18. I Want To Be Alone
Tema: Buronan
Tokoh Utama: Resti
Aku ingin tinggal di suatu tempat yang tidak terjamah oleh manusia, di mana hanya ada aku seorang diri berteman dengan alam yang indah serta menghabiskan waktu bersama para binatang. Sebuah tempat hijau dan asri, memiliki air terjun, berada cukup dekat dengan lautan, dan embusan angin sejuk menerpa.
Aku memekik kesakitan, rasa panas seketika dapat kurasakan menjalar dari betis hingga bagian kaki. Tidak cukup di satu titik, bahkan luka itu kembali aku dapatkan pada bagian punggung hingga tubuhku ambruk ke depan, jatuh dalam keadaan tengkurap dengan baju yang sudah basah oleh darah segar.
"Ternyata gak sekuat yang aku bayangkan." Suara itu terdengar semakin dekat, berhenti tepat di sampingku lalu menarik rambut panjangku agar terdongak ke arahnya.
Seorang lelaki, cukup tinggi dengan rambut yang kuperkirakan dipotong hanya satu sentimeter, ia berkacamata dan sekarang sedang menodongkan sebuah pistol mengarah tepat ke keningku.
"Jangan kasar-kasar, Kak Baim. Kalau dia kenapa-napa entar bisa-bisa bayaran kita jadi berkurang." Itu suara seorang perempuan yang kini berdiri di belakang lelaki tersebut. Gadis itu tampak masih sangat muda, tatapannya cerah dengan senyuman yang lebar.
Lelaki yang dipanggilnya Baim itu bersuara, "Gapapa, toh mau ditembak mati sekalipun, dia beneran bisa hidup lagi, loh. Jadi sekalian aja aku eksperimen, Niina."
Mengerikan.
Ke manapun aku pergi, ke negara manapun aku lari, beginilah yang selalu aku jumpai. Kalau tidak dikejar-kejar oleh militer suatu negara, pasti dikejar oleh pemburu yang mengharapkan hadiah besar dengan tertangkapnya diriku.
Aku tidak ingat, kapan terakhir kali berita itu diumumkan di seluruh dunia bahwa telah ditemukan seorang wanita dari spesies tidak dikenal yang memiliki kemampuan regenerasi super dan aku ditetapkan sebagai buronan kelas dunia. Sejak saat itu, kehidupanku tidak lagi diperlakukan seperti manusia. Ada banyak orang yang merasa penasaran terhadap hal itu sehingga menangkapku hanya demi membuktikannya. Badanku yang diiris-iris, organku yang dipisah dan dijadikan lahan bisnis, aku masih bisa mengingat segalanya meski kejadiannya sudah bertahun-tahun lamanya. Aku si spesies tidak bisa mati.
Pandanganku menggelap mana kala Baim benar-benar menarik pelatuk pistolnya tepat di kepala. Begitu terbangun, kudapati diriku sudah berada di tempat lain. Sebuah ruangan minim pencahayaan dengan kaki dan tanganku yang terborgol pada sebuah kursi besi. Beberapa detik kemudian, pintu ruangan ini terbuka, menampilkan seorang wanita mengenakan pakaian rapi, perpaduan antara kemeja putih dan jas hitam yang tidak dikancingkan. Ia mengenakan celana panjang, lengkap dengan sepatu hak tinggi yang meninggalkan bunyi setiap kali ia bergerak. Wanita itu berhenti tepat di depanku, lalu menangkap wajahku dengan sebelah tangan. Ia kemudian mengeluarkan alat scan, memindai wajahku hingga mendapatkan kecocokan seratus persen.
"Bagiamana?" Gadis muda bernama Niina yang juga ada di ruangan ini bertanya kepada si wanita.
"Kerja bagus. Dia benar-benar buronan yang kami cari," jawab si wanita itu.
"Kau membawa imbalannya, kan?" tanya Niina, menengadahkan tangan menagih apa yang mereka janjikan melalui poster buronan.
Wanita yang kuperkirakan berada di usia dua puluh lima tahunan atau lebih itu mengangkat tangan, memberikan isyarat pada para lelaki yang berjalan masuk di belakangnya tadi. Lalu, orang-orang yang mungkin adalah bawahannya tersebut menodongkan senapan pada Baim dan Niina.
Dua orang pemburu yang berhasil menangkapku itu dibuat terkejut. Mereka balas menodongkan pistol. Niina bahkan berseru, "Ini tidak seperti yang kalian janjikan!"
Wanita itu tertawa. "Kami memang berjanji memberikan imbalan tapi kami tidak pernah berjanji untuk menepatinya, kan?"
Adu tembak terjadi hanya berselang sedetik setelah si wanita tersebut selesai berucap demikian. Namun, Baim dan Niina hanya berdua, tentu mereka tewas dengan mudah melawan puluhan orang bersenjata.
"Yurene-san, persiapan di luar sudah selesai." Salah seorang di antara para anak buahnya berucap.
Wanita ini pasti berkebangsaan Jepang mengingat nama dan cara orang lain memanggilnya. Itu tidak penting untuk dipikirkan. Yang perlu pikirkan adalah bagaimana cara melepaskan diri dari orang-orang ini. Meski tertembak, aku bisa menahan dan terus berlari karena aku yakin pasti akan terbangun dalam keadaan baik-baik saja seperti apa yang sudah-sudah terjadi. Sekarang, aku hanya perlu menunggu sampai mereka membukakan borgol ini lalu mencari kesempatan untuk kabur.
Tetapi, aku terdiam. Tatapan Yurene yang memandangku dari posisinya yang berdiri menjulang, mata yang menatap ke bawah tanpa menundukkan kepala, pandangan seakan meremehkan dan tahu segalanya.
"Jika kau berpikir untuk bisa pergi, hentikan itu. Kau tidak akan ke mana-mana," ucapnya datar.
"Haha! Jangan terlalu percaya diri dulu. Aku cukup ahli dalam kabur-kaburan. Kamu pikir sudah berapa lama aku menjadi buronan?" Aku menanggapi, tidak ingin diremehkan, tidak ingin pula melihat orang ini lebih arogan.
"Tapi kali ini benar-benar akan menjadi akhir untukmu. Fasilitas penelitian dunia yang sekarang, sudah tidak sama lagi dengan 86 tahun lalu saat kau kabur dari sana. Lagipula, setelah kau membunuh orang tuaku di hari itu, kau pikir aku akan melakukan kebodohan yang sama? Jangan bercanda!" Suaranya dingin. Ada satu hal yang aku mengerti sekarang dari bagaimana ia memandangku. Tatapan Yurene dipenuhi kebencian.
Dahulu, 86 tahun yang lalu saat aku mendekam di fasilitas penelitian dunia yang berlokasi di benua Antartika, untuk bisa membebaskan diri dari sana, aku mencuri sebuah bom berskala ledak tinggi hingga aku meledakkan diriku sendiri beserta orang-orang yang ada di sana. Hanya aku yang selamat, meski badanku hancur lebur, tetapi aku bisa utuh kembali. Ledakan suatu gedung itu memang dijaga ketat setelahnya, tetapi itu hal mudah karena aku hanya perlu menenggelamkan diri ke lautan dan membiarkan diriku terombang-ambing terbawa arus hingga terdampar di sebuah pulau entah di mana. Jika diingat, kisah itu yang membuat pemerintah dunia akhirnya menetapkan aku sebagai buronan kelas atas.
Air mataku menetes sekarang. Bukan karena mengingat kejadian tersebut melainkan karena Yurene memotong kedua tangan dan kedua kakiku serta menyuntikkan aku dengan sebuah cairan yang entah apa itu. Yang jelas, dengan suntikan itu, tubuhku tidak beregenerasi dan rasa sakit di bagian yang terpotong membuatku sampai menjerit begitu keras.
"Sudah aku katakan, kau tidak akan bisa ke mana-mana." Yurene menekankan.
Pada akhirnya, ruang laboratorium menjadi tempatku berdiam, sama seperti puluhan tahun lalu. Dikelilingi oleh ilmuwan-ilmuwan terpilih untuk meneliti diriku dan membuat ekstraksi DNA untuk ditanamkan pada militer negara agar memiliki kemampuan yang sama. Selang-selang medis mulai ditancapkan pada tubuhku, darahku diperas, badanku dibedah, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana mereka tidak berperasaan menyuntikkan segala macam obat tanpa mengindahkan efek samping serta rasa sakit yang aku derita.
Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau satu tahun? Aku tidak menghitung. Hari-hariku berada di sini seperti neraka.
"Aku benci manusia," ucapku.
Ini sudah malam, fasilitas penelitian saat ini sedang ditutup. Seorang ilmuwan menemaniku berbincang. Hanya ia seorang yang bertugas setiap malam hari untuk membantu memulihkan kondisiku setelah seharian penuh diotak-atik oleh ilmuwan gila lainnya.
"Ya, Kak Resti gak punya pengalaman yang baik dengan manusia. Jadi wajar saja kalau punya perasaan seperti itu." Dia menanggapi.
Wanita cantik berkacamata bulat bernama Keysha itu duduk di sebuah kursi samping brangkarku berada.
"Apa tidak ada di dunia ini sebuah tempat yang tidak ada manusianya?" Aku bertanya.
Key tampak berpikir sejenak. "Ada."
"Wah, benarkah?" Aku bertanya, ada perasaan bersemangat saat mendengar jawabannya. Tetapi pada detik berikutnya, semangat itu sudah lenyap tak bersisa. "Tapi percuma juga, sih. Toh, aku juga tidak bisa kabur dari sini."
Wajah Key berubah sendu. Ekspresi yang ditampilkan olehnya masih sama seperti malam-malam kita biasanya. Tatapan yang berartikan rasa kasihan.
"Dulu Key ingin menjadi ilmuwan yang hebat, Key melakukan segala cara untuk bisa mendapatkan gelar tersebut. Key berusaha keras, banyak belajar, dan mendapatkan banyak prestasi." Tiba-tiba, ia bercerita sesuatu yang diluar topik. Tetapi tidak apa-apa. Di tempat ini, hanya Key yang setiap malam mau mendengarkan ceritaku yang tidak ada habisnya. Sekali-kali, aku yang menjadi pendengar pun tidak apa.
"Sekarang kan kamu sudah jadi ilmuwan besar." Aku menjawab.
"Iya, tapi dunia ilmuwan yang Key pijaki sekarang membuat Key resah." Jawabannya serius.
Aku tidak tahu harus membalas dengan kata-kata apa. Jadi kubiarkan saja ia melanjutkan ceritanya.
"Terus, Key pernah keliling ke luar angkasa, ke planet lain dan bertemu alien," ucapnya.
Aku mengangguk-angguk saja. Spesies sepertiku saja ada di dunia ini. Alien sudah jelas pasti ada juga. "Terus?"
"Teknologi mereka canggih banget. Key tinggal di sana karena pesawat Key rusak. Orang-orang di sana baik hati, menyambut Key yang jelas-jelas manusia dengan hangat. Bahkan mereka membantu Key pulang dengan selamat." Key masih terus menjelaskan.
"Terus?"
"Key waktu pulang diminta untuk merahasiakan keberadaan mereka. Jadi Key benar-benar merahasiakannya. Soalnya bisa gawat juga kalau manusia tahu keberadaan alien. Key sadar manusia itu serakah, sekalinya melihat sesuatu hal yang luar biasa jadi ingin menguasainya. Sama seperti posisi Kak Resti sekarang yang menjadi korban keserakahan manusia. Key tidak mau alien itu bernasib buruk karena Key."
"Terus kenapa kamu menjelaskannya padaku, Key? Padahal harusnya itu kamu rahasiakan."
"Ada satu hal yang paling Key ingat saat belajar bersama para alien di planet tersebut bahwa bumi ini gak cuma satu, Kak."
"Maksudnya?"
"Multiverse itu nyata."
Mulutku menganga mendengar penuturan Key. "Mustahil."
"Waktu Key terdampar di sana, sebenarnya planet itu bukan berasal dari universe kita melainkan dari universe lain."
"Tolong jangan katakan kalau kamu sekarang lagi mendongeng biar aku cepat tidur, Key. Aku memang insomnia tapi didongengin dengan cara begini tidak akan membuatku jadi bisa tidur."
"Di universe itu justru planet bumi lah yang tidak ada penghuninya."
"Key, cukup. Dongengmu ini tidak akan mem–"
"Key tahu cara membawa Kak Resti ke sana."
Jantungku berdebar mendengar penuturannya. Key kemudian mengeluarkan sebuah alat yang tampak asing, bentuknya kotak dengan ukiran-ukiran aneh berada di tengahnya. Ada beberapa tombol di sekeliling kotak tersebut dan tidak berdampak apa-apa meskipun ditekan-tekan.
"Ini hadiah dari alien yang Key temui. Katanya untuk menggunakan benda ini harus ditekan dari tempat yang paling tinggi. Selain itu harus ada pemantik, dan benda yang menjadi pemantiknya ada puncak gunung Everest. Dulu Key meletakkannya di sana karena takut ketahuan." Idenya agak gila. Bisa-bisanya menyimpan barang di puncak gunung.
"Kalau hilang?"
"Ada sensor yang membuat benda ini dengan pemantiknya terhubung, Kak."
"Sudahlah, Key. Lagipula bagaimana caranya juga pergi ke Everest." Aku menyerah.
"Key akan bantu Kak Resti kabur." Tatapan mata Key terlihat bersungguh-sungguh. "Key sadar bahwa ini sudah salah. Key juga berpikir kalau sampai pemerintah dunia benar-benar membuat militer yang bisa beregenerasi, perang dunia ketiga bisa saja meletus. Key tidak mau negara kampung halaman Key nanti jadi korban. Maka dari itu, Key akan bantu Kak Resti."
"Caranya?"
Esoknya, Key mengambil cuti satu tahun penuh. Dia membawaku ke apartemen pribadinya setelah mengoyak habis wajahku hingga tidak bisa dikenali oleh alat pemindai manapun. Sedangkan aku yang palsu masih ada di fasilitas penelitian dengan Key yang memberikan laporan palsu bahwa diriku sedang dalam masa kritis karena penelitian yang terus menerus dilakukan sehingga regenerasi tidak lagi bisa terjadi. Key dengan pandainya membuat klon yang sama persis denganku, bahkan menggunakan DNA-ku. Bedanya, klon itu lebih rapuh dan bisa saja membusuk jika dilakukan penelitian yang sama seperti yang aku terima setiap hari. Karena laporan kondisi kritis tersebut, penelitian dihentikan sementara sedangkan posisi Key digantikan oleh ilmuwan lain di sana.
Aku tidak tahu bahwa ternyata Key memang sudah merencanakan hal itu dari lama. Klon tersebut juga baru berhasil benar-benar menyerupaiku dalam percobaan yang ke sekian. Itu artinya, diam-diam selama aku berada di fasilitas penelitian, Key telah melakukan itu tanpa sepengetahuan siapapun juga.
"Ayo berangkat, Kak," ucap Key dan aku mengangguk.
Sebuah jet pribadi milik Key yang merupakan hadiah pemerintah atas segala jasa-jasanya. Ia memiloti jet tersebut dan kami segera terbang hingga tiba di puncak gunung Everest.
Segalanya tampak lancar sampai kami benar-benar mendarat di puncak gunung. Benar apa kata pepatah yang beredar bahwa saat kau merasa segalanya berjalan dengan sangat lancar tanpa hambatan satu pun, di situlah kau perlu merasa curiga.
Bukan pemantik yang kami dapatkan melainkan sambutan dari tentara militer yang bangkit dari timbunan salju tebal. Mereka bersembunyi, berkamuflase di antara tumpukan salju lalu muncul di saat kami sudah turun dari jet.
Seorang lelaki berpakaian khas militer dengan rompi dan senjata di tangan maju paling depan. "Jangan berpikir bahwa atasan selama ini tidak mengawasimu, Nona Keysha."
"Nathan."
"Nathan?"
"Jenderal perang Amerika Serikat saat ini."
Ah, sial. Pada akhirnya, Nathan menembaki diriku. Air mataku menetes, penglihatan terakhirku adalah salju yang berubah warna menjadi merah oleh genangan darahku. Sesulit inikah untuk hidup? Aku ingin tinggal di tempat yang tidak ada manusianya.
***
"Begini lebih baik," ucap seorang wanita yang memperhatikan sebuah tabung berisi setengah badan Resti setelah kembali dari misi penangkapan di gunung Everest.
"Pastikan dia tetap hidup. Pasukan kita akan kekurangan obat regenerasi jika sampai dia mati, Profesor Tiara." Nathan menjelaskan.
"Tentu saja, Jenderal Nathan. Jangan samakan aku dengan si pengkhianat itu. Resti tidak akan mati meski badannya kubelah-belah. Daripada dia kabur lagi, lebih baik kupotong saja tubuhnya jadi dua dan memastikan dia tidak akan bisa mendapatkan kesadaran selamanya." Tiara menjelaskan dengan senyuman lebar, tatapan matanya masih terfokus pada tabung besar berisi bahan eksperimennya.
"Maksudmu?" Nathan bertanya, kurang paham.
"Dia koma," jawab Tiara santai.
"Baguslah. Jadi tidak akan ada aksi kabur-kaburan lagi," sahut Nathan yang kemudian membalikkan badan untuk pergi bertugas.
"Omong-omong, bagaimana dengan pengkhianat itu?" Tiara bertanya.
"Eksekusi matinya akan dilaksanakan hari ini."
"Oh. Kau sendiri mau ke mana sampai membawa bahan obat regenerasi begitu banyak?"
"Aku akan memimpin pasukan untuk menaklukkan Asia."
Dunia menjadi seperti yang ditakutkan oleh Keysha. Pasukan militer dengan kemampuan regenerasi super, negara-negara lain yang menginginkan kemampuan yang sama sehingga berkomplot dengan pihak yang menguasai obatnya, perang yang pecah dan tidak dapat dihentikan. Hanya menunggu waktu sampai bumi ini berada dalam zona distopia.
Penulis: _restiqueen_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top