24. Perfect Family
Tema: Keluarga Bahagia
Tokoh Utama: Andrew
"Dulu jika kita ingin mengetahui sesuatu, kita hanya perlu menekan huruf-huruf di ponsel lantas mencarinya di internet. Dan boom! Semua yang ingin kau tahu langsung tersedia dari berbagai sumber, kau hanya perlu memilih mana yang kau ingin baca. Tak perlu repot-repot memaca buku."
"Lalu, lalu? Kak Andrew ceritakan lebih banyak!"
Gadis kecil itu merangkak, merayap pada tubuh sang kakak yang kini terkikik geli. Akhirnya pria itu bangkit dari tidur memangku adiknya menampilkan senyum teduh. "RZ, ini cerita sebelum apokaliptik. Kau tak akan tahu sebelum dunia kembali membaik." Mata Andrew menyorot adik perempuannya yang terus mengerayangi tubuhnya.
"Hentikan itu," katanya lembut menurunkan adiknya dari pangkuan. Lantas berjongkok, menyamakan tingginya dengan RZ yang kini melipat kedua tangan di depan dada, bibirnya cemberut mendelik pada Andrew. "RZ penasaran, Kak!"
"Ya, lain kali akan Kakak ceritakan. Nah ... Kakak sibuk untuk membantu ayah bekerja. Jadi kau harus bersikap baik. Oke?"
RZ memutar bola matanya malas. Kaki kecilnya melangkah keluar dari ruang kerja Andrew yang dipenuhi alat-alat penelitian. Ruangan kecil dengan kertas-kertas dokumen yang berhamburan, berantakan, tidak beraturan. Melihat adiknya yang sudah keluar kamar Andrew mendesah, menarik napas panjang, kembali pada penelitan.
"Apa adikmu sudah keluar?" Andrew menoleh ke arah sumber suara, seorang pria tinggi hadir, melepas topi, duduk di salah satu kursi mengambil dokumen yang terserak di lantai. "Ya, seperti yang Ayah lihat." Andrew bersandar pada kursi menatap kertas yng menempel dinding. Di sana terdapat tulisan besar, 'Virus Jonas'. Andrew mengusap wajah kasar, di sekelilingnya terdapat lentera yang menerangi ruangan.
"Sudah hampir setengah tahun listrik tidak menyala. Ya, walau begitu tidak ada penghalang bagi kita untuk menemukan vaksinnya."
Andrew hanya mengangguk mendengar ucapan ayahnya. Dia menyentuh dinding ruangan yang lembab, tidak ada cahaya matahari yang masuk, hingga tempat dingin luas yang hanya memiliki tiga ruangan kecil. Tempat di bawah tanah yang melindungi dari semua mara bahaya, bunker. "Kapan kita bisa keluar dari sini?" tanyanya.
Sang ayah hanya mengembuskan napas kasar, menepuk kedua bahu putranya menampilkan senyuman meyakinkan. "Setelah zombie-zombie sialan itu dapat diatasi kita bisa kembali ke kehidupan kita sebelumya. Begitu juga dengan vaksin yang membuat kita kebal dari virus jonas." Riq, ayah dari Andrew dan RZ itu meremas bahu putranya. "Lagi pula ayah juga merindukan girlband K-pop. Lagu-lagu maupun konser mereka. Sayang sekali ayah dulu terlalu sibuk penelitian hingga tak pernah bisa mengikuti satu konser pun."
Benar, zombie. Hampir terhitung sudah tiga tahun semenjak virus jonas menyebar di seluruh dunia yang membuat orang-orang teirinfeksi menjadi zombie. Riq sebagai salah satu professor yang meneliti virus-virus dan penemu vaksin yakin akan adanya peluang untuk mengakhiri pandemi ini. Dengan melindungi diri di bawah bunker bersama keluarganya sembari terus meneliti virus dan mencari obat.
Andrew kini menatap Riq yang sibuk pada penelitiannya. Suara bedebum berisik serta suara besi terbentur terdengar nyaring.
Prang, prang, prang!
Dia menoleh ke arah zombie yang sudah diikat di atas ranjang, tubuhnya diikat rantai dengan kain putih yang menutupi sebagian tubuhnya. Tubuh zombie itu terus berontak, menggelinjang ke sana kemari, mulutnya mengeluarkan suara erangan sembari bergerak ke segala arah. Melihatnya Andrew mengambil suntikan, mengisinya dengan sample virus yang Riq kembangkan untuk melawan virus jonas lantas mendekati zombie. "Grooaarrr!"
Andrew mengetuk tabung jarum suntik, merenggangkan lehernya ke kanan dan kiri lantas mengambil napas dalam-dalam. "Sample 278 siap disuntikkan." Tanpa aba-aba jarum suntik langsung menusuk leher zombie. Tubuh monster itu masih menggelinjang beberapa saat sebelum berhenti, mengerang, kemudian menjadi tenang. Tubuh pucatnya membiru, kulit yang mulai membusuk hingga tercium bangkai hingga giginya yang terus bergemeletuk menahan hasrat untuk membunuh.
"Setelah diberi sample virus 278 kondisi pasien menjadi tenang, dimulai dari pukul 17.35." Riq menyalakan perekam suara, sementara tangannya sibuk menuliskan hasil eksperimen yang tengah mereka laksanakan. Jam, menit dan detik berlalu. Andrew mengusap pelipisnya yang berkeringat, dia masih harus mengawasi zombie yang mereka jadikan bahan penelitian.
Walau lelah ekspresi Andrew menjdi cerah, sample virus kali ini memiliki efek cukup lama untuk menenangkan objek. Mereka mendapat kemajuan. "Kini pukul 19.23, pasien masih bersikap tenang tidak menunjukan tanda-tanda agresif."
"Haus, haus, aku haus ...," lirih zombie. Andrew berdiri dari tempat duduknya, matanya melebar, segera dia melirik Riq yang tak kalah terkejut. "Pukul 19.24, pasien mulai mendapatkan kesadaran!" Andrew mengusap wajah tersenyum lebar, dia memeluk sang ayah erat-erat. "Kita berhasil, Ayah! Kita berhasil!"
"Hahaha, akhirnya!"
Keduanya kegirangan hingga berpelukan. Segera saja Andrew mengambil segelas air dan mendatangi zombie yang terkulai lemas di atas ranjang. "Minum ini, kau akan merasa lebih baik." Andrew menyodorkan gelas tersebut hingga mendekati bibir pasien, tetapi baru saja air membasahi bibirnya, dia kembali mengamuk, dengan agresif dia berusaha menggigit lengan Andrew.
"Jangan sampai tergigit!" seru Riq, menarik tubuh Andrew yang kesulitan melepaskan diri. Zombie itu yang dengan agresif semakin mengicar sebagian tubuh Andrew. "Ayah!" Riq mendesis, dia mengambi sehelai kain. Dia ke arah belakang zombie lantas menutup mulut monster itu hingga tak dapat menggigit. "Grooaarrr!"
"Berikan obat penenang!" Riq menggigit bibirnya, tangannya masih berada di atas kain yang mengikat mulut zombie. Tanpa menunggu lebih lama Andrew yang berhasil lepas dari cengkeraman zombie bergegas mengambil obat penenang. Dia mengambi suntikan lain dan segera menyuntikan obat.
"Groaarrr...," lirih zombie yang mulai terpejam, kembali tenang dan tak sadarkan diri. Keduanya mengambil napas, terduduk lemas di lantai. Andrew menyandarkan kepalanya ke dinding. Ini eksperimen ke 278 dan yang berakhir kegagalan. "Sepertinya ini mustahil," gumamnya sembari memejamkan mata.
"Ayolah," bujuk Riq bangkit dari duduknya, dia menepuk-nepuk pakaiannya tersenyum. "Jangan patah semangat begitu. Aku yakin kita bisa menemukannya, hanya masalah waktu." Riq berjalan ke arah meja, lantas menyalakan sebuah lagu dari alat perekam.
I have this thing where I get older but just never wiser
Midnights become my afternoons
When my depression works the graveyard shift
All of the people I've ghosted stand there in the room.
Lagu Taylor Swift mengalun mengisi ruangan, Andrew mulai membuka mata tertawa kecil perlahan bangkit mendekati Riq. Walau mereka kembali gagal setidaknya sudah ada kemajuan walau sedikit. "Ayah tahu kau swiftie sejati. Mari dengarkan musik kesukaanmu lantas bekerja lagi." Andrew hanya tersenyum, bibirnya bersenandung mengikuti lirik lagu.
It's me, hi, I'm the problem, it's me
At tea time, everybody agrees
I'll stare directly at the sun but never in the mirror
It must be exhausting always rooting for the anti-hero.
"Ayah, Kakak! Kalian lama sekali. Ibu dari tadi sudah memanggil untuk makan malam." RZ muncul dari celah pintu, kemudian mata bundarnya berkedip. "Oh, pantas saja tidak dengar. Kalian mendengarkan musik." Sepasang ayah dan putra itu hanya tertawa, Riq menggendog RZ dan menggenggam tangan mungil gadis kecil itu. "Kenapa kau tidak ikut menyanyi dengan kami, Nak?"
"Ini lagu kesukaan Kak Andrew, kan?" Andrew mengangguk mengacak-acak rambut sang adik. Perasaannya mulai membaik setelah mendengr lagu favoritnya. "Ayo, ikut bernyanyi." RZ mengangguk antusias memeluk ayah dan kakaknya.
It's me, hi, I'm the problem, it's me
It's me, hi, I'm the problem, it's me
It's me, hi, everybody agrees, everybody agrees.
Mereka bernyanyi hingga lagu berakhir, ketiganya tertawa hingga sosok wanita dari pintu muncul bersandar pada pintu. "Astaga, kalian malah karaoke. Ibu sudah menunggu di meja makan sedari tadi." Nina, ibu dari keluarga kecil ini hadir, dia menampilkan senyum lembut menggantikan Riq untuk memangku RZ. "Sudah, mari kita makan malam."
"Kita akan makan malam apa, sayang?" Riq mengikuti langkah sang istri, mengecup kening Nina. Nina mendelik, wajahnya memerah, sedang Andrew dan RZ hanya bisa membuang wajah melihat kemesraan keduanya. "Ya, makanan kaleng yang dihangatkan. Memangnya kau pikir kita punya makanan lain?"
Andrew tertawa melihat Riq yang hanya menggaruk kepala, mereka semua duduk di atas kursi melingkar memulai makan malam. Andrew menatap wajah semua anggota keluarga. Mereka semua berbncang kecil, melontarkan candaan hingga menggoda satu sama lain. Andrew tak bisa menahan senyum. Walau dunia berakhir, tetapi keluarga mereka tetap terasa hangat dan bahagia.
"Aku harap keluarga kia akan tetapseperti ini," ujar Andrew yang dibalas senyuman anggota keluarga lain. Benar, mereka harap keluarga ini akan berakhir baik, tidak peduli pada apa pun yang terjadi, asalkan mereka bersama semua akan baik-baik saja. Andrew berharap begitu.
...
Namun, tidak sema berjalan dengan baik.
Setiap hari selasa, Andrew dan Riq selalu keluar rumah untuk mencari makanan di mini market atau toko terdekat. Para zombie ini tak dapat melihat, mereka hanya menggunakan indra pendengarannya yang tajam. Karena itu mereka berjalan perlahan melewati zombie yang tersebar di sepanjang jalan.
Mereka berjalan tanpa suara, bergerak hati-hati dan hanya menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Andrew sudah berjalan lebih duu sementara Riq di belakang mengendap-endap mengawasi di belakang barangkali ada zombie yang siap menerkam. Mata Andrew menelisik setiap penjuru jalan, dulu jalan ini adalah tempat yang indah menuju taman, beribu sayang kini tempat ini tak lagi terawat.
Zobie kembali melintas, mereka berdua mengenakan pakaian apd untuk melindungi tubuh dari virus, walau mereka tahu bisa terinfeksi jika tergigit tak ada salahnya melindungi diri dan berhati-hati. Napas Andrew memburu, dia berhenti, mengepalkan tangan dan menunjuk ke arah mini market di depan mereka.
Mereka saling lirik kemudian mengangguk. Masih mengendap-endap dan berjalan kecil melintasi para zombie yang berkeliaran. Andrew mengembuskan napas, sampai di dalam mini market, mereka segera mengambil bahan-bahan makanan dan memasukannya ke dalam ransel. Semuanya berjalan lancar seperti biasa.
Brak!
Secepat kilat mereka menoleh ke arah sumber suara. Beberapa barang jatuh dari lemari. Memiliki indra pendengaran yang sensitif para zombie segera menyerbu masuk ke dalam mini market, mereka berbondong-bondong berlari degan erangan serak. Andrew segera menarik Riq masuk ke ruangan khusus karyawan, bersembunyi di dalam sana hingga para zombie bubar dengan sendirinya.
"Apa kalian manusia?"
Keduanya terperanjat segera meringsut ke sudut ruangan, Andrew menodongkan pistol kecil sembari satu jarinya diletakkan di depan bibir. _"Jangan berisik,"_ bisiknya dengan mata menyorot tajam. Orang di depan mereka berupa pemuda yang seumuran dengan Andrew, dia menggunakan seragam pegawai mini market yang berantakan.
Krak!
Ruangan yang tak kedap suara tak dapat menahan suara pemuda itu yang tadi bertanya pada keduanya. Kini pintu ruangan didobrak dari luar, suara erangan zombie sahut menyahut berusaha menghancurkan pintu yang menghalangi alan mereka untuk mendapatkan mangsa. Riq menunjuk pintu memberi isyarat untuk menahannya. Segera mereka bertiga menahan pintu dan menguncinya untuk menghalangi para zombie masuk.
"Ini di luar pembicaraan. Tapi, temanku yag terinfeksi banyak di luar sana."
"Bisakah kau diam?"
Kedua alis Andrew bertaut satu sama lain sedang tangannya mendorong pintu agar tidak terbuka. Butuh waktu cukup lama agar para zombie kembali menyebar di mini market, mereka yang terpancing dengan suara kini cukup banyak di wilayah sekitar sana.
"Kami manusia," bisik Riq, Andrew mendorong tubuh sang ayah, dia menggeleng cepat segera menahan pintu agar tidak ada zombie yang masuk. Riq tersenyum kecil, menepuk pundak Andrew. "Tidak apa-apa, jika berbisik mereka tak akan dengar."
Andrew skeptis, dia masih menahan pintu dan benar saja bahwa tidak ada zombie yang berontak untuk masuk. Sepertinya kini mereka bisik-bisik tidak akan terjadi masalah. Andrew mendesah akhirnya kembali menatap pegawai mini market. Pemuda itu tersenyum sembari mengangguk kecil. "Saya Aldo."
Aldo melirik sekeliling, terdapat kardus-kardus yang di sana terdapat banyak persediaan makanan. Aldo menoleh ke arah dua orang asing di depannya tersenyum penuh harap. "Tolong saya, saya mohon." Andrew menatap dari atas hingga bawah, menegak ludah. Dia ragu apakah mereka menolongnya atau tidak. Sedang Riq dengan tegas menggeleng. "Maaf, tapi kami tidak bisa."
Aldo meremas kedua tangannya, menangkupkan kedua tangan dengan ekspresi memelas. "Saya mohon, tolong saya. Jika tidak saya akan teriak." Mulut Andrew menganga lebar, mendengus tidak percaya. "Kita semua kan mati, kau gila?" tanyanya tidak percaya. Bahkan jika orang ini tidak waras, mengorbankan nyawa mereka bukan hal yang mudah dilakukan.
"Makan kami zombie!"
Mendengar suara teriakan Aldo, segera saja para zombie kembali menerjang pintu ruangan. Andrew meringis menahan pintu sedang Riq menutup muut Aldo secepat mungkin. "Baiklah, baiklah. Kau bisa ikut." Akhirnya Aldo tersenyum, dia kembali diam. Perasaaan Andrew buruk soal ini, dia tak berpikir Aldo orang baik yang pantas diselamatkan.
Namun, itu keputusan Riq. Dia tak dapat melawan.
...
"Saya bersyukur kalin menyelamatkan saya."
"Kau bisa berkata begitu setelah hampir memebunuh kami, eh?" Riq menaikan sebelah alis, mau tak mau karena merasa kasihan Riq membawa Aldo masuk ke dalam bunker, di sana kedap suara hingga bicara pun tak masalah. Andrew masih waspada, dia kin menuangkan air minum untuk Aldo.
"Apa kau tak haus?" Aldo menengadah, sedari tadi dia hanya memandangi gelasnya yang berisi air putih. Aldo menegak ludah, dia menggeleng mulai kembali tersenyum. Nina dan RZ juga di sana, mereka tampaknya cukup tertarik dengan tamu yang dibawa oleh kepala keluarga. "Kau jangan macam-macam," ancam Riq yag melihat Aldo menatap istri dan putrinya.
"Sayang, jangan terlalu keras, kalau begitu mari kita makan." Nina menyela, dia mengusap lengan Riq agar tenang, membuat pria itu mendengus dan tak lagi berkomentar. Mereka makan bersama, sembari sesekali Riq bercerita tentang penelitiannya.
"Kau seorang ilmuwan? Apakah kau sudah menciptakan obat penawarnya?" Aldo bertanya dengan tatapan aneh, bahkan pria itu tak menyentuh makanannya, dia hanya diam mendengarkan sembari sesekali bicara yang membuat tak nyaman.
"Masih belum, tapi kami hampir berhasil." Riq mengusap mulutnya dengan serbet tampak masih belum curiga, sedang Andrew tak tenang memakan makanannya. "Kalian keluarga yang sempurna," lirih Aldo kali ini yang mendapatkan perhatian dari Andrew. Apa maksudnya itu? Memang mereka bicara baik-baik satu sama lain, bersama di tengah pandemi, bahkan berusaha menciptakan obat, keluarga mereka sempurna.
Andrew merasa cemasnya semakin bertambah, dia tak tenang berada dalam satu meja bersama Aldo. Akan tetapi yang lain tetap tenang dan tak bereaksi seperti dirinya. Andrew pikir dia yang berlebihan, lantas dia bangkit meminta izin pergi ke ruang kerja untuk menenangkan diri. Dia menutup pintu rapat-rapat, mengambil alat perekam dan menyetel lagu Taylor Swift.
Salt air, and the rust on your door
I never needed anything more
Whispers of "Are you sure?"
"Never have I ever before."
Dia memejamkan mata, duduk di kursi dan menenangkan diri. Berangsur-angsur perlahan tubuhnya rileks dan pikirannya tenang. Mungkin dia terlalu khawatir.
Tok, tok, tok!
Suara pintu diketuk, Andrew menoleh mengembuskan napas kasar. "Siapa?" tanyanya bangkit dari kursi. Akan tetapi tak ada jawaban, itu membuanya semakin resah. Mungkin itu ayahnya, dia pasti ingin bicara soal tamu tak diundang. Andrew pikir begitu, jadi dia membuka pintu tanpa sadar hingga akhirnya dia melihat pemandangan mengerikan.
Di sana Aldo dengan mulut berlumuran darah menggendong RZ yang kini menangis. Sedang di meja makan dia dapat melihat Riq yang mengunyah kulit Nina yang meringis meminta bantuan. Andrew meremas tangannya, dia mulai ingat apa yang membuatnya waspada pada Aldo, itu karena saat di mini market, bajngan itu mengancam mereka hingga ketika Riq menutup mulut pemuda itu, Aldo menggigitnya menyebarkan virus.
"Bagaimana ... bagaimana zombie sepertimu bersikap seperti manusia?" Andrew mengambil langkah mundur. "Apa yang kau inginkan?" Emosinya campur aduk, Andrew bisa merasakan pelupuk matanya basah karena amarah dan kesedihan.
"Kau tahu apa? Aku pun tak tahu, salah satu ilmuwan gila yang terjebak bersamaku di tempat karyawan bilang, virus ini bisa berevolusi. Kupikir aku salah satu zombie istimewa itu." Aldo tertawa, dia melirik ke belakang, melihat Riq dan Nina yang sudah berubah menjadi zombie, sedang RZ menangis di gendongan Aldo. "Jangan menangis, Nak."
Andrew mengambil senjata dan menodongkannya pada Aldo. Tatapanya penuh hasrat membenci, bibirnya bergetar dengan tubuh tremor. "Lepaskan RZ, kubilang lepaskan!" teriak Andrew resah. Napasnya memburu kencang, matanya menyorot tajam. Aldo terkekeh, melirik sekitar kemudian menyeringai.
"Berikan kami obat penawarnya."
"Apa? Kami?"
Aldo tertawa lepas, dari arah belakangnya terdapat dua orang lagi seperti dirinya. Zombie dengan kemampuan seperti manusia biasa. "Mereka Nathan dan Yurene, jika kau tidak memberi kami obat yang Riq katakan, aku akan membunuh adikmu." Andrew mengeratkan genggamannya pada pistol, dia goyah dan Aldo tahu akan hal itu.
"Kakak ... selamatkan aku." RZ berkaca-kaca, bibir Aldo sudah menempel di pundaknya siap memakan adiknya kapan saja. Andrew mau tak mau angkat tangan, dia harus menyelamatkan adiknya. "Baiklah, ini obatnya." Andrew mengangguk memberikan cairan virus sample 278 pada mereka bertiga.
"Wow, ini bekerja." Aldo terkekeh melirik pada rekan-rekannya yang kini mulai merasakan hilangnya keinginan meminum darah manusia. Perlahan dia menurunkan RZ dari pangkuannya akan tetapi sedetik kemudian, belum sampai RZ berlari ke arah Andew, Nathan dan Yurene menggigit gadis kecil itu hingga tubuhnya terkoyak.
"Kau pembohong!" Andrew berseru penuh amarah, kini seluruh keluarganya mati. Air matanya luruh hingga kakinya lemas terduduk di lantai. Aldo tertawa sekali lagi, dari awal dia tampak hanya bermain-main tidak menghiraukan keselamatan keluarga ini. "Beri kami juga penawarnya." Yurene dan Nathan menyeringai, mengambi obat itu dari Aldo.
Andrew terduduk lemas, tubuhnya bergetar sembari dirinya merangkak menuju ranjang. "Hey, kau mau ke mana?" Aldo mengejek, dia dan rekan-rekannya menertawakan Andrew yang tertatih-tatih berjalan sempoyongan dengan wajah berderai air mata. "Look what you made me do," gumamnya penuh benci.
Andrew membuka rantai yang mengikat zombie eksperimen Riq, mereka tak tahu kebenarannya. Bahwa yang menciptakan virus ini adalah dirinya sendiri, karena itu Riq mati-matian encari penawar untuk menebus dosa putranya. "Akulah penjahat di tempat ini sialan!" Andrew melepas zombie eksperimen mereka, dengan segera sang zombie menggigit Aldo dan kawan-kawan, mengoyak tubuh mereka. Darah merembes mengotori lantai, tubuh Andrew terhuyung jatuh ke depan.
Dia tak pernah memikirkan bahwa keluarga sempurnanya akan mati karena kesalahannya, dia sudah melakukan terbaik untuk melindungi keluarganya. Membuat semua orang menjadi monster, tidak membiarkan mereka menghancurkan keluarganya dengan intrik keji para manusia di luar sana. Karena mereka semua adalah monster yang sesungguhnya.
Di detik-detik terakhir hidupnya, zombie eksperimen mengunyah tubuhnya, membunuhnya dengan keji. Lagu Taylor Swift masih mengalun mengisi ruangan bersamaan dengan suara taring yang mengunyah daging dan tulang.
Ooh, look what you made me do
Look what you made me do
Look what you just made me do
Look what you just made me do.
Penulis: RZSecret05
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top