8. Kesalahan
Tema: Terdampar di pulau terpencil
Tokoh Utama: Elin
Author Note: Cerita ini hanyalah fiksi. Tidak berdasarkan agama. Dan tidak berniat menyinggung siapapun.
.
.
.
.
.
.
Elin membuka matanya perlahan. Dia disambut oleh sinar matahari yang membuat mata mengerjap-ngerjap. Saat melihat sekitar, Elin mendapati dirinya berada di pulau terpencil, tepatnya di tepi pantai.
Pakaiannya yang berupa kaos putih dengan jaket biru sama sekali tidak basah. Begitu juga dengan rambut pendeknya yang berwarna hitam. Itu tandanya Elin tidak hanyut, dia muncul begitu saja di pulau ini.
"Di mana ini ...? Loh! Kok!?"
Elin spontan berdiri dan langsung memukul wajahnya sendiri sampai mimisan.
"Ternyata bukan mimpi. Aku benar-benar berada ... di pulau terpencil? Kok bisa sih? Perasaan tadi aku lagi ... eee ... ah, aku tidak ingat."
Tidak peduli seberapa keras ia mencoba, Elin tetap tidak bisa mengingat apa yang ia lakukan sebelum tersadar di pulau ini.
Elin sebenarnya sedang panik sampai jantungnya berdebar sangat cepat. Wajar saja, siapapun yang tiba-tiba tersadar di pulau asing dengan ingatan yang hampir semuanya hilang, pasti akan ketakutan.
Berdiri di pantai saja tidak akan membuahkan hasil apapun. Jadi Elin memutuskan masuk ke dalam hutan.
"Namaku Elin, umurku 18 tahun, berasal dari indonesia, lalu ...."
Sambil berjalan ia mengucapkan apa yang diketahui sejauh ini. Berharap ingatannya pulih sedikit demi sedikit.
Elin terus berjalan di dalam hutan sambil sesekali menoleh ke belakang dan ke samping. Sejauh ini belum ada binatang buas, hanya ada hewan-hewan kecil seperti ayam hutan dan burung, serta serangga yang berjalan ramai pada batang pohon.
Tidak lama kemudian, Elin menyadari kehadiran dua orang. Yaitu perempuan berambut pirang bergelombang dan seorang lelaki yang berambut halus. Dia segera bersembunyi di balik pohon untuk mengamati.
"Aduh ... kok kita bisa di hutan ini ya?"
"Entahlah. Aku gak tau. Mungkin kita lagi terjebak oleh kekuatan supranatural atau semacamnya."
"Hahaha! Kekuatan supranatural? Apaan sih kamu Riq. Aneh banget. Kamu suka baca komik jepang ya? Keliatan banget halunya."
"B-Berisik ah Chita. Apa salahnya sih aku baca begituan? Toh, namanya juga spekulasi."
Chita terkekeh sementara Riq menggaruk-garuk kepalanya karena malu.
Saat Chita dan Riq selesai membahas sekilas mengenai komik jepang itu, Riq tiba-tiba berhenti. Dari sorot matanya terlihat jelas lelaki itu kebingungan.
"Ada apa Riq?" tanya Chita yang ikut berhenti.
"Emm ... komik jepang itu apa sih?"
"Loh? Masa gak tau? Komik jepang itu ...."
Saat Chita ingin menjelaskan, ternyata ia mengalami hal yang serupa dengan Riq. Dia merasa tau apa komik jepang itu tetapi tidak bisa menjelaskannya. Bahkan bentuknya saja tidak dia ingat.
"Iya ya. Komik jepang itu apa ya ...?"
Tiba-tiba keheningan menimpa mereka. Dua anak kuliahan itu sama-sama terdiam, kembali teringat dengan situasi mereka saat ini yang bisa dibilang cukup menyeramkan.
Semua ini terjadi sejak keduanya tersadar di pulau ini. Chita dan Riq juga hilang ingatan. Terkadang mereka tiba-tiba mengetahui sesuatu, tetapi saat ingin menjelaskan mereka tiba-tiba lupa begitu saja.
Suatu fenomena yang benar-benar aneh. Jika dipikirkan terlalu dalam bisa menimbulkan rasa takut yang besar. Tidak ingin larut dalam perasaan negatif, Riq menggelengkan kepala.
"Ah! Udah! Gak usah dipikirin, Chita. Toh, barangkali bukan hal penting. Ayo kita lanjut jalan, mungkin kita bisa menemukan sesuatu."
Chita mengangguk, "Benar juga. Ayo jalan lagi."
Riq dan Chita beranggapan kedatangan mereka yang misterius ini pasti memiliki alasan atau lebih tepatnya penyebab. Jadi pasti ada sesuatu di pulau ini yang dapat memberi mereka jawaban. Karena itulah keduanya tetap berpikir optimis dan terus berjalan sambil berharap dapat menemukan sesuatu.
Elin yang mendengarkan percakapan keduanya akhirnya menampakkan diri. Setelah mengetahui kedua anak muda itu bukan orang jahat ia tidak sungkan bergabung dengan mereka.
"Permisi."
"Huwaa!" Chita tersentak mendengar suara dari belakangnya. "S-Siapa kamu!?"
Gadis berambut pirang itu langsung menjaga jarak. Begitu juga dengan Riq meskipun ia tidak sekaget Chita.
Elin menelan ludahnya lalu menjelaskan, "Namaku Elin. Aku bukan orang jahat. Aku juga sama seperti kalian. Ingatanku menghilang sejak tersadar di pulau ini," Kata-kata Elin terdengar tenang, tidak terlihat gugup. Meskipun tidak bermaksud, ekspresinya terlihat jutek yang mana hal itu membuatnya tidak terlihat meyakinkan.
"Mau apa kamu?" tanya Riq. Sekalipun Elin perempuan dan mengaku berada dalam situasi yang sama, Riq tidak mau lengah. Kewaspadaan sangat diperlukan ketika berada di pulau asing.
"Aku gak ada niat tersembunyi kok. Aku gak ada barengan. Kalo boleh, bisa aku bergabung dengan kalian? Bertiga lebih baik daripada berdua 'kan?"
Riq memandang Chita. "Gimana nih?"
"Hmm ... kayaknya dia jahat deh. Mukanya kayak orang jahat gitu," bisik Chita.
Chita dan Riq akhirnya berdiskusi secara bisik-bisik. Elin hanya diam saja agar mereka mendiskusikan kehadirannya dengan baik. Semuanya demi kerja sama.
Beberapa saat kemudian, Riq dan Chita akhirnya sama-sama mengangguk.
"Baiklah, kami akan menerimu," ucap Riq.
"B-Benarkah?"
"Iya," jawab Chita. "Maaf ya kalo sifat kami agak keterlaluan. Soalnya kami tidak mau dijahati atau mendapati hal buruk di pulau ini. Tapi di sisi lain kami juga butuh lebih banyak teman. Jadi kamu bisa ikut kami sekarang."
Chita tersenyum lebar. Senyumannya benar-benar manis, sesuai dengan parasnya yang sangat cantik. Berbanding terbalik dengan Elin yang ikut senang tapi tetap jutek-jutek saja. Hanya senyuman kecil yang sedikit memperindah raut wajahnya.
"Terima kasih banyak. Namaku Elin."
"Oh iya! Kita belum berkenalan secara resmi." Chita terkekeh. "Namaku Chita. Ini Riq, temanku waktu SMA. Kami sebenarnya tidak satu kampus tapi tidak menyangka akan bertemu lagi. Hehehe."
"Haloo ... namaku Riq. Semoga kita bisa jadi teman dekat." Riq tersenyum lembut.
Elin akhirnya mendapatkan dua teman di pulau terpencil ini. Ia pikir yang mengalami situasi aneh ini hanya dia saja, tapi ternyata Elin tidak sendirian. Chita dan Riq juga sama dengannya. Elin pun merasa bersyukur dan lebih tenang.
Kelompok yang terdiri dari tiga orang ini melanjutkan perjalanan memasuki hutan di pulau terpencil lebih dalam lagi. Sembari berjalan mereka mengobrol, tapi sayang topiknya sangat terbatas karena ingatan yang tidak banyak.
Hampir semua pengalaman terlupakan. Tapi mereka masih mengenal konsep seperti sekolah, rumah sakit, resep membuat makanan tertentu, 1+1=2, dan seterusnya.
Chita cukup terkejut melihat Elin yang wajahnya jutek ini ternyata ramah. Hal ini membuat Chita senang dan semakin dekat dengan Elin. Tidak sulit hubungan keduanya menjadi erat sebagai sesama perempuan.
Setelah matahari hampir terbenam, Elin, Chita, dan Riq menemukan sebuah gubuk. Di depannya ada seorang kakek berpakaian seperti dukun, sedang jongkok sambil main gasing kayu sendirian.
"KOKOM! DIKOKOM KOM! Aduuhhh gasing gua mental ke lubang itu lagi. Eh?"
Kakek itu menoleh ke arah tiga anak kuliahan didekatnya.
"H-Halo Kek. M-Maaf mengganggu. Kami tersesat di pulau terpencil ini dalam kondisi hilang ingatan. Kami tidak terbiasa berada di alam liar. Kalau boleh, bisakah kami menginap di rumah kakek? Oh iya, nama saya Riq. Ini teman saya, Elin dan Chita."
"KOKOM! DIKOKOM KOM! Gua udah tau lu bertiga bakal dateng. Boleh boleh. Ayo ikut gua sini. Masuk ke gubuk. Ada yang pengen gua bicarain juga sama kalian." Kakek itupun berbalik lalu masuk ke dalam gubuknya.
Elin, Riq, dan Chita saling berpandangan. Kakek itu aneh sekali, tapi mereka senang mendapatkan hasil setelah berjalan jauh di dalam hutan. Ketiganya pun masuk ke dalam gubuk.
Kakek berpakaian dukun memperkenalkan dirinya sebagai kakek Kokom. Pada malam hari, diterangi api unggun di salah satu sisi ruangan, Kakek Kokom akhirnya menceritakan alasan mengapa ketiga anak itu ada di sini.
Secara simpelnya, Elin dan dua temannya itu mati suri, dan pulau terpencil ini sebenarnya berada di alam gaib. Jika ingin kembali sadar dari mati suri ini, mereka harus menyelesaikan suatu ujian di Gunung Angkasa.
'Apa-apaan? Mati suri? Gunung Angkasa? Pulau gaib? Mana ada yang begitu! Kakek itu pasti sedang mabuk!' Elin menggertakkan giginya. Nampak kesal setelah mendengar semua penjelasan Kakek Kokom.
"Elin, berdasarkan indra penciuman gua, bau lu yang paling menyengat di sini. Kesalahanmu paling berat kayaknya. Saran gua banyak-banyak merenung aja dan terima semua kesalahan lu."
"Kakek, kakek ini halu ya? Semua yang kakek katakan itu tidak masuk akal! Jangan coba-coba menipu kami!"
"KOKOM! DIKOKOM KOM! Hah ... batu banget lu dibilangin. Gua kasih tau ya. Kalau mau keluar dari sini, lu harus nyelesain ujian di Gunung Angkasa. Kalau gak percaya yaudah."
Elin tiba-tiba merasa ngeri mendengar itu. "A-Apakah sebelum kami, ada orang yang mengalami nasib sama?"
"Ho'oh. Tahun lalu ada anak namanya Nina. Dia awalnya gak percaya. Tapi akhirnya stress juga di sini karena terperangkap sampai berbulan-bulan. Ujung-ujungnya dia jalanin ujian itu juga, terus berhasil," jelas Kokom. "Ingat, hilang ingatan sampai lama banget itu gak enak banget lo."
Elin nampak tidak nyaman. Dia sebenarnya masih belum percaya, tapi jika di sini terus memang benar akan sangat membuat depresi. Menjalankan ujian itu tidak ada salahnya.
"Kakek! Kakek! Aku mau tanya dong!" Chita mengangkat tangannya. "Ujian di Gunung Angkasa itu kayak gimana sih?"
"Ujiannya ya menaklukan sifat negatif terbesarmu sendiri. Tingkat kesulitannya tergantung kalian."
"Apakah ... Kakek bisa kasih tau sedikit gambarannya?"
"Mana bisa dek. Gua sendiri juga kurang tau. Intinya lu, Elin, ama Riq nanti ujiannya beda-beda. Gak boleh spoiler."
Mendengar itu, Chita jadi ingin segera mencobanya. Dia optimis bisa menyelesaikan ujian itu.
Riq juga memiliki pemikiran yang sama. Menurutnya, semakin cepat semakin baik.
"Kakek Kokom. Apa boleh kami menjalankan ujiannya sekarang juga?"
"Oh? Mau sekarang? Hayyuuuuuukkk gua anterin."
Elin masih sulit mempercayainya. Namun, ia juga penasaran seperti apa ujian itu. Dia juga penasaran siapa dirinya dan seperti apa sifat negatif terbesarnya.
Kakek Kokom menuntun anak-anak muda itu ke Gunung Angkasa. Dalam perjalanan, Chita lah yang paling banyak mengobrol. Riq tanya-tanya sedikit. Elin banyak diamnya.
Beberapa waktu berlalu, mereka akhirnya sampai di tempat ujian yang berada di Gunung Angkasa. Cukup jauh letaknya. Empat puluh menit berjalan kaki.
"KOKOM! DIKOKOM KOM! Ini dia tempatnya!"
Di depan Elin dan kawan-kawannya terdapat bangunan besar yang terbuat dari tanah. Ada banyak ukiran-ukiran yang memperindah tempat itu.
"KOKOM! DIKOKOM KOM! Udah ya, peran gua sampe sini aja. Kalian ujian sono, kelarin. Jangan balik ke sini lagi."
Sang kakek akhirnya pergi meninggalkan ketiga anak muda itu.
Elin, Riq dan Chita saling berpandangan. Ketiganya sangat gugup sekarang. Namun, mereka memberanikan diri untuk masuk ke dalam tempat ujian itu.
Setelah menelusuri, mereka sampai di ruangan luas yang nampak seperti ruang tahta kerajaan. Hanya saja tidak banyak hiasan dan semuanya terbuat dari batu tanah.
Di atas singgasana, seorang pria berambut putih yang sangat tampan duduk santai sambil bertopang dagu. Dia memakai zirah perak. Begitu Elin dan kawan-kawannya datang ia langsung berdiri dan tersenyum ramah pada ketiganya.
"Selamat datang di tempat ujian yang sederhana ini. Mohon maaf jika tempatnya begitu kotor dan tidak nyaman .... Saya harap kalian tidak mempermasalahkannya."
"O-Oh iya, t-tidak apa-apa, mas." Entah kenapa Riq jadi sungkan dengan pria ini.
Pria itu masih tersenyum ramah. "Perkenalkan, nama saya Galaxy. Saya adalah pemandu ujian. Kalian pasti sudah tidak sabar untuk keluar dari sini. Jika berkenan, bolehkah saya menyentuh kening kalian bertiga? Dengan sentuhan tersebut kalian akan masuk ke dalam dimensi pikiran dan memulai ujiannya."
Elin menatap curiga. "Kau ... tidak akan berbuat jahat pada kami 'kan?"
"Tentu saja tidak ... mana mungkin saya melakukan itu. Saya hanya ingin membantu kalian bertiga saja. Mohon maaf jika terlihat mencurigakan, tapi ini demi kebaikan kalian sendiri."
Elin menatap dua temannya. Mereka lalu berdiskusi sebentar. Semuanya sepakat untuk mengikuti perintah pemandu ujian itu. Lagipula mereka ingin ingatan mereka kembali dan bisa kembali ke tubuh asli.
Setelah mendapat persetujuan, Galaxy akhirnya mendekati mereka bertiga untuk menyentuh kening ketiganya satu persatu. Pertama adalah Riq, kedua Chifa, dan yang terakhir adalah Elin.
Elin terkejut melihat kedua temannya tiba-tiba pingsan setelah disentuh. Namun, ia tidak berontak maupun protes kali ini. Meskipun sangat takut dia harus mengambil resiko demi mencapai tujuannya.
Sama seperti Riq dan Chita, Elin tiba-tiba pingsan usai disentuh.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya terbangun di ruangan yang luar biasa gelap, tapi ia bisa melihat tubuh dan pakaiannya sendiri dengan sangat jelas. Ruangan ini seolah-olah tidak memiliki ujung.
'D-Di mana ini!?' Elin melihat sekitar. 'A-Apakah ini ujiannya ...'
Elin berjalan secara perlahan dengan tubuh yang gemetaran. Tak lama kemudian ia melihat sebuah cermin besar yang menunjukkan banyak adegan dengan Elin di dalamnya. Terlihat seperti film karena tidak diambil dari sudut pandang mata Elin.
Elin dapat menyaksikan dirinya yang pernah bertingkah angkuh pada teman-temannya. Dia menganggap bodoh orang-orang yang menanyakan hal-hal pengetahuan sepele, dia menghina anak-anak yang ada di jalanan, dia menghina adiknya yang prestasinya jauh di bawahnya. Dan sebagainya.
Puncaknya adalah saat tes ujian masuk perguruan tinggi. Tanpa ia duga sedikitpun Elin gagal masuk ke dalam universitas bergengsi yang dia inginkan. Dia gagal karena merasa bisa melakukannya tanpa berusaha lebih keras lagi. Akhirnya, dia melampiaskan semua amarahnya itu pada ibunya tanpa alasan.
Di salah satu adegan itu, Elin ditampar oleh ibunya sendiri.
"Kamu anak tidak tau diri! Ibu sudah membiayaimu sekolah yang tinggi tapi kamu bersikap kasar pada ibu!"
Elin di adegan itu sangat terkejut mendapati tamparan untuk pertama kalinya, tapi ia membalas amarah itu dengan nada bicara yang lebih tinggi.
"Emangnya aku salah bersikap kasar!? Ibu dan ayah sih! Bangkrut gara-gara bisnis gak jelas! Udah gagal masuk negeri, sekarang masuk swasta aja juga gak bisa!"
"Semuanya pasti ada jalannya Nak! Ada banyak yang tidak bersekolah di sana! Kamu harus bersyukur bisa sampai di titik ini! Jika kamu bersabar pasti semua ada jalannya!"
"Ahhh!! Aku gak peduli!! Pokoknya ini semua salah ibu!!!"
Elin akhirnya keluar dari rumah. Menangis sembari berlari entah kemana arahnya. Dia sangat kesal. Tidak pernah terpikirkan olehnya akan gagal dalam tes masuk perguruan tinggi yang ia anggap mudah itu.
Saat terus berlari, Elin tidak menyadari ada mobil yang berjalan ke arahnya. Tabrakan pun terjadi, dan dari sanalah kesadaran Elin berpindah ke pulau terpencil ini. Membentuk tubuh beserta pakaian yang sama di hari itu.
Elin yang menyaksikan semua ini merasa terkapar. Dia akhirnya mendapatkan ingatannya kembali. Semua ingatannya dari lahir hingga ke titik itu.
"I-Ibu ... aku minta maaf ... aku salah."
Elin meneteskan air mata. Hatinya sangat tersentuh di ruangan ini. Setelah Melihat semua adegan dari arah sudut pandang ketiga, Elin akhirnya menyadari seberapa buruk sifat sombongnya itu.
"A-Aku ... ternyata gadis yang seburuk itu. K-Kesalahanku tidak terhitung jumlahnya."
Elin menangis terisak-isak.
"Bisakah aku memperbaikinya? Bisakah aku mendapatkan kesempatan sekali lagi?"
Air mata Elin semakin menetes deras.
Dia ingin mengubah itu semuanya. Itu adalah keinginan tulus dari hati.
"C-Cahaya?"
Setelah beberapa saat, Elin melihat cahaya kecil yang terbang di sekitarnya. Tidak menyilaukan tapi cukup indah. Elin memberanikan diri menyentuhnya. Kehangatan yang luar biasa seketika merembes ke seluruh tubuh. Dan beberapa waktu setelahnya, kesadaran Elin berpindah, keluar dari alam ini.
Di suatu alam dimana manusia masih bernafas dan masih memiliki banyak kesempatan.
Elin akhirnya tersadar di rumah sakit. Kepalanya dibalut perban dan terdapat botol infus tergantung pada tiang di sampingnya.
Elin membuka mata perlahan. Air matanya menetes.
"Kak Elin? Kamu sudah sadar?"
"E-Eris ...?"
Seorang gadis yang memiliki wajah serupa dengan Elin berdiri di dekat tempat tidur. Dia awalnya sedang melamun dengan mata melotot tapi Elin tiba-tiba menarik perhatiannya.
Sorot mata gadis itu nampak biasa saja. Meskipun sadar kakaknya sudah siuman tetapi ia tidak menunjukkan kasih sayang apapun. Elin yang sudah melewati ujian di Gunung Angkasa tentu tau apa alasannya.
"Eris ... maafin kakak. Kakak banyak salah sama kamu. Kakak menyesal, kakak ingin memperbaiki semuanya ...."
"...."
"Kakak benar-benar minta maaf ... kakak- Akhh!"
Eris tiba-tiba mencekik Elin. Matanya kembali terbuka lebar. Dipenuhi kebencian yang mendalam.
"E-Eris ... K-Kakak ...."
"BERISIK! GAK USAH NGOMONG KAMU KAKAK SIALAN! MATI AJA KAMU! KAMU UDAH MEMBUATKU MENDERITA!"
Eris mempererat cekikannya.
"MATI KAMU! MATI KAMU!"
"A-Aakhh ... A-Akhh ... A-Akhh."
Setelah dicekik selama dalam waktu yang lama dan meronta melepaskan diri, Elin akhirnya kehilangan tenaganya. Tubuhnya kini tidak bergerak sedikitpun.
Eris terengah-engah lalu melepaskan cekikannya. Jantungnya berdebar-debar begitu melihat tubuh kakaknya yang berbaring diam dengan mata dan mulut terbuka.
"Hahaha ... hahaha ... aku berhasil membunuhnya!"
Penulis: nnurisu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top