4. Behind The Story : The Story Untold

Meski hanya sebentar, rasa-rasanya barusan jantung gue beneran mau lepas dari tempat seharusnya. Perasaan terkejut masih bergelut memompa jantung gue secepat mungkin karena ini adalah pertama kalinya gue melihat hal seperti itu, seseorang yang kelihatannya gak terluka sedikit pun dari luar harus meringis kesakitan sembari menutup telinganya yang sesekali mengeluarkan darah.

Gue hanya bisa terdiam menatap gadis itu dibawa pergi oleh seseorang, bersamaan dengan suasana hening yang mulai menyeruak karena hanya ada gue di sini, gak lantas membuat gue lekas beranjak. Tubuh gue lemas gak mampu bergerak seakan kehilangan fungsinya, pikiran kosong lenyap entah kemana semakin membuat gue teperdaya sampai sebuah tepukan pelan mengembalikan hampir sebagian dari kesadaran gue.

"Mas gak pa-pa?" Gue mengerjap, dan mengiakan pertanyaannya. Gue masih menatap jauh ke depan, di mana sudah gak ada seorang pun di sana. 

Setelah bangkit, gue lantas berusaha mengejar gadis tadi. Meski sudah gak terlihat lagi, bayang-bayangnya masih nampak jelas di kepala gue. Melihat pada secercah cahaya yang mulai berangsur lenyap menjadi pertanda gue harus segera kembali. Mata yang sedari tadi masih ingin mencari kehadirannya mulai beralih menuju parkiran tempat gue meninggalkan kendaraan yang menghantar gue tadi pagi. Meski tubuh gue terus berjalan menjauhi Gereja tempat acara berlangsur namun isi kepala gue masih dipenuhi dengan kejadian yang mengambil penuh perhatian gue. Suara tawa tempat resepsi berlangsung pun masih nggak sanggup menyadarkan gue kembali seutuhnya.

"Galau ya, karena masih jomlo?" Suara Neta mengganggu lamunan gue. Berusaha untuk nggak meladeninya gue memilih untuk lanjut memikirkan gadis itu.

"Juan masih jomlo, nih. Ready stock, available untuk jadi partner kondangan." Kini suara nyokab kembali mengusik, gelak tawa kerabat lain gak juga membuat gue mampu menghilangkan jejak gadis itu diingatan gue.

"Net, tadi wedding singer lo siapa namanya?" tanya gue akhirnya untuk mengalihkan percakapan mereka yang masih sibuk mengurusi kejomloan gue.

"lupa, .....siapa deh, Yang?" 

"Kania kalau gak salah." Suami Neta menjelaskan sambil berlalu seperti gak tertarik, meninggalkan istrinya yang kini duduk di samping gue sambil mengeluh soal kakinya yang sakit setelah berdiri berjam-jam dengan sepatu yang gak nyaman itu.

"Kenal di mana?"

"Di cafe waktu Dion ngelamar gue. Karena Dion mau recalling memories gitu jadinya nyari-nyari dia padahal sekarang udah gak kerja di sana."

Mendengar penjelasan Neta membuat gue banyak berpikir dari harus gue mulai untuk mencarinya. Meski gak banyak kenangan yang terjadi diantara kami, kehadirannya cukup memberi kesan mendalam buat gue. 

"Kenapa? Lo mau sewa buat nikahan lo nanti? Tapi emang udah ada yang mau sama lo?" cerca Neta tanpa ampun, gue kembali mengabaikannya mengingat ini adalah hari bahagianya. 

Gue akhirnya bangkit setelah mendapatkan sedikit informasi, menepuk kepala Neta pelan dan berpamitan padanya. "gak, Yaudah gue mau ke dalam ya. Sana ekorin lagi suami lo, congratulation sister!"

Neta tersenyum seraya bangkit untuk mengejar suaminya yang sibuk berkeliling untuk menyapa para tamu. Begitu juga dengan gue yang kini sibuk mencari keberadaan nyokab, mata gue terus bergerak melihat sudut-sudut tempat yang mungkin gak terjangkau oleh kedua mata gue ini. Setelah lelah dan akhirnya menyerah gue memilih masuk ke kamar tanpa bilang apapun pada orang-orang. Rasa lelah mendera, langkah kaki yang mulai terhuyung membawa tepat menuju ke ranjang yang telah gue tempati akhir-akhir ini. Tanpa mengganti pakaian, mata gue mulai sayup-sayup kehilangan tenaganya. gak ingin melakukan apa-apa lagi gue memilih untuk larut dalam keheningan. Membiarkan rasa penat membawa gue masuk ke alam mimpi, itu rencananya sampai suara bising ponsel terus mengganggu ketenangan. Sama sekali gak membiarkan gue untuk istirahat meski sudah diabaikan berkali-kali. Menyerah untuk tidur dan melihat siapa orang yang sedari tadi mengganggu tanpa belas kasih.

"Kamu di mana?"

Pekikan keras membuat gue bangun seketika. "Kamar mam," jawab gue dengan memalsukan suara. "Kayaknya, gak tahu ah! Juan mau tidur ya, mam." Masih terus berpura-pura sakit.

"Yaudah, nanti mama sama papa ke sana kalau sudah selesai."

Saluran telpon yang terputus menjadi pertanda bagi gue untuk masuk ke alam mimpi membiarkan gadis yang bernama Kania itu asyik menari di kepala gue tanpa berniat pergi, dan terus membayang-bayangi hidup gue. Sudah seminggu ini isi kepala gue terus terselip namanya serta kejadian hari itu. Rasa penasaran yang teramat besar terus mendorong gue untuk keluar masuk perpustakaan demi mencarinya. Walaupun sampai saat ini gak membuahkan hasil, gak lantas membuat gue berhenti untuk mencarinya.

"Mas masih nyari Kania?"

Seorang petugas kebersihan yang bertanggung jawab di perpustakaan tempat gue pertama kali bertemu Kania menjadi satu-satunya teman pelipur lara. Akhir-akhir ini gue sering menemuinya hanya untuk bertanya di mana keberadaan Kania namun nihil selain kabar bahwa Kania izin tidak masuk karena sakit. Tak ada lagi informasi selain itu, alamat rumah ataupun sekadar nomor ponselnya pun gak ada bagai pemutus aliran yang menghubungkan gue padanya. Hampir setiap hari gue kembali untuk sekadar mengecek keberadaannya, masih menunggu kehadirannya tanpa tahu kenapa alasan gue berbuat sejauh ini. Meski seminggu telah berlalu nyatanya gue masih saja duduk di kursi yang sama selagi memandang matahari yang mulai menghilang di ufuk barat dunia.

"Lo mau ke perpus lagi? Perasaan bimbingan ke dosen aja gak deh minggu ini."

"Yah, masih nambah-nambahin dulu lah. Kenapa Yan? Mau ikut?"

Bian terlihat gak tertarik. "Gue mau ke bandara."

"Ngapain?"

"Lagi ada perlu aja, gue balik duluan ya."

Akibat sebuah nama yang terus menyibukkan gue akhir-akhir ini semuanya jadi terasa gak penting lagi. Langkah kaki yang mulai gontai gak menyurutkan semangat gue untuk lekas menuju perpustakaan. Meski perasaan pesimis terus menghantui, pemikiran kemungkinan bertemu dengan Kania menyulut kembali asa untuk mencoba lagi hari ini.

Mimpi indah semalam masih terasa sampai sekarang, perasaaan terbuai oleh rasa bahagia ketika melihat seseorang yang akhir-akhir ini gue cari terasa menggelitik yang menimbulkan perasaan aneh pada tubuh gue. Entah kenapa, entah apa alasannya kini wajah tersenyum lebar nampak jelas dari pantulan kaca pintu perpustakaan. Wajahnya yang hampir tertutup rambut saat ia menelungkupkan di meja gak membuat gue kesulitan untuk mengenalinya. Terutama dengan beberapa perban yang masih terbalut di lengan dan kepalanya.

Memutuskan untuk berjalan mendekatinya, melihatnya lebih dekat sebagai pemuas rasa penasaran yang sudah lama terpendam. Dia terlihat gak terganggu sama sekali, suara hembusan napasnya yang pelan bagai pertanda bahwa ia tengah tertidur lelap. Teringat pada air soda yang tadi gue beli, gue putuskan untuk meletakkannya gak jauh darinya lalu mundur tanpa menimbulkan suara. Perasaan lega entah darimana memberikan sinyal untuk gak mengganggunya lebih jauh lagi. Membiarkannya istirahat sebelum mengganggunya lagi di kemudian hari.

Kembali disibukkan dengan tugas akhir yang menuntut lekas diselesaikan membuat gue kesulitan hanya untuk sekadar mengintip keberadaan Kania di perpustakaan. Rasa ingin bertemu yang kadang mengganggu konsentrasi tetap gak bisa menjadi alasan buat gue meninggalkan semua tugas ini meski sejenak. Gue, Bian, dan Rega sudah memutuskan untuk lulus diwaktu yang bersamaan, membuat mereka gencar menekan gue dengan terus bertanya sejauh mana perkembangan yang telah gue buat. Dan akhirnya setelah bimbingan siang ini gue bisa mencuri-curi waktu untuk sekadar menemui petugas yang menemani gue diwaktu-waktu sulit menemukan Kania.

Mas Farid bersedia menjadi orang dalam yang terus memberikan informasi valid mengenai Kania. Tentu saja semua yang dilakukannya karena kesepakatan yang sudah gue buat bersamanya. Meski memakai cara yang cukup aneh, setidaknya kini informasi mengenai nomor ponsel serta tempat-tempat yang biasa dia datangi sudah gue kantongi. Setelah mengucapkan terimakasih gue lekas beranjak untuk mulai mengatur strategi.

Hari-hari gue kembali dimulai menjadi penguntit semenjak bertemu dengan Kania, selama di kampus itu bukanlah masalah. Berbeda saat di luar wilayah kampus, meski beberapa kali gak sengaja bertemu dan terus mengikuti langkah kakinya sampai saat ini Kania masih gak sadar juga. Sesekali gue menemukannya sibuk melamun, atau gak bergairah. Membuat gue sedikit kesal dan akhirnya memilih jalan yang lebih ekstrim, seperti yang gue lakukan sekarang.

Bisa gue lihat kedua bola mata Kania yang mengerjap melihat gue. Sapaan gue yang masih belum juga dijawabnya membuat gue kembali mengulang apa yang gue lakukan tadi.

"Hey, Selamat pagi."

Entah kemana takdir akan membawa gue, tapi saat ini gue hanya ingin melihat wajah gadis di depan gue ini di setiap harinya.

Welcome, and welcome back untuk kalian yang masih menunggu dengan sabar petualangan Juan pada lapak yang satu ini. Semoga kalian menikmati, dan jangan sungkan untuk meninggalkan jejak di kolom komentar yaa.

See you 🤘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top