1. The Day We Meet
Berisi konten dewasa dengan penggunaan kalimat-kalimat serta contoh prilaku yang tidak patut ditiru. Pembaca harap bijak dalam membaca.
Selamat menikmati.
.
.
.
"Lo tidur jam berapa semalem, Anjeeengg?"
"Nama gue Ajeng, Bil. Sialan lo,"
Billy bersikap masa bodoh atas keluhanku. Ini bukan pertama kalinya dia memanggilku seperti itu. Membuatku terlihat bodoh di depan orang yang mendengarnya. Billy masih menertawai candaannya seraya menarikku ke arah kantin. Mengajakku makan siang demi menambah tenaga sebelum melanjutkan pekerjaanku hari ini.
Billy adalah satu-satunya orang yang tahan berteman denganku. Kami berkenalan saat satu kelompok di salah satu tugas mata kuliah di tahun kedua berkuliah, sudah hampir dua tahun kami saling mengenal. Mencoba untuk saling bergantung satu sama lain.
"Mau apa?"
Billy menawariku macam-macam, semua menu yang ada di kantin telah disebutkannya. Meski pada akhirnya aku akan selalu memesan hal yang setiap harinya.
"Nasi goreng."
"Nasi gowreng," ucap Billy bersamaan denganku. "Gak ada bosen-bosennya ya lo, hari ini gue traktir sih tenang aja."
Aku mengendikkan bahu gak peduli, mulai membuka laptop untuk menyicil sebagian tugas kuliah yang semakin banyak saja. Ini adalah tahun terakhir yang bisa kunikmati selama menjadi mahasiswi. Setelah studiku selesai, entah apa yang terjadi padaku nantinya. Terlalu banyak hal yang harus kulakukan sampai-sampai membuatku berpikir untuk gak melakukan apapun dan memilih hidup mengalir mengikuti bagaimana Tuhan menggariskannya untukku.
Karena sebesar apapun usahaku untuk mengubah takdir, aku tetap saja rendah bagai berlumuran lumpur yang gak akan pernah bisa dibersihkan.
"Gue udah pesen nasi gowreng kesukaan lo sama sate, beneran ya njeng gue bingung mau pesen apa."
"Ajeng, Billy. Nama gue Ajeng." Rengekanku gak berhasil, meski aku tahu Billy hanya ingin mengerjaiku demi bisa melihat wajah kesalku tapi terkadang aku lelah dipanggilnya begitu.
"Iya-iya Kania. Gue gak suka nama lo yang itu," kilahnya. Sesuatu yang selalu ia katakan saat aku mulai bosan dipanggil seperti itu.
Ajeng adalah nama ibu Billy, keadaan keluarganya pun gak jauh beda denganku. Meski bergemilang harta, Billy gak punya sesuatu yang paling ia inginkan yaitu kasih sayang dari seorang ibu. Aku gak keberatan dipanggil apapun selama masih representasi dari namaku, bukan modifikasi antara nama dan umpatan yang sering diucapkannya itu.
"Lo masih kudu kerja? Gue nanti sama siapa?"
"Ya, ikut aja."
Billy mendengus kesal atas ajakanku, dia dan para buku gak berteman baik. Jika bukan karena menungguku, ia gak pernah mau menginjakkan kakinya di perpustakaan.
"Ya kenapa lo mesti part time di kampus sih? Kenapa gak nerusin di kafe saran gue kemarin?"
Aku tersenyum pahit. Sungguh, aku sangat menghargai usaha Billy mencarikanku pekerjaan yang lebih menghasilkan uang. Hanya saja waktu kerja di kafe terlalu malam untukku, gak banyak waktu tersisa untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. Bagaimana pun aku harus lekas lulus dari sini. Lebih cepat aku lulus dan punya pekerjaan bagus, lebih baik untukku sendiri.
Billy akhirnya pergi ke Warnet PC untuk sekadar membunuh waktu luang. Meninggalkanku sendirian membereskan buku-buku yang gak dikembalikan lagi ke tempatnya. Sebuah pekerjaan yang kudapatkan saat iseng melihat-lihat mading beberapa pekan lalu. Meski sedikit berat, setidaknya aku bisa melakukan banyak hal di sini selama bekerja. Ya lagi-lagi selama pengawas perpustakaan gak memergokiku semua boleh.
Berjalan dari lorong ke lorong, mendorong kereta lori untuk membantuku memindahkan buku-buku yang berserakan di beberapa tempat. Aku gak keberatan misalkan buku-buku tersebut berada di rak yang gak seharusnya atau di meja tempat para mahasiswa biasanya duduk untuk mengerjakan tugas. Bukan seperti yang lagi-lagi kutemukan saat ini.
Sebuah tumpukan buku berjajar rapi di sudut perpustakaan. Di mana seseorang mungkin gak akan menyadari ada seseorang di sini. Jika posisinya gak pernah berubah mungkin aku bisa menemukan si pembuat ulah tersebut, hanya saja tempat semua buku-buku ini berada terus saja berpindah. Membuatku sulit menerka ke mana ia berada setiap harinya.
Buku-buku bertema ekonomi bisnis yang bertebaran bagai seseorang tengah menidurinya. Sebagian dijadikan sandaran, dan beberapa dijadikan sebagai alas untuk kakinya. Terlihat dari jejak kaki sepatu di dinding dan beberapa sampul buku, sebuah pekerjaan tambahan yang menambah panjangnya daftar pekerjaanku di sini. Sudah beberapa kali aku mengeluh pada pengawas, meski pada akhirnya gak ada solusi sama sekali dan berakhir dengan aku yang terus diminta membersihkan apapun itu.
Setelah mengumpulkan semua buku, aku kembali harus memisahkannya berdasarkan daftar yang sudah diberikan pengawas sebelum mengembalikan buku-buku tersebut ke tempatnya. Sebuah pekerjaan yang mudah, namun berat jika kulakukan sendirian.
Aku lekas menyelesaikannya sebelum pukul 5 sore. Hari ini ada janji yang harus kutepati, janji bertemu seseorang yang ingin menyewa jasaku selama satu hari. Aku bersedia melakukan apapun selama dibayar cukup, karena saat ini dari segala sesuatu yang ada di muka bumi, aku hanya membutuhkan uang.
Aku berlarian menuju halte bus demi mengejar waktu yang mulai terlewati tanpa bisa kuhentikan. Semua pekerjaan itu membuatku cukup terlambat untuk menepati janjiku tepat waktu. Seseorang itu telah meneleponku beberapa kali sampai akhirnya menawarkan untuk menunda janji temu kami. Salah satu dari kesekian kejadian yang bisa kusyukuri keberadaannya. Setelah hal apa yang terjadi hari ini, aku memilih pulang ke rumah dan beristirahat. Berusaha untuk gak terlihat berada di rumah sebelum orang-tuaku pulang. Satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk menghindari semua pekerjaan rumah yang menumpuk itu.
Aku butuh istirahat lebih karena semua pekerjaan serta tugas yang menumpuk minta dikerjakan. Terlebih mengenai laporan magang yang sudah meraung-raung memanggil namaku meminta lekas diselesaikan. Kantung mataku kini mempunyai kantung mata, aku juga gak perlu menambah kesan kurang tidur karena aku punya lingkar mata yang cukup memprihatinkan beberapa orang yang melihatku saat melintas.
Meski penampilanku semenyedihkan ini, Tuhan masih saja senang bermain dengan takdirku. Senang melihatku bekerja keras merangkak naik ke atas namun tetap terus dijatuhkan sehingga aku terus merasa gak berharga sebagai akibatnya. Atau mungkin Tuhan sudah bosan mendengar keluhanku, sehingga ia terus-terusan mengabaikan doa-doaku meski hanya sekedar memintanya untuk menjemputku lebih cepat dari jadwal seharusnya.
Aku masih sibuk di atas ranjang, berusaha menyelesaikan tugas-tugas itu meski pada akhirnya aku gak sanggup dan tertidur tanpa menyelesaikan satu tugas pun.
Pagi menjelang, dan aku pun terbangun karena suara ketukan pintu disertai pekik-pekikan umpatan sebagai ucapan selamat pagi yang kuterima hari ini.
"Buka pintunya anak sialan! Pulang jam berapa kamu, semalam? Habis jual diri sampai terus-terusan pulang malam?"
Aku gusar di ranjangku, bergegas membuka pintu demi menyelamatkan telinga tetangga yang terganggu atas makian ibu yang semakin kencang setiap harinya. Hal yang sebenarnya gak perlu kukhawatirkan, mengingat mereka gak pernah memikirkanku meski berkali-kali sudah kupintai tolong untuk menyelamatkanku dari siksaan tanpa henti ini.
Ibu lekas menarik rambutku setelah gak lama aku membuka pintu. Menuntunku ke arah dapur tanpa tahu bahwa aku tengah terseret karena kesulitan mengimbangi langkah kakinya.
"Dasar gak tahu malu, pekerjaan apa yang kamu lakukan sampai pulang larut malam setiap hari kalau bukan jual diri!"
Aku gak berniat menjawab, diam adalah hal yang paling tepat untuk saat ini. Membuatku juga lebih fokus untuk menahan sakit yang semakin terasa hebat di ujung kepalaku. Ibu terus mencaciku tanpa henti seraya entah melakukan apa, sampai beberapa rambutku mulai gak terasa ditarik ibu tergantikan dengan banyaknya helai rambut yang berserakan di lantai dapur sebagai jawaban dari rasa penasaranku tadi.
Air mataku akhirnya mengucur deras, gak ingin memercayai mataku kali ini. Perasaanku sungguh kacau, cukup membuatku terjatuh lemas di lantai sambil memunguti helai rambut yang tersebar di lantai. Gak cukup sampai di sana, ibu mulai kembali menamparku entah sampai berapa banyak. Rasa sakit di pipi mulai terasa menjalar di seluruh tubuh, meski rasanya gak sesakit apa yang hatiku rasakan.
Setelah merasa puas, ibu pergi entah ke mana. Meninggalkan rumah yang berantakan seperti yang ia lakukan setiap harinya. Aku mulai mencari sapu untuk mengumpulkan semua rambut-rambut itu dan membuangnya. Gak berminat untuk membersihkan bagian rumah lainnya, memilih untuk mandi seraya merapikan beberapa bagian rambut yang terlihat aneh. Setelah itu bersiap karena aku punya pekerjaan untuk dilakukan.
Aku belum menerima gajiku pekan ini, membuatku harus berjalan lebih jauh untuk menggunakan moda transportasi yang lebih murah. Perut yang belum terisi apapun menambah penderitaan yang kurasakan di waktu sepagi ini. Cukup lama sampai akhirnya tiba di kampus. Suasana perpustakan menjelang UTS pun cukup ramai, begitu juga isi rak-rak yang mulai berantakan. Aku berusaha mengabaikannya dan mulai mengumpulkan buku-buku yang sudah gak digunakan cukup lama. Kakiku mulai merasakan akibatnya, aku belum makan atau minum apapun, mulai merasa pusing membuatku memilih untuk mencari sudut-sudut ruangan yang mungkin gak akan terlihat oleh pengawas untuk beristirahat sejenak. Meski akhirnya aku menemukan sesosok yang sepertinya kucari akhir-akhir ini.
Bagaimana gak? Ia tengah duduk dikelilingi dengan buku bertema ekonomi yang mulai tersebar meski sekarang baru pukul 10 pagi. Sesuatu yang sebenarnya sama sekali gak ingin aku temukan di hari yang buruk ini.
"Permisi," ucapku setelah menepikan lori. "Bisa ikut gue bentar?"
Aku menggiringnya keluar perpustakaan, mengajaknya bicara di sudut koridor agar gak ada yang bisa dengar percakapan kami.
"Lo yang nyebar buku-buku kayak gitu setiap hari?"
"Bukan," jawabnya santai.
"Kalo bukan lo ya siapa lagi? Tiap harinya kerjanya berantakin buku kayak gitu. Gue juga yakin buku-buku itu gak dipergunakan dengan seharusnya, bikin gue capek bolak-balik beresin," pekik gue lagi.
"Harusnya lo selidiki dulu, bukan asal nuduh kayak gini."
"Buktinya udah kelihatan, gak perlu lagi lah buang-buang waktu kayak gitu."
"Terserah lo percaya apa gak, tapi bukan gue. Itu kerjaan temen gue yang lagi sibuk nyari bahan buat tugas akhirnya, lagipula lo dibayar untuk itu gak usahlah ribet marah-marah kayak gini."
Memang benar, bahwa uang memiliki kekuatan. Jika kamu memiliki banyak uang, kamu pastinya gak perlu direndahkan sampai seperti ini. Sebuah pemikiran yang lagi-lagi aku yakini keberadaannya. Aku hanya tersenyum setelah mendengar pernyataannya barusan, berusaha menahan air mataku untuk gak jatuh untuk yang kesekian kalinya hari ini.
"Sorry kalo gue salah orang, tapi hal itu gak bikin lo punya kuasa buat merendahkan pekerjaan gue, sialan!"
Aku lekas kembali menuju perpustakaan, melanjutkan pekerjaan yang kutinggalkan tadi. Ini bukan pertama kalinya seseorang berbicara seperti itu padaku. Membuatku semakin yakin, bahwa aku harus lekas menyelesaikan semua urusan di sini. Pergi jauh dari rumah dan memulai segalanya dari awal. Aku lelah diinjak-injak, dianggap gak berharga dan direndahkan semau mereka.
Tanpa mereka sadar, bahwa aku pun juga manusia sama seperti mereka, yang layak untuk hidup bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top