14. Sang Pahlawan

Tema: Asrama berhantu
Tokoh Utama: Riq

“Udah kubilang, kan, jangan dipindahin ke situ, Yuu ....”

Riq berteriak begitu melihat gramofon di kamarnya berpindah tempat dari yang awalnya di atas meja, kini berada di sisi televisi. Pupilnya melirik ke sekitar, berusaha mencari seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolah Jepang.

Suara gemericik air terdengar saat Riq mencoba terlelap. Sontak remaja laki-laki itu membuka kedua kelopak matanya dan melirik kamar mandi yang pintunya masih tertutup.

“Yuusha ... jangan bercanda, deh. Nanti anak-anak asrama enggak ada yang mau nemenin kamu main lagi.” Remaja laki-laki itu beranjak dari kasurnya, kemudian dia menuju kamar mandi, dan membuka pintu tepat beberapa detik setelah suara gemericik air tersebut menghilang. Tidak ada siapa pun di dalam sana. “Kalau kamu kayak gini terus aku bakalan bilang ke Kak Resti tau!”

Kimura Yuusha, adalah hantu yang berkeliaran di dalam Asrama Duka. Dia anak keturunan Jepang-Indonesia pada masa perang dunia kedua. Anak cemerlang yang lahir dari cinta seorang penjajah dan seorang pribumi. Bahkan anak yang tidak bersalah itu harus meninggal lima tahun setelah Jepang meninggalkan Indonesia. Arwahnya berkeliaran sendirian, mencari kedua orang tuanya, yang mungkin telah beristirahat dengan tenang, di tempat yang seharusnya kekal.

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa anak itu memang takut saat bertemu dengan Resti, tetangga kamar Riq. Sejak awal Resti pindah ke asrama umum, Yuusha tak sekali pun menampakkan kakinya di dalam kamar perempuan tersebut. Katanya Resti memiliki seseorang yang menjaganya, dan itu membuat bocah keturunan Jepang itu takut bahkan hanya untuk sekadar bersitatap langsung dengan pagawai Indomei tersebut.

“Riq ...”

Suara seseorang terdengar, diiringi dengan suara ketukan pintu dari arah pintu kamar Riq. Pemuda itu pun lantas menoleh ke arah pintu kamarnya. Beberapa detik ia terdiam, untuk memastikan bahwa ketukan pintu kamarnya bukanlah hasil kejahilan Yuusha. Setelah berdiam cukup lama, suara ketukan pintu dan panggilan di luar sana semakin kencang. Membuat Riq mau tak mau berjalan ke arah pintu kayu tersebut lalu membukanya.

“Riq! Lama banget, sih, dipanggilnya. Kamu harus tau informasi ini.”

Suara perempuan terdengar sesaat setelah Riq membuka pintu. Pemuda itu mengedipkan mata kebingungan begitu melihat dua orang dengan mimik wajah panik sedang berdiri di depan kamarnya.

“Tadi Yuusha datang ke kamar Nina. Katanya dia mau pergi dari asrama ini,” ucap Icha, lalu dia menunjukkan sebuah artikel melalui ponselnya. “Kamu tau tulang belulang yang ditemuin di pinggir asrama ini minggu lalu?”

Riq memicingkan mata. Lalu dia membaca artikel yang ditunjukkan oleh Icha. Terpampang sebuah berita yang tampak familier, dia pun membacanya dengan saksama.

Beberapa kerangka manusia ditemukan di pinggir gedung asrama. Setelah dilakukan autopsi oleh badan terkait, ditemukan fakta bahwa kerangka itu telah berumur puluhan tahun yang lalu. Ahli forensik telah mengidentifikasi bahwa tulang belulang itu milik seorang pria dan seorang wanita. Di dekat kerangka tersebut, ditemukan dua plakat nama yang terbuat dari logam, dengan nama 'Siri' dan 'Dadang'.

“Terus hubungannya apa sama perginya Yuu?"

Icha dan Nina saling pandang saat Riq bertanya seperti itu. Kemudian mereka berdua mengangguk, dan Nina menyerahkan sebuah buku yang mirip dengan buku jurnal harian. Kening Riq tampak berkerut, lalu dia membuka sampul buku itu dan membacanya.

"Semua catatan tentang hantu misterius di Asrama Duka, Yuusha." Riq mengucapkan tiap katanya secara lantang. "Pada 1943, dia lahir di Bandung. Dengan Ibu bernama Siri Wahyuningsih, dan Ayah bernama Kimura Kichirou, yang berganti nama sebagai Kimura Dadang."

Kelopak mata Riq berkedip setelah membaca beberapa kalimat di halaman pertama. Dia melirik ke arah Icha, lalu setelahnya menatap Nina demi memastikan kebenaran. Gadis berambut hitam sebahu itu hanya mengangguk sambil menunjukkan kembali artikel yang tadi sempat dibaca oleh Riq.

"Bukannya aneh, kenapa cuma Yuusha hantu yang gentayangan di sini sementara di setiap tempat pasti ada beberapa hantu?" Nina melihat sekeliling sebelum akhirnya menghela napas kasar. "Ada kemungkinan kalau seseorang ngelindungin tempat ini, dan nahan Yuusha buat pergi. Dia mungkin ketahan karena masih penasaran tentang keberadaan orang tuanya yang tiba-tiba menghilang di tanah ini."

"Terus kalaupun ada yang nahan, kenapa Yuusha bilang kalau dia pengin pergi dari tempat ini?" tanya Riq sambil menoleh ke arah kamarnya yang terasa seperti sedikit sesak.

Icha mengelus tengkuknya dan melirik ke arah Nina yang juga terlihat sedikit aneh. "Maksudnya, kalau emang kerangka yang ditemuin di samping asrama ini punya kedua orang tua Yuusha, mungkin alasan dia  tetap tinggal karena ngerasain energi orang tuanya yang masih terkurung di tempat ini. Sekarang, kan, udah dipindahin sama orang-orang kepolisian."

Riq hanya mengangguk kemudian dia melirik ke arah kamar Resti yang pintunya masih tertutup. Rasanya lumayan hangat saat dirinya berusaha mendekat ke arah kamar itu, walau memang selama beberapa minggu terakhir Riq tidak berjumpa dengan Resti. Berbeda dengan di depan kamarnya yang terasa sangat dingin, dan dia merasakan sensasi kehampaan menyeluruh saat berada di kamarnya.

"Jadi, Yuusha ke mana?"

Sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut Riq. Hal pertama yang dapat ia pikirkan adalah pertemuan pertamanya dengan hantu bocah Jepang itu. Itu setelah Riq sadar dari koma, pasca kecelakaan, beberapa minggu yang lalu. Awalnya ia sangat ketakutan, sampai suatu ketika dirinya mulai terbiasa. Apalagi setelah mengetahui bahwa tetangga sekitar kamarnya, Nina dan Icha juga bisa melihat keberadaan Yuusha. Riq mulai merasa nyaman dengan hantu bocah itu, setiap celotehnya, bahkan tingkah lugunya, walau kadang merasa terganggu jika Yuusha melakukan kejahilan atau menampakkan dirinya dengan penampilan saat ia baru meninggal.

Riq jadi teringat perkataan yang pernah diucapkan Yuusha, "Dahulu, di tempat ini ada banyak bangunan berarsitektur Belanda. Tanah ini dulunya rumah kami, Ibu memilih berjualan minuman herbal di sini. Kau tahu, Riq, dahulu di depan rumahku ada toko permen yang sangat enak." Dia banyak menceritakan kejadian bahagia di hidupnya, seolah penyiksaan yang dilakukan kedua orang tuanya bukanlah ingatan menakutkan. Yuusha tumbuh dengan penuh kasih sayang semu, tanpa tahu mungkin kehidupannya akan berakhir di usia tujuh tahun.

Dan mungkin dia akan mengakhiri perjalanannya sebentar lagi.

"Ngomong-ngomong, kamu mau buang barang-barang ini semua, Riq?" tanya Icha yang tiba-tiba bersuara di tengah keheningan.

Riq yang tadi terdiam pun sontak menoleh ke pinggir pintu kamarnya. Dia mendapati beberapa kaset radio serta piringan hitam miliknya telah ada di luar kamar. Riq pun dengan emosi berjalan ke dalam kamarnya dan mencari orang iseng yang melakukan perbuatan itu.

"Yuusha, aku tau itu kamu. Udah, deh, jangan becanda lagi. Aku benera—"

Tubuh Riq mematung setelah melihat bayangan tinggi seseorang sedang berdiri di depan kasurnya. Dadanya terasa sesak, kepalanya mulai sedikit pusing, bahkan tubuhnya sedikit memanas begitu melihat orang itu sedang ikut balik menatapnya.

"Oh, kamu yang tinggal di sini?" tanya orang itu sambil mengangkat salah satu alisnya.

Riq mengangguk. Kemudian dia menggelengkan kepalanya dan menoleh memperhatikan rak koleksi kaset radionya telah kosong melompong. "Kayaknya kamu enggak sopan, deh, kalau masuk kamar orang tanpa izin."

"Aku cuman mau nyelesain pekerjaanku." Pemuda asing yang memasuki kamar Riq itu bersikap acuh tak acuh, lalu ia mengambil seprei kasur yang awalnya masih tampak rapi itu dan memasukannya ke dalam kardus.

"Berhenti enggak. Kalau enggak, aku bakalan laporin kamu ke polisi atau penjaga asrama. Lagian masa sewaku di sini itu belum habis!" Riq berteriak.

Nina dan Icha langsung memasuki kamar setelah mendengar temannya itu berteriak. Keduanya pun menegang saat melihat pemuda yang ada di depan Riq, kemudian mereka saling berbisik dan langsung meninggalkan kamar.

Pemuda yang sedang merapikan seprei itu berdecak sebelum akhirnya menyentuh pundak Riq. Dia menatap Riq dengan lekat, pandangannya terasa sendu, wajahnya memerah, hingga akhir dia memejamkan mata, dan menghela mengembuskan napas panjang.

"Apa kamu nyaman tinggal di asrama ini? Apa kamu enggak mau pulang?" tanya pemuda yang memakai pakaian lengkap dengan masker, sarung tangan, dan penutup kepala.

Riq melirik name tag yang tertempel di pakaian pemuda itu. Terdapat nama 'Rian' di sana. Lalu dirinya melirik langsung kedua pupil mata orang yang ada di depannya. Hatinya sesak, tubuhnya mulai melemas, perkataan Rian membuat pikirannya berputar-putar. Seperti ada sesuatu yang hilang. Namun, dia tidak tahu apa yang sebenarnya membuat ia tersentil melalui perkataan Rian.

"Kamu enggak kasihan sama keluargamu? Kenapa kamu enggak pulang?"

Kenapa kamu enggak pulang?

Pandangan Riq tiba-tiba berubah setelah dia mendengar pertanyaan tadi. Kini dirinya melihat jalanan yang sangat panjang, dengan lalu lintas yang lancar dan sedikit pengendara roda empat.

"Kenapa kamu enggak pulang aja, Riq?"

Kepalanya menoleh ke arah suara yang memberinya pertanyaan tersebut. Dia mendapati Icha di sampingnya sedang menyetir mobil, sementara melalui kaca spion tengah, Riq melihat ada Nina yang sedang tertidur di jok belakang.

"Maksudnya. Lama-lama di asrama itu bikin jenuh enggak, sih? Lagian kita udah lama lulus SMA, enggak ada yang harus dicari lagi di tempat itu," Icha menoleh ke arah Riq, sebelum kembali memperhatikan jalan tol yang ada di depan sana.

"Aku masih nyari tahu keberadaan anak yang pernah kulihat waktu itu. Kamu pernah kuceritain, kan? Anak yang wajahnya kayak orang Jepang, yang nyelametin aku sebelum gedung asrama sebelah kebakaran," ungkap Riq dengan suara penuh percaya diri. "Karena kejadian itu juga, kan, sekarang asramanya digabung."

"Dan karena itu juga kamu pengin tetep di sana?" tanya Icha memastikan.

Riq mengangguk. "Iya, walau dalam keadaan hidup dan mati, aku bakalan tetep nyari anak itu. Setidaknya aku mau ucapin terima kasih sama dia."

Karena dia yang minta aku buat menghargai hidupku lebih banyak lagi saat aku nyoba buat bunuh diri, dan karena dia juga yang nyuruh aku buat pergi dari kamar yang penuh api itu.

"Pokoknya, kita harus sampai ke tempat Kak Resti sebelum akad dimulai." Icha menekan pedal gas lebih dalam, lalu gadis itu melirik ke arah matahari yang belum muncul ke permukaan.

Riq memijat kepalanya yang terasa pusing. Pemuda itu melirik ke arah Icha yang tampak biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Suara seseorang terdengar saling bersahutan di dalam telinga Riq, membuatnya mau tak mau menyandarkan tubuhnya di sandaran jok mobil, dan bernapas secara perlahan.

Pandangan Riq semakin buram ketika sebuah mobil yang ada di lajur kanan tiba-tiba berhenti. Napasnya terasa sesak, suara klakson dari mobil yang ia tumpangi terdengar sangat nyari diiringi teriakan Icha yang saling bersahutan. Tidak ada jeda, atau jarak yang memungkinkan untuk beralih ke lajur lain. Semua itu tampak mendadak. Untuk Riq yang telah berhasil bangkit dari keterpurukan, untuk Icha yang awalnya menganggap semua akan baik-baik saja, bahkan untuk Nina yang tidak tahu apa yang akan terjadi sehingga memilih terlelap dengan tenang.

Pandangan Riq menghitam begitu mobil yang ia tumpangi menabrak mobil yang berhenti di depannya. Tidak begitu lama, rasa sakit menyerang tubuhnya, sebelum akhirnya kesadaran pemuda itu menghilang seutuhnya.

"Kamu enggak kasihan sama keluargamu? Ayo cepetan bangun Riq!"

Kelopak mata Riq terbuka sesaat setelah suara tadi terdengar. Pandangannya didominasi oleh tembok berwarna putih. Pemuda itu menoleh ke sekitar, mendapati orang-orang yang sedang berkerumun di sekitar ranjang kamar rumah sakit.

Mereka semua menangis. Ada beberapa yang juga berpelukan, dan Riq dapat melihat Resti yang menangis tersedu-sedu dipelukan seorang laki-laki. Aneh. Pemuda itu memicingkan matanya. Kemudian dia mendekat ke arah orang-orang yang masih mengerumuni satu ranjang tersebut. Dirinya berusaha mencoba menerobos beberapa orang itu. Sampai akhirnya ia telah berada di depan ranjang, dan tubuhnya menegang saat melihat wajah pucat seseorang yang terbaring tak bernapas di atas kasur. Itu dirinya.

"Ke-kenapa?!" Riq berteriak. Namun, tidak ada seorang pun yang mendengar ucapannya.

"Ma, ini aku anakmu. Aku Riq, aku masih hidup, lihat ini aku bisa jalan."

Riq menangis mendekat ke arah wanita tua yang sedang menangis memeluk tubuh orang yang terbaring di atas kasur. Tidak ada jawaban sama sekali, semua orang yang ada di ruangan itu tak ada yang mendengarnya.

"Ini aku, lho, Pa! Aku masih nyimpen kaset radio pemberian Papa di kamarku, aku enggak meninggal, kok!"

"Kak Resti! Kakak lihat aku, kan? Kita sering ngobrol, lho, sebelum Kakak nikah. Ini aku, Riq, aku masih ada di sini, Kak."

Beberapa kali Riq meracau dan berteriak tidak jelas ke setiap orang yang ada di ruangan itu. Ironisnya, seberapa besar usahanya untuk dapat didengar, orang-orang itu tetap saja tidak memperhatikannya. Membuat Riq terus berkeliling berusaha membuktikan bahwa dirinya masih ada. Bahwa dia belum meninggal.

"Katanya Rian udah beresin kamar Riq di asramanya. Abis ini kita bisa pulang ke Jakarta, lalu Riq bisa nyusul Icha dan Nina buat istirahat di sana," jelas Resti setelah melihat pesan masuk di ponselnya.

"Apaan, sih, Kak! Aku masih hidup. Ini aku, ini beneran aku di sini, Kak!"

Riq mengusap wajahnya setelah frustasi. Dia menoleh ke arah pintu. Di sana terlihat Yuusha yang sedang menangis dengan kaki melayang di udara. Riq memperhatikan dia, anak yang dicarinya selama beberapa tahun terakhir. Apa sekarang saatnya dia untuk mengucapkan terima kasih?

Yuusha mengucek kelopak matanya. Lalu, pandangannya berlabuh ke arah Riq yang masih berdiri diam. Mereka berdua saling bersitatap, sebelum akhirnya Riq mengangguk dan tersenyum. Terima kasih.

Yuusha, artinya pahlawan. Bahkan seorang pahlawan pun tidak dapat menyelamatkan takdir kematian seseorang.

Penulis: rifuriqi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top