13. Bye-bye
Tema: Grup band sekolah
Tokoh Utama: Fuyu
Terduduk di dalam ruangan gelap, dirinya mendongak. Netranya memandang lurus ke arah langit-langit, sembari mendesah di setiap satu menit. Berada dalam posisi itu, dia akhirnya bangkit. Pandangannya berpindah posisi, terfokus pada lembar-lembar kertas yang berserak ke segala arah, kemudian teralih pada bingkai foto yang menampilkan dirinya dan beberapa anak gadis lainnya. Mereka tersenyum cerah menghadap kamera, dengan panggung sebagai latar, sebuah hal yang pada akhirnya hanya bisa menjadi angannya. Kenangan yang sia-sia.
Langkah kakinya berjalan ke meja belajar, terhenti di sebuah mp3 berwarna biru dengan garis putih. Untuk waktu yang cukup lama dia memandang alat pemutar musik itu lama, sebelum menyumpalkan kepala earphone ke daun telinga. Untuk persekian detik, tak ada suara apapun, kemudian satu demi satu bunyi menyapa indra pendengarannya. Musik yang diawali dengan solo gitar akustik. Nadanya terdengar pelan, tetapi mengirimkan sinyal sarat kerinduan di dalam hatinya. Seiring dengan solo gitar akustik terputar, dia mengangkat tangannya, ikut memetik nada dari suara itu. Meski tangannya gemetar hebat, dan air mata yang entah sejak kapan mengalir di matanya, gadis itu tetap melanjutkan kegiatannya. Dia terhanyut dalam dunia yang selalu menjadi tujuannya.
Solo gitar kemudian berganti dengan suara keyboard, tak lama vokal mengiringi nada. Napasnya seketika tercekat, mendengar suara halus yang tak akan bisa dia dengarkan lagi saat ini, suara yang membawanya pergi dari dunia abu-abu nan monoton. Memberikan warna dalam setiap hari dan hanya untuk membuatnya kembali ke kegelapan dunia saat suara itu menghilang untuk selamanya.
Sampai lagu habis, dia terdiam kaku, tangannya masih di udara, tak bisa bergerak. Tanpa peringatan badannya seketika tumbang, dan di ujung kesadarannya sebuah cahaya menyinari seluruh wajahnya.
****
19 September 2xxx
Duduk sembari memandang jendela kelas gadis itu tak memandang guru yang berada di papan tulis. Fokusnya berada di luar ruangan, tangisan dari langit jatuh ke bumi, memberikan wangi yang menenangkan dan membuai untuk menutup mata kemudian menjelajahi alam mimpi. Persekian detik berada di posisi itu, suara bel dari speaker kelas memecah hening. Sang guru segera menutup kelas dan melenggang pergi. Suasana kelas langsung riuh rendah. Mejanya yang berada di paling belakang dan ujung kelas bahkan tak bisa menghalau suasana ramai itu, pada akhirnya dia menyumpal kedua telinga dengan earphone yang tersimpan di saku rok, kedua tangannya terlipat di atas meja sembari memandang ke luar jendela sekali lagi, gadis itu menutup matanya. Terhanyut dalam alunan musik, mengosongkan pikiran dan mengisolasi diri dari dunia luar. Hanya ada dirinya dan musik, gadis itu yakin itulah takdirnya.
Akan tetapi pemikirannya hancur berantakan saat tiba-tiba seseorang menahannya ketika ingin pulang. Dirinya memandang sang penghadang dengan alis terangkat tanpa berkata apa-apa. Sang pelaku malah fokus memainkan kedua jemarinya, menenggelamkan keduanya dalam diam yang menyesakkan. Akhirnya, setelah orang itu menghela napas panjang, sebuah suara terdengar.
“Kamu, suka band A Rocket To The Moon?” tanya orang itu padanya.
Untuk waktu yang sebentar dia terdiam. Membuat sang lawan bicara memandanginya dengan raut wajah panik.
“Ah! Aku bukan bermaksud aneh-aneh, loh ya. Aku cuma penasaran karena kulihat ada nama band itu di tasmu,” ujarnya kelabakan sembari menunjuk stiker nama band yang dia maksud di tas sang gadis.
Mengerti maksud sang penanya, akhirnya gadis itu mengangguk pelan. Sebuah senyum terbit di wajah sang gadis.
“Memangnya kenapa?” Gadis itu bertanya. Perasaannya aneh saat melihat gadis itu tersenyum lebar. Apa jangan-jangan dia ingin mengatai style musiknya yang jadul?
Melihat raut wajah kurang suka dari sang gadis orang tersebut menggeleng kuat. “Nggak kenapa-kenapa, sih. Aku cuma nggak nyangka aja ada yang suka band itu,” ujarnya.
“Karena yang suka itu biasanya orang-orang yang lebih tua? Iya, seleraku memang jadul, ada masalah?” Nadanya ketus saat mengatakan hal tersebut, membuat orang yang bertanya terdiam cukup lama. “Ah, maaf, aku nggak bermaksud begitu,” lanjutnya.
Menggeleng pelan, lawan bicaranya hanya memberikan senyum tipis. “Nggak papa kok, santai aja. Oh ya, kenalin namaku Icha, kita pernah berada di satu kelas saat tingkat pertama, walau nggak pernah interaksi. Salken ya!”
Tangan gadis itu terulur, membuatnya menyambut uluran meski sedikit ragu.
“Namaku Fuyu, maaf, aku nggak ingat kamu, tapi salam kenal.”
Respon Fuyu membuat Icha tersenyum, gadis itu mengeluarkan ponselnya, mengulurkannya ke arah Fuyu.
“Aku boleh minta nomormu? Mau nanya-nanya soal band itu,” ujarnya semangat. Perkataan gadis itu sempat membuat Fuyu ragu, tetapi gadis itu pada akhirnya mengangguk dan memberikan nomornya.
Setelah mendapatkan nomor, Icha berpisah dengan Fuyu. Sembari melambai gadis itu memandang tubuh Icha yang mengecil. Yah, tak mungkin juga anak itu akan menghubungi nanti. Batinnya kemudian berbelok ke arah kanan.
Pemikiran Fuyu terpatahkan saat ponselnya berdering seusai makan malam. Dengan pandangan tak percaya dia memandang nomor tak di kenal di chat WhatsAppnya. Foto profil langit biru dan nama tampilan WhatsApp ‘Icha’. Tak salah lagi, gadis itu benar-benar menghubunginya.
Isi pesannya tak panjang, dia hanya memberikan info kalau ini nomornya dan dia harap Fuyu menyimpan kontak WhatsApp Icha. Namun, penggunaan emoticon yang banyak sempat membuat gadis itu sedikit kebingungan, ditambah dengan emoticon yang menangis, membuat Fuyu berpikir apakah gadis itu benar-benar sedih harus menghubunginya.
Kenapa pakai emot nangis? Kamu sedih harus chat aku?
Akhirnya Fuyu menanyakan hal tersebut, dalam sekian detik balasan sedang diketik oleh lawan percakapan.
Nggak gitu ih! Emoticon ini bukan berarti sedih, kok. Bisa juga artinya ketawa atau senang tau.
Senang? Ketawa? Apa maksudnya?
Meski bertanya demikian di dalam hatinya, Fuyu hanya mengiyakan jawaban Icha. Gadis itu cukup bingung dengan tindakan orang yang baru dia kenal namanya hari ini, tetapi tak berani untuk bertanya lebih lanjut. Yah, biarin ajalah. Batinnya kemudian membalas pesan selanjutnya dari Icha.
Obrolan kedua gadis itu bertahan lama, untuk pertama kalinya Fuyu betah memegang ponselnya hampir satu jam penuh. Dimulai dari membahas band A Rocket To The Moon, obrolan kemudian mengalir ke arah hal yang Fuyu sukai dan obrolan remeh lainnya. Gadis itu memandang layar ponsel. Icha sedang mengetik, entah obrolan apa yang akan dia bahas lagi kali ini, Fuyu tanpa sadar menunggu gadis itu selesai mengetik dan mengirimkannya. Namun, lima menit berlalu ketikan itu tak selesai juga. Mata Fuyu yang kian lama terasa berat tanpa sadar benar-benar tertutup, meninggalkan pesan terbaca yang tidak akan dibalas sampai sang empunya bangun besok pagi.
****
Pada jam istirahat keduanya duduk saling berhadapan, Icha memandang Fuyu lama.
“Maaf,” cicit Fuyu. Pandangannya tertuju pada Icha. Gadis itu hanya terdiam sebentar sebelum menghela napasnya.
“Maaf buat apa? Lagipula kan kamunya ketiduran, nggak papa kok.” Gadis itu menyesap teh kotaknya sekali kemudian memberikan roti kepada Fuyu.
Fuyu membuka bungkus roti itu, memakan isinya. Rasa mentega yang cukup tajam membuatnya sedikit terkejut, sebelum kembali memakan roti dengan tenang. Icha sendiri hanya menyesap tehnya lagi. Keheningan mengelilingi mereka untuk waktu yang cukup lama. Gadis itu memandang langit biru dari jendela lama.
“Fuy, gimana kalau kita bikin band?”
“Hah? Band katamu?” Fuyu memandang Icha lama. Sedangkan gadis yang dipandang masih tetap terfokus pada langit luas.
“Iya, band.” Atensi Icha pada akhirnya milik Fuyu, gadis itu memandang netra gelap Fuyu lama. “Mau?” tawarnya.
“Ini … serius?”
“Ya iyalah, nggak mungkin aku bercanda.” Icha menjawab dengan mantap. Fuyu masih tak memberikan jawabannya. “Ya sudah, pikirkan saja dulu, jawabannya nanti aja. Mau ke karaoke bareng pulang sekolah nanti?”
Fuyu hanya mengangguk. “Yah, walau suaraku nggak bagus, boleh deh.”
Pulang sekolah keduanya benar-benar ke tempat karoke. Gadis itu memilih lagu yang mereka inginkan. Icha, memandang Fuyu lama.
“Seleramu bagus-bagus ya,” ujarnya memandang antrian lagu milik Fuyu.
Fuyu sendiri hanya mengangguk dan menunjuk lagu yang Icha pilih sebelumnya. “Aku malah nggak percaya kamu tau lagu ini, Cha. Ini kan lagunya lama banget?”
“Lagu Westlife maksudnya? Ya bener sih, tapi enak, loh lagu-lagunya, walau banyak yang cover dari lagu orang,” ujar gadis itu kemudian memegang mic. Gilirannya di awal, gadis itu memandang lirik lagu sembari mendengarkan musik intronya. Saat sudah tiba giliran vokal, suara lembut keluar dari bibir, membuat Fuyu terdiam memandang gadis di sampingnya lama.
Lagu berputar tiga menit lewat, saat lagu itu berakhir Fuyu secara tak sadar bertepuk tangan. Gadis itu memandang Icha lama, sedangkan gadis yang dipandang hanya tersenyum lebar.
Kegiatan itu kemudian berlanjut, giliran Fuyu, kemudian giliran Icha, kembali lagi ke giliran awal sampai waktu karaoke habis. Saat keduanya sudah keluar dari ruangan itu, mereka saling pandang. Senyum terkembang di bibir mereka.
Keduanya berjalan pelan dengan matahari sore sebagai latar belakang. Saat melewati toko alat musik, Fuyu terdiam cukup lama.
“Kenapa?” tanya Icha heran.
Fuyu tak segera membalas, gadis itu malah memilih masuk ke dalam toko, membuat temannya cukup kebingungan. Saat sampai di kasir. Gadis itu memandang etalase lama, sebelum beralih ke penjaga toko.
“Apa ada senar gitar elektrik?” tanyanya. Sang penjaga mengangguk, dirinya kemudian ke belakang counter dan kembali lagi dengan barang yang Fuyu pesan.
“Apa anda membawa gitar anda? Jika ingin langsung kami gantikan senarnya?” Pertanyaan penjaga toko itu dibalas gelengan oleh Fuyu.
“Tidak usah, langsung totalkan saja harganya,” jawab gadis itu.
Sang penjaga toko kembali mengangguk, dia sigap memberikan harga senar dan Fuyu membayar tanpa banyak protes. Setelah selesai, Fuyu berjalan keluar toko, membuat Icha yang mengikutinya cukup kelabakan.
“Cha, kamu bilang tadi mau bikin band, kan?” tanya Fuyu. Icha hanya mengangguk, membuat sebuah senyum tipis terbit di wajah Fuyu. “Kalau gitu, ayo kita cari anggota lainnya.”
“Hah?” Icha hanya merespon dengan rasa terkejut yang tak bisa dibendung.
****
Fuyu cukup menyesali perkataannya. Gadis itu tidak sadar perasaan implusif mengambil alih. Saat dirinya sudah sadar, gadis itu tengah mengganti senar gitar elektrik yang sudah dia abaikan selama bertahun-tahun. Jemarinya menyusuri senar gitar, bayangannya kembali ke masa pertama kali mendapatkan gitar tersebut. Senyum cerah yang dia berikan ke seseorang, sembari memegang tangan orang tersebut, dia melirik gitar yang berada di punggung orang itu.
Sebuah kenangan manis nan pahit pertamanya, seandainya saja dia tak membeli gitar itu, dia tak akan merasakan rasa kehilangan yang besar.
Tersadar dari lamunannya, Fuyu menggeleng kuat. Air matanya menumpuk, mengingat orang itu selalu membuat hatinya berdenyut sakit kemudian menangis selaman suntuk. Yang benar saja, nggak mungkin aku besok bisa berhadapan dengan Icha kalau mataku bengkak karena nangis. Batinnya.
Gadis itu menghela napasnya lama, kemudian mulai memetik senar. Sebuah melodi yang lama tak dia mainkan kembali terdengar di dalam kamar tersebut.
Paginya Fuyu memandang Icha yang berdiri di depan rumahnya. Gadis itu melambai dengan semangat, membuat Fuyu rasanya ingin masuk ke rumah dan tak jadi pergi ke sekolah.
Namun, berbanding terbalik dengan pemikirannya, gadis itu malah mendekati orang yang ingin dia hindari. “Kenapa pagi-pagi ke sini?” tanyanya.
Icha hanya nyengir, gadis itu melirik ke gitar yang dia gendong di belakang punggung. Senyum gadis itu makin lebar, membuat Fuyu ingin mencubit pipinya agar berhenti tersenyum. “Wah, kamu bawa gitarmu toh,” ujarnya alih-alih menjawab pertanyaan dari Fuyu.
“Iya, kan katanya mau bikin band, kita harus mulai latihan dong.” Pada perkataan Fuyu, Icha terdiam lama. “Kenapa?” tanyanya pada akhirnya.
“Kamu tau kan, dalam band itu ada berbagai jenis instrumen?” Fuyu mengangguk. “Sedangkan siapa aja yang bisa main instrumen di antara kita?”
Keheningan menyergap mereka kemudian. Fuyu memandang Icha lama. Wajahnya sedikit memerah, tanpa banyak bicara gadis itu segera ke dalam rumah, kemudian keluar tanpa gitarnya.
“Buruan, nanti kita telat,” ujarnya. Fuyu berjalan mendahului Icha, membuat gadis itu harus mengejar dengan sedikit tawa.
Selama perjalanan Icha tak henti-hentinya menggoda Fuyu. Gadis itu senang dengan reaksinya, terlihat imut, berbeda dengan auranya yang seperti kulkas dua pintu. Keduanya kemudian perpisah karena berada di kelas yang berbeda. Icha mengatakan bahwa setelah pulang sekolah dia akan merencanakan perekrutan anggota band lainnya. Fuyu hanya mengangguk, rasa malu masih menyelimutinya. Tindakannya tadi di rumah sangat menunjukkan betapa antusiasnya dia pada ide Icha, dan itu membuat Fuyu ingin menenggelamkan diri ke liang kubur saat itu juga.
Saat bel tanda pulang terdengar, Icha sudah ada di depan kelas Fuyu. Gadis itu melambai selagi Fuyu dengan cepat membereskan isi tasnya. Tak lama Fuyu keluar dari dalam kelas. Gadis itu memandang Icha dan seorang gadis yang berdiri di balik punggungnya.
Seakan paham, Icha sedikit bergeser, memberikan ruang bagi Fuyu untuk melihat orang itu dengan jelas.
“Oh, ini Qila. Dia adik kelas kita. Aku tadi nggak sengaja liat dia main drum di ruang musik.”
“Jadi?”
“Jadi ayo kita ajak dia ikut band!” Icha berseru dengan semangat, membuat Fuyu dan Qila terlonjak kaget. Keduanya saling pandang sebentar, sebelum suara memecah keheningan yang kaku itu.
“Band? Maksudnya apa? Saya pikir Kakak mau ngajak ke sini buat minta tolong angkatin barang?” Fuyu melirik Icha, yang memandang Qila dengan senyum kaku.
“Anu, maaf, sebenarnya aku bohong …,” cicitnya. Qila masih memandangi Icha, membuat gadis itu makin tak enak hati. “Jadi gini, sebenarnya aku mau bikin band. Fuyu bakalan jadi gitarisnya, dan kamu bakalan jadi drummer. Aku sendiri bakalan jadi vokalis. Gimana? Apa tertarik?”
Qila tak segera membalas. Gadis itu memandang Fuyu dan Icha bergantian. Kakinya memukul lantai pelan, menimbulkan suara benturan yang memenuhi lorong antar kelas.
“Kalau aku ikut kalian, apa untungnya buat aku?” tanyanya.
Icha terdiam lama. Sedangkan Fuyu yang melihat gelagat sang teman membuka suaranya.
“Bukankah main drum sendirian itu membosankan? Kalau kamu bergabung, permainanmu akan lebih beragam dan kamu nggak akan kebosanan. Gimana? Apa kamu tertarik dengan tawaran yang diajukan oleh dia?” Fuyu berkata sembari menunjuk Icha.
Qila kembali tak mengeluarkan suara. Benturan ujung kaki dengan lantai semakin mencepat. Pada akhirnya, gadis itu mengangguk, membuat Icha melompat kegirangan dan berlari memeluk Fuyu. Untuk persekian detik, Fuyu sedikit panik. Namun belum sempat memproses apa yang dia alami gadis yang memeluknya sudah melepaskan pelukan dan berganti menggandeng Qila dan dirinya.
“Karena udah ada tiga anggota, sekarang tinggal dua lagi, kan? Bass dan keyboard.”
****
Pencarian kedua personel ternyata tak memakan waktu lama. Icha selalu menemukan cara untuk mendapatkan apa yang dirinya mau. Fuyu cukup kaget, karena siapapun yang Icha pilih memang sangat pas dengan posisi yang kosong.
“Jadi, ini udah lengkap kan?” Seorang gadis yang memakai kacamata angkat suara. Dia melirik tiap orang, lantas jatuh kepada Icha. “Kamu bilang kalau kamu bakal jadi vokalisnya, aku belum pernah dengar suaramu. Keberatan kalau menyanyikan satu lagu?”
Icha memandang gadis itu lama, kemudian mengangguk dengan senyum lebar. Berdiri dari posisi duduknya, Icha mulai menyanyikan sebuah lagu; More Than Word's. Lagu dari grup Extreme.
Saat lagu berakhir, gadis berkacamata itu hanya diam saja. Dia berdeham sejenak sebelum bangkit. “Jadi, kita mau mentas di festival sekolah kan? Kalau gitu mending kita latihan sekarang. Mau mainin lagu apa?”
*****
“Rav, mau mulai latihan sekarang?” Seorang gadis bertanya pada gadis lainnya yang mengenakan kacamata. Rav mengangguk, sembari membenarkan posisi kacamata.
“Boleh aja. Yang lain udah ada kan Nin?” Sang lawan bicara mengangguk. Nina segera berlari kecil ke sudut ruangan. Ada Fuyu di sana, sedang memetik gitarnya. Gadis itu mengangguk saat Nina sudah ada di depannya. Nina sendiri kemudian mendekati Icha dan Qila yang berada tak jauh dari Fuyu.
Saat semuanya sudah lengkap mereka kembali latihan. Waktu yang tersisa hanya satu bulan. Ajuan mereka diterima dengan mudah oleh pihak sekolah karena Rav adalah ketua OSIS. Karena jabatannya mereka memang mudah untuk masuk ke dalam acara, tetapi itu juga berarti waktu latihan kelima gadis itu terpotong cukup banyak karena kesibukan Rav. Meski demikian, Rav tetap berlatih dengan rajin. Padahal, niat awalnya dia ingin menolak tawaran Icha, tetapi entah bagaimana dia malah setuju dan menambah daftar keharusan yang dilakukan.
Menghela napasnya gadis itu mulai memainkan note nada keyboard. Setiap menyentuh tuts putih dan hitam itu, Rav seakan dibawa ke dunia antah berantah. Dia bebas, dari segala hal yang menahannya selama ini.
Tangannya yang mulai menekan not yang digunakan untuk pertunjukan mulai diiringi oleh bassist. Nina tersenyum manis ke arahnya. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangan ke senar bass. Senyumnya kian terkembang, jemari yang menciptakan not nada itu seakan-akan membuat dunia baru untuknya. Seakan tak mau kalah, drum ikut masuk ke dalam alunan musik, diikuti oleh gitaris.
Icha memandang sekitarnya dengan senyum cerah, gadis itu memandang ke depan dan mulai bernyanyi.
Selama sebulan penuh, mereka latihan. Hari yang ditunggu datang. Kelimanya memandang panggung di tengah lapangan lama. Angin dingin yang entah darimana berhembus tak membuat mereka gentar.
“Kita beneran manggung nih?” Icha buka suara. Gadis itu kemudian memandang rekan bandnya, yang tak membalas apapun.
Pada akhirnya Icha tak membalas apapun. Gadis itu tersenyum lebar dan kembali memandang panggung.
****
“Baiklah! Sebagai pembuka festival sekolah ini, mari kita dengarkan band sekolah kita Wonder girls! Personel silahkan naik ke atas panggung.”
Panggilan dari MC acara membuat kelima gadis itu gelagapan. Dengan tergesa mereka berjalan mendekati panggung. Fuyu hampir menjatuhkan gitarnya dan Qila terlanjur kehilangan satu drum stiknya. Dua orang di belakang panggung dengan sigap membantu Qila dan Fuyu sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.
Icha memandang nametag mereka, gadis itu tersenyum dan berkata, “makasih ya udah bantu mereka, Kokom, Siri.” Fuyu dan Qila juga mengatakan hal yang serupa kemudian menyusul menaiki panggung.
MC membuka percakapan di antara mereka, Icha hanya membalas dengan cepat dan tepat. Setelah segala pertanyaan habis, sudah saatnya mereka menunjukkan penampilan mereka. Kelima gadis itu saling pandang sejenak sebelum memainkan alat musiknya masing-masing. Fuyu berdiri di samping Icha. Gadis itu memandang sang vokalis yang sedang menyanyikan lirik lagunya. Tiba-tiba terdengar suara keras dari arah belakang, sontak Fuyu menoleh. Teriakan terdengar keras kemudian, warna merah memenuhi tempat drum berada. Qila sudah tak berada di posisi duduknya, bahkan wajahnya sudah hancur karena tertimpa lampu sorot panggung.
Tangan Fuyu bergetar, teriakannya kemudian ikut terdengar sebelum pandangannya kabur.
Saat Fuyu membuka mata, dia ada di dalam kamarnya. Pemandangan Qila membuatnya kembali menjerit histeris. Seseorang memasuki kamarnya, memandang gadis itu kebingungan.
“Fuyu, ada apa nak?” Wanita paruh baya memandang Fuyu yang masih menjerit kebingungan. Tak mendapatkan jawaban, dia pada akhirnya memeluk anak gadisnya kuat. Teriakan Fuyu berganti menjadi isak tangis. Mereka berada di posisi itu cukup lama.
Setelah tenang, Fuyu melepaskan pelukan Ibunya. Gadis itu memandang wanita paruh baya dengan sorot horor. “Qila gimana kondisinya, Bu? Kepalanya hancur?”
Mendengar pertanyaannya sang Ibu memandang Fuyu lama. Matanya berkedip beberapa kali. “Apa maksudmu? Qila tentu ada di rumahnya. Apa kamu mimpi aneh-aneh tadi, nak? Mungkin karena gugup mau manggung hari ini?”
“Hah? Manggung? Bukannya aku udah—” Pandangan Fuyu beralih ke kalender yang tak jauh darinya. Di satu tanggal tercoret tulisan bertinta merah. Hari manggung, hari ini. Tapi, bukankah dia sudah manggung kemarin? “Bu, ini tanggal berapa?”
“19 November. Kenapa?”
Ada yang aneh.
Fuyu tak menduga hal yang dia alami. Waktu berulang? Yang benar saja. Seperti kata ibunya, pasti Fuyu mimpi seperti itu karena gugup. Meski menyimpulkan hal demikian Fuyu tak bisa menyangkal sekelebat bayangan mengerikan di mimpinya. Gadis itu pada akhirnya melapor kepada pihak tata panggung, mereka segera melakukan pemeriksaan dan memang menemukan hal yang dilaporkan oleh Fuyu. Lampu panggung memang tidak terpasang dengan benar.
Menghela napasnya, Fuyu merasa dia sudah menghentikan bencana. Namun, kala Rav terjatuh dari panggung dan membentur batu yang entah dari mana ada di sana, gadis itu kembali terbangun.
Fuyu kembali lagi untuk kedua kalinya. Di hari yang sama dan jam yang sama. Gadis itu kebingungan, tetapi dia tetap melakukan hal yang sama. Memperingati tiap orang. Namun, lagi dan lagi. Setiap anggota merenggang nyawa di depannya. Lingkaran yang tak berujung. Suara gadis itu sudah habis untuk berteriak. Air matanya tak bisa mengalir lagi. Sudah sepuluh kali kejadian maut itu berulang. Acak antara Qila, Rav, dan Nina.
Kali ini, kembali terulang. Pengulangan kesebelas. Fuyu duduk di bangku balik panggung. Gadis itu memandang serius keempat anggota lainnya.
“Hei, gimana kalau kita nggak usah naik panggung?”
“Hah?” Rav merespon. Gadis itu memandang Fuyu heran. “Kenapa bilang begitu—”
“Ini demi kebaikan kalian, ayo kita batalkan saja. Ya, ya?”
“Kenapa ini demi kebaikan kami?” Nina menyela, gadis itu memandang Fuyu. Sorot matanya penuh dengan kebingungan.
Fuyu memainkan senar gitarnya. Dia bingung harus memulai dari mana. Pada akhirnya, gadis itu menceritakan hal yang dia alami. Bukannya percaya, mereka malah menertawakan ceritanya.
Kembali, Fuyu harus mengulang kejadian yang sama.
Fuyu lelah. Pada putaran kedua belas, gadis itu bersiap mundur. Dia mendekati Icha.
“Cha, aku mau ngomong sesuatu,” ujarnya.
Icha hanya memandang Fuyu lama. Gadis itu kemudian mengangguk.
“Aku ingin berhenti. Cukup sampai sini aja. Makasih, ya.”
Rav, yang mendengar ucapan Fuyu segera menyela. “Loh, kenapa Fuy? Bentar lagi kita naik ke panggung loh. Kalau lagi becanda ini nggak lucu.”
“Aku serius.”
“Anak sinting,” Nina tiba-tiba masuk dalam obrolan. Gadis itu memeluk bassnya erat. Dia segera menyerahkannya ke Qila dan berjalan ke arah Fuyu. “Kau pikir siapa bisa seenaknya keluar pas bentar lagi kita naik panggung? Yang benar aja dong! Kalau akhirnya mau gini, kenapa ikut dari awal!”
Fuyu terdiam gadis itu ingin membalas, tetapi bibirnya tak mampu mengucapkan apapun. Pada akhirnya dia berbalik, meninggalkan rekannya. Terdengar suara Nina, gadis berteriak memanggil namanya. Namun, Fuyu tak peduli. Tampaknya dia harus menghindar agar tak ada hal buruk yang terjadi pada mereka.
Namun, Fuyu ternyata salah.
Dia kembali terbangun. Pengulangan ketiga belas, dia hanyalah cangkang kosong. Suara para anggota lain tak sampai ke telinganya. Gadis itu hanya memainkan nada yang jemarinya ingat, sampai, suara seseorang dari sampingnya tiba-tiba terdengar.
Icha berdiri di sana, tersenyum pada Fuyu. Tiba-tiba telinga gadis itu kembali mendengar suara instrumen lainnya. Dia menoleh ke semua anggota band. Ya, tampaknya semua akan baik-baik saja.
Dan ternyata itu hanyalah harapan semu. Suara Icha tak terdengar lagi. Gadis itu tak berdiri di sampingnya, tubuhnya sudah ambruk ke lantai panggung. Kematian Qila terulang di Icha. Pandangan Fuyu seketika menggelap.
****
Terbangun dari posisi terlentang di lantai Fuyu mengusap wajah kasar. Earphone yang sebelumnya ada di telinga malah tergantung antara meja belajar dan lantai. Berbeda dengan kematian anggota lainnya, Fuyu tak mengulang waktu saat Icha tiada. Waktu tetap berjalan maju, meninggalkan gadis itu dalam kegelapan tak berujung. Bandnya hancur, para anggota tak lagi berhubungan. Hanya ada sebuah foto yang mereka ambil sebelum penampilan dan rekaman mp3 amatir lagu yang mereka mainkan saat latihan.
Hati gadis itu berdenyut sakit mengingat kejadian itu lagi. Namun, pada akhirnya dia harus maju, dan mungkin ini sudah saatnya dia maju setelah tiga tahun kematian Icha. Fuyu berjalan ke pintu kamar, hendak keluar setelah tiga tahun penuh mengurung diri. Namun, cahaya terang membutakan pandangannya sesaat saat dia membuka kenop tersebut.
Ketika sadar, Fuyu kembali terbangun di atas kasurnya. Gadis itu memandang kondisi kamar yang berbeda jauh dengan sebelumnya. Ini … kamarnya sebelum kematian Icha. Sontak saja, gadis itu segera melihat kalender. Sebuah coretan bertinta merah ada di sana. Fuyu kembali, ke hari pengulangannya.
****
“Fuy, lagi nggak enak badan?” Icha bertanya saat melihat Fuyu memandanginya lama.
Fuyu sendiri hanya menggeleng, gadis itu tersenyum lebar ke arah Icha. “Nggak kok, aku cuman kangen aja,” ujarnya sambil memeluk Icha.
“Tumben mau meluk? Biasanya ogah.” Meski berkata demikian, Icha membalas pelukan Fuyu. Gadis itu tertawa kecil, diikuti dengan kekehan Fuyu.
Tanpa mereka sadari para anggota yang berada tak jauh dari mereka diam-diam mendekati dan ikut memeluk kedua gadis itu. Meski sedikit kaget, Fuyu tertawa lepas.
Sudah lama dia tak bertemu mereka lagi.
Kembali naik ke atas panggung, Fuyu memandang tempat benda-benda yang bisa membahayakan mereka. Meski gadis itu sudah mengatakan pada para anggota tata panggung untuk mengecek kembali lampu dan hal lainnya, perasaan tak enak Fuyu masih membekas. Kali ini, dia tak akan membiarkan siapapun mati.
Musik mengalun, mereka mulai terhanyut dalam posisi masing-masing. Suara Icha kembali terdengar, membuat Fuyu hampir tak bisa membendung rasa harunya. Setengah lagi terlewati dengan aman, hanya tinggal sedikit lagi hingga mereka menyelesaikan penampilannya. Fuyu melirik lampu panggung, perasaan tak enaknya menjadi kenyataan.
Lampu itu terlepas dari posisinya, kembali mengincar kepala Icha. Sontak, Fuyu segera meraih Icha, mendorong gadis itu dan menggantikan posisi yang semula milik Icha.
Persekian detik, Fuyu melihat wajah terkejut dari sang gadis, kemudian seulas senyum lebar dan kata-kata tanpa suara.
“Game over, bye-bye, Fuyu.”
Kegelapan menyambut Fuyu untuk selamanya.
Penulis: Catrella2
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top