22. No More Way Out
Tema: Regu pemburu vampire
Tokoh Utama: Ayaka
Pukul 4 sore saat sebuah mobil melaju dengan kecepatan penuh. Warga sekitar yang mengamati fenomena tersebut hanya menghela napas lelah dan kembali lagi ke dalam rumah. Rav yang berdiri di ambang pintu meneriaki Ayaka, Andrew, dan Haru untuk bersiap menebar paku di sepanjang jalan. Setelah putaran kelima, mobil itu oleng karena kehabisan tekanan udara, decit nyaring terdengar saat rem diinjak kuat-kuat tepat sebelum mobil terjun dari tebing.
Ayaka sigap mengambil tabung oksigen kecil, berlari ke arah mobil bersama Rav untuk menolong korban yang terjebak bersama mereka.
"Kau baik-baik saja?" Ayaka membuka percakapan di antara mereka. Menyodorkan ventilator pada satu-satunya pengemudi yang mengalami syok. Napasnya naik turun tidak teratur, sedang tatapan matanya awas menatap kerumunan orang asing yang mengelilingi mobilnya.
"Jika sudah tenang, kau harus segera ikut bersama kami. Berbahaya jika terus-menerus berada di luar sini," ajak Rav yang sedari tadi resah mengawasi keadaan.
Ayaka dengan lembut menarik wanita tersebut dari dalam mobil, meski sesekali memberontak, tapi badannya yang lemah tidak berdaya memberi penolakan. Mereka berlima segera berlari menuju salah satu rumah, sebelum matahari terbenam dan gelombang bencana di desa ini akan segera dimulai.
*****
Pagi datang seperti biasa bagi warga Kuroba, bangun dengan mati rasa, lalu berkeliling desa sekadar memastikan jika sanak-saudara mereka baik-baik saja. Ayaka memulai hari dengan menyiram pohon cabai miliknya, tidak terganggu dengan tingkah aneh Haru yang sedari tadi mengobrol dengan anjing kesayangannya. Meski tempat ia berada saat ini bagaikan neraka, ia harap pohon-pohon cabainya tetap tumbuh dengan subur. Ia tak akan bisa bertahan dan hidup tanpa makanan pedas.
Rav datang bersama Andrew membawa beberapa barang yang ia temukan dari mobil yang terjebak semalam. Amunisi yang tersisa akan mempermudah mereka bertahan hidup di desa terkutuk ini.
"Apa kau menemukan banyak barang, Ketua?" tanya Ayaka antusias.
"Tidak banyak, mungkin sedikit kudapan untuk kita bertahan hidup," timpal Rav memperlihatkan barang yang ia bawa.
"Oh! Kau sudah bangun?" Ayaka adalah yang pertama mengetahui keberadaan wanita asing itu di ambang pintu.
"Kenapa kau mengambil barangku tanpa izin?!" Amarah wanita itu tak jarang mereka dapat ketika ada pendatang baru.
"Sekarang barangmu menjadi barang kita," ucap Rav tegas. Wanita itu tidak terima, berniat merebut barang di tangan Andrew, tapi sigap Andrew menepis tangan tersebut.
"Ah, sepertinya ini tidak baik. Kau bisa ikut aku sebentar?"
Ayaka memaksa wanita itu kembali ke dalam rumah, menuntunnya ke arah sofa, dan mengajaknya berbicara.
"Kita belum berkenalan, bukan? Aku Ayaka, penyintas seperti dirimu. Kami berempat mendiami rumah ini dan sebisa mungkin bertahan dengan masing-masing kekuatan kita. Kau ingat yang di depan tadi? Wanita dengan suara tegas dan aura kepemimpinan yang kuat, itu Rav, meski wajahnya terlihat galak, sebenarnya dia adalah pribadi yang baik dan suka menolong. Kemudian, orang yang membawa barangmu tadi, namanya Andrew, lelaki manis dengan sifat tenangnya, meski agak pendiam, dia adalah orang yang suka memikirkan banyak hal. Lalu, ada Haru, Si Paling Polos dan sayang binatang, ah, kita bertiga seperti regu pelindung Haru, tidak akan membiarkan siapapun menyakiti dia." Ayaka menjelaskan panjang lebar.
"Lantas, siapa namamu?" sambungnya lagi memberi tanya. Wanita asing itu terdiam, menimang apakah dia harus tetap waspada atau percaya.
"Aku Tiara."
"Halo, Tiara, selamat datang di Desa Kuroba, ya!" Ayaka menjabat tangan dengan amat senang.
"Bisa kau jelaskan dengan hal aneh yang aku rasakan kemarin?" Ayaka tersenyum, lalu mengangguk.
"Yang kamu alami adalah hal yang semua orang di desa ini alami dalam beberapa tahun ini, ah! Aku tidak tahu juga, sudah berapa lama terjebak di sini!"
"Terjebak?"
Ayaka mengangguk lagi, "benar! Orang-orang di sini adalah penyintas yang tidak bisa keluar dari desa, sebesar apapun upaya mereka untuk bebas, pasti berujung dengan kembalinya mereka ke sini. Semua pasti diawali dengan memasuki terowongan gelap dan panjang, hingga tak ada pilihan lain selain melewati desa kami, namun, semua menjadi janggal ketika kalian terus berputar pada jalan yang sama. Mau tidak mau, kita memang harus bertahan di sini, tempat yang lebih aman."
"Maksudnya?"
"Setiap malam, kami dilarang pergi dari rumah, wajib mengunci pintu dan jendela, karena bisa saja ... mereka masuk ke dalam rumah dan menghisap seluruh darahmu hingga kering."
"Memang ada makhluk seperti itu?" Tiara bertanya dengan nada heran.
"Ada, tidak lagi seperti mitos atau dongeng belaka. Di sini, di desa ini, kami menamainya vampir."
"Orang yang dihisap darahnya akan menjadi vampir juga?"
"Benar, mereka akan singgah pada rumah-rumah, mendatangi sanak-saudara atau kenalan, meminta masuk dan akhirnya menghabisi mereka. Tidak semua akan berubah menjadi vampir, hanya mereka dengan darah terpilihlah yang akan menerima kutukan abadi itu."
Tiara bergidik ngeri mendengar penuturan Ayaka. Hening antara mereka memang disengaja, untuk memberi ruang pada sebuah fakta baru yang dipaksa masuk ke dalam akal.
"Lalu, bagaimana kalian bertahan?"
"Hmm, kami? Sebentar." Ayaka beranjak dari sofa, menenteng deretan bawang putih yang ia susun serupa kalung.
"Ta-daaa! Pakailah ini di malam hari, karena vampir tidak suka bau yang menusuk hidung mereka dan mengganggu aroma darah manusia yang dapat merangsang jiwa monsternya," jelas Ayaka. Tiara menerima dengan terima kasih.
"Sebaiknya aku keluar dulu, mengurus barangku yang ditahan oleh Rav dan Andrew."
"Baik, selamat bergabung dengan kami, Regu Penghalau Vampir!" seru Ayaka girang, Tiara tidak menanggapi apa-apa dan memilih pergi mencari Rav dan Andrew.
Ekspresi Ayaka berubah 180°, tatapan dingin dan mimik wajah sulit dibaca itu, fokus menatap cermin bufet yang memantulkan bayangan teman-temannya di luar sana. Gigi tak kuasa untuk menggigiti kuku tangan, sedang mata beralih ke arah kalender yang sudah kedaluwarsa.
"Malam ini purnama, dan 100 bidak sudah siap di atas papan caturnya," gumam Ayaka pelan.
Benar saja, malam itu ... meski mereka berlima tidur terlelap, sebuah rumah dengan 4 orang anggota keluarga habis dibantai monster terkutuk yang mereka labeli sebagai vampir.
*****
Teriakan pagi ini menjadi alarm yang tidak biasa. Para warga tergopoh-gopoh mendatangi sumber suara yang penuh isak tangis dan histeris. Ayaka, Rav, Andrew, Haru, dan Tiara tak luput menonton perkara kehebohan itu.
Sebuah rumah berurai darah di mana-mana, 4 orang anggota keluarga dinyatakan tewas dengan mengenaskan. Badan tercabik dan terlepas dari tulang, monster yang mereka takutkan sepertinya sudah tidak mempan dengan bawang yang mereka gantung di depan pintu rumah.
Haru menutup mata, Rav mendekap Haru memberi ketenangan, Andrew memalingkan wajah, dan Tiara berusaha untuk tidak muntah. Ayaka menatap rerimbun pohon di atas bukit, suara kuak gagak mencekam pagi yang mendung ini. Biar, biarkan hujan membasuh darah yang mengotori bumi.
Mereka berlima memilih pergi, menutup pintu rumah rapat-rapat. Hujan turun dengan derasnya, sedang gemuruh petir ada di dalam diri mereka.
"Kita semua akan mati." Haru yang pertama kali membuka obrolan. Wajah pias ketakutannya membuat Ayaka mendekat dan memberinya kekuatan.
"Tenangkan dirimu, Haru. Kita bisa melewati ini bersama."
"Sepertinya para vampir sudah berevolusi. Dengan begitu, kita harus memikirkan cara lain untuk tetap aman." Rav tak hentinya memikirkan berbagai spekulasi dan opsi yang sekiranya bisa dia dapat.
"Apa gunanya bertahan, toh, kita semua akan jadi santapan mereka." Andrew yang biasanya diam, tak kuasa meluapkan segala keresahan hatinya. Namun, dia dihadiahi tatapan nyalang dari Rav.
"Tak bisakah kau berpikir positif barang sejenak?!" serunya tak percaya.
"TAPI KITA MEMANG AKAN MATI, KAN? UNTUK APA MENCARI CARA BERTAHAN?" Andrew tak kalah tinggi, memang wajar untuk mengeluarkan segala emosi di tengah tekanan keadaan.
"Sialan!" Rav menggebrak meja.
"Tenanglah kawan, bukankah dari dulu kita selalu bisa melewati kesulitan bersama-sama?" Ayaka tak tahan dengan perdebatan ini, berusaha melerai dan mendamaikan kedua pihak yang memanas.
"Jika bawang putih bukan lagi kelemahan mereka, bukankah tidak salah untuk mencoba menempel kertas mantra di tiap sudut rumah?" Tiara memberi suaranya, sedang empat pasang mata itu tertarik dengan apa yang akan dibahas.
"Mantra?" Rav mencoba menggali lebih dalam hal yang baru baginya itu.
"Aku sering membaca buku-buku fiksi dan supernatural, mungkin mantra bisa mencegah mereka masuk ke dalam rumah."
"Tapi ... kita di sini tidak paham mantra seperti apa yang bisa menghalau mereka." Ayaka mendesis kecewa, Haru menimpali dengan anggukan.
"Aku lumayan mahir dengan ajaran Budha, mungkin kita bisa coba dengan itu."
Rav menatap Ayaka dengan kobar api semangat yang kembali menyulutnya, dengan sigap, ia perintahkan semua orang di dalam ruangan untuk mencari sebanyak-banyaknya kertas dan spidol yang bisa mereka temukan, dan dengan tangkas Rav, Tiara, Haru, dan Andrew berlari ke segala arah mencari benda yang dimaksud. Ayaka memang sengaja berdiam diri sejenak dengan tatapan tidak suka, decakan kesal lolos dari bibirnya.
Percobaan dimulai, sobekan mantra dipasang di semua rumah di desa Kuroba, menanti apakah malam ini mereka berhasil melewatinya dengan selamat. Semua terjaga dengan lilin yang bergoyang ditiup angin, Haru tak melepaskan pelukannya dari tangan Ayaka sembari menahan kantuk, dan Ayaka lihat pemandangan itu, Rav bercengkerama dengan Tiara membahas hal yang sepertinya penting, percakapan intens itu tak melibatkan pun Ayaka, Haru, atau Andrew.
"Ehem, bagaimana ... keadaan di luar?" Ayaka memecah sunyi. Rav memotong obrolan dengan Tiara dan membuka sedikit tirai jendela untuk membaca situasi.
"Aman, tidak terlihat monster-monster itu di jalan." Ayaka mengangguk, lantas mereka kembali pada rutinitas tadi dan terlelap sesaat kemudian.
Pagi ini anehnya, suara teriakan kembali di dengar. Mereka kembali berkumpul di salah satu kandang milik warga yang babinya sudah habis dicabik oleh monster-monster tersebut. Rav benar soal kemarin, para vampir itu sudah berevolusi, atau ... sebenarnya mereka menjadi lebih liar?
Tangis Sang Pemilik ternak pecah, tak ada yang bisa mereka perbuat selain menenangkan. Beberapa warga bergegas pulang untuk mengecek unggas dan peliharaan masing-masing.
"Sepertinya kita perlu lebih banyak mantra," ucap Tiara memberi ide. Rav mengangguk setuju.
Namun, Ayaka menunjukkan sebaliknya, "kau yakin, kertas mantra itu berhasil?" Sekarang giliran Haru yang mengangguk setuju dengan pertanyaan Ayaka.
"Setidaknya malam tadi tidak ada rumah yang diserang, sepertinya mereka kelewat lapar untuk memangsa ternak yang sebelumnya tidak pernah mereka sentuh." Ayaka terdiam, Andrew, Tiara, dan Haru setuju dengan apa yang dikatakan Rav.
Mereka kembali ke kediaman, kembali mengumpulkan kertas-kertas dan menuliskan mantra di atasnya. Malam ini akan kembali jadi penentuan, jika saja tidak ada sepasang kaki itu yang nekat menyelinap dan berbuat curang.
Rav kira pagi selanjutnya akan damai seperti sebelum kedatangan Tiara, tapi ia salah, kejadian itu beruntun pada hari-hari berikutnya. Mantra-mantra itu seperti tiada guna, seperti kejadian di rumah ini yang koyak dan menewaskan sepasang suami-istri, membuat Rav patah semangat.
"Aku tidak tahu lagi cara untuk menghentikan mereka." Kesedihan Rav menular pada keempatnya yang mendengar.
"Rav, tidak apa-apa. Beristirahatlah sejenak, mungkin kita akan segera menemukan caranya," bujuk Ayaka yang memang gemar menenangkan teman-temannya.
"Ayo kutemani!" Haru memberi tawaran yang disambut oleh Rav, mereka berdua berjalan kembali ke rumah. Sedang Andrew, Ayaka, dan Tiara sejenak masih mengamati keadaan rumah korban.
Tiara beringsut memungut kertas mantra yang ia buat, berlumur darah dan sudah tidak terbaca.
"Mungkinkah karena mantra ini terlepas dari pintu? Sehingga mereka bisa menerobos masuk?"
Andrew dan Ayaka hanya mengamati kertas bernoda itu di tangan Tiara.
"Entahlah, aku pun juga tidak tahu." Balasan Ayaka tidak seperti biasanya, Andrew hanya menatapnya dengan tanda tanya.
Ayaka pergi diikuti Andrew, dan Tiara masih berdiam di sana mencari celah dari kejanggalan yang ada.
Hari sudah sore kala Tiara usai dengan kesibukannya dengan batang pohon dan tali, berlari menunjukkan hasil karyanya kepada keempat temannya. Rasa kaget menyerang Ayaka, saat melihat benda itu, keringat dingin mengucur dari punggungnya, dan gemetar tangan yang berusaha ia sembunyikan.
"Lihat! Kita akan mencoba lagi, salib ini akan dipasang di setiap pintu rumah di desa!" Tiara semangat memberitahu idenya. Rav tidak lagi bersemangat seperti biasa, Haru dan Andrew pun hanya terdiam dan menikmati buah tomat di tangan mereka.
"Kenapa kalian diam? Bukankah tidak salah untuk mencoba?" Tiara kembali memberi keberanian, tapi sialnya, hal itu sudah tidak ada di dalam diri keempatnya.
"Sudahlah, Tiara, apa kau tidak bisa lihat, keadaan semakin parah!"
Tiara melihat Rav tidak percaya.
"Kenapa kau pasrah begini?!" serunya tidak suka.
"Aku tidak pasrah, tapi memang keadaannya seperti ini!"
"Manusia yang hidup memang akan mati, 'kan?" timpal Haru yang sudah dikuasai keputusasaan.
"Memang kau mau mati dengan mengenaskan?!" Tiara kembali tidak terima.
"Lalu kau mau apa lagi? Sok menjadi pahlawan?" Andrew ketus menambahi, lantas ia memilih naik ke kamarnya di lantai 2. Haru berlari menyusul.
"Aku kira kalian adalah orang-orang waras yang tersisa di desa ini, tapi aku salah!"
Tiara pun beranjak pergi. Tersisa Rav dan Ayaka yang terdiam cukup lama.
"Menurutmu ... apakah ada yang aneh dengan anak itu?" Pertanyaan Ayaka menarik atensi Rav.
"Kau juga berpikir demikian?" Ayaka mengangguk.
"Apakah kehadirannya menarik bagi para vampir, atau ... dia salah satunya?" Ayaka menggantung tanya di atas langit-langit.
"Sejak kedatangan Tiara, semua semakin kacau, monster-monster itu terus meliar, bahkan sampai berani masuk ke dalam rumah. Aku sependapat denganmu, Ayaka, bisa jadi kehadirannya ke sini memang menarik perhatian mereka, atau ... malah ia salah satunya?"
Mereka berdua kembali terdiam. Skenario palsu itu semakin nyata di otak Rav.
"Lalu bagaimana?" tanya Ayaka yang memasang wajah cemas dibuat-buat.
"Kita jadikan dia umpan malam ini." Perkataan Rav tidak bisa dianggap enteng, dan mendengar hal itu, senyum yang terpatri di wajah Ayaka tidak bisa dihindari.
Malam itu jadi malam panjang bagi Tiara, yang ditangkap dan dipaksa masuk ke dalam salah satu kandang milik warga. Mereka mengurungnya untuk pembuktian satu hal, namun mereka lupa bahwasanya mereka adalah sesama manusia. Isak tangis Tiara malam itu jadi kian pilu dengan irama telisik pohon bambu. Rav, Andrew, Haru, dan Ayaka memilih diam di rumah berharap jebakan vampir itu bisa jadi jalan mereka lolos dari kesengsaraan ini.
Ketika isak tangis tak lagi terdengar, dan deru kecil napas yang mulai terlelap. Ayaka menyelinap keluar, mengendap dan berjalan pelan menuju kastil di atas bukit yang tertutup rimbun pepohonan. Dua orang penjaga gerbang menyambutnya dengan senang.
"Selamat datang kembali, Nona Ayaka," sapa keduanya pada Ayaka. Lantas mereka membukakan gerbang dan mempersilakan ia masuk.
Ayaka menemui sepasang suami istri yang menjadi dalang dari permainan ini; Yotsuba dan Siri. Yang ia temui ketika masuk ke dalam ruangan megah itu adalah, riuh gelak tawa dan denting gelas beradu. Siri adalah yang pertama menemukan Ayaka di antara kerumunan.
"Ayaka! Oh ... Ayaka anakku!" serunya girang. Yotsuba ditarik paksa oleh Siri untuk menyambut anak mereka.
"Lagi-lagi kalian tidak mengundangku!" Ayaka merengut kesal. Yotsuba mengelus lembut puncak kepala anaknya.
"Bukankah kau sudah senang dengan hadiah 'mainan' dari kami? Kau bahkan tidak pulang selama 3 tahun ini!"
Ayaka tidak bisa menyangkal perkataan Siri, memang benar permainan yang sudah mereka atur itu cukup mengobati rasa bosannya.
"Bolehkah aku meminta mainan yang lain?" Ayaka merengek pada Yotsuba.
"Bagaimana dengan mainanmu yang ini?"
"Hmm, biarkan vampir-vampir kotor itu saja yang selesaikan. Sudah tidak menarik." Yotsuba dan Siri hanya tertawa kencang.
"Kau senang sekali mempermainkan manusia-manusia yang terjebak itu? Hahaha." Ayaka tidak pandai menjawab pernyataan dari ayahnya, karena hobi mempermainkan manusia memang sudah mendarah-daging bagi para vampir bangsawan.
"Sudah-sudah, kita pikirkan lagi nanti, yang penting malam ini kita bersenang-senang." Siri menyodorkan segelas besar darah manusia segar. Ayaka menerima dan menyesapnya, amis, manis, dan candu.
Bagaimana, ya, rasa darah dari Rav, Andrew, Haru, dan Tiara? Seketika pikiran itu muncul di benaknya. Ayaka pun tersenyum semringah saat membayangkan, menggerus habis darah dari tubuh keempat temannya.
Penulis: Chimonachie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top