23. Semanggi Empat Daun
Tema: Buronan
Tokoh Utama: RZ
Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga.
Hari ini jam sepuluh pagi. Alih-alih menghirup hasil fotosintesis tumbuhan dan menerima sapaan hangat mentari pagi, Erez duduk di ruangan berbau min dan air conditioner yang menusuk epidermis. Tumpukan buku bidang besar bordir emas menjadi target arah pandang—selain sosok pria hampir kepala empat berambut dan bernetra hitam sama seperti dirinya.
"Tahun ini ada beberapa mata pelajaran yang mandek." Pria itu membuka satu rapor dan menilik deret angka dari salah satu lembar. Rapor milik Erez. "Stabil yang saya maksud bukan berarti berjalan di tempat, Erez. Setidaknya kamu melangkah walau hanya satu dua angka," jelasnya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari kertas rapor itu.
"Maaf, Pak." Tentu hanya jawaban sederhana yang dapat gadis ini keluarkan.
Rapor diletakkan ke samping kanan. Kini mata lelaki dewasa itu mulai dialihkan pada anak didiknya. Walau hanya sebelah, Erez tetap merasa tatapan dari pupil jelaga itu menyelisik intens seakan banyak jarum mengelilingi tubuhnya yang siap melesat saat mata itu berkedip.
"Gak perlu minta maaf sama saya. Kamu tau sendiri akademi ini unggulan seluruh pulau, dan kamu salah satu siswa yang mendapatkan darmasiswa dari menteri." Erez hanya mendengarkan, masih enggan mengangkat kepala untuk beradu tatap barang sejenak. Lama sekali jeda bicara pria itu, mungkin dia sadar yang lebih muda merasa terintimidasi.
"Saya peduli padamu sebagai wali kelas, sekaligus wali murid." Sebuah amplop disodorkan di depan wajah Erez, ditiliknya dengan seksama. Kertas embos krem dengan simbol semanggi tiga daun berwarna biru ditepinya. Mata Erez membola saat kini amplop itu dalam genggamannya.
"Pak Sasuke, ini seriusan?" tanya Erez masih tidak percaya.
Sasuke tidak mengangguk atau tersenyum, dia hanya mengedipkan matanya sekali sebagai respons validitas. "Silakan berlibur. Sampai jumpa semester depan."
Erez melepaskan senyumnya leluasa, dia terkekeh senang tentu saja. Agak kaku bangkit dari tempat duduknya dan membungkuk kikuk tiga kali sebagai tanda terimakasih. "Saya pastikan semester depan nilainya akan naik," ungkapnya penuh harapan. Kali ini dibalas anggukan oleh pria itu. "Kalau begitu, saya izin pamit, Pak. Selamat berlibur."
"Erez," panggil Sasuke tepat saat gadis itu membuka pintu ruangannya, hendak pergi. "Pastikan juga selama liburan kamu gak buat masalah." Kalimat itu sekilas terdengar sederhana, layaknya pesan wali kelas pada umumnya. Tetapi entah mengapa Erez menyadari ada penekanan sekaligus peringatan dalam intonasi penyampaiannya.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Erez hanya mengangguk paham. Tepat setelah kakinya keluar dari ambang pintu, napas panjang nan berat dikeluarkan. Diam-diam, dalam langkahnya menuju asrama dia berdoa semoga tidak melakukan hal konyol yang merugikan setelah ini.
.
"Iya, Ma. Paketnya sudah sampai."
Suara teman sekamarnya terdengar jelas saat Erez membuka pintu kamar. Gadis surai pirang sedang membongkar beberapa kotak kardus dengan sebelah tangan—karena sambil menelpon. Erez melangkah masuk, tidak sengaja menendang sesuatu, sebuah—tidak, beberapa kotak dan keranjang buah di dekat pintu yang dia yakin itu semua bukan miliknya.
Temannya menoleh padanya. Erez meringis, spontan meminta maaf dengan gestur tubuh dan sarat mata.
"Oke, nanti kalau ada apa-apa Haru telepon. Love you too, Ma. Daaah." Dengan begitu teman sekamarnya mengakhiri sesi telepon dan berhenti dari kegiatan bongkar membongkar. Dia duduk di pinggir ranjangnya.
"Apa kata Pak Sasuke?"
Erez mengangkat surat yang telah dibukanya dari amplop tadi. "Aku diizinkan liburan," jawabnya dengan senyum. Lawan bicara mengangguk dan tersenyum pula, ikut senang mendapat kabar baik dari temannya.
"Tapi gak mungkin beliau gak memberimu petuah, 'kan?"
Senyum bahagia Erez berubah menjadi kecut. Entah sudah berapa kali dia menghela napas hari ini. "Beliau berpesan jangan buat masalah," cicit Erez. Dia mengangkat bahunya sebelum lanjut menjelaskan, "iya, memang salahku terlambat masuk kelas pada saat ujian. Tapi 'kan bukan salahku kalau dia tidur nyenyak di pahaku."
"Kamu bisa singkirkan dia dan cabut ke kelas."
"Dia hamil, Haru!"
"Kucing hamil yang sedang tidur lebih penting daripada ujian akhirmu?"
Nada tinggi Haru menyatakan nkekalahan Erez. Ini bukan berdebat, Erez hanya sedang membela diri, tetapi gagal. "Maaf. Suasana di taman juga sangat mendukung waktu itu."
Haru memijit batang hidungnya penat. "Lain kali jangan gitu. Kamu beruntung guru pengawasnya Pak Sasuke," pesan Haru. Erez terkekeh, tanda membenarkan. "Bukan tentang lambat masuk kelas aja. Tapi semua hal. Aku bingung, ternyata kamu itu bisa nakal juga ya." Kini Haru kembali dengan kegiatannya. Mengeluarkan barang-barang kiriman Mama dan menyusun beberapa di atas meja.
Erez mendekati meja belajar mereka. "Maaf. Kesan pertamamu samaku gak sesuai ekspetasi," gumam Erez serius saat mengangkat kotak plastik makanan dari meja, milik Haru.
Dia menelisik isi kotak itu intens. Sembari kepalanya menerawang deret kejadian tempo lalu yang dirasa nakal, ternyata ... tidak ada. Maksudnya, tidak ada tindakan nakal ala berandal yang dia lakukan—kalau kamu berasumsi Erez itu anak badung. Dia hanya kadang lalai dan di cap 'acuh tak acuh', karena Erez sekarang tidak serajin dulu. Apakah anak yang tidak bisa rajin lagi akan dianggap anak nakal?
_Padahal dari dulu aku juga gak sebaik yang orang-orang kira._
"Kenapa? Kalau kamu mau, cicip aja." Haru menawarkan.
Erez menggeleng kecil. "Aku gak terlalu suka durian, dan kenapa Mamamu suka banget mengirimi ini ... aku lupa, apa namanya?"
"Tempoyak."
"Nah, iya. Palmbank memang pulau yang khas perkebunan dan perternakan ya," jelas Erez salah tingkah. Dia khawatir gadis campuran Rusia di depannya itu tersinggung. Namun, dia sungguhan memuji. Setiap paket kiriman Mama Haru tidak jauh-jauh dari buah-buahan segar dan susu berbotol-botol. Mengingat Haru itu anak yang pola makannya clean eating , jadi menu makannya wajib ada buah dan susu.
"Entah. Mama selalu mengirim semua makanan yang beliau suka juga." Haru berjalan ke arah pintu untuk mengangkat beberapa kotak di sana. "Jadi kapan kamu pulang ke Bind-UG?"
"Aku setiap liburan ke Dheunder. Keluargaku sekarang di sana." Kini Haru yang merasa tidak enak, gadis itu pun tidak ahli mencari atau mengubah topik. Alhasil suasana senyap sebentar. "Kamu juga gak pulang lagi ya?" Pertanyaan Erez keluar kala dia melihat amplop sejenis di samping bantal Haru. Tentu saja gadis itu sudah lebih dulu mendapat amplop gembira, tetapi tidak segembira itu baginya.
Erez tidak mengharap Haru menjawab, karena dia sudah tahu jawabannya. Haru hanya menggeleng, respons dia tidak ingin ditanyai soal itu lebih jauh.
"Berangkat besok?"
"Siang ini."
"Oh. Oke."
Erez menimang-nimang kalimat ajakan yang hendak dia keluarkan. Tanyakan atau ... tanyakan saja, "mau ikut aku?"
"Huh?" Tentu ini aneh. Erez jarang mengajak siapapun—termasuk Haru yang notabene teman sekamar—pergi atau ikut dalam agendanya. Erez terbiasa sedirian. Jadi mendengar ajakan mendadak itu, sudah pasti Haru bingung. "Makasih. Tapi aku sama sekali belum pernah ke kota Dheunder. Katanya di sana—"
"Kamu gak akan bisa menilai kalau gak kenal." Erez menyelak. "Daripada kamu di kamar mulu. Berkutat dengan laptopmu dan lorong sepi asrama pasti membosankan, 'kan?"
Berpikir sejenak, akhirnya Haru mengiyakan. Dia mulai mengemasi kembali sebagian buah yang baru saja dia keluarkan. "Ini oleh-oleh untuk keluargamu nanti," ujar Haru saat dia menyadari Erez ingin bertanya. "Stroberinya aku lebihkan ya. Mama bawanya banyak banget. Kurasa lagi panen di sana."
Erez mengangkat ujung bibirnya. "Kamu bakal disambut baik nanti."
"Oh, ya?"
"Setidaknya oleh satu orang."
.
Lima menit lagi kereta api yang hendak mereka naiki tiba. Para calon penumpang berbaris di dalam garis batas dengan barang bawaan masing-masing. Ular besi putih gradasi biru itu berhenti di depan mereka, katup pintu terbuka lebar otomatis. Saat pintu tertutup dan gerbong mulai sedikit bergoyang, pertanda kereta sudah jalan.
Butuh setidaknya tiga jam perjalanan dengan kereta api dari pusat kota Aloftia ke pinggir kota. Setelahnya pun mereka harus menyambung naik taksi sekitar satu jam lebih untuk ke perbatasan. Keduanya tidak berkomentar banyak, hanya menikmati saja—terutama Haru yang baru pertama keluar kamar saat liburan semester.
"Ternyata pinggir kota Aloftia juga ada bangunan kuno dan gelap seperti ini ya," ucap Haru. Erez mengiyakan.
Sejak tadi mereka memperhatikan luar jendela. Tidak ada gedung-gedung putih keemasan dengan atap limas nan runcing seperti di pusat kota. Jalan yang mereka lewati juga tidak bisa dikatakan aspal, hanya permukaan tanah yang padat dan keras berwarna abu-abu. Ada beberapa toko yang menggunakan kanopi dan menjejerkan dagangannya di trotoar. Orang-orang banyak berjalan kaki, bahkan jalur motor dan sepeda disamakan. Tong sampah sangat jelas terlihat di mana-mana dan... delman? Cukup banyak perbedaan walau tidak terlalu signifikan.
"Mungkin karena aku gak pernah ke daerah pinggir banget gini. Ini seperti sisi lain Aloftia."
Diam-diam Erez membantin, kalau ini aja kamu bilang sisi lain, bagaimana nanti Dheunder?
"Wajar kalau kamu bilang begitu, Nak. Pinggir kota ini bagai penghubung antara Aloftia dan Dheunder." Suara sopir taksi menimbrung. "Tapi tenang aja, ini belum seburuk Dheunder. Kalian lihat banyak petugas keamanan yang patroli, 'kan? Apalagi sekarang lagi marak pencurian. Lihat, spanduknya di mana-mana."
Sopir itu mengarahkan telunjuknya ke jendela depan, menuntun arah pandang Erez dan Haru. Tampak beberapa polisi berseragam biru gelap dengan simbol semanggi biru tiga daun berpatroli dan memberhentikan beberapa orang di jalan. Seratus meter sejak keluar dari gapura pusat kota saja mereka melihat spanduk provokatif tentang para kriminal yang sedang jadi buronan polisi. Sebenarnya dari Aloftia sendiri, videotron sepuluh detik menampilkan sindiran halus tentang para buronan, hanya saja kebencian dan antisipasi itu lebih terasa di pinggir kota ini.
"Kalian sudah enak-enak tinggal di pusat, malah minta diantar ke daerah sini."
"Kami diturunkan di dekat jembatan itu aja ya, Pak." Erez enggan menanggapi si sopir.
Setelah membayar dan turun dari taksi, keduanya berjalan menyeret koper dan barang bawaan di sisi jalan. Sekarang, udara yang mereka hirup agak berbeda dari pusat Aloftia. Erez sudah biasa, tetapi tidak dengan Haru. Apalagi di samping kanan mereka ada sungai yang entah di mana hulunya dan bermuara di tembok besar geronggang, yang di duga Haru adalah Dheunder.
'Lebih cocok dikatakan selokan sih,' batin Haru memperbaiki hipotesisnya tentang sungai keruh itu.
"Rumah kepala mentor baru kemarin kemalingan."
"Gak heran! Lumbung sorgum yang pekan lalu dibobol aja tadi malam dibobol lagi."
"Dengar-dengar mereka bukan cuma seorang ya?"
"Bahkan ada anggapan mereka pemakai dan pengedar."
"Siapa pun mereka, aku yakin pelakunya dari Dheunder. Memangnya dari mana lagi kriminalitas kalau gak dari kota kumuh itu?"
"Biarkan aja." Erez menyadari ketidaknyamanan Haru akan sekumpulan penggosip yang melewati mereka barusan.
"Apa semua itu benar?"
Mereka bertatapan intens, seolah berperang batin dalam tatapan itu. "Kenapa? Kamu mau pulang saat kita sudah sejengkal lagi sampai tujuan?"
Haru terkekeh dengan sindiran Erez. Dia tidak peduli kalau harus pulang detik ini juga dan kembali menikmati perjalanan membosankan berjam-jam untuk balik ke asrama. Ongkosnya pun cukup. Hanya saja, apa-apaan kalimat Erez itu? Tantangan yang menarik. Haru perlu tahu seberapa buruk kota Dheunder. Kota bawah tanah yang konon katanya buangan, tempat para bandit, kumpulan orang gila dan sudah dijanjikan akan dileyapkan. Banyak literasi dan pengajar dari pusat Aloftia mengatakan kejelekan Dheunder.
Tapi surat misterius yang Haru dapatkan sepekan lalu tidak sedikit pun mengatakan demikian. Justru surat itu menyamaratakan semua wilayah pulau. Jadi wajar saja kalau Haru tertarik untuk cari tahu sendiri, 'kan?
Haru melanjutkan langkahnya, meninggalkan Erez di belakang. Haru yang memimpin jalan—walaupun gadis itu pemula dalam hal ini. Erez menoleh ke arah spanduk besar yang bertulis kecaman untuk para buronan. Tadi juga dia sempat mendengar beberapa polisi mengambil taruhan untuk menangkap mereka.
"Hai." Suara wanita, sosoknya berkacamata dengan masker putih menyodorkan amplop di depan Erez. "Ini punya kamu ya? Tadi aku lihat jatuh di jalan," jelas wanita itu.
Erez mengernyitkan dahi. Dia tidak membuka tas sejak tadi. Tidak pula membawa benda perintilan seperti amplop—miliknya tentang pemberitahuan libur saja di letakkan di meja belajar kamarnya. Lantas, apa maksud wanita ini?
Alih-alih menolak, tangan Erez terulur meraih amplop yang tidak asing baginya itu. Amplop yang sepertinya pernah dia dapatkan sebelumnya.
"Oh. Makasih," balas Erez. Namun, wanita itu tidak langsung pergi. Hanya diam menatapnya. Dua pasang mata hitam dan biru laut beradu cukup lama. Sampai,
"Erez, cepatlah! Aku gak tau jalannya."
Erez terpaksa memutus kontak mata dan memberi gestur pamit pergi menemui Haru.
.
Haru ingin mengadu pada Tuhan, memohon ampun atas segala dosa-dosanya.
Setidaknya satu kalimat itu yang bisa Erez simpulkan tentang ekspresi dan bahasa tubuh Haru sepanjang jalan mereka ke rumah Erez. Tentu tempat yang mereka tapaki saat ini lebih buruk dari pinggir kota Aloftia.
Barang rongsokan dan sampah di mana-mana. Lumut sudah jadi tanaman wajib dilihat mata. Oksigen yang buruk, ditambah bau pesing dan oli. Sinar matahari pun tidak mencapai permukaan padahal masih jelang sore hari. Orang-orang menatap aneh, padahal tampilan berandal dan wajah mengerikan mereka jauh lebih aneh!
Yang paling membuat gadis pirang kulit putih mencolok itu meringis miris adalah saat melihat tikus seukuran kucing bertengger di nampan toko makanan, dan diberi makan oleh salah satu pelanggan.
Dan ternyata pelanggannya kenalan Erez.
"Sekali lagi, selamat datang!" Gadis berambut cokelat merentangkan tangannya saat membuka pintu kayu. Netra hijau itu berbinar, sekali lagi memeluk Erez sebelum gadis rambut hitam masuk dan meletakkan barang-barang. Sementara saat si gadis eksentrik hendak memeluk gadis pirang—sebagai bentuk salamnya, Haru mundur selangkah. Mereka pun hanya berjabat tangan setelahnya.
"Baba ke mana, Qil?" Erez membuka obrolan saat dilihat tidak ada sosok orang dewasa yang biasa mengurus rumah.
Lawan bicara mengendikkan bahu. "Tadi pagi Baba pamit pergi. Qila pikir sudah pulang, ternyata belum."
"Dari pagi? Makanya tadi kamu makan di luar?"
"Loh, memangnya sekarang sudah gak pagi lagi?"
"Sekarang sudah sore." Haru buka mulut. Dia mengangkat arlojinya. "Sudah jam setengah enam," lanjutnya.
Qila mendekat untuk melihat jam tangan Haru. Dia mengangguk-angguk mengerti, walaupun gadis itu sebenarnya tidak pandai membacanya. "Tadi langitnya masih agak gelap saat Qila manjat keluar. Jadi kirain masih pagi."
Haru melempar pandangannya ke Erez, seolah bertanya, 'gadis ini benar-benar kenalanmu?'
"Dia dan kakaknya adalah keluargaku satu-satunya," jawab Erez simpel.
Haru kembali melihat Qila yang air mukanya tampak puas sekaligus terenyuh mendengar ungkapan Erez. Mata kuning terang gadis darah Rusia itu memperhatikan Erez dan Qila yang mengobrol dekat. Entah apa yang mereka bicarakan—mungkin sekadar sapa temu, tetapi bagi Haru keduanya cocok. Erez belum pernah seleluasa itu berbicara dan tertawa, bahkan dia juga menerima sentuhan fisik dari si gadis eksentrik.
Kini Haru percaya mereka keluarga.
"Itu semua dari Haru." Erez menunjuk dengan alisnya. Qila yang memegang kotak stroberi dengan mulut menganga dan senyum yang perlahan mengembang itu berlari ke arah Haru lantas memeluknya, tidak peduli kalau Haru keberatan.
Dan anehnya Haru tidak lagi keberatan.
"Oh, kamu suka stroberi?" tanya Haru.
"Banget! Makasih, Haru!" Pundak gadis pirang ditepuk sekali oleh gadis kulit sawo matang yang sedang mengunyah stroberi—hei, buah itu belum dicuci! "Senang deh punya teman keturunan Rusia dari Palmbank," sambungnya lagi.
Mata Haru membola. "Semudah itu?" gumam Haru tidak percaya tentang klaim 'teman' yang dilantangkan tanpa ragu dari gadis penerima bingkisannya dipertemuan pertama mereka. Dia terkesan seperti sedang menyogok. "Jadi ini satu orang yang akan menyambutku dengan baik katamu tadi?"
Erez mengangguk dan Qila langsung pergi membereskan barang bawaan mereka. Jika diperhatikan lagi, Qila tidak seburuk itu untuk tinggal di tempat buruk. Maksudnya, kesan pertama Haru tentangnya yang dianggap tidak normal—karena keabnormalannya cocok dengan tempat ini—ternyata tidak sepenuhnya benar. Dia justru tidak cocok tinggal di sini.
Wajah Qila termasuk yang paling baik-baik saja daripada beberapa manusia yang Haru temui di Dheunder ini—walaupun tidak tahu ke depannya mungkin ada beberapa yang mirip Qila. Namun, sungguh gadis itu terlihat normal—bukan untuk Haru dan standar Aloftia, tetapi untuk Dheunder yang abnormal.
Mudahnya, Qila seperti anomali. Jadi secara tidak langsung, dia tidak cocok berada di Dheunder maupun Aloftia.
"Dia sudah kuajak untuk sekolah di Aloftia, tapi menolak." Erez bersuara lagi seolah tahu isi pikiran Haru. "Padahal dia penduduk asli Medrania."
"Bukannya warga asli suatu pulau itu punya akses cepat ke Aloftia? Sayang sekali gak digunakannya."
"Aku juga bingung."
"Aku penasaran, apa kamu cerita tentangku padanya?" tanya Haru mendadak.
"Enggak. Kenapa? Kamu kaget dia tiba-tiba tahu identitas pendudukmu?" Haru terdiam mendengar jawaban Erez, dihadiahi senyuman jemawa dari si gadis surai hitam jelaga. "Lihat, 'kan? Dia itu cerdas sebenarnya. Walaupun agak aneh."
Obrolan mereka berakhir saat kakak laki-laki Qila pulang. Dua gadis yang baru tiba disibukkan untuk bersih-bersih karena sebentar lagi mereka akan makan malam.
.
Atau tidak? Makan malam yang dimaksud adalah makan roti dan menu sembarang apa adanya. Tidak heran kalau Qila makan di luar bersama tikus bongsor menjadi hal biasa di Dheunder.
Haru tidak peduli lagi. Otaknya butuh istirahat, begitu pula tubuhnya. Untung dia membawa selimut dari asrama, sehingga tidak bingung saat hendak tidur di kasur mirip kap mobil ini. Dalam doa tidurnya Haru berjanji tidak akan menceritakan pengalaman mengerikan liburannya pada Mama, dia tidak siap kalau Mamanya yang alay itu menangis darah dan meraung-raung sedih akan nasib anaknya.
Sementara Erez, gadis itu merasa bersalah mengajak temannya yang kalau kata Qila, 'anak elite ikut merasakan kemelaratan.' Namun, dia juga setuju dengan ungkapan Qila, 'padahal kalau dia sendirian di kamar saat liburan itu jauh lebih melarat.'
"Kabar bapakmu baik?" Qila mengeluarkan pertanyaan. Sudah malam hari, jam sembilan. Sejak Haru tidur mereka pergi ke atap untuk mengobrol, seperti malam-malam biasanya tiap mereka bersama. Kakak Qila juga keluar lagi entah ke mana, dan adiknya ini malah betah di rumah saat Erez pulang.
"Maksudmu Pak Sasuke?" tanya Erez memastikan. Qila mengangguk. "Tampak baik-baik aja, dan beliau guruku. Berhenti menyamakan kami layaknya bapak-anak."
"Oh, iya. Karena bapak aslimu sudah meninggal." Erez benar-benar paham dengan kebiasaan terus terang Qila, sungguh. Hanya saja, dia agak kaget karena sudah lama tidak berbicara dengan gadis nyentrik ini. "Tapi kalian mirip. Walaupun tampilan beliau kayak jamet, Qila lebih senang beliau jadi walimu daripada Baba."
"Memangnya kenapa kalau Baba?"
"Baba aja menelantarkan Qila, apalagi kamu. Mungkin kamu sudah dijualnya."
Erez tertawa gelak sampai bahunya naik turun. Dia menyeka air diujung mata saat selesai dengan kegeliannya. Qila bukan sedang melucu, dia tahu. Justru gadis itu memaparkan kenyataan. Kakak Qila jarang pulang ke rumah dan bukan tipikal lelaki banyak bicara, hanya sibuk dengan urusan bengkel, taruhan barang, atau kegiatan semacamnya. Namun, dia tetap menyisahkan uang logam, makanan atau bahkan barang-barang fungsional saat pulang.
"Terus, kabarmu di Aloftia baik?"
Erez melempar sampah jeruk ke atap tetangga sembarangan. Dia mengambil napas dan mendongak, menatap langit Dheunder yang bukan seperti langit favoritnya di Aloftia. Alih-alih melihat bentang cakrawala dengan awan dan taburan bintang, Erez hanya mendapati tanah, seng berkarat dan kayu-kayu lapuk bertumpuk.
"Langit di sana cantik," jawab Erez secara tidak langsung membuat lawan bicaranya ikut mendongak. "Udaranya juga bagus, Qil." Erez menambahi, air mukanya perlahan menjadi sendu.
"Jadi Erez gak gampang sakit ya? Syukurlah. Tapi bukan berarti kamu boleh malas minum obat ya! Sekali pun akses kesehatan dekat, pasti biayanya mahal." Erez mengganti arah pandangnya. Dia melihat tangan Qila yang daritadi tidak tenang. "Semisal kamu punya masalah, Qila juga gak bisa bantu. Jadi jangan aneh-aneh. Bilang juga sama Pak Sasuke, Qila berharap banyak supaya beliau merawat Erez dengan baik."
"Qil." Tangan yang sedang bermain kuku itu digenggam. Qila memang berisik, dan suaranya keras sekali. Tetapi sekarang entah kenapa kata-kata darinya memiliki banyak arti yang harus Erez jabarkan satu-satu untuk mengerti, dan suaranya juga melemah. "Aku baik-baik aja. Makasih, ya. Kamu sendiri juga jangan aneh-aneh di sini."
"Kenapa? Kamu takut Qila ditangkap terus dihukum mati ya?"
Tuhan, Erez memang terbiasa dengan kejujuran Qila tetapi tidak dengan cara jujurnya yang satu ini.
Tepat tanpa basa basi gadis itu membalas ungkapan Erez telak. Pupil hitam jelaga yang pertama kali membuang muka, kalah beradu tatap dengan mata hijau itu. Satu tarikan napas diambilnya sebelum kembali berbicara. "Spanduk tentang kamu tersebar di mana-mana. Kamu jadi buronan polisi," jelas Erez to the point.
"Seolah mereka bisa. Lagi pula bukan cuma Qila kok."
"Qil, beberapa dari mereka taruhan untuk menangkap kalian."
"Duh, berarti harus dikurangi mainnya. Jangan terlalu sering."
Erez berdecak. "Jadi yang kemarin malam maling lumbung sorgum itu kamu?"
"Rez, semiskin apapun kondisinya kalau maling sorgum juga gak seberapa. Pola pikirmu sudah mirip mereka ya sekarang? Semua borok di pulau ini, pasti ditumpahkan ke Dheunder." Qila berdiri. Alis tipisnya menukik tajam, ekspresi wajahnya tidak senang. "Karena kamu sudah di Aloftia selama dua tahun, kamu lupa kalau kita pernah melakukan tindak kriminal yang sama. Apa para pendoktrin itu mengatakan kalau kriminalitas dari pihak Aloftia adalah wajar dan bebas hukum?"
Erez ingin mengatakan yang sejujurnya. Dia benci Qila. Dia benci cara Qila mengungkapkan fakta dan perasaannya dengan gamblang tanpa harus ditahan, tidak seperti dirinya. Dia benci cara Qila menamparnya dengan verbal dan ekspresi marah yang kentara, tidak seperti dirinya.
Dari dulu, saat mereka pertama kali bertemu sebagai budak, yang dikumpulkan dalam satu rumah penampungan—kalau istilah beradabnya panti asuhan, Qila adalah anak yang tanpa berat hati menjelaskan tentang latar belakangnya. 'Orangtua Qila berpisah, terus Qila dan Baba dibuang.' Dengan ekspresi tenang saat memegang boneka beruang kumal kala itu. Mudah pula dia mendekati Erez yang tidak memiliki siapa pun, lantas membagikan bonekanya dengan,
'Kamu anak yatim, 'kan? Ini, Qila pinjamkan.'
Kalimat sapaan tidak wajar kepada teman itu, adalah kali pertama Erez membencinya—yang ini sungguhan. Erez marah dan menjauhi bocah aneh asal Medrania itu. Semisal dia ingin memaki, dia bisa saja mengatakan Qila alien—karena berkulit gelap dan bermata terang, walaupun dia tidak tahu rupa alien sesungguhnya bagaimana—tetapi berusaha ditahannya. Bahkan sampai urusan perut Erez pernah hampir mati kelaparan atau karena alergi beberapa jenis makanan panti, Qila yang dengan lantang protes dan marah-marah dengan pengurus. Berakhir gadis itu selalu kena hukum dan dijuluki berandalan.
Namun, tahu yang lebih aneh lagi? Dia bahkan tidak membenci siapa pun setelah itu. Termasuk Erez, Babanya, orangtuanya, dan pengurus panti yang pernah melecehkannya.
Erez yang mengusung ide untuk kabur dari panti, hanya mereka bedua. Hidup luntang-lantung sampai pada akhirnya disuruh bekerja sebagai perakit oleh nenek pemilik bengkel dengan gaji kebutuhan primer terpenuhi. Lebih tepatnya, Qila yang ahli urusan itu. Erez hanya membantu sedikit, karena dia lebih tertarik dengan buku dan alkemis.
Apa yang kalian harapkan dari kehidupan dua anak malang ini? Jika pendidikan dan pangan saja mereka susah, dari mana pula mereka belajar tata krama?
Suatu hari nenek merasa tokonya akan gulung tikar, dia mengecam Erez dan Qila untuk cari penghasilan sendiri. Anak pintar seperti mereka memikirkan pencurian sebagai jalan instan untuk hidup, ditambah kala itu mereka juga penasaran dengan dunia luar yang dideskripsikan warga Dheunder bak surga dunia; tempat teragung diantara semua pulau, Aloftia.
Mereka berdualah pelaku kriminal muda pertama di Dheunder.
Mereka mencuri ke rumah-rumah saudagar kaya saat malam hari. Mulai dari uang, logam mulia dan alat fungsional yang dikira punya daya jual. Seringkali mereka melakukan pencurian, dan beruntungnya tidak pernah ketahuan. Keduanya menganggap tindak pencurian itu sebagai rutinitas, sampai Qila bisa merakit teknologi robotiknya dan Erez menyelesaikan karya tulis ilmiah yang iseng dikirimkan ke Aloftia, kemudian lulus seleksi.
Dari sana awal mula Erez mulai fokus belajar dan mengurangi intensitas bermainnya dengan Qila. Dia harus pergi sendirian ke Aloftia untuk melanjutkan studi, dan meninggalkan gadis idealis yang sangat membenci kota Aloftia itu.
"Qila pastikan namamu gak akan terucap kalau tertangkap nanti. Tenang aja." Suara Qila membuyarkan lamunan Erez. Gadis itu bersiap mengambil langkah untuk meninggalkan atap tempat diskusi mereka. "Tapi kalau Qila akhirnya ditangkap atas nama kamu...," Kalimat itu digantung lama, membuat Erez ikut bangkit dari duduknya dan menatap punggung temannya itu. "...gak masalah sih. Berarti cara main kamu sudah paling keren."
Mata hijau itu mengilap, tersirat pancar ambisius sekaligus mengancam. Hanya lima detik beradu tatap, kemudian gadis itu berjalan menjauh.
"Sekadar informasi, malam ini Qila mau main. Ini ajakan terbuka loh ya!"
Erez memutuskan kehendaknya detik itu juga.
.
Jam setengah sebelas malam. Erez kini berada di ruangan berbau oli dan karat. Sejak tadi suara berisik besi ditempa dan percik api las yang mengisi suasana. Tentu pelakunya si gadis eksentrik, dan seorang pemuda yang wajahnya samar-samar dalam ingatan Erez.
Iya, Erez memutuskan untuk ikut 'bermain' malam ini.
"Hei! Bisakah kamu berhenti mengganggu orang dewasa bekerja?"
"Siapa yang dewasa? Kamu masih kecil!"
"Setidaknya aku pernah belajar di Aloftia."
"Sejak kapan standar dewasa harus punya pengalaman belajar di sana?"
"Gampang aja. Alumni Aloftia gak pernah manjat toko kelontong buat sekadar lihat langit, keracunan ikan dari selokan dan berteman dengan tikus got."
"Huh? Bentar—"
"Sedangkan aku, bisa merakit Yotsuba."
"Ekhem, kita! Kamu gak bisa melupakan jasa Qila yang mengumpulkan banyak perintilan dari Aloftia demi Yotsuba."
"Oh, makasih deh. Tapi aku belum bisa memaafkanmu soal sepeda waktu itu."
"Kok dibahas lagi sih?!"
"Maaf." Suara Erez menginterupsi perdebatan. Dia sudah berada di depan mesin berbentuk kubus beroda empat. Tubuh mesin itu tampak bercorak; hasil tambal bongkar pasang bermacam lempeng. Layar yang diduga sebagai mata itu sejak tadi melakukan _scanning_ dan memaparkan hasil tangkapan antena kecilnya. "Ini Yotsuba?" tanya Erez menyentuh kepala robot yang agaknya menjadi topik bahasan.
"Iya. Lucu, 'kan?" tanya Qila tak kalah penasaran, padahal dia hampir tiap hari bermain dan melatih Yotsuba. "Rian yang kasih nama."
"Kamu mengolokku ya?"
"Enggak, bocil! Qila justru lagi pamer sama Erez ini."
"Kamu dapat dari mana sih istilah jamet dan bocil begitu?" Erez menyela.
"Dari buku edisi modern. Oh, dari media sosialnya Rian juga! Rian ini bokem." Erez menautkan alis bingung, alhasil Qila meledakkan tawanya tidak sopan. "Bocil kematian! Sederhananya, anak nakal."
"Ya ya, olok terus aku di depan temanmu itu." Qila semakin gelak melihat juniornya merajuk. Tubuh Rian memang lebih bongsor dari dua gadis dalam ruangan itu tetapi tidak bisa berbohong kalau jiwa dan aura mudanya masih terasa, seberapa besar pun usaha Rian menutupinya.
"Oke." Usai dengan kegeliannya, Qila membawa tangan gadis asal Bind-UG itu mendekat ke arah juniornya, menjadikan mereka berhadap-hadapan. "Rian, ini Erez dan Erez, ini Rian. Kita bertiga sekarang resmi menjadi rekan dari tindakan kenakalan remaja!" jelas Qila meriah, mata hijaunya berbinar antusias.
Walau kedua introvert itu tampak risih, percikan bahagia dari spesies ekstrovert di tengah tetap mengenai mereka. Erez mengambil inisiatif angkat tangan dalam senyumnya, disambut cepat oleh Rian dan mereka pun berjabatan. Agak canggung awalnya, tetapi rasa penasaran tentang satu sama lain saat beraksi bersama nanti jauh lebih mendominasi.
"Yotsuba, c'mere." Robot itu berjalan ke arah Rian. Pada layarnya bertuliskan _'Which task do you want me to perform?_ . "Identify yourself." Kurang lebih satu paragraf habis dijelaskan dari layar kecil robot itu dengan _font_ monospace hijau _background_ hitam.
"Keren," puji Erez serius. Katakanlah dia norak, tetapi robot sederhana ini memang luar biasa, dia saja tidak bisa membuatnya.
"Gak sekeren yang di Aloftia, tapi benar kata pepatah." Rian memutar robot itu membelakanginya.
"Seburuk apapun kalau itu buatan sendiri, tetap aja keren," ucap Rian dan Qila serentak. Erez merasakan kemantapan dan optimisme dari kalimat itu.
Iya, aku setuju
"Namanya Yotsuba, stand for Youthful Subordinate Bayonet. Memang gak terlihat seperti benda runcing, tapi dia bawa benda itu dalam tubuhnya," jelas Rian meraih sebuah pisau bayonet dari punggung Yotsuba. Mata Erez masih terpaku dan telinganya menyimak dengan seksama. "Yotsuba ini hasil peningkatan dan kombinasi dari semua robot yang pernah kami buat sebelumnya." Qila diam-diam tersenyum saat Rian _mention_ kata 'kami' tentang proses dan kepemilikan Yotsuba.
"Kami baru meletakkan sensor suara padanya sepekan lalu, jadi belum ada pembaharuan lebih lanjut. Berikutnya Yotsuba akan dibuat bisa berbicara," jelas Qila. Gadis itu menghela napas kemudian, dia berkacak pinggang. "Qila gak tau nanti Yotsuba bakal banyak bantu kita atau enggak. Karena dia belum pernah dibawa keluar."
Rian berdiri, wajahnya kebingungan. "Kita bawa dia?" Qila mengangguk. "Yang benar aja! Kalau nanti menghambat atau malah rusak di tengah misi bagaimana?"
Senyum tipis dari Qila menjadi respons untuk kepanikan Rian. Dia senang Rian selalu serius setiap mereka melakukan pencurian dan mengedepankan keberhasilan misi di atas apapun, tetapi rasanya sakit juga saat mengetahui robot buatan mereka banyak kekurangan—yang langsung dinyatakan oleh sang penempa.
"Aku pikir gak masalah. Dia pintar scanning, 'kan? Siapa tau membawanya keluar bisa menambah isi kepalanya." Erez memutuskan keheningan. Tidak ada respons dari sisa manusia di ruangan itu. Rian dan Qila hanya menatapnya tanpa berkedip. "Maaf, aku gak terlalu paham tentang robot, tapi aku gak masalah kalau dia ikut," sambung Erez jengah.
Rian dan Qila melempar pandang. "Menerima Yotsuba berarti menerima kerjasama tim," ungkap Rian.
Dengan begitu, mereka mulai menerima satu sama lain sebagai tim. Berharap kedepannya keputusan Qila menggabungkan mereka adalah pilihan yang tepat.
.
Mereka bertiga berada dalam gang sempit. Pakaian mereka yang dominan hitam menjadi kamuflase terbaik tengah malam ini. Erez dan Rian memakai hodie dan masker hitam. Sementara Qila menggulung rambutnya dalam topi baret, mengenakan kardigan, sepatu bot dan tote bag hitam, serta kacamata.
"Qil, kenapa pakaianmu mencolok banget?" Erez akhirnya menyatakan keresahan hatinya.
"Seperti orang kaya, 'kan? Qila bakal menyusup diantara mereka." Tanpa peduli Erez yang masih ingin membalas, Qila melengos pergi dan berbaur begitu saja diantara lalu lalang orang-orang.
Sudah tengah malam, tetapi pinggir kota Aloftia ini malah semakin ramai. Lampu dari deret toko masih betah menyala di atas kepala tongkrongan manusia yang pesta minum-minum dan main kartu seperti orang mabuk lupa dunia. Tidak heran kalau suasana seperti ini membawa kemungkinan tindak kriminal.
Target mereka adalah toko butik yang buka seharian penuh pada Sabtu-Minggu. Jaraknya lima meter di seberang sana dari gang mereka saat ini. Jauh hari Rian pernah menyamar menjadi teknisi listrik dan ikut memperbaiki aliran listrik di toko itu. Dia mengganti sekringnya dengan yang sudah dimodif dan diperkirakan akan rusak pagi ini.
"Dia sudah biasa sok akrab, kalau kamu kepikiran tentang Qila," seru Rian tentang kemampuan mimikri rekannya sembari membereskan Yotsuba. Ternyata robot itu bisa dikontrol dengan remot. Perlahan-lahan Yotsuba mengendap, hebatnya tidak ada orang yang sadar—mungkin karena bentuknya seperti tong sampah mini. "Kami pernah sekali, merampok rumah menteri di Aloftia."
Mata Erez mendelik, menuntut penjelasan. "Tenang, kami berhasil. Lihat sekarang? Tidak tertangkap."
"Belum," koreksi Erez.
Rian tertawa, dia masih fokus dengan kamera pada remot kontrolnya. "Tapi gadis itu memang gila sih. Dia gak ada takutnya. Kalau aku sih, takut. Dia juga janji gak akan menyeretku soal apapun. Aku bertaruh, semisal dia ketangkap, pasti gak akan lama." Rian mengangkat kepalanya sebentar untuk melihat sepasang manik hitam milik lawan bicaranya. "Kita punya orang dalam ... ya, 'kan?"
Intonasi dan tatapan itu persis dengan milik Qila ketika di atap beberapa jam lalu. Mereka ini teman, tetapi fisiknya mirip. Rambut cokelat, mata terang—milik Rian cokelat karamel, dan kulit gelap—walau lebih gelap Qila. Sekilas bagi Erez mereka seperti saudara jauh. Satu sisi Erez bersyukur ada yang menemani Qila selama dia di Aloftia, tetapi sisi lain, entah mengapa ada sesuatu yang tidak asing tentang Rian.
"Lima menit lagi listrik toko itu akan padam," seru Rian memberikan informasi. Erez paham, dia bersiap dengan bom asap dan gas tidur dalam ranselnya.
"Rian, kamu kenal komunitas FLC?" Tangan Rian berhenti mengotak-atik mainannya. Erez berasumsi diamnya Rian sebab kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba Erez, atau Rian mengetahui sesuatu. "Aku lihat liontin gelang yang kamu pakai. Bentuk semanggi hijau empat daun."
Rian kini melihat pergelangan tangan kirinya sendiri. Menyadari itu, Erez menarik lengan si pemuda hingga tampak gelang yang dimaksud.
"Four-Leaf Clover. Kamu salah satu anggotanya?" tanya Erez. Rian masih diam, dia menarik kembali lengannya. "Kamu tau, 'kan? Bahwa seluruh pulau punya peraturan mutlak untuk memakai simbol semanggi tiga daun sesuai warna ikonik masing-masing pulau. Kalau ada yang berani mengklaim simbol itu atau mengubahnya dan digunakan tanpa persetujuan raja, hukumannya berat."
"Erez, fokus ke misinya."
Erez tidak peduli, dia melanjutkan, "tapi tahun lalu aku dapat amplop dengan simbol liontinmu. Isinya surat ajakan bergabung dengan komunitas mereka. Saat ke sini kemarin pun, aku masih mendapatkan surat yang isinya sama. Siapa FLC ini sebenarnya? Mereka seenaknya menciptakan simbol mirip dengan otoritas raja."
"Mereka—"
"Teroris?"
Satu kata menyebalkan yang berhasil membuat isi kepala Rian mendidih. Pemuda itu tahu gadis di depannya adalah teman masa kecil Qila. Dia juga sadar ini pertemuan pertama, mereka satu tim, dan harus membuat kesan baik. Namun,
"Kamu menuding begitu...,
Dan bila manusia memegang kuasa, ia berjalan di bumi untuk berbuat kerusakan di atasnya.
"... gak sadar sedang apa sekarang?"
Jantung Erez berpacu kuat sampai ia dapat mendengar jelas degupnya. Lidah terasa kelu dan tenggorokan tercekat ludah hasil ungkap katanya barusan.
Belum sempat membalas Rian, listrik toko butik padam. Rian kembali fokus pada kamera kontrolnya guna menepikan Yotsuba ke sisi kaca pameran toko. Sementara Erez berlari kecil, cepat-cepat keluar gang sambil menjatuhkan tabung-tabung yang meledakkan asap dan gas.
Tudung hodie diturunkan. Dengan masker hitam ditambah sarung tangan dan ransel yang resletingnya terbuka, Erez yang paham letak kasir langsung menerobos masuk ke toko butik itu. Baru satu langkah melewati ambang pintu, dirinya disambut oleh bau amis dan tote bag besar yang dilempar ke tubuhnya.
"RZ, get outta here!"
Bagai disihir, kalimat itu memerintahkan otak Erez untuk membawa tubuhnya keluar bersama tas selempang dalam pelukannya. Dia menjatuhkan beberapa bom asap dan menyudut ke gang di sisi toko.
Listrik kembali menyala dan disaat yang sama teriakan melengking seorang wanita berdengung, sanksi berasal dari dalam toko.
Erez membatu. Dia masih memeluk tas besar tadi sembari mengatur napas yang putus-putus. Kepalanya masih mencerna kejadian barusan, dan teriakan orang-orang tentang,
"Seseorang dibunuh!"
Erez kesusahan menelan napasnya sendiri saat dia melihat ekspresi Rian di seberang sana linglung, panik, kesal, sedih—ekspresi bocah umur lima belas itu amburadul, persis dengan perasaan Erez saat ini.
Karena Qila masih di dalam toko itu.
.
Rian meneriakinya pertanyaan yang sama sejak mereka turun ke Dheunder melewati gorong-gorong beton. Kini mereka berada di ruang bengkel markas pertama sebelum berangkat.
"Erez, demi Tuhan. Kalau terjadi sesuatu pada Qila—"
"Kamu pikir aku tau dia kenapa?! Sudah kubilang pasti suatu hari ada saatnya kita mengalami ini."
Rian menggenggam erat kedua bahu rekan barunya. Mata cokelatnya berkilat tanda marah. "Gak perlu bohong. Ini bukan sekadar tertangkap, 'kan? Aku dengar teriakan dari toko itu dan...," Rian menggeleng kepala pelan bersamaan cengkramannya menguat. Tidak seinci pun pandangannya beralih dari Erez. "... kamu dengar mereka bilang apa? Pembunuhan."
"Gak mungkin Qila membunuh, Rian."
"Tapi mungkin dia yang dibunuh!"
Bangunan petak berdinding setengah beton dengan tumpukan kayu dan seng itu senyap. Skenario terburuk dalam kepala mereka berdua berhasil membungkam mulut, menghentikan aksi saling tuding.
Di kaki Erez terdapat Yotsuba dan tas selempang besar yang dibongkar tepat saat masuk ke bengkel ini. Isinya lembaran merah bernilai tukar serta pakaian yang Qila kenakan tadi: topi baret, kardigan, sarung tangan dan kacamata.
"Itu tas yang dia pakai tadi," ucap Rian.
"Tepat saat tas ini dilempar ke arahku, seseorang berteriak menyuruhku segera pergi," balas Erez berjongkok dan mengutipi barang-barang di dalam tas itu. Erez menautkan kedua alisnya. "Itu bukan suara Qila karena dia memanggilku RZ, bukan Erez."
Erez menatap pergelangan tangan kiri Rian, dan melemparkan pandangan pada empunya. "Itu nama yang kutuliskan dalam surat FLC setahun lalu. Saat membalas ajakan mereka."
"Rian, bisa kamu ceritakan tentang FLC—"
"Erez." Pintu besi reot ruangan itu bergeser, menampakkan pemilik suara yang memanggil empunya nama.
Dia Haru, masih dengan pakaian tidurnya. Haru terbangun dari jam tiga dini hari dan tidak menemui siapa pun dalam rumah, sebab itu dia keluar untuk mencari Erez. Dengan segenap keberanian diantara lampu remang-remang dia meraba arah tujuan, sampai bertemu Erez dan seorang pemuda keluar dari gorong-gorong kemudian pergi ke sisi toko kelontong. Haru tanpa sengaja menguping pembicaraan Erez dan pemuda bernama Rian itu sampai mereka selesai bertengkar.
"Orang Aloftia lainnya, huh?" Haru tidak senang dengan kalimat sapaan Rian. Dia menghadap kepada pemuda itu.
"Aku gak menyangka alumni Aloftia yang tinggal di Dheunder bisa congkak. Aku pernah melihatmu setahun di akademi dasar, korban perundungan."
Rian membuang muka saat itu juga. Dia menjauhi warga Aloftia yang notabene lebih tua darinya itu. Menepi ke sudut ruangan dengan Yotsuba. Hatinya sedang berkecamuk saat ini. Dia tidak ingin terpancing emosi dan mengamuk pada wanita. Tidak ingin dua gadis itu bernasib seperti adik kecilnya dulu—korban kekerasan ayahnya.
Sekarang kepala Rian penuh dengan prasangka. Dia menebak-nebak apa yang akan terjadi kedepannya; tentang nasib hidupnya, Qila dan ... Four-Leaf Clover.
.
Erez tidak pernah mau saat diajak memanjat. Dia takut ketinggian. Namun, saat ini Erez berada di genteng rumah klub malam, tadi menjadikan tong dan ventilasi sebagai pijakan. Erez juga tidak tahan dengan udara pagi subuh. Namun, alih-alih tidur, dia malah meringkuk menatap akar-akar di langit dengan baju tipis, menolak selimut dari Haru. Teringat Haru tadi mengejarnya, memaksa untuk ikut dengan Erez ke mana pun tetapi Erez tidak mau. Dia terlalu berisik bertanya tentang Qila, menambah beban kepala Erez.
Pikiran Erez benar-benar kacau sekarang.
Sungguh, Erez tidak mengharapkan ini untuk liburannya. Satu hari terjadi begitu cepat. Membawa anak orang kaya ke Dheunder, berkenalan dengan bocah darah tinggi, dan kehilangan teman lama.
Apakah ini kutukan dari Tuhan untuk anak yang membunuh ayahnya sendiri?
Maka kembalilah kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah sebelum tiba malapetaka.
Suara hentak sepatu dan bentakan serdadu kerajaan membuat warga Dheunder keluar dari rumahnya pagi buta. Mereka menodongkan senapan laras panjang itu ke satu persatu warga saat diinterogasi. Erez yang di atap menunduk dan mengendap-endap turun, pergi ke belakang rumah klub itu. Samar-samar dia menangkap penggal dialog petugas keamanan tentang pembunuhan dan perampokan di toko butik yang diduga pelakunya warga Dheunder.
Jantung Erez memompa lebih cepat. Dia panik tentu saja. Rian masih di ruang bengkelnya, mungkin bersama Haru, atau tidak? Apakah mereka tahu kalau polisi kerajaan turun dan melakukan penyergapan? Bagaimana kalau mereka ketahuan dan ditangkap kemudian di hukum mati?
"Hei." Erez menepis keras tangan yang memegang bahunya. Spontan dia mundur beberapa langkah dan membungkuk, menutupi wajahnya dengan lengan kanan sementara tangan kiri menarik belati dari kantong celana. Diarahkan senjata itu ke hadapan lawan.
"Tenang, ini aku." Wanita tinggi berkacamata dengan masker putih. Yang paling Erez ingat adalah warna pupil matanya, biru laut. Masker diturunkan, sehingga terlihat jelas wajah yang pernah dia kenali. "Aku Rav. Kamu terima amplop semanggi empat daun dariku setahun lalu ... dan kemarin sore."
Punggung Erez perlahan tegap bersamaan bahunya turun. Kerutan pada dahinya berkurang, sama halnya kecurigaan dan wawas diri terhadap sosok di depannya, tetapi bukan berarti hilang total.
Rav bukan musuh, dan tidak bisa pula dijadikan sekutu.
"Dengar, aku gak menguntit atau apapun seperti prasangka buruk dalam kepalamu. Aku di sini untuk membantu," jelas Rav perlahan. Dia mengerti gadis dua tahun di bawahnya ini sedang tidak baik-baik saja. Rav membuka telepon pintarnya, mengetik dengan cepat tentang sesuatu yang Erez tidak tahu.
"Lantas kenapa kamu di sini, Kak Rav?" Pertanyaan Erez berbobot. Secara seniornya di akademi Aloftia ini adalah ketua komite siswa. Program studinya tidak mengharuskan mahasiswi itu untuk turun ke kota bobrok ini, kecuali urusan khusus seperti,
"Aku turun bersama ayahku." Rav mengangkat gawainya ke depan wajah Erez. "Aku sudah menghubungimu tentang penyergapan ini tapi telepon kamu mati." Terlihat akunnya melakukan spam panggilan keluar kepada kontak RZ.
"Bentar. RZ?"
Rav menghela napas sekali. "Yang meneriakimu untuk pergi di toko butik? Iya, itu aku."
Kepala Erez semakin sakit. Dia tidak mengerti. Kenapa anak menteri pertahanan bisa ikut campur dalam urusan hidupnya dan temannya?
"Bagaimana dengan Qila?"
"Bisa kamu bawa aku menjumpai Rian?"
"Setelah kamu beritahu tentang Qila, Kak."
"Iya, akan kuberitahu tapi di mana Rian? Dia juga harus tahu soal ini, 'kan?"
Dengan berat hati Erez mengalah. Dia menarik ujung baju wanita itu untuk mengekorinya ke markas utama mereka—ruang bengkel Rian. Dalam diam Rav mengagumi teknik ninja adik kelasnya yang konon katanya kutu buku ini. Bahkan Rav tidak percaya kalau Erez pernah menjadi pelaku kriminal di usia yang masih muda.
Rav mengetahui seluruh informasi tentang kandidat yang ingin dilantiknya.
"Kamu kenal Qila dan Rian dari mana, Kak?" Erez berbisik-bisik di tengah perjalanan mereka.
"Kamu percaya kalau aku bilang kami bertemu sebagai korban dan pelaku?" Erez diam, sengaja tidak menanggapi. Hingga Rav berseru, "mereka pernah merampok rumahku. Hebat, 'kan? Merampok rumah menteri keamanan dan pertahanan pulau.
"Sejak itu aku menawarkan keduanya untuk bergabung di komunitas. Rian menerima, tapi Qila belum. Mungkin amplop kami belum sempat sampai padanya. Teman sekamarmu di asrama, dia juga pernah mendapatkan amplop kami."
"Jangan katakan padaku kalau ceritamu ini tentang seleksi kandidat."
"Mungkin iya? Komunitas kami menawarkan solusi untuk orang-orang yang memiliki keinginan, dan kamu aku beri kesempatan, dua kali."
Mereka berhenti melangkah.
Padahal Erez sudah lewat jalur belakang dengan sisa ingatan yang dia punya. Padahal Erez sudah berharap Rian dan Haru baik-baik saja ditempat persembunyian mereka.
Dan apa-apaan ini?
Di hadapan Erez ada beberapa petugas keamanan dengan simbol semanggi biru tiga daun di bahu mereka, sedang menahan Haru dan Rian. Sarat mata keduanya tampak takut dan pasrah dengan keadaan. Apa ini pertanda tamat riwayat mereka? Ataukah semua prasangka buruk Erez adalah takdir yang sebenarnya?
"Bagus, Rav! Gak heran kalau ayah kamu bangga punya anak gadis sepertimu."
Alis Erez menukik tajam. Refleks dia menghadap ke belakang untuk mendapati wajah Rav yang tenang, sama seperti warna biru laut pada netranya. Wanita kuncir kuda itu bahkan tidak berkutik saat Erez menggeram dan melaknatnya dari tatapan mata. Erez tidak menyangka dia adalah ikan laut yang dipancing untuk dimasukkan ke tambak.
"Bawa dia, Rav. Beberapa anak muda di kota ini adalah tersangka."
"Bagaimana? Kamu bisa menggunakan kesempatanmu saat ini juga," tanya Rav tidak sinkron, mengabaikan pria berseragam yang memberinya perintah. Karena sebenarnya kalimat itu ditujukan untuk gadis yang sedang mendidih isi kepalanya, di depannya, Erez.
Segeralah melaksanakan kebaikan yang kamu inginkan. Namun, jika kejelekan yang kamu mau, hardiklah dirimu sendiri.
Dalam kondisi genting seperti saat ini, Erez mengingat keseluruhan isi surat dari amplop semanggi hijau empat daun itu.
"Wenn das leben allein so herausfordernd ist, erleichtern wir es uns zusammen. Kommen Sie, Cloverianer." —Four-Leaf Clover.
"Aku ingin bergabung dengan kalian. Cloverian."
Penulis: Clynoqia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top