Chapter. 10

"Gimana workshop yang kamu jalanin? Udah sampe Mana perkembangannya?"

Pertanyaan Papi auto bikin males. Tiap kali duduk makan bareng, Papi akan tanyain usaha gue yang katanya nggak menjanjikan itu.

Papi lebih suka kalo anaknya kerja di kantoran atau berdasi, yang sebenarnya mengharapkan gue untuk bisa lanjut ke usaha konstruksinya. Gue nggak suka. Biar Sasa aja.

Biar begitu, Papi kasih kebebasan gue untuk memilih jalan hidup. Gue tetap di jalur otomotif yang jadi kesukaan, meski gue lagi cari-cari peluang buat usaha baru.

"So far so good, Pi. Baru juga jalan 2 taon, udah okelah. Nggak jelek-jelek banget karena aku masih dapet customer," jawab gue sambil memotong pancake.

"Tetap harus mikir ke depan, jangan main-main terus. Umur kamu udah berapa sekarang? You have to reach achievement before 30, Son," titah Papi.

"Easy, Pi. Aku masih muda, dan..."

"Justru karena masih muda, kamu harus perbanyak usaha. Orang bilang nikmatin masa muda, itu memang benar, tapi harus seimbang dengan niat dan kemampuan, baru kamu layak senang-senang. Waktu Papi seumuran kamu, Papi udah pegang usaha Opa," sela Papi kalem, sambil menikmati bubur ayam.

"Tinggal lanjutin dengan memulai hal yang baru itu beda kali, Pi," celetuk gue keki. "Usaha Opa udah sukses, Papi tinggal lanjutin kesuksesannya dengan beberapa improvisasi. Kalo aku, itu harus mikir dari A sampe Z, yang bener-bener dimulai dari 0 kayak isi Pertamax di pom bensin."

"Chandra udah usaha banget kok, Pi. Anaknya jadi lembur mulu, itu berarti banyak kerjaan," suara Sasa menginterupsi.

Gue langsung mendongak untuk melihat Sasa yang duduk di sebrang sambil mengunyah. Tumbenan amat Sasa belain gue, biasanya juga julidin gue.

"Cuma pengen tahu perkembangan anak sendiri, Sa. Kamu tahu kalo adik kamu itu songong. Maunya enak sendiri dan sama sekali nggak pernah mau cerita kalo nggak ditanya," balas Papi santai.

Susah juga kalo jadi anak cowok. Nggak cerita dibilang songong. Dikit-dikit cerita dibilang manja dan nggak mandiri. Hidup itu pilihan, tapi orangtua nggak bisa pilih alias terima nasib.

But, gue sayang mereka. Papi dan Mami sangat berarti buat Sasa dan gue. Kami berdua dilimpahi dengan kasih sayang dan pengertian yang sama, nggak jomplang. Mereka berusaha adil, meski gue tahu kalo Papi dan Mami lebih concern ke urusan hidup gue, yang kalo diartikan dalam bahasa gaul, lebih sayang dan banyak kaypoh.

"Btw, udah lama Joy nggak keliatan. Kalian putus?" tanya Mami yang langsung bikin gue tersedak karena pancake mendadak nyangkut.

"Ada yang sesak, tapi bukan karena pancake," ejek Sasa yang bisa gue dengar saat buru-buru menenggak orange juice.

"Joy? Siapa Joy?" tanya Papi dengan dahi berkerut sambil melihat Mami.

"Itu lho,Pi, yang kita pernah ketemu di Food Hall waktu mau beli buah," jawab Mami.

"Emang itu pacarnya Chandra? Kayaknya waktu ketemu, dia gandengan sama cowok yang lebih pantes jadi Om-nya," balas Papi heran, dan gue cuma bisa melumat bibir untuk menahan seringaian.

Mereka pasti ngeliat Joy lagi jalan sama Sean. Gue nggak pernah dikenalin secara langsung, tapi bisa liat sosoknya dari foto di hape Joy.

Sean itu diluar dari tipe yang Joy sukai, meski sampai sekarang, gue masih nggak paham apa yang bikin Joy bisa menerima cowok itu.

Dibandingkan Sean, gue jauh lebih oke. Pemahaman soal selingkuhan yang lebih menggoda itu emang bener adanya. Meski masih jalan sama Sean, Joy masih dekat sama gue.

Oke, katakan kalo selingkuhan itu berlebihan, tapi yang gue rasakan yah kayak gitu. Sejak make out pertama kali sekitar 2 minggu lalu, hubungan kami berbeda.

Masih tetap dekat dan penuh perhatian, tapi kami sering melakukan skinship, meski nggak kelewat batas. Kami bisa memuaskan satu sama lain dengan tangan atau lidah. Nggak pernah sampe masuk, meski gue nggak tahan tiap liat tubuh Joy yang masih rapat. Sial, ngomong gini aja, gue udah ngaceng.

"Joy bukan pacar aku," ucap gue pelan, yang bikin gue nggak nyaman.

"Bukan pacar, tapi ada rasa yang tertinggal," celetuk Sasa yang auto bikin gue melotot tajam.

Sasa tertawa dan puas banget liatnya. Sedangkan Papi dan Mami hanya memperhatikan gue dalam diam. Kalo ekspresinya kayak gitu, gue udah males banget dah. Bawaannya pengen langsung cabut aja tanpa kelarin sarapan gue.

"Dari cerita Mami, kayaknya Joy itu spesial. Tapi kenapa kalian nggak jadian?" tanya Papi kemudian.

"Kami teman baik, Pi," jawab gue.

"Teman baik, my ass. Nggak usah ngelak kalo kamu suka sama dia, Chan. Perlu Mami bilangin yah, mumpung Joy masih bisa kamu rebut sekarang. Entar kalo udah keburu dinikahin orang, bisa mewek sepanjang tahun!" Balas Mami ngegas.

"Anaknya baik dan lucu, udah pasti banyak yang suka. Kasarnya yah, cowok bangsat model kayak lu aja kesengsem, apalagi cowok bener? Polling buat jadi suami selalu dimenangin sama cowok bener, Brother," timpal Sasa.

Gue mendengus dan merasa nggak senang. Apa sih yang ada dalam pikiran mereka sampai harus sejauh itu? Joy masih muda dan nggak mungkin mau nikah muda. Lagian, dia bukan tipikal yang bakalan mudah luluh karena kesan baik yang didapat. Orangnya cukup kritis dalam menilai pribadi.

"Apa kamu ragu karena masih ingat soal Irene?" tanya Papi.

Shit! Nama sialan yang nggak pernah gue mau denger. Tiap kali ada cewek dengan nama itu, gue auto benci. Don't know why but it happened to me, most of the entire time.

Gue masih terdiam dan enggan membalas. Buat apa? Karena pastinya, nggak ada kata baik yang akan keluar dari mulut gue kalo berhubungan dengan itu.

"Sayang, liat Mami," panggil Mami yang bikin gue merinding.

Kalo Mami tetibaan manggil Sayang, gue mulai keringat dingin. Pasti ada maunya. Setelah gue liat Mami, dia tersenyum hangat.

"Mami nggak akan ikut campur urusan pribadi kamu, tapi Mami mau kamu bisa pilih jalan yang benar dan nggak salah langkah kayak kemarin. Kamu memang masih muda, tapi mumpung masih muda, kamu bisa lebih wise dalam mengambil keputusan dan nggak menyesal pas tua nanti."

"Aku nggak jadian sama Joy, bukan karena trauma atau masa lalu, Mi. Aku bukan orang yang pantes buat dia," balas gue jujur.

"Yang nilai pantas atau nggak, bukan kamu tapi dia. Selama kamu bisa diterima dengan baik oleh Joy, itu berarti kamu udah ngelakuin dengan benar. Jadi, semangat yah. Kalo udah jadian, jangan lupa makan-makan," sahut Papi sambil menepuk bahu gue.

Gue hanya mengangguk dan menghela napas. Bingung. Juga galau. Hubungan gue dengan Joy memang belum ada perkembangan, selain dekat dan saling mengerti.

Tapi kalau pacaran? Gue nggak yakin kalau kami akan tetap kayak gini. Kelakuan gue pasti akan memberi pengaruh besar bagi sikap Joy nantinya. Tapi, gue akan coba pikir baik-baik.

"Btw, Papi dan Mami berencana untuk kita sekeluarga liburan," ucap Mami.

"Liburan kemana? Mau ngapain? Aku nggak usah ikut lha, mau liburan bareng Ryan aja," sahut Sasa.

Gue melirik ke arah Sasa yang tampak nggak setuju dengan pengumuman Mami barusan.

"Masih bagus punya orangtua komplit yang bisa ajak liburan. Kamu udah mau nikah, masih bisa liburan kapan aja sama Ryan. Nggak usah banyak protes," sewot Mami.

"Emangnya mau kemana, Mi?" tanya gue malas.

"Pulang kampung ke Taiwan, temenin Oma Grace. Katanya, ada sodara yang mau lamaran," jawab Mami.

Taiwan? Mata gue langsung melebar senang. Adik Joy kuliah di sana dan Joy memang akan visit ke sana.

"Kapan, Mi?" Tanya gue antusias.

"Libur lebaran. Mungkin pas di hari pertama Idul Fitri," jawab Mami heran.

"Jangan tanggal segitu. Dua hari sebelum lebaran aja. Oke?"  Sahut gue.

"Tumben banget, lu seneng gitu ke sana? Bukannya lu bilang boring dan enakan di Jepang kalo mau liburan?" tanya Sasa dengan nada curiga.

Gue terkekeh dan menatap semuanya dengan senang. "Kebetulan, Joy mau visit adiknya yang lagi kuliah di sana."

Sasa langsung mendesah malas.

"Oh, bagus dong! Ajak aja sekalian dan berangkat bareng sama kita. Dia berangkat sama siapa?" tanya Mami.

"Sendirian, Mi. Udah beli tiket, tapi berangkatnya dua hari sebelum lebaran," jawab gue dengan tatapan memelas.

"Papi masih ada meeting di hari itu. Tapi Joy kasian banget kalo berangkat sendiri. Nanti dikira anak hilang gimana?" gumam Mami yang langsung bikin gue ngakak.

Joy memang udah gelisah sejak tiketnya dibeli. Dia phobia ketinggian dan nggak suka naik pesawat. Takut jatuh katanya. Gue pernah jalan-jalan ke Bali sama dia, terus selama penerbangan, doi cuma pasang headphone dan baca buku. Lucunya, mukanya pucat dan tegang. Dia akan lega jika pesawat sudah landing.

"Kamu temenin Joy dulu aja, Chan. Nanti kita nyusul," ujar Papi memberi solusi, bukan janji.

"Ciyeee, ada yang senang dan nuncep di hati. Asik," ejek Sasa sambil nyengir.

Gue juga ikut nyengir dan merasa senang. Tapi tentunya, gue nggak akan kasih tahu Joy tentang ini. Gue mau kasih kejutan. Untungnya, kode tiket Joy ada di email gue, karena gue yang pesenin tiketnya. Jadi, gue bisa check in bareng lewat online, supaya bisa duduk bareng.

"Pesenin tiket buat kita-kita juga. Sekalian booking hotel di Taipei, karena kita nginep dulu 2 malem di sana, baru ke Taichung," beritahu Mami.

"Yes, Boss."

Tentunya, planning liburan keluarga tahun ini di luar ekspektasi. Biasanya, gue akan jadi sekutu bareng Sasa buat ngebatalin dan selalu berhasil bikin Papi dan Mami kayak pengantin baru dengan pergi berdua aja.

Tahun ini? Jangan dong. Kan, lagi usaha buat cari perhatian dengan jadi selingkuhan terbaik sepanjang masa.

Untungnya, gue beli tiket yang bisa pergi bareng sama Joy, karena Taiwan lagi ada angin topan atau sebutannya taifung. Lu browsing aja lha itu apaan, gue pegel jelasinnya.

Tiga hari sebelum berangkat, Joy udah makin gelisah dan stress. Dia takut tapi nggak berani bilang. Adiknya Joy, namanya Jeremy. Panggil aja Jere, adalah adek paling jago caper sama kakaknya sendiri.

Kalo gue nggak tahu siapa itu Jere, gue pasti akan kira dia itu cowok simpanan Joy. Isian chat-nya unfaedah, seperti tanya udah makan atau belum, udah siapin ini itu atau belum, dan ujung-ujungnya nitip macam-macam.

"Lu mau ngapain beli-beli sweatshirt sama baju buat oleh-oleh? Di sono juga banyak kali, malah lebih murah," sewot gue di suatu hari, saat temenin Joy belanja di mall.

Joy membeli beraneka macam kaus, jeans, dan pernak pernik lainnya. Dia juga ada beli macam-macam biskuit, plus saos sambal botolan. Etdah.

"Kesannya bakalan beda kalo gue yang bawa," balas Joy kalem sambil mengambil beberapa snack jagung dari rak.

"Iya beda, bawaan lu yang jadi berat. Lebih berat bagasi daripada orangnya," sahut gue nyolot.

Joy menoleh dan mencibir. "Sotoy lu."

Gue membungkuk untuk menatapnya dengan alis terangkat. "Gue bukan sotoy, tapi emang tahu. Kan udah pernah ngangkat."

Rona merah di pipi Joy membuat senyuman gue mengembang. Tampak canggung dan akhirnya melengos.

"Ngapain ambil chiki-chikian? Emang di Taiwan, asupan micinnya kurang?" sewot gue saat melihat Joy mengambil beberapa snack lagi.

Joy kembali menoleh, terus nyengir-nyengir cantik di sana. "Gue beliin buat stok cemilan lu karena takut nantinya pas gue pergi, lu nggak sempet beli."

Senyuman gue semakin melebar dengan perhatian Joy yang menggemaskan. Spontan, gue mengusap dan menaruh siku di kepalanya sebagai sandaran. Punya cewek mungil, enaknya diginiin. Sama sekali nggak protes, meski bibirnya mengerucut.

"Jadi, nanti yang nganter itu Om lu?" tanya gue untuk memastikan sekali lagi.

Joy mengangguk sambil mendorong troli. "Oma mau titip kue buat Tante yang ada di sana. Jadi, besok gue nginep di rumah Oma."

"Siapa yang nganter lu ke sana?" tanya gue sambil mengambil alih troli dan merangkul bahu Joy agar berjalan di samping gue.

"Om gue yang bakal jemput," jawabnya santai.

"Sean masih di luar kota? Bener-bener sibuk sama urusan proyeknya sampe nggak ngeh kalo punya cewek di sini?" tanya gue dengan nada nggak senang.

"Nggak balik sampe lebaran, karena urgent project," jawab Joy sambil mengambil beberapa botol minuman kesehatan untuk wanita.

"Basi banget kalo kayak gitu. Alasan sibuk di luar kota, bisa jadi ada mainan di sana. Putusin aja," sewot gue sambil mengembalikan botol-botol minuman yang diambil Joy.

"Kok dibalikin? Gue butuh itu, perut gue lagi sakit. Ini hari pertama," keluh Joy.

Gue menoleh dan menatapnya serius. "Nyeri haid itu wajar, lu cukup istirahat dan nggak perlu sibuk belanja kayak gini. Minum ginian juga nggak bagus."

Joy menghela napas dan mengangguk sambil memeluk lengan gue, saat tangan gue sedang mengusap lembut perut ratanya. Hari ini dia memang nggak bersemangat dan wajahnya pucat.

"Lu bilang aja apa yang mau lu beli lagi, nanti biar gue yang cariin. Sekarang, kita bayar dan lu langsung balik. Tiduran aja," ujar gue yang langsung dituruti Joy.

Setiap dapat haid, Joy paling sengsara. Pernah satu kali, dia menangis sambil menangkup perut, meringkuk kayak siput di sofa karena hari pertama. Dia sering beli minuman botolan yang katanya air kunyit untuk meringankan nyeri haid, tapi gue ngoceh.

Menurut gue, minuman itu adalah minuman yang paling nggak masuk akal. Terus, nyeri haid itu normal karena memang adanya pengoyakan jaringan dalam rahim karena nggak ada pembuahan, lalu jadilah gumpalan darah yang keluar dan itu disebut haid.

Anjir! Mendadak jadi expert kalo soal beginian, harusnya gue jadi obgyn yang kerjaannya utak atik vagina, dan bukan mobil.

Selesai belanja, gue langsung bawa Joy balik ke apartemennya dan kasih dia tiduran di ranjang. Nggak seru banget kalo lihat dia diam begitu, tapi nggak tega juga kalo ngerjain.

Jadi, gue bantuin dia beresin barang bawaannya ke dalam koper sesuai arahan Joy, yang obviously banyak banget.

"Joy, ini ada satu kotak makaroni mau dimasukin?" tanya gue saat melihat ada sekotak besar makaroni schotel di dekat nakas.

Gue menoleh pada Joy yang bersandar di ranjang. Dia menggeleng sambil tertawa hambar.

"Itu buat lu bawa pulang. Nanti taro di freezer, kalo mau makan tinggal dipanasin," jawabnya pelan.

"Ini... buat gue?" tanya gue nggak percaya.

Joy mengangguk. "Besok gue ke rumah Oma, dan lu ada kerjaan, udah pasti nggak bisa ketemu. Jangan sampe lupa makan dan bawa makaroni itu jadi bekal."

"Why?" tanya gue yang semakin nggak percaya dengan perhatiannya yang kelewat batas.

Dia tersenyum. Pelan dan lembut sekali. Sampai gue merasakan semburat kehangatan dalam dada, yang nggak bisa gue ungkapkan dalam kata-kata saat dia menjawab pertanyaan gue.

"I just want to make sure that you're okay while I'm gone. And of course, I want to see you that happy," ujar Joy sambil menunjuk wajah gue yang terlihat sumringah.

Ternyata, Joy lebih jago bikin baper anak cowoknya Mami Felice dan Papi Harley, juga adiknya Sasa.

◾◾◾

Sunday, May 17th, 2020
14.00

Nggak cuma cowok doang yang jago kadalin anak orang. Cewek juga gitu. Kalo udah gape, malah lebih parah.

Haqhaqhaq 🍌

And yes, Joy has that fun sized height. The perfect height for an armrest from Chandra, who had 185 cm height.

Joy? Hmm.. I guess she's sort of 155 cm or less... Lol.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top