3.1 Indifferent

Sebuah cahaya terang mulai menyusup di sela-sela mataku. Rasa lelah dan lemah gak berdaya membuatnya semakin sedikit sulit untuk membuka mata, membuatku memilih untuk membiarkan mata ini terlebih dahulu terbiasa dengan cahaya.

"Kania?"

Aku seperti mendengar suara seseorang yang kukenali, setelah mataku mulai terasa membaik aku mulai berusaha membuka mata. Menatap wajah seseorang yang mulai kurindukan.

"Ha-i." Suaraku sedikit pecah hampir gak tedengar sedikitpun.

"Shit! Lo bikin gue takut!"

"Gue gak pa-pa," ucapku meski suaranya terdengar masih parau seperti sebelumnya.

"Gak pa-pa darimana? Anjir hasil pemeriksaan lo parah banget, kerjaan bokap lo? Udah gila ya dia?"

Aku hanya bisa tersenyum, meski sudah kutahu hasilnya pasti buruk tapi gak ada yang bisa kulakukan. Semalam panas tubuhku terlalu tinggi sampai aku gak bisa tidur karena kejang semalaman, gak ada yang bisa kumintai tolong saat itu sehingga kubiarkan saja sampai pagi. Sambil berharap semoga hal ini bisa membuatku lekas menghadap Tuhan, meski pada akhirnya aku selamat dan mulai merasa membaik di pagi hari.

Aku baru saja ingin ke rumah sakit sepulang dari gereja tadi, karena aku tidak mati berarti aku harus tetap hidup untuk bisa mengumpulkan uang dan lekas menyelesaikan studi. Tapi ternyata aku sudah tumbang sebelum sampai di sini.

"Gue kenapa?" tanyaku akhirnya penasaran.

"Cedera kepala sedang, tubuh lo banyak memar, pergelangan terkilir. Sejak kapan rambut lo jadi pendek, Kania?"

Billy setengah berteriak membuatku hampir tertawa karena matanya yang bulat hampir terlepas akibat kelakuannya itu.

"Gak lucu anjir." Billy masih kesal menatapku.

"Karena ini dan itu lah, Bil. Kayak biasa," jelasku.

"Ini udah berlebihan, kenapa sih lo gak mau pindah aja? Lo bisa tinggal sama gue."

"Bangunin gue dong," pintaku berusaha mengabaikan ajakkan Billy.

Ini bukan pertama kalinya dia menawarkan tempat untukku berlindung. Ini juga bukan pertama kalinya dia melihatku harus terbaring di atas ranjang rumah sakit. Tapi banyak alasan yang membuatku memilih menolak ajakkannya itu. Sungguh demi Tuhan yang sudah meninggalkanku dan memberiku takdir seburuk ini, aku tentu ingin pergi dari rumah. Aku pun pernah melakukannya, dan hasilnya? Ibu yang selalu menjadi pelampiasan Ayah. Aku gak bisa membiarkan hal itu terjadi, mereka pun juga sepenuhnya bergantung padaku. Sebelum aku pergi, aku barus memberikan mereka pegangan untuk hidup. Dengan begitulah aku bisa pergi meninggalkan mereka dengan tenang.

"Bil, haus mau minum." Billy melakukan semua hal yang gue pinta. Karenanya juga gue punya kekuatan untuk sedikit lebih lama bertahan di rumah itu. Sedikit lagi sampai gue merasa gak pa-pa meninggalkan mereka nantinya.

"Bayarin dulu ya, Bil. Gue tiris banget, nih."

"Gampang, lo sehat aja dulu. Nanti kalo gue bosan kan bisa godain lo lagi."

Kami akhirnya kembali tertawa bersama, entah apa yang Tuhan rencanakan untukku. Aku berterimakasih telah diberikan seorang seperti Billy yang selalu ada di sisiku saat ini.

"Udah gue balik dulu ya ambil baju lo."

"Dih gila ya? Ortu gue kan gak suka sama lo."

"Gue juga gak suka sama mereka."

"Dasar bocah edan!" ucapku setengah berteriak. Meladeni kegilaan Billy hanya membuatku sakit kepala sehingga lebih sering kubiarkan dia berbuat sesukanya. Dia pasti tahu apa yang harus dia lakukan.

Sepeninggal Billy membuatku semakin kesepian, terimakasih padanya karena tah memesankanku kamar kelas 1 sehingga aku benar-benar sendirian di ruangan ini. Hembusan angin serta suara kendaraan di luar seperti menertai kesepian yang kualami saat ini. Membuatku gak betah dan memilih untuk beranjak dari ranjang, berjalan pelan menuju koridor ruang inap yang cukup banyak diisi orang berlalu lalang.

Kepalaku mulai kembali terasa sakit, membuatku terduduk di lantai karena lemas gak berdaya. Salah seorang perawat menghampiriku menanyakan bagaimana keadaanku meski pada akhirnya aku kembali gak sadarkan diri sebelum bisa menjawab pertanyaan perawat tersebut.

.

.

.

"Yakin mau pulang?"

Pertanyaan Billy membuatku tertawa, aku sudah dirawat selama tiga hari di sini. Juga sudah merasa lebih baik untuk apa aku berlama-lama di sini.

"Memar nanti juga hilang, pergelangan yang terkilir mah nanti diurut aja kalo gue gak sempat untuk terapi. Gue harus kerja, Bil."

"Terserah deh, capek debat sama lo." Billy mengantarku pulang, meski dengan berat hati katanya karena aku terus memaksanya untuk mengantarku pulang.

Aku terus menatap pada jalanan yang mulai dipadati kendaraan. Meski matahari dengan teriknya memancarkan sinarnya gak membuat jalanan sepi begitu saja. Roda kehidupan terus berlanjut apapun cuacanya, begitu juga dengan hidupku. Aku harus terus melanjutkan apa yang telah kumulai, meski aku gak pernah minta untuk dilahirkan di dunia ini. Aku hanya bisa berhenti saat Tuhan memanggilku nanti, itulah yang terus membuatku resah berlama-lama di atas ranjang rumah sakit.

"Kalo ada apa-apa telpon gue, oke?" yakin Billy lagi sebelum pergi, aku mengangguk dan gak lupa berterimakasih atas semua jasanya dalam hidupku.

"Sure, don't forget 'bout your debts. And make sure to always come for check up next week."

Tentu saja aku gak akan pernah melupakan utang budi atas apa yang dia lakukan untukku. Billy benar-benar bagaikan oasis dalam teriknya gurun pasir yang harus kulalui. Keberadaannya sungguh memiliki arti yang untukku. Hanya saja untuk melakukan pemeriksaan lanjutan membuatku gak yakin, aku sadar bahwa Billy bisa membayarkannya dulu untukku. Tapi itu hanya membuatku semakin berhutang padanya. Membuatku memilih membiarkan saja, dan mulai kembali bergantung pada obat pereda rasa sakit.

Aku berusaha masuk ke rumah, melangkahkan kaki sepelan mungkin agar gak ada yang melihatku datang. Aku cukup lelah dan gak ingin bertengkar dengan siapapun, hanya ingin lekas masuk ke kamar dan tidur agar bisa kembali bekerja esok hari.

"Kemana aja kamu berhari-hari gak pulang?" Suara ibu menghentikan langkah kakiku. Ibu terlihat lesu dengan beberapa luka di wajahnya, membawa tas besar di kedua sisinya.

"Ibu mau kemana?"

"Bukan urusan kamu!"

Ibu berusaha membawa tas-tas itu keluar dari rumah bersamanya, aku yang panik lekas menghentikannya gak ingin membiarkan ibu pergi meninggalkan kuhanya berdua dengan ayah.

"Lepas Nia, ibu capek."

"Terus Kania gimana bu?"

"Ibu gak peduli!"

Ibu kembali memperjelas bahwa hanya aku yang peduli dengan diriku sendiri. Gak akan ada satu orang pun yang benar-benar merelakan hidupnya untukku. Membuatku kembali tersadar bahwa semua usahaku untuk bertahan di rumah ini kembali sia-sia. Semua luka yang aku tahan demi mereka menjadi semakin gak berarti. Kulepaskan tanganku, gak lagi menahan lengan ibu. Membiarkannya pergi seperti yang dia mau, seperti saat kami melepas orang itu pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top