16. Rwar
Tema: Wabah zombie
Tokoh Utama: Ari
Pada suatu hari, di kota metropolitan yang—
DUDUDUDUDUDU
—dih.
Ari berguling ke belakang truk yang sudah berkarat untuk mengisi ulang senjata apinya. Dia mengintip sesekali dari balik truk untuk memastikan kalau jalurnya sudah bersih dari zombie-zombie yang bertebaran seperti remahan rengginang di karpet bulu.
Mayat-mayat para mayat berjalan tergeletak di sana-sini. Tetapi, Ari tidak melihat satu pun ciri-ciri kesadaran mayat-mayat dari para mayat.
Banyak amat kata "mayat"-nya.
Ari berdiri, celingak-celinguk sampai dia menemukan figur teman satu timnya dalam perjalanan pencarian stok makanan itu. Dengan percaya diri dia berteriak, "Sini, Ra! Semuanya aman."
Seorang perempuan keluar dari balik tempat sampah yang terguling dekat tiang listrik runtuh yang terbakar. Rara, namanya, berjalan pincang mendekati Ari. Tangan kanannya menenteng tas usang yang talinya hampir putus berisi kaleng-kaleng makanan instan.
"Aku mendapatkan semua ini dari toko di balik puing-puing bangunan itu." Rara memberikan isyarat dengan kepalanya ke arah belakang. Ari tidak memberikan respon lain selain anggukan kepala.
"Oke, kerja bagus Rara," puji Ari sambil tos dengan Rara.
Rara mengibas-ibaskan tangannya pelan setelah memberikan tos agak keras kepada Ari. "Berarti, sekarang kita kembali ke tempat persembunyian?"
"Iya, kalau harus lama-lama di luar, Rara nggak betah. Lagi pula, penjarahan kita sepertinya cukup untuk seminggu ke depan."
Kalau begitu, ayo ulangi pembukaannya.
Pada suatu hari, di kota metropolitan yang ramai penduduk—mana mungkin juga kota metropolis tidak ramai penduduk, ya—kepanikan menyebar dengan cepat dari satu sudut kota saat seseorang yang digadang-gadang merupakan seorang kanibal mulai menggigiti orang acak yang melewati rumahnya.
Katanya, si kanibal saat itu sedang menderita suatu penyakit seolah rabies pada anjing.
Katanya yang lain, si kanibal menderita penyakit tidak dikenali.
Sebenarnya, tidak ada yang tahu benar apa yang terjadi, tetapi wabah zombie dimulai dari kota bagian si kanibal tinggal. Mulanya, orang-orang tiba-tiba terbangun dengan rasa lapar yang menyiksa.
Lalu, produksi saliva yang berlebihan. Dilanjutkan dengan kerontokan rambut dan luka-luka yang entah muncul dari mana. Setelah luka-lika itu berubah menjadi borok, perubahan sikap menjadi lebih agresif dan kebinatangan akan nampak.
Kehancuran yang diakibatkan oleh orang-orang yang terinfeksi berkeliaran mulai terjadi di minggu ketiga "virus" itu tersebar ke seluruh penjuru kota, bahkan di jalan-jalan besar, dan mulai menyerang semua orang yang berpapasan dengan mereka.
Penyebaran yang cepat membuat panik seisi kota. Kematian dengan cepat menenggelamkan warga. Mereka yang tidak dijemput kematian ikut terinfeksi dari gigitan dan air liur para terinfeksi.
Berbeda dengan film-film wabah zombie yang beredar, "zombie" di kota metropolis itu masih memiliki akal mereka sebagai manusia. Bukankah mengerikan apabila makhluk seperti itu masih memiliki kepintaran manusia?
Seperti film-film wabah zombie yang beredar, para warga mulai mempersenjatai diri dengan apa pun yang ada, berbondong-bondong menjarah rumah dan toko untuk perbekalan bertahan hidup di benteng masing-masing.
Ari merupakan satu dari sekian banyak orang yang berhasil bertahan hidup di tengah wabah. Saat penyerangan para "zombie" terjadi, Ari sedang melakukan ujian.
Bisa dibayangkan kerusuhan dan kepanikan yang terjadi hari itu, ketika semua orang mulai berhamburan keluar dari kelas hanya untuk digigit dan dimakan oleh manusia-manusia terinfeksi.
Sampai hari ini, Ari selalu menganggap dia adalah orang paling beruntung karena berhasil melewati perjangkitan zombie, apalagi dia tidak sendirian.
"Menurutmu, apakah Kak Sura akan menerima makanan kaleng?" tanya Rara saat Ari membuka gerbang masuk pertahanan mereka yang terbuat dari kayu-kayu tua dan kawat-kawat tajam.
Ari tersenyum miring. "Yah, mau nggak mau, kita harus makan apa yang ada kan? Di situasi seperti ini, mana mungkin pilih-pilih."
Pertahanan mereka bukan pertahanan yang muluk-muluk, hanya sekumpulan tenda-tenda kemah dan gubuk setengah roboh yang ditransformasi menjadi tempat layak huni.
Tempat ini terletak tidak jauh dari perbatasan kota dan hutan. Ari dan rekan-rekannya memutuskan untuk membangun pertahanan di sini karena merasa para zombie tidak ada yang tertarik dengan hutan. Jadi, lebih dekat dengan hutan, lebih baik.
Sayang sekali hutan mereka tidak memiliki hewan yang setidaknya sebesar kelinci untuk diburu, hanya ada beberapa serangga dan tupai yang susah untuk ditembak dengan bakat tembak amatir.
Ari mendengar satu peluru ditembakkan dari arah barat. Dia menolehkan kepala, bertatapan dengan guru olahraganya yang ikut serta dalam pertahanan ini.
"Ada zombie yang mendekat, Bu Chacha?" Ari berhenti berjalan dengan Rara. Adik kelasnya itu memutuskan untuk masuk duluan ke dalam gubuk.
Chacha mengangguk singkat. "Satu. Beruntungnya, ibu menembaknya langsung di kepala." Wanita itu kembali menempatkan senapannya pada celah-celah gerbang kayu mereka.
"Keren," puji Ari. "Sebentar lagi matahari terbenam. Gantian saja dengan saya, Bu."
"Kamu masuklah dulu, istirahat. Baru saja berburu makanan masa langsung kerja lagi."
"Nggak apa-apa. Ibu juga pasti lelah kan duduk-duduk di sini dari siang?"
Chacha melempar senyum tipis pada gadis itu. "Terima kasih, Ari. Tapi ibu akan memanggilmu saja nanti kalau sudah benar-benar capek."
*
"Bangun, Ra!" bisik Sura setengah berseru sambil menggoyang-goyangkan tubuh Rara dengan heboh. "Ada penyusup!"
Rara yang tadinya setengah sadar mulai terbangun sepenuhnya. Dengan cepat dia terduduk, merangkak mendekati jalan keluar-masuk tenda mereka. Tangan Rara membuka resleting tenda dengan pelan, berusaha untuk mengintip tanpa terlihat.
Di luar sana, Rara bisa melihat tanah, persediaan senjata, beberapa tumpukan kayu lapuk, dan tiga siluet pria.
Rara bisa merasakan jantungnya yang seolah berhenti berdetak untuk beberapa detik. Tetapi sebelum dia mengizinkan panik menyerang hati, Rara berusaha untuk mengobservasi lebih lanjut.
Siluet-siluet itu tidak terlihat berjalan cepat dengan tangan-tangan kaku, melainkan berjinjit dan menggenggam benda yang kelihatannya seperti sebuah senapan.
"Sepertinya mereka manusia," bisik Rara kepada Sura yang duduk di sampingnya. Rara mundur dari tempatnya mengintip lalu meraba-raba alas tenda, mencari pistol kecil yang dibekalkan kepada masing-masing orang di malam hari.
Gadis itu meminta Sura untuk menunggunya di dalam tenda sebelum dia nekat keluar. Pandangannya mulai membiasakan diri dalam temaramnya lampu pertahanan.
Tak jauh dari hadapan Rara, dia mendapati tiga pria yang kelihatan berantakan.
"Kalian masuk lewat mana?" tanya Rara.
Salah satu laki-laki di hadapannya mengangkat tangannya ke atas untuk menunjukkan bahwa dia bukan ancaman. "Kami datang dari Epicmart, dekat pusat kota. Maaf sudah masuk tanpa izin, kami pikir tempat pertahanan ini tidak berpenghuni."
Rara belum sempat memberikan respon ketika cahaya lain tiba-tiba muncul dari gubuk. Dia melirik ke arah kiri dan menemukan Ari sudah berdiri di depan gubuk dengan senjata api sementara Chacha di sampingnya memegangi senter.
"Ada apa ini?" tanya Chacha.
"Saya Steven," laki-laki yang mengangkat tangan sekarang menghadap ke arah Ari dan Chacha, "saya dan dua rekan saya masuk kemari karena kami pikir pertahanan ini kosong. Kami tidak bermaksud membangunkan kalian."
Chacha dan Ari keluar dari gubuk, mendekati rombongan pria itu dan Rara yang masih berdiri dengan pistol di tangan kanannya. Sura yang mendengar suara Steven keluar dari tenda setelah yakin yang ada di markas mereka adalah manusia.
Steven bercerita kalau dia memang sedang menyusuri kota untuk mencari anaknya yang menghilang beberapa hari lalu. Berpikir bahwa anaknya pergi ke hutan, dia sengaja mengambil jalur pertahanan Ari dan timnya.
Sementara itu, rekannya Zack dan Paijo merupakan dua orang selamat random yang berpapasan dengannya di Epicmart. Steven berpikir tambahan tenaga bukan hal yang merugikan di wabah zombie seperti ini.
Mereka meminta izin untuk ikut bermalam, berpikir pertahanan yang dibangun oleh sekelompok perempuan itu cukup kokoh dan mampu menjaga mereka dengan baik. Sebagai gantinya, Steven menawarkan bantuan penjarahan suplai untuk bertahan hidup di sana.
Zack dan Paijo menawarkan hal yang sama.
Iba, Ari mengedikan bahu. "Boleh saja sih, aku tidak keberatan."
"Aku juga," imbuh Rara. Sura dan Chacha hanya mengangguk-angguk.
"Asal mengikuti peraturan yang ada di pertahanan saja." Chacha menyilangkan tangannya.
"Tentu saja, ini kan pada dasarnya rumah kalian, kami hanya bertamu," ucap Zack sambil manggut-manggut.
Paijo hanya memberikan jempol, tersenyum tipis sebagai isyarat terima kasih.
"Kami tidak punya tenda lain, dan sepertinya mustahil kalau kalian tidur bersama saya dan Ari," Chacha menunjuk tenda usang yang sudah bolong atapnya di belakang tiga pria itu, "untuk sementara, kalian bisa tidur di sana."
*
Steven meletakkan batang-batang kayu baru di dekat tumpukan kayu-kayu lapuk tak jauh dari tendanya. Di samping kayu-kayu itu, tong berkarat berisi beberapa golok dan kain-kain kotor berdiri tegak.
Ini adalah hari pertamanya singgah di pertahanan orang asing yang dengan baik hati menerima mereka untuk berdiam entah sampai kapan. Steven memutuskan untuk duduk di depan tendanya dan membersihkan senapan miliknya.
Dia meraih tas ransel dari dekat tong berkarat itu, membuka kantongnya dan mengeluarkan lap kering dari dalam sana. Steven hendak menyimpannya kembali ke tempat semula saat dia menyadari lubang yang ada di bawah tas ransel.
"Wah, sobek sejak kapan?" tanya Steven kepada angin lalu. Dia berpikir pada dirinya sendiri bahwa dia akan memperbaikinya nanti, lalu menengadah untuk melihat sekitar.
Ada Sura yang sedang berjaga di gerbang depan, sementara Rara di gubuk sedang membereskan suplai makanan.
Zack, Paijo, dan Chacha hari ini bertugas untuk melakukan penjarahan dan menemukan suplai baru seperti galon air dan tenda baru. Biasanya, suplai seperti ini ada di dekat mal besar di tengah kota.
Seseorang duduk tak jauh dari Steven. Pria itu melirik sosok tersebut dan tersenyum ketika bertatapan dengan Ari.
"Kamu berasal dari kota bagian mana?" tanya Ari tanpa basa-basi.
"Utara, Jalan Rendang Utara."
"Jauh juga," respon Ari.
"Apa pun untuk menemukan anak saya." Steven tertawa kecut.
Kening Ari berkerut. "Kalau aku boleh tanya, siapa namanua? Usianya berapa tahun?"
"Yemi, masih kecil, 10 tahun. Saya berharap dia masih ada di luar sana, kau tahu? Entah diselamatkan oleh orang lain atau berhasil bersembunyi."
"Kenapa dia bisa menghilang?"
"Saya bapak yang buruk," rutuk Steven.
"Hei, jangan begitu. Siapa juga yang mau terkena musibah seperti ini?"
Steven menghela napasnya. "Benar, kok. Kalau saya lebih memperhatikannya, seharusnya dia tidak menghilang."
"Jangan begitu. Kita berdoa saja kepada Tuhan yang terbaik. Siapa tahu anakmu sedang dikelilingi orang-orang selamat lain. Kita nggak mungkin hanya satu-satunya di kota."
"Ya, saya harap begitu."
DOR!
Suara senapan api yang melancarkan peluru datang dari arah gerbang depan. Sura terlihat cekatan mengisi ulang shotgun yang dia genggam, lalu kembali meletakkan ujung senapan tersebut di sela-sela gerbang.
"Oh, jadi itu begitu cara kalian menjauhkan zombie dari sini?"
Ari menganggukan kepalanya. "Enaknya di sini, nggak banyak zombie yang datang karena jauh dari tempat tinggal manusia. Walau beberapa tetap ada saja yang mendekat sih. Waktu itu, ada sekitar tiga sampai lima zombie yang hampir masuk ke pertahanan kami."
"Kalian kuat-kuat, ya."
"Begitulah. Kita nggak punya pilihan selain menjadi kuat di situasi seperti ini, kan?"
Sekarang, giliran Steven yang mengangguk. "Benar... hei. Kalau minggu depan saya yang melalukan penjarahan, apakah boleh? Saya ingin mengekspresikan rasa terima kasih saya."
"Iya, tentu saja. Itu akan sangat membantu."
*
Gerbang tertutup dengan kencang, menampakkan Steven yang baru kembali dari penjarahannya.
"Hei, kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Zack kepada Steven.
Pria itu terengah-engah, dengan lengan atas sebelah kanan yang berdarah, terlihat seperti sayatan dari pisau yang cukup tumpul. "Maafkan saya," ucap Steven pelan.
"Apa yang terjadi?" Chacha menghampiri pria yang terluka itu. "Di mana suplai yang seharusnya kamu bawa?"
"Di mana Sura?" tanya Ari, memotong pertanyaan Chacha.
Saat nama Sura disebutkan, Steven menggelengkan kepala sambil menunduk. Dia menatap satu per satu orang-orang yang ada dalam pertahanan. "Maafkan saya, saya pengecut."
Paijo menuntun Steven agar duduk di depan tenda mereka yang sudah diganti dengan tenda baru tanpa lubang. Dia membantu Steven untuk merawat luka pada lengan atasnya.
"Steven, di mana Sura?" tanya Ari penuh penekanan.
Steven sekali lagi menggelengkan kepalanya pelan. "Maafkan saya, dia... dia diserang oleh zombie di perbatasan daerah Tutung dan Empang di tenggara. Saya berusaha untuk membantunya, tetapi saya kehabisan semua peluru yang saya bawa." Pria tersebut memberikan senapannya kepada Ari.
Ari memeriksa senapan tersebut dan isinya memang kosong. "Steven..."
"Maafkan saya," ucap Steven untuk kesekian kalinya. "Saya tidak punya pilihan lain selain kabur. Di perbatasan daerah Tutung dan Empang, terlalu banyak zombie. Saya pun tidak tahu perihal ini karena belum pernah menjarah ke sana."
Zack mengepalkan tangan, merasa bersalah atas apa yang menimpa Sura. Dia menyadari isakan tangis dari Rara yang berdiri tidak jauh darinya. Tangan Zack mencoha untuk menepuk Rara agar gadis itu bisa menenangkan diri, tetapi Rara berlari ke tendanya.
Sebelum masuk ke sana, dia berteriak, "Pengecut! Seharusnya kamu berusaha lebih keras!"
"Rara!" bentak Chacha. Rara tidak menggubris dan menutup penuh tendanya.
"Maafkan saya," ucap Steven. "Saya tidak bisa terus membantu Sura lepas dari pegangan para zombie itu. Saya tidak bisa ikut terbunuh, saya meninggalkan istri saya di rumah. Setelah anak saya menghilang, tidak mungkin saya membiarkan Key hidup sendirian."
"Sudah," Paijo menepuk pundak Steven. "Kamu istirahat saja dulu, berhenti meracau. Masuk sana ke tenda."
Saran dari Paijo dilakukan oleh Steven setelah pria itu mengangguk. Dia merangkak masuk ke dalam tenda di belakangnya, meninggalkan empat rekannya di bawah langit bertabur bintang.
Ari mendengus. Tangannya bersilang di depan dada. "Sial."
"Kita nggak bisa menyalahkan Steven sepenuhnya," Chacha berdeham untuk menyingkirkan suara seraknya akibat menahan tangis, "aku yakin kita juga akan melakukan hal yang sama seperti Steven, apalagi jika peluru kita habis."
Zack dan Paijo sependapat.
Sementara Ari masih memiliki perasaan yang berkecamuk mengenai masalah ini.
*
"Kenapa kamu ingin berbicara dengan saya di sini?" tanya Steven sembari celingukan, menatap pohon-pohon yang tumbuh tinggi di sekitar mereka.
Ari telah membawanya ke belakang pertahanan untuk berbicara berdua. Ekspresi Ari yang sulit Steven baca membuat perasaannya kurang tenang.
"Apakah ini soal Sura?"
"Iya," jawab Ari dengan cepat. "Aku ingin mempercayaimu, Steven, tapi sulit rasanya mengingat aku datang dari tenggara, tempat yang seminggu lalu kamu bilang banyak zombie berkeliaran."
"Apa maksudmu?"
"Di tenggara masih ada zombie, tapi nggak sebanyak itu. Justru, hanya daerah itu saja yang zombie-nya paling minim. Makanya Sura memutuskan untuk pergi dan melalukan penjarahan di sana. Aku, Sura, Rara, dan Bu Chacha, semuanya berasal dari sana."
"Aku tidak mengerti—"
Ari tertawa penuh sarkasme. "Aku sedang menuduhmu soal pembunuhan Sura."
Kening Steven berkerut dengan kebingungan. "Untuk apa aku membunuh Sura di tengah wabah zombie?"
"Justru itu yang ingin aku tanyakan. Untuk apa kamu membunuhnya?"
"Mungkin karena aku tidak membunuhnya dan di tenggara memang banyak zombie. Ari, kamu tahu sendiri zombie-zombie di kota masih memiliki akal, sama seperti kita. Mereka bisa berpindah tempat. Sepertinya, Chacha dan Rara memahami itu lebih darimu," elak Steven.
Ari terdiam, meresapi pembelaan Steven kata demi kata. Mungkin, perasaan kehilangan dan kesedihan terlalu menguasai hatinya. Mungkin, karena tidak terima teman sekelasnya pergi dengan cara yang sangat tidak adil, Ari menolak kenyataan bahwa sudah satu minggu lamanya sejak Sura meninggal.
Gadis itu berkacak pinggang, tangan kanannya memijat pangkal hidung pelan. "Maaf, Steven. Aku... aku nggak tahu—"
"Tidak apa-apa, saya yang minta maaf," potong Steven. "Saya paham kalau kalian tidak menyukai saya karena insiden ini."
"Bukan, bukan seperti itu." Ari menggelengkan kepalanya. "Wabah zombie ini membuat semua orang hidup di bawah tekanan. Kematian seseorang yang dekat dengan kita pastinya akan sangat berpengaruh pada tekanan itu."
"Iya, kamu benar."
Gadis itu menatap jalur masuk hutan yang kelihatan sangat aman, damai, asri, tidak pernah tersentuh para zombie. "Hari itu, kamu berkata istrimu masih menunggumu."
"Oh, Key? Iya."
"Di daerah utara?"
"Tidak, tidak. Di daerah tenggara."
Ari mengernyit. Kepalanya menoleh dengan cepat ke arah Steven. "Apa—"
Sebelum Ari sempat menyelesaikan kalimat tanyanya, rasa nyeri pada kepala bagian kiri dan kegelapan menyergap terlebih dahulu.
*
Pandangan Ari kabur.
Dia tidak bisa bergerak.
Dia tidak bisa bersuara.
Saat jiwanya sudah kembali seutuhnya ke dalam tubuh, Ari menyadari bahwa kaki dan tangannya diikat. Dia ada dalam posisi duduk, dengan kain yang terikat untuk menyumpal mulutnya.
Tak jauh dari tempatnya duduk, dia bisa melihat sosok Steven yang berdiri dekat dengan dinding penuh tongkat-tongkat besi. Ari mencoba untuk berteriak, lupa bahwa mulutnya disumpal. Suara yang bisa dia hasilkan hanya geraman amarah.
Steven berjalan mendekat, perlahan. Dia berjongkok di hadapan Ari dengan ekspresi datar, tanpa rasa bersalah maupun kesedihan pada matanya. Tangan Steven membuka sumpalan kain yang menghalangi mulut Ari.
"Apa-apaan?!"
"Maaf, Ari." Steven berdiri, kembali ke tempatnya berdiri semula. Pandangan Ari kini sudah lebih jelas. Gadis itu menyadari dia berada di ruangan yang kelihatannya seperti ruang bawah tanah, sementara Steven berdiri bukan dekat tongkat-tongkat besi melainkan jeruji sel tahanan.
Jantung Ari seolah berhenti sejenak ketika dia menyadari apa yang ada di balik jeruji. "Steven, sialan! Kau gila!"
Jeritan Ari tidak Steven gubris. Gadis itu mencoba untuk melepaskan ikatan tangan dan kakinya sambil sesekali kembali memandangi apa yang ada di balik jeruji.
Dengan rasa panik dan usaha terakhir untuk bebas dari situasi ini, Ari berseru, "Kau pikir anakmu akan senang dengan apa yang kau lakukan?"
"Saya tidak punya anak."
Steven membuka pintu jeruji tersebut dan menjauh dari situ, membiarkan sosok berkaki pincang dengan kepala miring berjalan mendekati Ari.
"Maaf, saya tidak bisa membunuhmu terlebih dahulu. Istri saya suka yang masih hidup. Maafkan saya."
*
a.n
Saya mohon maaf sama kamu yg udh buang waktu baca ff ga jelas ini. Hampura abdi 🙏
Penulis: stvngrs
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top