marah!"
"Yeah, talk to my palm!" tukas Joy sambil mengarahkan telapak tangannya ke gue.
Gue nggak mempedulikan Joy yang melotot galak dan menunduk untuk memainkan hape gue. Harusnya, gue nggak perlu marah. Juga, gue nggak perlu sensi.
Tapi gua nggak bisa bohong kalo perhatian Joy yang harusnya buat gue aja, terbagi dengan cowok lain. Makin lama, gue makin pengen memonopoli Joy buat diri sendiri.
Sampai waktu boarding, gue dan Joy saling terdiam. Biasanya, kalo kami berantem, kami lebih memilih untuk diam. Lebih baik begitu karena saat emosi, ucapan yang keluar itu dari setan. Gue berusaha keras untuk nggak nyakitin doi.
Gue melirik ke arah Joy yang tampak tegang waktu berjalan menuju koridor pesawat. Meski dia masih diam, tapi ekspresinya nggak bisa bohong. Dia takut.
Spontan, gue merangkul bahunya dan berjalan berdekatan. Marah boleh, tapi nggak boleh sampe keterlaluan. Jangan sampai cuek juga, pamali.
Gue mengabaikan Joy yang mendongak untuk menatap gue. Sama sekali nggak kepengen ditatap memelas sama doi, ujung-ujungnya lu yang repot sendiri.
Mendapat tempat di baris tengah dengan lima kursi berderetan, gue duduk di sisi koridor dan Joy di sebelah. Sebelahnya lagi, ada tante-tante dengan anaknya.
Penerbangan internasional nggak pernah ngaret, itu yang gue suka. Penerbangan yang berlangsung selama kurang lebih lima setengah jam, akan membawa kami tiba negara itu pada jam 9 malam waktu setempat.
"Hey, masih marah?" tanya Joy sambil mengusap lengan gue, dan spontan gue menoleh.
"Nggak," jawab gue pelan.
"Tapi kayaknya..."
"Gue nggak marah sama lu, Joy. Tapi lebih ke diri gue sendiri. Gue merasa gagal dalam bimbing lu, entah itu sebagai temen ato selingkuhan," sela gue cepat.
Joy tertegun dan menatap gue sambil menggeleng. "Kenapa lu bisa ngomongin diri lu kayak gitu? Lu bukan selingkuhan, Chan."
"Terus, julukan apa yang pantas buat cowok kayak gue, yang hook up sama cewek yang udah punya pacar?" balas gue pahit.
"Lu bukan selingkuhan, Chan. Lu spesial," koreksi Joy lagi.
"Thanks karena lu yang masih berusaha untuk bikin gue seneng," sahut gue sambil tersenyum dan mengusap kepalanya.
Joy menatap gue lirih dan seakan ingin menyampaikan sesuatu, tapi pemberitahuan dari pilot bahwa pesawat akan segera take off, mengalihkan perhatiannya untuk segera membetulkan posisi duduk dan kembali tegang.
Satu tangan gue segera menangkup tangan Joy. Cewek itu segera menoleh dan kami saling tersenyum.
"Gue sayang lu, Chan. Gue nggak bisa ngeliat lu marah kayak gitu," ucap Joy dalam bisikan pelan, supaya nggak ada yang menguping.
"Gue nggak marah, Joy."
"Gue udah kenal lu dan semakin tahu lu orang kayak gimana, Chan. Jujur aja, gue kebingungan sekarang. Lu suruh gue explore tentang hubungan dan bertahan dengan Sean, tapi kenapa lu seolah nggak rela? Setelah gue pikir-pikir, lu cuma jago di bacot, tapi payah dalam ambil keputusan," ucap Joy.
"Kok gitu?"
"Kita saling sayang, dan bohong banget kalo rela sayangnya dibagi. Selama ini, gue selalu berpikir kalo lu cuma anggap gue kayak sahabat atau adik sendiri. Makanya, gue nggak mau kebaperan dengan perhatian yang lu kasih, apalagi lu sering gonta ganti cewek. Kalo dipikir-pikir lagi, harusnya gue yang lebih pedih."
Gue tertegun dan menatap Joy nggak percaya. Jadi, sikap santainya selama ini adalah karena menahan diri untuk nggak bersikap eibiji kayak gue tadi? Anjir. Hina banget gue jadi orang.
Gue bahkan belum siap membalas, tapi Joy udah lebih dulu melanjutkan.
"Gue tuh cewek, Chan. Sangat normal untuk merasa GR saat ada cowok yang sangat perhatian ke gue, tapi bukan berarti gue terima mentah-mentah semua perasaan yang gue rasain ke lu," lanjut Joy dengan seulas senyum tipis.
"Jadi, lu pernah jealous sama mereka?" tanya gue untuk memastikan.
Joy tertawa pelan lalu menggeleng. "Buat apa gue jealous sama cewek yang bahkan nggak pernah masuk dalam pikiran lu, kecuali lobangnya aja?"
Gue spontan terkekeh dan memijat pelan kening. Nggak menyangka jika cewek semuda Joy, bisa berpikiran logis dan kritis kayak gitu.
"Gue berusaha waras, Chan. Gue juga tahu apa alasan lu ngelakuin itu semua. Juga, sebagai teman, gue nggak berhak marah atas apa yang lu lakuin. Gue cuma bisa dukung dan terus ingetin kalo apa yang lu lakuin itu, sama aja kayak nyakitin diri sendiri," tambah Joy dengan nada suara yang sangat lembut.
"Sorry, Joy," balas gue lirih.
"Untuk apa sorry sama gue? Lu nggak salah. Yang salah itu hati gue, karena sempet memilih lu untuk tinggal di dalamnya. Tapi tenang aja, gue masih bisa tahan karena nggak mau cari penyakit. Sakit hati itu nggak enak, apalagi patah hati," sahut Joy kalem.
"Gue nggak akan nyakitin lu," ucap gue serius.
"Gue tahu," balas Joy cepat. "Makanya lu main aman dengan ngegantungin gue dan nggak bisa kasih kepastian."
Jleb! Gue nggak bisa ngomong apa-apa karena apa yang diomongin Joy itu bener banget. Gue yang berusaha untuk jaga perasaannya, justru malah bikin dia serba salah.
Yang namanya Chandra, fix nggak ada yang beres.
"Kenapa lu nggak pernah ngomong soal itu? Kenapa lu diem aja?" tanya gue akhirnya.
"Buat apa?" balasnya sambil tertawa pelan. "Nggak ada gunanya dengan kasih tahu lu soal itu. Daripada lu end up jadi coward yang main kabur, mendingan lu jadi cowok yang demen ngebaperin temen sendiri."
"Lu seneng dibaperin sama gue?"
"Nggak, gue udah biasa. Anggap aja, itu cara lu untuk berusaha jadi bener dengan treat lawan jenis, yang adalah temen lu sendiri."
"Kenapa lu harus sebaik itu jadi cewek? Lu tahu gue brengsek, tapi nggak pernah menghina atau menjauh dari gue." Itu adalah pertanyaan yang udah lama banget pengen gue tanyain ke Joy.
"Bukan porsi gue untuk menghina atau menjauh dari lu. Lagian, tiap orang punya kesempatan buat berubah. Terus juga, lu nggak pernah brengsek sama gue, palingan cuma mulut lu aja yang julid kalo ngatain gue soal tinggi badan," jawab Joy kalem, lalu mengangkat tatapan ke arah pramugari untuk menyebut minuman yang ditawarkan.
Joy memesan jus dan gue memesan wine. Senggaknya, ada jeda untuk obrolan serius yang kami lakukan untuk sekedar meneguk minuman kami.
"Ada yang mau lu tanyain lagi? Daritadi, muka lu kayak nahan boker gitu," celetuk Joy.
Gue menoleh dan terkekeh pelan. "Gue cuma pengen tahu, kenapa lu bisa sayang gue?"
"Karena lu baik," jawab Joy langsung. "I always appreciate someone who know their value. Lu itu pede, antusias, narsis, tapi dalam artian nggak lebay atau maksa. Gue dapet banyak pelajaran dari lu tentang cara pandang dan pola pikir. Menurut gue, lu bikin gue jadi merasa keren. Jadi, lu memberi pengaruh positif buat gue."
"Lu juga bawa hal positif yang sama dalam hidup gue, Joy," balas gue tulus.
"Most of all, you're mean everything to me," ujar Joy sambil memeluk lengan gue dan bersandar di sana.
"Sorry, gue terlalu childish dalam hal ini. Gue marah sama diri gue yang nggak bisa mencegah lu untuk jangan berhubungan dengan orang lain, selain gue. Karena gue sendiri nggak bisa jadi contoh," bisik gue getir.
"Egois itu manusiawi, asal jangan maksa. Gue masih belum memutuskan, Chan. Hubungan yang gue jalanin dengan Sean itu biasa aja. Cuma sekedar status, tapi nggak ada frekuensi yang bikin gue merasa perlu bertindak lebih. Mungkin karena masih baru, beda sama lu yang udah kenal setaon lebih. Jadi, gue nggak bisa compare karena hasil akhirnya jomplang," tukas Joy pelan.
"Tapi thanks berat ya, lu sampe kasih kejutan semanis ini buat temenin gue terbang jauh gini. Gue bersyukur punya lu," tambah Joy dengan nada mengantuk, lalu kepalanya terkulai lemah.
Mungkin karena stress dan nggak bisa tidur semalam, Joy langsung terlelap gitu aja. Gue membetulkan posisi agar Joy mendapat tempat ternyamannya, dan membiarkan dia tidur di dada gue.
Sama seperti Joy, gue pun bersyukur punya dia dalam hidup ini. Membuat gue bertekad untuk membuatnya bahagia dan nggak akan tersakiti. Mudah-mudahan gue bisa... atau mungkin, nggak?
◾◾◾
Monday, May 18th, 2020
13.02
The moment when we can get together with beloved one, is the most perfect moment of all time.
Spend your time wisely. We don't know what will happen tomorrow, but we have today to be the best of us.
Ada yang kirimin lunch box, yang bikinnya pake bumbu cinta (kayaknya) haqhaqhaq
Thanks anyway.😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top