25. Galaxy

Tema: Grup band sekolah
Tokoh Utama: Ari

Poster yang memuat soal festival kompetisi band menjadi satu-satunya hal yang senang Ari perhatikan akhir akhir ini. Entah sudah untuk keberapa kalinya dia menggulung kertas lusuh itu untuk dimasukkan kembali ke dalam tas setelah membacanya dengan seksama. Satu minggu lalu dia merobek poster itu dari tiyang listrik di jalanan dan menyimpan untuk dirinya sendiri.

Kompetisi tersebut akan berlangsung sekitar satu bulan lagi dan Ari harus mengumpulkan anggotanya sesegera mungkin. Yah, siapa tahu hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru ini akan menjadi awal keberuntungannya. Cowok berambut agak  gondrong dan berkacamata itu berjalan santai di koridor menuju kelas barunya. Senyumnya mengembang ketika bisa merasakan hawa menyenangkan dari dalam kelas yang akan dia tempati selama satu tahun ke depan.

Agak berisik, tetapi Ari menyukainya.

"Ari, kan? Duduk sini aja, masih kosong." Seorang cowok yang masih memakai hoodie menunjuk kursi di sampingnya.

Sebenarnya itu bukan tepat duduk yang cukup strategis untuk dia duduki, tetapi sepertinya akan terasa kurang ajar jika menolaknya begitu saja.

"Thanks." Ari meletakkan tas hitamnya yang kerempeng ke dalam laci. Dia hendak menanyakan siapa nama cowok itu, tetapi uluran tangan dari manusia tampan di sampingnya ini sudah terlebih dahulu menyambut.

"Nama gue Saskeh, panggil aja Sas biar gampang."

Ari menyipitkan mata. "Tau nama gue dari mana?"

Bukannya langsung menjawab Saskeh justru senyum senyum tidak jelas. "Gue fans berat Bang Galaxy. Tentu aja gue tau banyak hal tentang dia terutama lo yang merupakan adeknya. Gimana sekarang kabar dia?" Mata cowok itu tampak berbinar membuat Ari yang awalnya sempat terkejut kini berubah senang.

"Baik. Jadi, sejak kapan lo suka sama Bang Galak?"

"Sejak pertama liat dia tampil di panggung," jawabnya dengan wajah seakan-akan sedang membayangkan masa itu. Wajahbya benar-benar berseri sampai membuat Ari hampir saja tertawa senang. Merasa memiliki teman yang senasib dengannya.

"Jadi, lo bisa main musik?"

Saskeh mengerjap lalu menggeleng. "Gue suka musik, tapi kalau soal keahlian bidang gue bukan di sana. Gue suka gambar, dan sering juga ngelukis bang Galaxy pas lagi manggung."

Ari menghela napas, merasa sedikit kecewa mengenai dugaannya yang melesat. Bisa dibilang dia memiliki waktu yang cukup sempit sampai kompetisi band yang sangat ingin diikutinya berlangsung. Dia harus sesegera mungkin mencari rekan, tetapi harus mulai dari mana. Ternyata tidak semudah yang dia pikirkan. Haruskah menanyai satu persatu semua murid apakah mereka bisa bermain musik dan menjago anggota band-nya. Tapi sepertinya cara ini terlalu membuang-buang waktu. Kalau bisa, hari ini juga dia harus mendapatkan setidaknya tiga orang untuk membentuk grup band.

"Apa gue buat pengumuman aja, ya? Terus di tempel di mading sekolah," gumam Ari sambil terus berpikir soal kemungkinan keberhasilan ide yang satu ini.

"Pengumuman apa?" tanya Saskeh penasaran.

"Nyari anggota band. Gue mau buka lagi ekskul band di sekolah ini dan seenggaknya harus punya minimal empat orang buat menuhin syaratnya."

Mata Saskeh tampak berbinar. "Tapi ekskul itu udah tutup hampir dua tahun lamanya. Setahun lalu ada juga siswa yang berusaha buat ngembaliin kejayaan ekskul band, tapi gak berhasil. Selain karena sedikit banget yang punya minat di bidang itu, guru-guru bahkan kepala sekolah juga gak terlalu menggubris. Kayaknya mereka menganggap ekskul itu gak terlalu penting. Apalagi setelah Bang Galaxy lulus dan memutuskan buat gak ikut campur soal band sekolah, beberapa anggota dari sini berselisih sama sekolah sebelah sampai berantem segala. Jadi makin banyak pihak yang enggak respek."

Ari menggut-manggut. "Lo tahu banyak ya ternyata. Padahal, baru sehari sekolah di sini."

Saskeh hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merasa senang mendengar kalimat itu.

"Soal murid yang sempat punya tujuan yang sama kayak gue itu, lo tahu dia siapa?"

"Tahu. Dia kakak kelas kita."

Senyum Ari mengembang lebar. "Bisa temenin gue buat ketemu dia? Sekarang juga."

Tentu saja Saskeh langsung menyetujui permintaan itu. Karena hari ini merupakan hari pertama mereka berangkat sekolah, tidak ada jam belajar dan siswa di bebaskan untuk melakukan apa saja selama itu kegiatan positif. Karena itulah keduanya langsung bergegas.

"Lo beneran tau dia di kelas apa?"

"Iya, kebetulan dia sepupu gue."

Ari mengangguk. Mereka naik ke lantai tiga dan sampai di wilayah kelas dua belas. Cukup banyak murid-murid yang memperhatikan keduanya. Entah untuk alasan apa, Ari sendiri tidak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli sampai kakinya berhenti melangkah mengikuti tindakan Saskeh.

"Bang Karvin, ada yang mau ketemu sama lo."

Cowok yang kini duduk di atas meja dengan gitar di tangan itu menoleh. Senyum Ari mengembang dengan lebar.

"Gitaris ya?"

Saskeh mengangguk. "Dia jago banget main gitar, tapi sayang gak punya kesempatan buat tampil di depan banyak orang. Semua orang pasti bakalan jatuh cinta setelah liat dia main gitar."

"Siapa?" Cowok bernama Karvin itu datang dengan ekspresi sedikit bingung. Mungkin heran pagi-pagi begini sudah ada yang mau bertemu dengannya.

Ari tanpa sungkan dan merasa harus bertindak cepat langsung mengulurkan tangan. "Gue Ari, Bang. Saskeh udah cerita soal lo. Untuk itu, lo mau jadi gitaris gue nggak?"

Satu alis Karvin terangkat, dia menatap Saskeh dengan tatapan semakin bingung lalu kembali pada Ari yang masih memasang wajah berbinarnya itu. Tangannya bahkan masih terangkat dengan tegas dan sepertinya dia tidak berniat menurunkannya sampai Karvin membalas uluran tangan itu.

"Salam kenal." Hanya itu yang Karvin katakan setelah menyambut uluran tangan Ari. Dia sudah hendak berniat pergi.

"Gue mau buka lagi ekskul band di sekolah ini dan untuk itu gue butuh lo Bang. Posisi gitaris, gue yakin cuma lo yang bisa ngisi posisi itu."

Karvin berbalik lalu tersenyum. "Lo bilang gitu seolah-olah udah pernah liat gue main gitar."

"Saskeh bilang lo jago."

"Langsung percaya gitu aja?"

Ari mengangguk. "Dan gue yakin penilaian dia enggak salah."

Karvin tertawa kecil dan menepuk pelan bahu Ari. "Fokus aja belajar yang bener. Lagi pula ekskul itu gak bisa dibuka cuma dengan dua orang aja."

"Tenang, gue pasti bakalan dapat seenggaknya dua orang lagi buat buka kesempatan ekskul band bisa berjalan lagi, tapi gue juga butuh lo. Kita punya tujuan yang sama, kan?"

"Itu dulu."

"Sekarang udah enggak?"

Karvin tidak langsung memangguk. Dia masih menatap Ari yang sama sekali tidak berkedip membalas tatapannya. Tatapan itu mengingatkan dia akan seseorang yang dulunya sangat dia kagumi. Rasa-rasanya dia seperti berhadapan dengan orang yang sama.

"Gue yakin kali ini bakalan berhasil."

"Oke, kalau gitu bisa kita ketemuan sepulang sekolah nanti di kantin kelas sepuluh? Tempat itu biasanya sepi kalau jam pulang. Jadi enak buat bahas soal ini. Gue harap lo emang punya rencana yang matang."

Ari berseru dalam hati. "Oke, Bang."

Saskeh tidak kalah senang. Dia bahkan langsung dengan senang hati akan membantu Ari mencari anggota untuk band-nya. Mereka kemudian pergi ke kantin untuk sekadar membeli makanan karena kebetulan keduanya belum sempat sarapan.

"Lo ada kenalan lain lagi?"

Saskeh menggeleng lesu. "Enggak untuk saat ini. Gue cuma kenal Bang Karvin. Ada sebenernya tapi doi juga mainnya gitar. Lo pasti butuh posisi yang lain, kan?"

Ari mengangguk. Dia memasukkan potongan gorengan terakhir ke dalam mulutnya dan mulai menyisir semua murid yang ada di kantin.

"Tunggu, gue pernah denger soal drumer gila."

"Drumer gila?"

"Iya, itu sebutan buat dia."

Senyum itu muncul kembali. "Drumer, ya? Dari sebutannya aja kedengeran dia orang yang keren."

"Tapi kayaknya bakalan susah ngajak dia buat gabung."

"Kenapa?"

"Orangnya setengah enggak waras, apalagi dia perempuan."

Satu alis Ari terangkat, merasa semakin tertarik. "Emang kenapa kalau perempuan? Dia sekolah di sini juga, kan?"

Saskeh mengangguk. "Gue denger-denger sih iya. Dia seangkatan sama kita."

"Kelas apa?"

"Kurang tau, yang pasti enggak sekelas sama kita."

Ari segera berdiri. Saskeh mengerjap.

"Mau ke mana?"

"Cari tau soal dia."

Saskeh merasa tidak setuju. "Kayaknya cari yang lain aja, Ar. Gue gak yakin lo bisa berhasil ngebujuk dia. Apalagi dia orang yang gak punya banyak temen karena banyak yang gak suka sama dia."

"Gue enggak peduli soal itu. Kalau dia emang punya potensi kenapa harus di sia-siakan? Gue pastikan dia bakalan jadi anggota band kita," ucapnya penuh keyakinan.

Saskeh mengerjap, dadanya langsung berdetak kencang mendengar kalimat itu. Band kita?

"Mau ikut nggak?"

Meskipun sedikit enggan, Saskeh tetap mengangguk. Dia sudah memutuskan untuk selalu berada di samping Ari sampai cowok ini sukses besar dengan impiannya itu. Dia yakin Ari bisa lebih hebat dari Galaxy. Dia bisa merasakannya. Cowok itu penuh dengan semangat yang membara.

"Maksud lo Ayaka, ya? Dia belum berangkat."

Ari mengernyit ketika menanyai teman sekelas si 'drumer gila' itu. Akhirnya setelah mencari berbagai informasi mereka mendapat lokasi kelas cewek itu.

"Jam segini belum berangkat?"

"Kita samperin aja besok kalau gak entar pas agak siangan."

Ari mengangguk setuju. Mereka kemudian berniat pergi ke kelas, tetapi mengurungkan niat ketika mendengar keributan di tengah koridor yang hendak mereka lewati. Semua anak sudah berkumpul di sana. Beberapa siswa menjerit dan tampak panik. Beberapa lagi berseru seolah sedang menonton pertunjukan yang menarik.

"Duh, baru juga hari pertama sekolah udah bikin keributan aja," gumam Saskeh tidak habis pikir.

Ari yang penasaran langsung masuk ke dalam kerumunan itu diikuti dengan Saskeh yang tampak kewalahan menyelinap. Sampai keduanya berhasil berdiri di barisan terdepan. Mereka berdua sama-sama membeku melihat pemandangan yang ada di depan mata. Seorang perempuan dan laki-laki tengah bertengkar entah untuk alasan apa. Apakah keduanya mantan sepasang kekasih yang berakhir dengan baju hantam?

Beruntung ada yang kebetulan lewat dan langsung menghentikan pertikaian itu. Semua anak langsung bubar dan dua pemeran utama yang baru saja menarik perhatian itu sepertinya akan di bawa ke ruang konseling.

"Gak salah lagi, dia Ayaka!"

Ari menoleh. "Si drumer gila?"

Saskeh mengangguk mantap. "Wah, ternyata beneran gila. Gue rasa sebaiknya kita jangan berhubungan sama dia—Eh? mau ke mana Ar?"

"Menambah anggota baru."

Saskeh mengumpat pelan dan langsung mengejar Ari. Sesuai dugaan mereka berakhir duduk di depan ruang BK. Sekitar satu jam kemudian, seseorang yang sangat Ari nantikan akhirnya keluar bersama seorang cowok yang wajahnya masih tampak tidak ramah. Keduanya tetap terlihat masih bermusuhan padahal Ari yakin bisa mendengar keduanya meminta maaf di dalam ruangan tadi.

"Ayaka."

Gadis dengan rambut yang cukup berantakan akibat pertikaian tadi itu menoleh. Wajahnya semakin tidak ramah, seperti beruang yang mendapat gangguan di tengah waktu istirahatnya.

Ari merogoh sesuatu di kantongnya. Sebuah kertas yang sudah dia lipat hingga berukuran kecil. Setelah membukanya, dia langsung merentangkannya di depan wajah Ayaka.

"Lo tertarik ikut kompetisi ini?"

Tanpa di duga wajah Ayaka tampak sedikit melunak. Dia menatap Ari dengan penuh tanda tanya.

"Langsung ke intinya aja. Jangan buang-buang waktu gue."

Ari tersenyum. "Mau nggak maju ke kompetisi ini bareng gue?"

Kali ini Ayaka yang tersenyum, tentu bukan senyuman ramah. "Tergantung. Gue cuma mau mengikuti kompetisi yang peluang kemenangannya besar. Kalau posisi lo justru mengurangi peluang itu, gue enggak mau."

"Pasti menang, selama kita yang maju bareng," balas Ari penuh percaya diri.

Untuk beberapa saat keheningan menguasai situasi di antara mereka. Saskeh yang sedari tadi diam justru yang merasa paling tegang. Takut tiba-tiba Ayaka menyerang Ari meskipun sebenernya sedikit mustahil terjadi. Namun, tetap saja cewek ini kan gila!

"Entahlah, lo sama sekali enggak meyakinkan," ucap Ayaka lalu berbalik pergi.

Tentu saja Ari tidak menyerah begitu saja. "Temui gue sepulang sekolah nanti di kantin kelas sepuluh. Di sana gue yakin lo pasti bakalan berubah pikiran. Gue tunggu ya, Ay!"

Ayaka tidak membalas apa-apa. Dia tetap berjalan menjauh seolah seruan Ari hanyalah angin lalu.

***

Sesuai perjanjian, sepulang sekolah Ari dan Saskeh menuju kantin kelas sepuluh. Mereka menunggu Karvin sambil memesan makan siang. Beberapa saat kemudian orang yang mereka nantikan akhirnya datang. Ketiganya mulai membahas soal ekskul band.

"Udah ada calonnya?" Karvin tampak sedikit terkejut mengenai fakta jika Ari sudah memiliki dua calon yang akan mengisi posisi drumer dan vocalist.

"Siapa?"

"Tunggu aja, mereka bakalan datang sebentar lagi."

Saskeh yang merasa tidak tahu apa-apa soal vocalist yang Ari maksud tampak kebingungan. Namun, dia memilih untuk menunggu dari pada bertanya.

"Masih, calon, kan? Akan lebih baik kalau kita juga mencari calon yang lain. Lo bilang mau ikut kompetisi band, kan? Akan lebih baik kalau bisa bertindak cepat. Menunggu hal yang enggak pasti cuma akan merugikan kita."

Ari tersenyum. "Mereka bakalan datang."

Karvin menghela napas, wajahnya sedikit memerah.

"Ternyata ini yang lo maksud? Boleh juga."

Suara itu membuat mereka bertiga menoleh ke arah perempuan yang baru tiba. Karvin mengernyit. Berbeda dengan Ari yang semakin sumringah.

"Lo datang ke sini artinya setuju buat gabung ke band kita."

Ayaka duduk di salah satu kursi yang kosong tanpa mengatakan apa-apa.

"Bang, dia Ayaka. Dia yang akan ngisi posisi drumer."

Satu alis Karvin terangkat, dia menatap Ayaka yang membalas tatapannya dengan cukup tidak ramah.

"Dia?"

"Kenapa? Ada masalah?"

Karvin tersenyum. "Enggak. Pilihan lo tepat, Ar. Terus, sekarang di mana vocalist kita?"

"Di rumah sakit."

Ketiganya mengernyit.

"Kita bakalan ketemu dia besok. Tenang, dia murid sini, kok, tapi emang lebih banyak nginep di RS."

"Cewek penyakitan?" Ayaka tampak tidak setuju.

Ari mencoba untuk tidak memasukkan perkataan itu ke dalam hati. "Gue yakin kalian gak bakalan nolak setelah mendengar seindah apa suara dia."

***

Hari yang ditunggu-tunggu tiba, mereka bertiga akhirnya bertemu dengan sang vocalist yang ternyata memang tidak mengecewakan. Ayaka yang sempat Ari khawatirkan akan bersikap tidak ramah pada Chita—teman dekat sekaligus yang mengisi posisi vocalist di band-nya—kini bernapas lega karena sekarang mereka justru mengobrol dengan nyaman.

"Waktu kita gak banyak. Gue udah minta bantuan ke temen gue soal lagunya. Gue rasa kalian bakalan suka sama lagunya."

Karvin membagikan kertas berisi lirik lagu itu dan mereka langsung menyukainya.

"Key?"

Karvin mengangguk. "Mantannya abang lo."

Ternyata dugaan Ari tidak salah. Dia tersenyum. Dari dulu dia juga sangat mengagumi perempuan itu. Meskipun sudah jarang bertemu, dia senang sekali akan membawakan lagu ciptaan gadis itu.

"Oh iya kita belum nentuin nama band-nya, kan? Ada ide."

"Gue mau namain band kita Galaxy."

Semua orang langsung menatap kepada Ari. Namun, tidak ada yang menolak. Mereka langsung menyetujuinya dan mulai melakukan berbagai persiapan untuk mengikuti festival kompetisi band dan menyambut kemenangan.

***

"Gue enggak nyangka lo bisa bergerak sejauh ini. Gue kira cuma bercandaan doang."

Ari tersenyum. Dia menatap Galaxy yang masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

"Enggaklah. Gue pastiin bisa menangin kompetisi ini, Bang. Dan ekskul band di sekolah, udah berhasil gue jalanin lagi. Gue gak anak ninggalin ekskul itu bahkan sampai lulus nanti. Itu, kan, yang lo inginkan? Enggak, itu yang kita inginkan."

Bibir pucat galaksi tersenyum. "Thanks, ya. Gue jadi ngerepotin."

"Enggak sama sekali."

"Betewe, gimana kabar Chita?"

"Dia baik-baik aja, kita bakalan tampil besok. Pastikan lo nonton, ya, Bang?"

"Pasti."

Keesokan harinya setelah melewati hari-hari yang panjang hanya untuk menanti hari ini, mereka akhirnya berkumpul menuju tempat festival. Namun, tidak ada yang menyangka akan datang ketegangan di grup mereka.

"Chita belum datang juga? Masih gak bisa dihubungi?"

Ari menggeleng lemas. Dia berubah khawatir. Kini bahkan tidak bisa lagi fokus pada kompetisi. Yang ingin dia lakukan hanya bertemu Chita. Namun, menghubungi gadis itu saja dia tidak bisa.

"Kita sebentar lagi tampil, Ar. Gak memungkinkan buat nyari vocalist pengganti."

"Terus gimana?" Saskeh yang paling terlihat  khawatir.

"Kita tampil tanpa vocalist."

"Mana bisa begitu?" Saskeh tidak yakin.

"Mau gimana lagi emang? Ar, lo harus fokus ngerti? Tugas bassis itu penting untuk penampilan."

Ari mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Beberapa menit kemudian mereka dipanggil untuk segera naik ke panggung.

Ari tidak pernah merasa sekacau ini. Dia tahu penampilannya sangat tidak memuaskan bahkan bisa dibilang sangat berantakan. Sudah jelas mereka gagal dalam kompetisi ini. Ya, mereka kalah telak. Namun, kekecewaan itu harus tertutupi dengan rasa sakit yang jauh lebih berat ketika dia mendapat telepon dari ibunya.

Chita meninggalkan ketika dalam perjalanan menuju ke sini dan Galaxy menyusul setelahnya.

Penulis: luffytaro_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top