5. The Alumnus Trap
Tema: Terjebak di rumah kosong bersama pembunuh di tengah badai
Tokoh Utama: Rizal
Awan putih bergantung di langit biru seperti kapas lembut. Matahari pun bersinar cerah hingga setiap mata yang memandang langit langsung berkunang-kunang. Setidaknya begitu cerahnya langit beberapa menit lalu, saat jam istirahat dimulai dan sekelompok siswa berkonspirasi untuk mengelilingi sekolah karena gabut.
Yemi meremas ujung bajunya yang basah. Matanya menyipit melihat langit biru berubah abu. "Nyebelin," keluh Yemi, ia menyeka jarum air yang mengguyur kepalanya dan menatap gerbang sekolah yang dikunci.
"Bisa manjat tembok nggak, Yem?" tanya Aldo, sama sekali tidak terdengar serius.
"Haha, Bolu, aku nggak perlu jawab kayaknya."
"Nanya aja, Yem." Aldo berbalik arah dari gerbang itu, menerobos hujan. "Haru udah menepi duluan loh, Yem."
Yemi mengikuti arah pandangan Aldo dan mendapati Haru yang lagi duduk di dalam warung es kelapa yang sedang kosong.
"Ke sana yuk, Yem."
"Tapi tadi kayaknya bel udah bunyi, Bolu."
"Gampang, nanti juga bunyi lagi, Yem."
Nggak gitu maksudku, batin Yemi.
Mereka berdua memastikan tidak ada mobil melintas, barulah menyeberang. Walaupun telanjur basah, mereka tidak ragu menduduki bangku panjang dari kayu itu. Lagi pula, penjual atau pemiliknya tidak sedang di sana, hanya ada Haru yang duduk tegak memandang ke arah sekolah.
"Yemi-nee abis mandi?" sambutnya dengan ekspresi lugu.
Belum juga Yemi menjawab, Aldo tertawa. "Mandi hujan, coba kamu ikut, pasti seru."
"Haru nggak mau dekat sekolah dulu, seram."
Yemi berkedip kebingungan tidak mengerti. Sementara Aldo berpikir dalam kepalanya.
Seram? Apa yang dia lihat?
"Haru," bisik Aldo, suaranya hampir tak terdengar.
Kepala mereka serentak berpaling saat Rizal dan Sura melangkah masuk ke warung dengan suasana yang berbeda.
"Wah, Rizal, Sura, dari mana?" tanya Aldo.
"Biasa, disuruh ngeprint soal di fotocopyan belakang sini. Tadinya mau cepat balik, tapi aku lihat Haru." Entah apa alasannya, tatapan Rizal terkesan tajam bagi Yemi. "Lalu kalian kenapa? Bisa-bisanya tidak cepat kembali ke kelas setelah apa yang kukatakan pasa Haru?" Rizal berkacak pinggang dan nadanya sedikit kesal.
"Nggak bisa balik karena hujan," jawab Aldo, jarinya menunjuk pada hujan yang memukul jalan, bangunan sekolah, semuanya.
"Selain kalian ada lagi?" tanya Sura, ia terdengar cemas.
"Tadinya Amour-chan ikut, tapi cuma bentar. Steven minta dia turun. Curang, dia sogok Amour-chan pakai masakannya," jawab Yemi dengan iri hati yang sangat jelas dalam nada dan gaya bicaranya. Sesaat kemudian dia bersin. "Ah, karma durhaka ke bapak Steven."
Sura melepaskan jaketnya dan meletakkan di atas punggung Yemi.
"Kalian bertiga kenapa keluar?"
Kali ini tidak ada yang menjawab. Bahkan Yemi yang menerima jaket hanya berterima kasih dan menundukkan kepala. Tidak lucu kalau mereka bertiga ketahuan memanjat tembok, berniat berjalan di atas tembok yang berakhir kehujanan, lalu di tengah hujan itu, Aldo dan Yemi dari mereka terjatuh ke luar. Haru sudah turun duluan, menepi duluan, dan satu-satunya yang tidak kehujanan.
"Laper aja." Akhirnya Aldo menjawab singkat. Tapi bohong.
Rizal menutup matanya sejenak, lalu menghela napas berat. "Padahal aku udah peringatin Haru. Kenapa kamu nggak segera kasih tahu mereka juga?" tanyanya.
"Haru tidak yakin itu 'dia'," gerutu Haru, menarik perhatian mereka semua, kecuali Yemi yang masih membenamkan kepala di atas meja.
"Kamu sudah lihat ya?" tanya Rizal dengan serius.
"Apa maksudnya 'tidak yakin itu dia'?" Aldo sedikit mendesak Haru untuk lebih jelas.
"Pengumuman tadi beneran?" Sura makin mendekat pada Yemi.
Haru memilih diam seribu bahasa, sesekalo melirik Rizal seolah memintanya untuk menjelaskan ulang apa yang dikatakannya tadi.
"Jadi, tadi–"
Drekkk
Semua orang terdiam, menoleh ke arah fotocopyan yang baru saja menutup tirai besinya. Mereka menghela napas lega; itu suara yang mengejutkan di tengah hujan lebat seperti ini.
"Tadi ada–"
Rizal belum sempat melanjutkan ketika angin kencang menerbangkan atap warung dari pengikatnya. Teriakan singkat terdengar dan aroma darah menyengat hidung mereka.
Rizal meraba luka gores di lengan kirinya, melindungi itu dari hujan.
"Zal!" seru Aldo.
"Sst, jangan terlalu keras, Aldo, kita harus hati-hati." Dalam suaranya, ada gemetar menahan sakit yang kentara.
Aldo merasa ada yang tidak beres. Hal itu menjadi lebih jelas pada jawaban mengejutkan Rizal.
"Ada pengumuman bahwa seorang pembunuh berkeliaran di dekat sekolah."
***
Yemi mengangkat kepalanya, Haru membuka mulutnya, Aldo menatap penuh curiga ke Rizal. Dia bahkan tertawa hambar.
"Nggak bohong." Rizal buru-buru mengklarifikasi kata-katanya. "Lagian kenapa kalian bisa di atas tembok? Tepat di dekat gudang lama sekolah."
"Tahu dari mana?" tanya Yemi.
"Haru," jawab Rizal.
"Yah, Haru kamu bilang ya? Nanti kita ketahuan Pak Kripik loh! Aku nggak mau minus poin," keluh Yemi, panjang, lebar, dan kesal.
"Haru nggak bilang, Yemi-nee, tadi Sura-nee udah lihat duluan."
"Itu nanti dulu, Yem." Aldo beranjak dari tempat duduk, berdiri di sebelah Rizal. "Kita cari tempat berteduh yang lebih aman dulu."
"Nggak sakit, begini aja," ucap Rizal, ia tahu bahwa Aldo mengatakan itu karena melihatnya terluka. Bohong kalau tidak sakit, tapi dia tidak mau membuat khawatir.
"Rumah Kak Yurene harusnya dekat sini." Tiba-tiba Sura memberi saran. Ia segera menambahkan saat mereka saling melempar tatapan bingung. "Alumni SMA Four Leaf Clover."
"Tapi kita nggak kenal dia, Sura. Nggak enak sama orangnya," keluh Yemi. "Apa kita nggak bisa balik ke sekolah aja? Kita ke UKS buat ngerawat luka Rizal."
Sura dan Yemi kerap menekankan saran masing-masing sedangkan Aldo terus memastikan keadaan fisik Rizal, bendahara kelasnya itu. Ia juga merasakan kejanggalan terus menerus walaupun Rizal sudah menjelaskan pengumuman itu.
Saat Aldo dan Yemi tadi di atas tembok, ia tidak mendengarnya sama sekali. Dari reaksi Yemi, sepertinya juga sama. Mata Aldo terbuka lebar sebelum menatap Haru. Lelaki tembam itu lebih dulu turun, terdapat jeda cukup lama sebelum hujan turun yang menyebabkan mereka berdua terpeleset dan turun ke luar sekolah.
Bahkan sejak turun, Haru memilih di warung ini, bukan masuk sekolah. Firasatku buruk, tapi apa mungkin begitu?
Tidak ingin menambah kepanikan, Aldo memutuskan bertanya setengah-setengah. "Haru," panggilnya.
Seolah menunggu dipanggil, Haru menanggapi dengan cepat. "Kak Aldo?"
"Kamu turun duluan tadi, nggak dengar ada pengumuman itu?"
"Haru juga nggak dengar."
Kedua mata Aldo menyipit. Firasatku makin kuat. "Kamu 'kabur'?"
Haru terdiam, saat menyadari kabur dari siapa yang dimaksud tanpa ragu menganggukkan kepala, seketika itu juga, Aldo tersenyum bersamaan dengan tengkuk leher yang terasa dingin, dingin yang berbeda dari angin badai atau bulir hujan.
"Ide Sura itu bagus."
"Bolu?"
"Sura arahin jalan, kalau masalah nego, aku bisa. Yuk."
"Bolu?"
"Jauh nggak?"
Sura menatap ke belokan tepat di sebelah warung itu. "Nggak jauh, agak tersembunyi saja."
"Bagus, yuk."
"Bolu?"
"Eh iya, Yem?"
"Kenapa begitu? Kan lebih dekat sekolah? Rizal juga pasti lebih nyaman dirawat di UKS."
"Nanti."
"Apa?"
"Nanti kujelaskan. Kalau udah aman."
Yemi tidak mengerti sama sekali. Tidak ada juga yang berniat mendukungnya, seolah itu adalah keputusan yang pasti lebih baik. Mereka berdiri, berjalan tapi dengan cepat, sampai-sampai Yemi merasa harus berlari untuk menyesuaikan langkah mereka.
Rumah itu tersembunyi di balik rumah lainnya dan tembok pembatas rumah-rumah dengan jalan di luar sana. Rumah yang cukup tinggi, sepertinya memiliki dua lantai.
Sura mengetuk pintu. "Kak Yurene. Ada di dalam?"
Yemi melirik Rizal yang menunduk, mungkin sejak mereka berjalan. Dia belum menghilangkan perasaan bahwa harusnya mereka ke UKS. Baru saja ia ingin menawarkan Rizal untuk kembali, seseorang mengalihkan perhatiannya.
"Yemi-nee."
Yemi terkejut, lalu menoleh cepat. Haru baru saja menepuk bahunya.
"Iya Haru?"
"Quest?"
Yemi refleks tertawa, tapi cepat-cepat diam. "Nggak, nanti saja."
"Sekarang, Yemi-nee."
"Eh?" Yemi terdiam. Biasanya, dia akan menanggapi itu seperti candaan. Tapi barusan, Haru seperti serius. Suasana ini sangat aneh.
Terdengar suara ketukan dari jendela, diikuti wajah seorang gadis dengan kantong mata tebal dan sorot mata lelah mengalihkan perhatian mereka. Tidak lama kemudian, terdengar suara kunci, berkali-kali hingga akhirnya pintu terbuka.
"Halo, Kak–"
Belum selesai Sura menyapa, gadis itu memeluknya erat. "Saya senang banget kamu datang!"
***
Keadaan Yurene agak aneh. Sejak mereka datang, ia terus menerus menempel pada Sura. Walaupun begitu, ia tetap menyambut tamu dengan baik. Mereka diajak ke kamarnya, diberi air minum sebotol, dan ... benda tajam.
Sesaat diberikan itu, Sura dan Yemi saling berpandangan kebingungan. Aldo dan Rizal juga tidak terlalu berbeda, hanya saja dua laki-laki itu lebih kalem.
"Wah," gumam Yemi dengan sedikit takut. "Terima kasih, Kak, tapi kayaknya ini agak–"
"Yemi-nee, kecoak!"
Tanpa memikirkan apa pun, Yemi berdiri sambil mengarahkan pisau ke bawah. Sesaat kemudian dia gemetaran.
"Heh! Haru!"
Haru hanya tersenyum dan tertawa tanpa rasa berdosa. "He he."
Yemi mengalihkan pandangan, tapi setiap mata yang tertangkap matanya mengalihkan pandangan. Setelah itu, gerak-gerik mereka canggung. Rizal yang sakit bahkan mati-matian menahannya.
Tawa.
"Ah, ga tahu ah! Malu banget! Aku mau pergi!"
Baru saja ia mengambil satu langkah kaki, Aldo berdiri, secara otomatis menghadang jalannya.
"Nggak aman, Yem."
"Hah? Apa, sih, Bolu?"
"Kamu masih nggak ngerti, Yem?"
"Aku ...." Yemi tidak menyelesaikan kata-katanya. "Nggak, aku mau pergi saja."
"Yemi di luar nggak aman," ucap Aldo, "Tenanglah, Haru cuma bercanda."
Yemi melirik Rizal satu-satunya yang berbaring di atas kasur. "Aku nggak tahu apa yang nggak aman. Pembunuh? Bisa saja bukan, kan? Bisa saja seseorang ngerjain kita? Kalian semua kenapa sih! Aneh! Aneh banget! Kak Yurene juga!" Sedikit demi sedikit, nada suaranya meninggi, tempo yang cepat, dan tangan yang gemetar.
'Nanti kujelaskan'
Yemi menunduk. Saat melihat Aldo, sesaat dia mengingat itu.
'saat sudah aman.'
Tidak ada tempat yang lebih aman daripada sekolah baginya. Tidak juga rumah asing, alumni asing, hujan badai, atau–
Kepalanya terangkat tanpa sadar. Entah firasat atau apa, ia menatap jendela bertirai putih di belakang Rizal dengan lebih waspada.
–bayangan manusia.
Tidak ada tempat yang aman untuk mereka yang berdiam diri.
Bayangan itu menggenggam sesuatu di kedua tangannya, mengangkatnya, menempelkan pada jendela, dan memukulnya.
"Ha– AA–"
Seseorang menutup mulut gadis penakut itu dari belakang. Yemi tidak melawan atau pun bergerak meski tangannya tidak ditahan apa pun.
Di sisi lain, Rizal pelan-pelan bangun dibantu Haru, dan Yurene semakin menempel dengan Sura. Mereka tidak lupa membawa "bekal" pemberian Yurene. Begitu juga Aldo, ia membawa "bekalnya" dan menyerahkan "bekal" Yemi yang masih membeku.
"I guess I don't have explain." bisik Aldo dengan nada ringan. "Yem, maaf soal ini, tapi jangan teriak."
"Aku nggak bakal teriak kalau kamu jelasin lebih cepat, Bolu," balas Yemi, balik berbisik, tapi dengan rasa jengkel yang tertahan.
"Sebenarnya, kamar saya kedap suara," sela Yurene," tapi lebih baik kita pergi ke ruangan lain."
Hal itu sedikit mengurangi rasa gelisah mereka akan ketahuan saat keluar ruangan. Mereka berlari, sesekali mengecek jika ada jendela yang menunjukkan sosok itu lagi. Di tengah-tengah itulah mereka menemukan kelemahan dari ruangan kedap suara.
Jendela di dekat pintu masuk sudah dalam keadaan terblokir oleh beberapa papan kayu. Setelah berkeliling mengitari lantai pertama, semua jendela memiliki kondisi yang sama.
"Padahal kita nggak dengar apa-apa sebentar, tapi semuanya seperti sudah begitu," ucap Sura.
"Sejak beberapa hari ini, saya mendengar suara aneh. Mungkin itu bukan dikerjakan hari ini. Saya juga nggak tahu karena semua tertutupi tirai," jelas Yurene.
"Kalian duluan aja, aku mau cek pintu."
"Saya sudah menguncinya. Kalaupun diblokir, dia tidak akan masuk dari sana," ucap Yurene.
"Tidak ada salahnya mencoba cek dulu." Tiba-tiba Aldo berhenti, tersenyum miring, lalu memanggil Rizal. "Zal, aku butuh bantuan bentar."
"Kak Aldo butuh apa, Haru bisa bantu."
"Haru jaga yang lain dong, kalian harus naik ke atas ya! Nanti kita ke sana kok!" pinta Aldo.
Rizal dan Haru berpandangan, tapi melihat keadaan yang tidak tentu, lebih baik terbagi jadi tim daripada sendirian. Mereka mengikuti kata-kata Aldo tanpa keluhan.
Aldo mendekati pintu. Setelah yakin bahwa pintu itu diblokir, dia menarik Rizal ke bawah hingga mereka jongkok di depan pintu itu.
"Zal, aku punya rencana. Tapi kamu jago akting nggak?"
***
"Lama sekali, sih. Aku cemas. Apa mereka kenapa-kenapa?" gumam Yemi, cukup lantang hingga Haru, Sura, dan Yurene bisa mendengarnya walaupun mereka agak berjauhan. Masing-masing dari mereka berdiri di atas lemari yang berhadapan seperti empat mata angin.
"Nggak apa, Yemi-nee. Kita bisa lihat kalau ada masalah dari atas ini," kata pencetus ide "bersembunyi" di atas lemari, Haru.
"Eh, aku merasa menjadi mata-mata," kata Sura sambil tersenyum.
Jika ini situasi yang normal, Yemi pasti tertawa terbahak-bahak. Yemi tidak mengerti, bagaimana bisa Sura tidak panik sepertinya.
"Yemi lagi bingung kenapa aku tenang ya?" tebak Sura setelah menyadari tatapan Yemi. "Mungkin karena aku kenal."
"Eh?"
Sura tersenyum sedih. "Aku kenal dia. Kak Yurene juga, ya kan?"
"Kak Yurene senang bertemu Sura-nee, rupanya karena itu?" Haru memastikan dan dibalas anggukan Sura.
"Kami pernah membantunya. Kak Yurene pernah menjadi wakilnya saat mereka ada di organisasi yang sama. Lalu aku bergabung. Kami hanya membuat kerajinan tangan yang sekiranya membantu orang lain."
"Loh, Sura kenapa ikut? Bukannya belum satu sekolah ya?"
"Gabut."
"Oke, lanjutkan."
"Sesuatu terjadi, lebih tepatnya 'dia' salah membuat satu, dan menyebabkan mata seseorang buta. Dia dikejar masyarakat, lalu ditahan polisi. Kak Yurene..."
Yurene mengganggukkan kepala. Dia tahu, dia harus melanjutkan cerita itu. "Almarhum wali kelasnya akhirnya menjadi 'wali' yang harus menjemputnya di kantor polisi. Tapi almarhum wali kelas dikenakan denda yang cukup tinggi. Almarhum wali kelasnya malah menelantarkan 'dia'."
Yemi merinding menyadari kata yang diulang terus-menerus. "Kak Yurene, almarhum apa maksudnya?"
Hening yang cukup lama sampai Yurene menjawab. "Wali kelas itu dibunuh 'dia' di hari 'dia' bebas dari penjara. Di markas kami. Jadi, aku dan Sura tahu. Sejak itu, pihak sekolah benar-benar mengeluarkannya, dia dendam, dan sekarang seperti ini."
Pelan tapi pasti, suara Yurene makin lemah. Tidak ada dari mereka yang melontarkan pertanyaan lagi. Mereka tahu, lebih baik berhenti membahas ini. Masa lalu yang terdengar berat untuk dipahami secara dalam, selain itu, mereka tidak ada di posisi harus bersimpati, saat mereka dalam bahaya.
"AAAAAAAAAAARGH!"
Suara laki-laki yang mereka kenal terdengar jelas seisi ruangan. Mereka menatap ke bawah dan terkejut setengah mati saat Rizal merangkak mendekati mereka.
"Kita. ke. atas. Kabur."
Kaku banget nadanya? tanya Sura dalam hati.
Rencananya Aldo pasti, batin Haru.
"Ri–Rizal! Aku turun!"
Tanpa persetujuan lainnya, Yemi melompat turun. Ia berusaha membantu Rizal berdiri, tapi laki-laki itu menolak. Ia terus teriak-teriak.
"Kita harus kabur! Kabur sekarang! Lari semuanya!"
"Pelan-pelan, Rizal, kenapa–"
"Yem, ambil senjata, ambil barang yang berat, cepat, Yem."
"Loh?"
***
Rumah yang asing dan seorang pembunuh menghantui dia dan teman-temannya. Berjalan sendirian membuat pikirannya lebih jernih.
'Do, aku nggak suka caramu. Gimana kalau kamu diserang?'
Ucapan Rizal terlintas di benak lelaki itu. Namun, tidak ada yang perlu ditakutkan, baik pembunuh maupun mereka semua, sudah memegang senjata di tangan. Hal yang dibutuhkan hanyalah tekad untuk tidak lari dari pertarungan.
Tapi tidak ada yang bilang pertarungan harus "adil".
Aldo dengan santai mengikuti pembunuh yang tertarik pancingan Rizal. Tentunya dia menjaga jarak. Otaknya terus memutar dugaan, menebak tujuan pembunuh itu mengikuti mereka, alih-alih berkeliaran di sekolah, seperti yang dikatakan temannya.
Aldo melihat lantai yang sedikit licin setiap orang itu meninggalkan jejak. Orang misterius yang mengikuti mereka meski harus menerobos hujan. Ia mengunci mereka dari luar, memblokir setiap jendela, dan masuk tanpa menggunakan pintu. Walaupun begitu, yang dia tinggalkan di setiap langkah hanya air, tidak ada tanah. Padahal di luar kamar tadi jelas-jelas halaman rumah dengan dataran tanah.
"Hah!"
Kepala pembunuh itu mengarah ke atas, seorang gadis berteriak, tapi tidak terlihat apa pun.
"Bukankah kalian sudah dewasa untuk bermain petak umpet?"
Benar, jawab Aldo dalam hati. Dia berhenti mengikuti, berdiam diri di bawah tangga sementara pembunuh itu mulai melangkah ke atas.
Pembunuh itu bersiul. "Aku akan menemukan kalian, ha ha."
"Nggak mau! Rizal! Jangan ke sana!"
Yemi menggantikan peran Rizal atau bagaimana? Teriakannya keras sekali. Aldo mulai mengambil ancang-ancang untuk melemparkan benda tajam yang digenggamnya.
Sesaat setelah teriakan itu terdengar, Rizal berlari, lalu berhenti di tengah-tengah. Ia dan pembunuh itu berhadapan.
"Kak– eh bukan. Yotsuba-senpai!" seru Rizal. Ia merentangkan tangannya, meski ngilu sebelah karena luka sebelumnya belum sembuh. "Jangan ke sini! Aku sudah tahu apa yang kau alami, tapi seharusnya kau membuktikan diri dengan benar, bukan malah hidup sebagai penjahat!"
Pembunuh itu berhenti, lalu tertawa. "Laki-laki sepertimu begitu berani menghadapiku. Memangnya aku peduli? Hidupku hancur karena guru dan sekolah kalian! Dan kalian, siswa berharga bagi mereka akan kujatuhkan!" bentaknya dengan menggebu-gebu.
Tatapan Aldo semakin dingin, tanpa ragu melemparkan pisau ke arah pembunuh yang berdiri di anak tangga yang sudah cukup tinggi. "Nothing can bring us down."
Pisau meluncur dari tangan Aldo, berputar dengan presisi sebelum menghunjam betis pembunuh. Teriakan kesakitan memecah keheningan saat dia membungkuk, menahan rasa sakit. Rizal memberikan isyarat; serentak, benda-benda terbang dari segala arah menuju sosok yang kini terjatuh. Pembunuh itu berguling-guling menuruni tangga hingga akhirnya tak bergerak lagi.
Aldo meraih kunci yang jatuh di sampingnya dan memandang Yurene dengan tatapan ingin tahu. "Ini buka apa?" ujarnya.
"Itu kunci basement rumah saya," jawab Yurene dengan nada senang. "Sepertinya kita bisa cepat keluar. Saya tunjukkan arahnya."
Mereka mengikuti Yurene melewati koridor yang gelap dan sempit. Cahaya redup dari senter Yurene adalah satu-satunya pemandu mereka. Akhirnya, mereka menemukan pintu keluar darurat yang tersembunyi di balik rak tua. Bersama-sama, mereka melangkah keluar, disambut cahaya matahari setelah hujan badai—hidup-hidup.
***
"Pembunuh, ah tidak, Kak Yotsuba itu tidak dipenjara, tapi rumah sakit jiwa. Kasihan, ya," ucap Sura tiba-tiba. Mereka berlima sedang makan bersama di kantin setelah bel pulang sekolah berbunyi. "Kak Yurene sering berkunjung."
"Ikut yuk!" ajak Aldo.
Sura sebenarnya mau mengajak, tapi karena berakhir diajak, dengan senang hati dia mengangguk.
"Haru nggak masalah, tapi Yemi-nee berani?"
"Haru stop. Aku masih ingat ya waktu itu kamu iseng soal kecoak."
Haru pura-pura malu-malu mendengar itu.
"Aku udah berkunjung, sih." Semuanya serentak melihat ke Rizal. "Keluargaku mengira lukaku karena Yotsuba-senpai."
"Oiya kenapa pakai senpai?" tanya Aldo.
"Kak Yurene bilang itu panggilan paling ampuh. Sepertinya dulu sebelum masalah terjadi, dia dipanggil begitu," tutur Rizal. Dia berdiri dan tersenyum. "Tunggu apalagi? Ayo kita bikin teman baru!"
Penulis: yemimaliez
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top