2.2 First Bump

"Lo serius gak ikut?"

"Gak, gue diancem gak boleh kemana-mana. Kalian aja udah, salam aja buat anaknya."

Bian masih saja membujuk gue untuk ikut, meski sudah beberapa kali gue tolak karena memang benar-benar gak bisa ikut mereka pergi liburan. Semua karena nyokab yang sudah men-ultimatum gue untuk stay sampai akhir pekan. Kalau-kalau gue cabut, urusannya bisa panjang.

Gue sekarang lagi anter nyokab ke rumah adiknya. Ikut repot mempersiapkan pesta pernikahan untuk satu-satunya cucu perempuan di keluarga kami, meski acaranya masih tiga hari lagi kami semua sudah mulai sibuk dengan urusan ini itu, meski literally gue cuma jadi supirnya aja.

"Juan, bener kamu dateng sendiri, gak sama pacar? Biar seragamnya tante siapin buat pacar kamu."

"Juan gak punya pacar, cariin La. Dia terlalu sibuk main jadi ya gitu," sanggah nyokab cepat. Gue gak menanggapi, membiarkan dua orang itu terus bergumul membahas kelengkapan persiapan pesta. Gue sanggah pun malah ujungnya bakal dijodoh-jodohin, gue gak minat dan memilih untuk diam aja.

Bokong gue mulai kebas karena terlalu lama duduk, membuat gue memilih berjalan mengitari rumah tante Lila melihat semua orang tengah sibuk melakukan pekerjaannya. Sampai akhirnya gue menemukan Neta tengah melakukan perawatan kulit di kamarnya.

"Keluar!" sambut dia setelah melihat gue di pintu kamarnya.

"Masker lo retak tuh, teriak-teriak sih."

"Ish. Gara-gara lo kan."

"Salah gue apa? Gue kemari cuma mau tanya."

Neta terdiam menunggu gue bicara, gue memilih mendekat untuk mempermudah gue membisikkan sesuatu pada Neta. Sesuatu yang sudah gue impi-impikan akhir-akhir ini, namun sayangnya belum keturutan karena gue sibuk sama tugas akhir gue.

"Net, gue laper. Mekdi yuk?"

Mata Neta memutar malas setelah mendengar permintaan gue. Respon Neta yang benar-benar sinis gak pernah bikin gue gak ketawa melihatnya. Meski terkadang gue salut karena akhirnya ada orang yang kuat dan bersedia menikahi Neta.

"Delivery aja, gue gak bisa cabut." tolaknya seraya membersihkan sisa masker yang mulai berjatuhan.

"Gue ajak keluar biar gak lumutan di sini. Suntuk banget gue daritadi."

"Tumben gak main sama temen-temen lo?"

"Net, lo kenal nyokab gue berapa tahun?"

Neta tertawa keras setelah mendengar pertanyaan gue, meninggalkan gue sendirian untuk membasuh wajahnya yang usai dirawat tadi. Gue memutuskan untuk keluar kamar dan mulai mengganggu satu per satu penghuni rumah lainnya yang pada akhirnya gue masih aja suntuk gak punya kerjaan.

"Mam, Juan bete."

Nyokab cuma nengok sebentar setelah mendengar keluhan gue. Dia masih sibuk mengurus makan malam untuk keluarga kami yang sekarang berkumpul memenuhi ruangan.

"Mam," rengek gue lagi.

"Main game aja sana, jangan ganggu mama dulu."

Gue yang semakin bete karena gak bisa menang melawan nyokab, akhirnya memilih diam di pojokan kamar tamu sambil main ponsel mengganggu orang-orang yang sedang liburan di sana.

_

___________________________________________________

Group Chat

Howdy, im juan

Dito
gabut?
mending td ikut dah bang

Bct.

Bian
Hahahahahahahahhahaha

____________________________________________________

Karena kesal akibat tanggapan mereka, gue memilih tidur aja sambil berdoa semoga gue terbangun tiga hari kemudian. Sehingga gak perlu mati kebosanan di sini. Meski pada akhirnya gue melewati tiga hari penuh kebosanan yang hampir merenggut nyawa gue.

Setiap hari hanya makan-tidur, lalu buang air dan main ponsel cukup membuat gue sering meronta minta dibebaskan ke nyokab, padahal gue tahu jelas bahwa semua itu hanya sia-sia. Setelah beribu cara gue pikirkan untuk seenggaknya keluar selain untuk ke kampus atau minimarket, kekuatan nyokab cukup mampu membelenggu gue untuk tetap di rumah.

"Cantik, Mam!" seru gue setelah lihat nyokab keluar dari kamar.

Nyokab tersipu malu atas sanjungan gue, begitu juga dengan tante Lila yang sedang berjalan manis minta dipuji tepat di hadapan gue sekarang.

"Tante apalagi, cantik banget."

Setelah lelah memuji semua wanita termasuk Neta, gue lekas mempersiapkan mobil untuk berangkat menuju gedung pernikahan yang gak jaug dari rumah Neta. Sudah gue bilang kan kalau gue beneran hanya dipergunakan sebagai sopir saja saat ini. Gue yang sudah terbiasa diperlakukan seperti itu sudah gak pernah tersinggung lagi.

Altar megah, bertema putih yang gak gue mengerti bedanya apa dengan pernikahan orang lain menyambut kedatangan gue di aula gedung. Bokap sudah mulai menghilang untuk menjabat tangan beberapa kerabat dan tamu sebagai tanda ramah tamah. Nyokab, tante Lila dan om Gio berada di ruangan lain menemani Neta yang katanya sedang gugup menunggu acara berlangsung.

Sedangkan gue memilih diam bermain ponsel, gak ada satu pun dari mereka yang menghubungi gue. Lupa akan diri gue yang hampir mati kebosanan meski sudah berkali-kali gue menghubungi mereka. Teman-teman yang gak bisa di harapkan.

Gue tersentak saat nyokab sudah duduk di tempatnya, lagu iring-iringan pun mulai terdengar. Semua orang mulai sibuk di posisinya masing-masing selagi menanti pengantian pria bersiap di tempatnya.

"Neta cantik banget tadi, bang. Kenapa sih mama gak punya anak perempuan aja?"

Gue melirik nyokab sebentar, "hamil aja lagi mam," sanggah gue cepat.

Pintu terbuka menarik semua atensi kami, siluet badan om Gio yang memegang erat tangan Neta terlihat memasuki aula gedung dengan beberapa gadis bunga yang ikut di belakangnya.

"Cantik, kan?" tanya mama lagi.

"Iya cantik." Kali ini gue gak bohong, meski dandanan Neta sama seperti yang gue lihat tadi pagi. Namun kali ini dia semakin bersinar dengan senyum sumringah yang terlihat jelas di wajahnya.

Suasana yang hening menambah kekhidmatan prosesi pemberkatan pernikahan kali ini. Nyokab dan tante Lila sudah menangis sejak tadi, gue sama bokap cuma bergantian memberikan tisu agar dandanan mereka gak rusak karena terus menangis. Suara riuh akhirnya mulai bergema saat prosesi diakhiri dengan bertukar cincin.

"Cium! Cium! Cium!"

Neta terlihat bahagia terus memeluk erat tangan pria yang telah menjadi suaminya itu. Tanpa tersadar para gadis mulai berkerumunan ke depan untuk menunggu Neta melempar buket bunganya. Nyokab yang sudah mengingatkan gue berkali-kali untuk pasang radar melihat sekekeliling agar masa perjomloan gue terhenti mulai kembali ribut saat ini, nyokab makin ribut saat dia melihat seseorang yang menurutnya cocok buat gue.

"Itu anak tante Rita. Cantik, sudah lulus kuliah juga. Pengacara sekarang," ucap nyokab cepat.

"Ya berarti tua dia dong daripada Juan?"

"Ya gak pa-pa, jodoh mah gak ada yang tau."

Mata gue membelalak berusaha menyadarkan diri kalau yang diomongin nyokab barusan itu tabu. Sejak kapan nyokab berubah jadi mengerikan kayak gini demi menentaskan anak satu-satunya untuk lekas punya pacar.

"Yah, anaknya tante Rita gak dapet buketnya," seru nyokab kecewa.

"Buat apa sih kayak gitu-gitu tuh?"

"Kamu mah tahu apa sih? Sama kayak papa kamu."

"Loh kok mama jadi marah? Emang siapa yang dapet? Nanti Juan beliin mama buket yang lebih bagus deh." Gue berusaha menenangkan nyokab. Daripada gue terus dimarah-marahi tanpa alasan, nurut saat ini lebih baik.

"Penyanyi yang daritadi berdiri di tengah panggung, itu loh yang pakai baju maroon."

Mata gue mengikuti arah telunjuk nyokab berada. Terlihat seorang gadis mungil tengah membaui bunga yang didapatnya tadi. Gadis itu kembali berjalan menuju panggung melanjutkan nyanyiannya. Wajah berseri terlihat jelas saat ia mulai menyanyikan bait-bait lagu untuk membangkitkan suasana.

Saat gue lihat lagi, wajah itu adalah wajah yang gue kenali. Gadis yang waktu itu marah gak jelas ke gue di perpustakaan. Gue semakin penasaran sampai acara selesai yang gue lakukan hanya mengamatinya. Menatap jelas pada gadis berambut pendek yang membuat gue kesal saat itu.

Gadis itu terlihat terburu-buru setelah acara berakhir, langkah kakinya cepat untuk keluar dari sini.

"Mau kemana?" Gue berusaha mengintimidasi, "gak inget gue?" ucap gue lagi.

"Minggir!"

"Beneran gak inget? Atau lo biasa marah-marah gak jelas ya sama orang lain?" Gue masih berusaha memojokkannya.

Suasana aula mulai sepi karena acara pindah ke rumah Neta. Gue sudah izin ke nyokab untuk datang terlambat, membuat gue hanya berdua aja dengan gadis yang masih melihat gue dengan tatapan gak suka. Dia masih berusaha beranjak dari tempatnya, gue yang ingin mengerjainya masih belum ingin melepasnya gitu aja. Siapa suruh sudah bersikap buruk tanpa alasan seperti kemarin.

"Minggir." Suaranya melemah kali ini, gue bisa melihat bulir-bulir keringat yang mengalir di pelipisnya. Matanya pun mulai sayu seperti menahan rasa sakit.

Suara dering telpon menghentikan gue menerka apa yang terjadi. Dia terlihat serius saat menjelaskan posisinya saat ini pada seseorang yang tengah diajaknya bicara. Setelah selesai ia terus memegang telinganya erat, terlihat dari garis-garis di dahinya.

Dari sela jari-jarinya terlihat cairan merah yang semakin membuat gue resah.

"Lo gak pa-pa?"

Dia melihat tangannya sebentar, melihat apa yang membuat gue resah saat melihatnya, "sial." umpatnya masih terlihat berusaha tenang.

"Ayo gue anter!"

"Kania!"

Suara seorang pria terdengar gelisah saat melihat gadis yang bersama gue mulai terperosok di atas lantai. Berusaha menggapainya, dan membawanya pergi entah kemana. Meninggalkan gue yang masih terdiam karena masih gak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top