5.1 Querencia
Beberapa pekan berlalu setelah kami bertemu, dan Juan masih senang berkeliaran di sekitarku. Ia benar-benar melakukan apa yang dikatakannya saat kami bertemu pagi itu, yaitu untuk saling mengenal mulai dari awal lagi. Aku gak keberatan karena dia gak mengganggu kegiatanku sama sekali, kecuali saat bekerja di perpustakaan.
Terkadang ia datang dengan wajah ceria, terkadang juga ia datang dengan wajah musam. Saat kutanya apa yang terjadi padanya ia lekas menurunkan bahunya pertanda kecewa lalu bercerita semua yang terjadi padanya hari itu. Mendengar seorang pria berbicara terlalu banyak selain Billy sedikit menyematkan rasa hangat dalam hatiku. Menyadarkan bahwa dalam hidupku masih ada beberapa orang yang bersedia berotasi mengelilinginya. Meski mereka paham bahwa tak akan ada keuntungan saat melakukannya.
Kami sama-sama berada di tingkat akhir, sama-sama mulai sibuk dengan penelitian yang hampir menyita seluruh waktu dari yang kami punya. Bicara dengannya semakin lebih mudah karenanya, sebagian waktu yang ia habiskan di sini pun demi mencari beberapa literatur yang ia butuhkan. Meski kami berbeda fakultas setidaknya hal itu lebih baik karena kini aku punya teman memgerjakan tugas akhirku.
Billy yang memiliki banyak ketertinggalan di beberapa mata kuliah terpaksa harus mengulang dan menunda kelulusannya. Meski ada beberapa waktu ia ingin menemuiku, ia batalkan karena harus mengejar ketertinggalan. Karenanya aku sangat merindukannya sekarang.
Menatap jauh keluar jendela perpustakaan kudapati ternyata kehidupanku masih seperti dahulu. Terutama sepeninggal ibu, ayah semakin sering memukuliku. Luka-luka yang kudapat dari ayah terus meninggalkan jejak sehingga aku semakin harus memakai pakaian yang lebih tertutup dari biasanya. Meski di cuaca sepanas ini, aku tetap menggunakan jaket dan merapatkannya sampai menutupi leherku.
Beberapa lebam yang sulit tertutup pakaian harus diakali dengan plester ataupun koyo untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan orang sekitar. Meski gak banyak yang peduli padaku, aku tetap gak ingin mengundang perhatian. Seperti apa yang kudapati sekarang, sepasang mata menatapku lamat-lamat setelah kesekian kali bertanya hal yang sama padaku namun selalu kudiamkan tanpa berniat menjawab.
"Lo kerja sambilan apa deh sampe begini?" Juan masih menatapku penasaran. Matanya bagai menelanjangi saat melihat ke semua bagian wajah yang kututupi dengan plester. Tangannya bergerak mendekat pada setiap luka yang kututupi membuatku sedikit khawatir ia mungkin saja akan melihatnya.
"A-aah sakit," ringisku sesaat Juan menyentuh plester yang kugunakan di sekitar leherku.
"Wah, serius lo kerja apaan sih selain di sini, Kania?"
Juan terlihat semakin penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Tangannya bergerak semakin cepat, aku menangkisnya cepat berupaya terlihat gak nyaman saat ia masih terus mencari-cari luka lain pada tubuhku. "Gak pa-pa, gue sering kesandung karena gak lihat-lihat pas jalan," kilahku cepat.
"Sepupu temen deket gue juga ada yang agak ceroboh tapi gak segininya, lo beneran gak pa-pa?"
"Gue gak pa-pa Juan. Ohya, kemarin gimana bimbingannya?"
Wajah Juan berubah seketika. Raut khawatir yang setadinya tergambar jelas kini terganti dengan wajah muram yang biasa ia tunjukkan setiap merasa kecewa.
"It was not that bad, but still bad."
"So, it was good, dong."
"Apanya, rasanya kami tuh dari beda planet. Susah banget buat komunikasi," keluhnya lagi.
"Tunda dong? Gue duluan nih, ya?"
"She approve yours?"
"Yes, tapi ada beberapa yang masih harus diubah."
"Intinya udah boleh sidang, kan?"
Aku hanya tersenyum menjawabnya, Juan tak lagi murung setelah melihat jawabanku atas pertanyaan. Wajahnya kembali ceria, ia turut senang atas keberhasilanku membuatku kembali merasa bermakna. Ada orang lain yang turut bahagia atas kebahagiaanku. Meski kami belum lama saling mengenal, tapi aku bersyukur atas kehadirannya.
Rasa bahagia benar-benar membuatku merasa lupa atas berbagai masalah yang akhir-akhir ini kurasakan. Semua rasa sakit yang membelenggu perlahan menghilang. Tak lupa mengabari Billy tadi pagi yang masih sibuk dengan tugas-tugasnya, mengajaknya makan malam bersama sebagai perayaan atas keberhasilanku hari ini, dan ia menyetujuinya.
Pesan masuk dari Billy yang mengabari kalau sebentar lagi kelasnya selesai membuatku semakin bersemangat. Melupakan Juan yang menatapku dalam saat asyik bertukar pesan dengan Billy.
"Pacar? Kayaknya lo gak punya pacar deh." Juan kembali menatapku dengam wajah datarnya.
"Gak punya emang."
"Oh... karena lo kesandung terus mau gue antar pulang hari ini?"
"Gak usah, hari ini gue ada janji sama Billy."
"Pacar?"
"Bukan, teman satu fakultas."
Juan meninggalkan kursinya entah kemana, sedangkan aku masih sibuk bertukar pesan dengan Billy sampai tersadar ia kembali membawa beberapa literatur yang sepertinya gak ia butuhkan.
"Wah buat apaan lo ambil buku Dasar-dasar mekanisme penulisan sastra? Sejak kapan lo jadi anak sastra?"
"Keambil kayaknya," jawabnya asal sambil sibuk membuka halaman satu persatu buku yang dipenuhi dengan gambar itu.
"Gak mau tau ya, lo harus bantuin beres-beres."
Juan hanya menggumam meneruskan bacaannya, begitupun denganku yang kini mulai membereskan barang-barangku sebelum melakukan pekerjaanku.
"Loh, udah mau selesai?"
Aku mengangguk seraya menunjuk kepada sebuah jam dinding yang menunjukkan pukul 4 sore pada Juan. "Gue harus mulai beres-beres, takut kesorean," tegasku lagi pada Juan yang kembali membawa beberapa buku acak ke meja kami.
"Wah, ini buat apa lagi coba?" Mencoba menelaah situasi yang tengah kuhadapi saat ini.
"Gue balik duluan ya, tolong balikin buku-bukunya terimakasih."
Juan lekas melarikan diri setelahnya. Meninggalkan beberapa tumpuk buku di meja kami yang semakin memperbanyak pekerjaanku hari ini. Dengan langkah berat aku menarik troli yang selalu siap sedia membantu membawa buku-buku berat ini bersamaku kemanapun aku melangkah.
Kali ini tak ada rasa kecewa hinggap di hatiku. Setelah mendapatkan pernyataan bahwa aku bisa melanjutkan penelitian bagai bebanku terangkat sedikit. Bayangan tentang kebebasan yang kuimpikan semakin dekat, hal-hal baru yang ingin kulakukan membuat degub jantungku berdebar lebih kencang hanya dengan memikirkannya.
Dapat kulihat Billy tengah menungguku sambil bersandar pada rak terdekat dariku. Senyum merekah Billy mau tak mau membuatku ikut tersenyum megah bersama.
"Congrats." ucapnya tanpa bersuara.
Lekas menyambar tas yang sudah kurapikan tadi berlari mendekati ke tempat Billy berada, dan memeluknya erat.
Billy adalah teman pertamaku yang benar-benar memegang janjinya untuk tidak meninggalkanku. Ia adalah tempat dimana aku bisa menjadi diriku sendiri, tempat dimana aku gak perlu khawatir jika ia melihat luka-lukaku. Tempat aku gak perlu merasa risau tentang apa yang dipikirkannya tentangku.
Karena Billy adalah tempatku beristirahat, tempat dimana aku boleh melampiaskan rasa kecewa yang memenuhi relung hatiku.
Billy gak membalas pelukanku, ia hanya menepuk kepalaku pelan serta tak lupa membisikkan kata selamat padaku.
"Hari ini i'm yours, Kania. Kemana aja gak masalah, dengan syarat lo gak boleh pulang ke rumah hari ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top