3.2 Indifferent
"Kalau bukan karena kalian, saya gak akan jadi seperti ini. Dasar sampah! Mati kalian semua!"
Sudah semalaman aku mendengar umpatan-umpatan ayah sepeninggal ibu meninggalkan rumah. Keadaan rumah yang masih terlihat berantakan, semakin membuatku muak dan ingin segera pergi kemanapun aku bisa. Selama aku bisa, aku pasti akan pergi.
Aku masih membersihkan semua kaca dari piring yang ayah lempar tadi pagi. Meski saat ini tangan ayah pun masih terus melempar barang-barang, kakinya pun turut serta menendang semua barang berhamburan kesana kemari gak lantas membuat tanganku terhenti memungut satu persatu kaca yang tersebar di lantai.
Akhirnya sudah gak ada suara gaduh dari ruang tengah, pertanda bahwa ayah sudah lelah dan akhirnya tertidur setelah kembali merusak seisi rumah. Gak ingin menyiakan kesempatan yang ada aku memilih lekas menuju kampus. Memilih bekerja untuk meluapkan semua kekesalan yang sudah menumpuk sejak kemarin.
Langkahku sedikit tertatih saat menuruni tangga penyebrangan karena rasa pusing yang mendera. Aku terhenti sebentar untuk menenangkan diri, membiarkan pusing ini pergi dengan sendirinya. Panas dari matahari yang mulai menampakkan sinarnya menjadi penghangat yang menyapa pagi burukku. Bagai sebuah pelukan yang terus menenangkanku agar lekas membaik dan bisa kembali memulai hari.
Meski tertatih, akhirnya aku sampai juga. Membalas sapaan petugas keamanan yang tersenyum hangat pada siapapun yang datang. Berjalan, bergegas melewati mahasiswa lain yang bercengkrama santai gak seperti diriku yang terus berlari guna melanjutkan hidup.
Keringat dingin mengalir deras membasahi kaus krem yang kugunakan, ditambah terpaan angin dari pendingin udara membuat tubuhku kehilangan suhu saat berada di perpustakaan berikut suasana sepi akibat belum ada pengunjung di pagi hari menambah tak enak badan yang semakin menjadi.
"Kania?" panggil salah satu office boy yang biasa membersihkan perpustakaan.
"Iya, mas?"
"Sakit? Pucet loh mukanya," tanyanya lagi.
Aku terdiam sebentar sebelum menjawab, rasa pening masih terus mendera membuatku kesulitan meski hanya berdiri diam cukup lama. "Iya, tapi gak pa-pa kok," sautku cepat setelah merasa lebih baik.
"Ke dapur aja, ada teh sama kopi. Kali butuh untuk menghangatkan badan," sarannya lagi. Aku mengangguk pelan tanda mengerti, kepala yang semakin terasa berat akhirnya kusandarkan di atas meja. Meski gak banyak membaik, tapi lebih baik daripada kondisiku semakin memburuk.
"Permisi mbak, saya mau pinjam buku." Suara seseorang mengejutkanku. Membuatku bangkit untuk menerima semua buku-buku yang ingin dipinjam untuk ditandai sebelum dibawa nantinya.
Setelah kepergiannya aku kembali merebahkan kepalaku, hal yang kulakukan berulang-ulang seharian ini. Obat-obatan yang kuminum cukup membantu banyak, membuatku merasa lebih baik sesaat setelah meminumnya.
Kembali menerawang apa yang terjadi akhir-akhir ini, merasa bahwa semuanya terlalu berlebih. Merasa bahwa rasanya aku ingin berhenti saja, berusaha menikmati hidup sebagaimana yang ingin aku lakukan. Pergi sejauh mungkin agar orang-orang gak mungkin bisa lagi menggapaiku, kembali menorehkan sisa luka pada tubuhku. Semua memar-memar kemarin pun masih nampak jelas, aku masih bisa merasakan nyeri hebat di beberapa bagian tubuhku. Tapi masih saja aku terus terjebak pada lingkaran setan ini. Terus terluka dan harus berjuang untuk hidup di setiap harinya.
Sudah gak ada lagi airmata yang bisa kukeluarkan, aku sudah terlalu sering menangis sehingga sudah gak ada lagi yang tersisa di sana. Aku juga ingin berteriak sekencang mungkin mengungkapkan kekesalanku. Namun lagi-lagi aku gak bisa melakukannya, hanya bisa kupendam dalam diam. Terus meruntuki sialnya hidupku dalam hati. Banyak yang hal kupikirkan sampai akhirnya aku terlelap, menikmati waktu tenang yang hanya bisa kudapat selain di rumah. Meski aku terus-menerus terganggu oleh orang-orang yang meminjam buku aku tetap mensyukurinya. Bersyukur karena masih memiliki waktu untuk bernapas lega sejenak.
Setelah merasa lebih baik, aku mencoba mengerjakan tugas akhirku. Berusaha menyelesaikan apa yang telah kumulai dengan diawali dengan mencari beberapa buku yang bisa kujadikan referensi tugasku. Memilah dari satu rak menuju rak lainnya, berusaha menelaah dari beberapa judul yang mungkin saja bisa membantu menyelesaikannya.
"Hey," panggil seseorang. Aku refleks berusaha mencari arah suara itu berasal. Karena gak menemukan siapa-siapa aku kembali fokus dengan apa yang kulakukan. Kembali menyusuri rak demi rak berusaha untuk menemukan apa yang kubutuhkan. Setelah menemukan apa yang kucari, lekas aku kembali ke mejaku. Duduk diam seraya membuka laptop demi membunuh waktu sebelum jam tutup perpustakaan, semua tugasku sudah selesai. Buku-buku sudah kukembalikan pada tempatnya, sehingga sudah gak ada yang bisa kulakukan saat ini dan membuatku memilih untuk mengerjakan tugas sampai pulang nanti.
.
.
.
.
Waktu berlalu begitu saja. Kini hari-hariku mulai berjalan seperti sedia kala, meski suasana rumah masih saja riuh, semuanya masih terkendali. Ayah hanya mabuk-mabukkan tanpa merusak barang, pekerjaanku juga baik-baik saja berikut dengan kesehatanku yang mulai terasa membaik meski Billy terus memaksaku untuk kembali ke rumah sakit, tapi untuk saat ini rasanya masih belum perlu.
Berjalan pelan di bawah terik sinar matahari menuju pasar bagai angin segar pembawa ketenangan untukku. Banyak kulihat orang lalu-lalang untuk menikmati hari. Senyuman serta suara tawa menggema di sekitarku, orang-orang yang berusaha menikmati minggu paginya. Memilih menyumbat telinga dengan pelantang suara sebagai teman yang menemaniku menuju tempat tujuan, mengabaikan orang-orang yang tertawa bahagia bagai tanpa memanggul beban apapun.
"Hey, pagi."
Aku terkejut menemukan sepasang bola mata menatap langsung kearahku. Segera kulepas pelantang suara yang masih kukenakan agar bisa mendengar jelas apa yang tengah dikatakannya saat ini.
"Hey, selamat pagi," ucapnya lagi.
"Pa-gi..."
"Mau kemana?"
"E.. Siapa?" Akhirnya aku bisa mengeluarkan isi kepalaku yang sedari tadi bertanya-tanya siapa yang ada di hadapanku kini.
"Gak inget sama gue?"
Aku menggeleng dalam diam karena terkejut atas kelakuannya ini. Aku menatap wajahnya sebentar, melihat lagi lamat-lamat semburat merah akibat sinar mentari yang menyinari wajahnya. Matanya terus-menerus menatap ke arahku tajam dengan sorot ramah meski sekilas terlihat rasa kecewa yang samar dengan mimik wajahnya kini.
Aku tetap gak mengenalinya.
"Kita ketemu dua kali loh, dan rasa-rasanya keduanya bukan pertemuan yang bisa dilupain gitu aja."
Aku tetap menggeleng lemah menunggunya untuk kembali menjelaskan.
"Its ok kalau lupa, kita bisa mulai dari awal. Hi, gue Juan. Nama lo siapa?" Tangannya melayang ke arahku, berharap aku untuk membalas sapaannya.
Hari ini, dimana hidupku dimulai dengan berpikir bahwa semuanya mulai baik-baik saja malah membuatku kembali pada situasi yang gak biasanya kudapatkan. Dia masih mengarahkan tangannya padaku, beberapa kali menggerakkan kepalanya untuk menuntunku mau menjabat tangannya. Entah dorongan apa yang merasukku kali ini, aku membalas sapaan orang lain menjabat tangannya pelan hingga gak lupa membalas senyuman yang sedari terpatri jelas di wajahnya.
"Kania," balasku akhirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top