10. Mencuri Batara
Tema: Terlempar ke masa depan
Tokoh Utama: Tara
“Batara Kala yang menyamar menjadi Batara Indra, diam-diam terbang ke surga, dan meminum air keabadian yang dibagikan Batara Guru. Kejadian itu dilihat Batara Surya atau Dewa Matahari dan Batara Candra atau Dewa Bulan.
“Sebelum air itu menyentuh tenggorokan, Batara Wisnu memenggal Batara Kala. Alhasil, kepalanya menjadi abadi dan melayang. Karena dendam pada Batara Surya dan Batara Candra, Batara Kala mencoba menelan matahari dan bulan setiap ada kesempatan.
“Dan jika itu terjadi, anak-anak tidak boleh keluar rumah. Takut dimakan Buto. Namun, pernah ada anak yang nekat dan menemukan sebuah kendi emas ajaib. Begitu kata kakekku.” Selesai sudah dongeng Baim.
“Ajaib kenapa tuh?” Tara penasaran.
Dua anak muda duduk di sebuah saung dekat lapang luas. Dulunya tempat ini adalah sawah.
“Kendi itu berisi Batara pengabul permohonan. Kamu mau minta apa?” Baim balas bertanya.
“Utopia. Bayangkan sebuah semesta dimana pengusaha tidak meneror warga supaya menjual sawahnya. ” Matanya berkaca-kaca.
Bell berbunyi dari saku Baim. Rupanya itu sebuah notifikasi dari smartphone-nya. “Gawat, lupa ada kelas online. Maaf, Tara, aku harus pergi.”
Bergegas lelaki itu turun dari saung, memakai sandal, dan lari seperti dikejar manusia serigala. Meninggalkan seorang gadis yang melambai ke arahnya.
Kini yang tersisa hanya Tara dan suara angin. Sepi sekali, tidak ada siapapun. Hembusan angin kian menguat, dan menguat, pertanda sesuatu. Sebuah bola warna warni tiba-tiba muncul di hadapan Tara, menghisap apapun yang ada seperti blackhole.
Gadis itu mencoba kabur, namun mau tidak mau, dia tertelan. Kilatan cahaya aneka warna membuatnya Tara menutup mata karena silau. Pandangannya gelap gulita, teriakan tak bersuara. Rasanya seperti dimakan werewolf di malam pertama.
“Tara.” Suara yang tidak asing terdengar.
“Tara.” Sekali lagi.
“Tara, ini aku, Baim.”
Gadis itu membuka matanya. Sumber suara itu adalah bapak 40 tahunan, berkumis, berkemeja jingga dan kerah hijau. Mereka berdua di ruangan sempit tertutup.
“Sial, kenapa yang terpanggil malah Tara yang masih sekolah?” umpatnya.
“Sebentar, Kak Baim kenapa jadi bapak-bapak?”
Baim mengeluarkan laptop, dan memutar video. Sesosok wanita dewasa tergambar jelas.
“Ini Tara, aku dapat kendinya, Utopia ada di depan mata. Ternyata, kendi itu hanya bekerja saat gerhana. Aku diburu sekarang, tapi santai aja, besok aku ke tempatmu.”
Video berhenti. Yang terputar hanya kesunyian.
“Sudah 5 tahun aku mennunggu,” ucap Baim dengan sendu. “Terus aku ngide manggil Tara 5 tahun yang lalu, tapi malah kamu yang datang,” keluh Baim.
“Kapan gerhananya?” tanya Tara.
“24 jam lagi.”
“Ayo kita curi kendinya,” celetuknya.
“Gila, kita bisa mati. Memangnya kamu mau minta apa dan apa untungnya buatku?” marah Baim.
“Aku ingin dunia tanpa ‘kegelapan’ dan Kak Baim bisa balas dendam sebelum itu terjadi.”
“‘Cahaya’ tidak akan tercipta jika ‘gelap’ tidak ada dan idemu terlalu abstrak. Kita berdua pasti mati—”
“Tapi ini yang Tara dewasa mau,” bujuk Tara.
“... Kita butuh orang lagi.”
***
Bulan purnama tanpa ditemani bintang menggantung di atas kepala Tara. Batara Candra melaksanakan tugasnya dengan baik. Tara sendirian di rooftop, ditemani jemuran celana dalam yang belakangnya kuning.
Suara motor kopling tua terdengar kian mendekat. Berhenti. Mati. Lalu tergantikan oleh suara jejak kaki.
“Kenapa lihat bulan?” teriak Baim dari bawah.
“Terangnya bulan akan padam besok. Aku ingin menikmatinya.”
“Seterang apapun cahaya bulan, polusi cahaya lebih terang.”
Pintu utama terbuka dan Baim memasukkan motornya ke ruang tamu, bersamaan dengan Tara menuruni tangga. Terduduk di sana seorang bapak botak berkacamata, sedikit janggut, dan memakai jaket biru tua. Seketika dia melirik tangga.
“Sejak kapan kamu punya adik?” tanya si botak.
“Tara, bukan adiknya.” celetuk gadis itu.
“Dia dari masa lalu, aku pakai wormhole-mu,” tambah Baim.
“Namanya CWM—Cacinggrama Wormhole Multiverse,” singgung si botak. Perhatiannya ke berbelok Tara, “Cacinggrama, panggil aja cacing. Kamu traitor yang menggantikan Tara dewasa mencuri kendi itu?”
“Lalu apa tujuanmu?”
“Uang kuliah anakku.”
Tetiba saja sepotong pergelangan tangan keluar dari balik jaket Cacing. Tara terkaget sampai jatuh ke belakang. Tangan itu merayap dari perut ke pundak Pak Cacing. Namun, bukannya menerkam Tara, ia malah malu dan bersembunyi di balik kupluk.
“Ini robot AI-ku sekaligus hacker kita, Nina.” ucap Cacing setelah tertawa.
“Dan anggota terakhir adalah … dia,” teriak Baim meriah dan menepuk motornya.
“....” Tara dan Cacing terdiam seribu bahasa.
“Motor ini dirasuki jin Aldo. Pemilik sebelumnya membuat kesepakatan dengan bangsa jin. Ya, kan, Do?” Baim seperti mendongeng.
Motor—ralat—Aldo diam. Tentu saja. Cacing dan Tara mematung. Terkecuali Nina, sepotong tangan itu sibuk mengetik sesuatu di smartphone Cacing.
“... Maaf, ya. Dia lagi bad mood, habis putus sama Jelita.” Baim berusaha memecah keheningan. Lalu berbisik ke motornya, “Kubilang juga apa, sepeda listrik itu toxic.”
Cacing berbisik ke Tara, “Meninggalnya Tara dewasa mungkin berimbas ke otaknya.”
“Pantas aja aku lihat motor itu punya aura.” Suara khas perempuan google keluar dari smartphone Cacing, rupanya Nina tadi ngetik itu.
“Dua kata lucu, AI Indigo,” celetuk cacing.
Ruangan itu sederhana. Satu meja kotak sedang, dan 3 kursi di 3 sisi. Cacing duduk di selatan. Aldo di barat. Tara baru duduk di timur. Nina di pundak cacing, terhalang oleh kupluknya. Sisanya Baim berdiri dan menggunakan kursi utara untuk meletakkan proyektor, yang di atasnya ada laptop. Ini berarti satu hal, saatnya perencanaan pencurian.
***
“Rencana ini sudah bagus, tapi gimana caranya kita ke sana?” tanya Tara.
“Aldo, kan, ada.” Baim menerangkan.
“Dua bapak-bapak dan satu anak sekolah perempuan duduk di satu motor?” singgung Tara.
Cacing keluar dari ruangan, dan masuk lagi dengan membawa kotak besar berwarna putih. Cacing memasangkannya ke Aldo. Tetiba saja kotak itu bertranformasi seperti robot. Dia melahap Aldo dan mengubahnya menjadi sesuatu yang baru.
Aldo kini memiliki atap, kursi depan, dan kursi belakang seperti mobil. Namun disetir dengan stang seperti motor. Beroda tiga dan lebih besar dari motor, tapi lebih kecil dari mobil.
“Ini kendaraan scifi kita. Motobil, gabungan motor dan mobil,” teriak Cacing bersemangat.
“Lebih mirip bajaj futuristik,” sindir Tara.
Nina bergetar sedikit. Tangan itu malu-malu tertawa.
“Dapat dari mana?” Pertanyaan Tara menghujan.
Cacing dengan kesadaran penuh menjawab, “Plothole.“
***
Gerhana bulan menunjukkan tandanya. Setelah motobil berjalan cukup jauh, akhirnya mereka tiba di depan rumah megah. Menurut infomasi Tara dewasa, pemilik kendinya adalah Siri, seperti tante antagonis. Dia content creator, pebisnis ulung, pejabat lincah, dan motivator besar. Rumahnya hanya dijaga robot dan dia tinggal sendirian.
“It's crime time, baby,” celetuk Cacing seperti Webs di film ‘The Bad Guys.’ Akhirnya setelah 1000 kata, pencurian ini dimulai.
Nina turun dari Aldo. Sepotong tangan itu berkamuflase dan diam-diam merayap masuk ke rumah. Dia masuk ke ventilasi, saluran air, dan celah-celah lainnya hingga ke ruang server.
Gerbang tiba-tiba terbuka sendiri, Nina berhasil meretas dari server. Aldo masuk dengan perlahan. Segera semuanya turun dan perpisah, menjalankan rencananya. Tara mencari kendi emas, Baim mencari Siri, Cacing mencari harta.
Kaki Tara memasuki rumah dari pintu garasi depan. Tidak ada apapun selain sepeda listrik. Di tangannya sebuah smartwatch bertengger, monitor virtual muncul dari sana, menampilkan penglihatan CCTV. Siri berada di studio, sedang membuat konten.
“Semua aman?” Earphone Tara bersuara Baim.
“Aman,” jawab Tara dan Cacing.
Nina menjawab melalui text di monitor hologram. Dan nampaknya Aldo masih bad mood.
Gadis itu mengetuk jam tangannya. Monitor hologram berubah jadi model 3d rumah, lalu potong menjadi denah. Karenanya dia tau studi ada di lantai 2 dan tempat paling aman disana adalah ruang bawah tanah tersembunyi. Besar kemungkinan itu tempat kendi emas disimpan.
Hologram denah rumah berganti jadi tangan bersimbol, “oke.”
Tara mengetuk smartwatch-nya lagi. Kini hologram menghilang. Dia sekarang harus ke lorong, ruang keluarga, kamar Siri, kemudian tangga rahasia di balik lemari. Bergegas tapi tetap hati-hati, Tara membuka pintu, namun ditutupnya lagi dengan cepat. Ternyata ada orang di sana.
Dengan panik, dia mengetuk smartwatch-nya. CCTV menunjukkan lorong itu kosong. “Siri enggak sendiri, aku lihat ada lelaki di lorong.” Tara memperingatkan ke yang lainnya.
Baim membalas, “Tapi di—”
“Iya aku tahu, itu anehnya.”
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu Untung saja mereka membawa senjata.
Pintu terbuka, dengan cepat Tara mengambil pistol rakitan dari sakunya dan menodongkan—
“Ini aku, Tara,” ucap Baim. “Aku ke sini buat bantu, tapi tadi di lorong enggak ada siapapun.”
Tara dengan cepat ke balik pintu. Lorong benar-benar kosong. Mereka berjalan pelan ke ruang keluarga dan berpisah. Baim naik tangga, ingin ke studio. Tara ke kamar tidur.
Depan lemari, dia mengambil sebuah lempeng plastik bercetak sidik jari, menempelkannya di kenop pintu lemari. Pintu bergeser, terbuka sebuah tangga rahasia. “Nina, kamu dapat sidik jarinya darimana?” tanya Tara.
Smartwatch mengeluarkan hologram bertuliskan, ‘Data pribadi kita diperjual belikan oleh yang punya sosial media.’
Tara masuk dan menuruni tangga ke ruang bawah tanah. Ternyata, banyak benda berharga di ruangan itu.
“Cacing, tempat yang kamu cari adalah ruang bawah tanah.”
“Otewe, Tar,” jawabnya.
Kaki Tara masuk dengan perlahan. Matanya ke kiri-kanan mencari kendi emas ajaib. Yang ada adalah emas, berlian, pusaka, dan barang-barang mahal lainnya.
Ternyata Tara tidak sendiri disana. Lelaki yang ada di lorong tadi berdiri di belakangnya. Tinggi dan besar, memakai pakaian seperti pendekar silat, memegang keris tajam.
Tanpa berpikir, gadis itu mengeluarkan pistol rakitan dan menembaknya. Ternyata kulit lelaki itu anti peluru. Tara ingin berlari, namun tidak ada jalan lain. Dengan putus asa, dia menembak beberapa kali.
“Kau harusnya sudah dibunuh,” teriak lelaki itu.
Lelaki itu mengangkat kerisnya. Dengan kecepatan penuh, Tara ditikam sedang mengenaskan. Atau Itu yang seharusnya terjadi. Namun Aldo datang menabrakkan rodannya ke si lelaki, dan menyelatkan Tara.
Motor kopling tua itu melepaskan kata “bil” di “motobil” dan menjadi yang seharusnya. Ternyata konsep motobil dipakai penulis untuk membanyak kata di cerpen ini.
Lelaki itu berbalik sembari mengusap sumber rasa sakitnya. Menatap murka ke motor berisi jin. Makhluk astral melawan makhluk astral. Aldo menekan rem depan sembari tancap gas dengan kecepatan penuh. Bahkan bannya berasap akibat gesekan.
Ketika saatnya, Aldo melepas rem dan menubruk keras. Lelaki itu terlempar dan mendarat di depan Tara. Bergegas gadis itu melompatinya dan lari keluar ruangan.Kakinya naik tangga ke kamar tidur, lalu ke ruang keluarga. Smartwatch-nya tiba-tiba mengeluarkan tanda seru besar merah dari Nina, bertuliskan, ‘AWAS DI ATAS.’
Spontan Tara mendongak, Siri menempel di atap dan menjatuhkan diri, menyerang. Namun dia tertembak dan jatuh di samping Tara.
“Tara, kemarin kamu Traitor. Baru bisa bunuh orangnya sekarang, jadi jangan mati dulu.” Ternyata peluru tadi dari sniper Cacing yang berdiri di tangga.
Gadis itu bergegas lari menjauh. Suara Baim terdengar dari earphone, “Tara, coba lihat ini.”
Smartwatch Tara mengeluarkan hologram monitor virtual. Siri rupanya sedang live tiktok dan di belakangnya ada kendi emas. Utopia yang dia cari ternyata ada di studio.
“Aku ke sana, tapi Kak Baim, Siri juga ada di sini dan lelaki—”
“Ya, kita ketahuan. Mungkin dia mungkin sudah memohon ke Batara beberapa kali,” jawabnya.
Tara berlari ke tangga semakin kencang, menuju Cacing. Namun entah sejak kapan, ada 2 Siri yang mengejarnya dari belakang.
“Merunduk, Tara,” teriak Cacing.
Dor!
Satu Siri terkapar di lantai. Namun, beberapa detik kemudian dia menggandakan dirinya. Sekarang ada 3 Siri yang mengejar Tara. Kakinya sudah di tangga, dia naik mendekati Cacing. Senjatanya snipernya bertransformasi jadi shotgun. Saat Tara melewatinya—
Dor!
Tiga kloningan Siri tertembak. Tinggal tunggu waktu jadi enam. Selagi Tara berlari ke studio, Cacing bergerak menuruni tangga dan mengaktifkan night vision di kacamatanya. “Nina, aku butuh bantuanmu,” katanya.
Lantai satu gelap total. Untunya, Tara sudah di lantai 2 dan di samping pintu Baim mengawasi gerak-gerik Siri dari live tiktoknya dan CCTV. “Tara, jangan di sana,” teriak Baim.
Dua laser merah menembak dari balik pintu studio menyayat bahu Tara. Gadis itu terjatuh saking terkejutnya. Live tiktok sudah berakhir, saatnya pertarungan.
Pintu studio yang sudah berlubang itu meledak, hancur lebur berserakan. Memperlihatkan Siri si tante antagonis. Melihat Tara, matanya langsung menembakkan laser. Untungnya Tara sempat bersembunyi di balik meja.
Siri berjalan pelan ke arah Tara, mengarahkan lasernya pelan. Jarak lasernya hanya 1 centimeter dengan tenggorokan Tara. Semakin mendekat, lebih dekat dan Baim memukul kepala tante antagonis. Membuat lasernya menjauhi Tara dan gadis itu lari bersembunyi di meja yang lain.
Siri berbalik ke Baim, siap menembakkan lasernya lagi. Namun tetiba saja terdengar suara raungan besar dari kamar tidur. Klakson Aldo juga keluar dari earphone, menandakan bahaya.
“Gais, kita harus keluar dari sini kalau enggak mau mati.” Teriakan Cacing di earphone menambah ketegangan.
Tara bersuara, “Kita harus lancarkan rencana terakhir.”
Suara kerusakan dahsyat terdengar. Sesuatu yang kian membesar datang dari kamar tidur. Itu lelaki yang tadi bertarung dengan Aldo, dia berubah jadi raksasa yang lebih tinggi dari rumah ini. Atap jadi berlubang memperlihatkan gerhana bulan sedang terjadi.
Di ruang server, Nina mengepal. Mencoba menghitung. Jari telunjuk dia luncurkan, tanda angka 1.
Siri masuk ke studio, mengambil kendi emas, dan lompat seperti ninja ke garasi. “Tara, Siri kabur membawa kendinya,” seru Baim.
Aldo melompat keluar dari kamar tidur, disambut puluhan kloning Siri. Karena gelap, dia menyalakan lampu depan. Katup bensinnya dibuka, sengaja memuntahkan bahan bakar dan membasahi para kloningan. Rodanya mengarah ke Cacing yang kepayahan menghadapi serangan dari berbagai arah. Dengan cepat, Cacing melompat naik ke Aldo yang menaiki tangga.
“Wow, kamu beneran motor yang dirasuki jin?” tanya Cacing terkejut. Ternyata, di setangnya terdapat kalung berlian seharga seratus miliar. “Makasih, Aldo ….”
Namun Aldo tak membalasnya. Rodanya tetap melaju ke Tara dan Baim. Katup bensinnya dia tutup sekarang.
Di sisi lain, Nina sudah mengangkat empat jarinya. Baru saja dia baru memperlihatkan jempolnya. Dan ini saatnya dia beraksi. Nina menjadi bom dan meledak hebat. Ledakan itu menghancurkan setengah rumah. Sisanya terbakar bersama raksasa dan para kloningan berkat bensin Aldo.
Aldo yang sudah mengangkut Tara, Cacing dan Baim, lompat dari jendela studio lantai 2. Setelah mendarat dengan gaya, rodanya langsung dipacu mengejar Siri yang membawa kendi emas.
Siri melewati gerbang. Namun Aldo malah ke semak-semak. Ternyata di sana kotaknya di simpan. Aldo bertransformasi jadi motobil sambil berjalan dan mengangkut penumpang.
“Aldo, itu keren, tapi, XXXXX.” Rupanya Cacing terjepit teknologinya sendiri.
“Kenapa di dialog kamu ada huruf x berderet? Oh, iya, gak boleh ada kata kasar, jadi disensor.” Tara menjawab pertanyaan Tara.
Medan jalan tidak mulus. Bukan lagi aspal, namun tanah dan batu. Banyak lubang sana-sani. Polisi tidur ‘tak kenal tempat. Terkadang batu yang cukup besar ada di tengah jalan. Ditambah Aldo yang ngebut, membuatnya lompat, sering belok, dan bergetar hebat. Juga, membuat teriakan Cacing makin keras.
“Aw! Sakit! Dasar XXXXX, XXXXX! XXXXXXX XX XX XXXXX XXXX XXXXX XXX, XXXX X XXXX X XXXX X X X XXXXXXXX XXXXX XXXX XXXX XXXX! XXXXX, XXXXXXX XXXXXX XXXX XXXXX!? XXXXXX, XXXXXXX, XXXXXX XX XXXX XXXXXXXXX!
”XXXX XXXXX XXXX XXXXX, XXXXX XXXX XXXXX. XXXXX XXXX, XXXXXX. XXXXX XXXX XXXX XXXXXX! XXXXXX, XXX XXXXXX. XXXX XXXXX! XXXXXX!?
“XXXXX! XXXXXX, XXXXXX XXXXXX XXXXX XXX XXXXXXX XXXX XXXXX XXXXX XXXXX XXX. XXXXX XXXX XXXXX, XXXXXX!” umpat Cacing. Pemborosan tiga paragraf.
Siri mulai terlihat, dia sedang membenarkan spion sepeda listriknya. Dengan cepat Tara mengambil sniper Cacing, tapi ternyata Baim merebutnya.
Dia membidik di punggung, karena kepalanya tertutup helm. Walaupun goyang-goyang tapi titik telah terkunci, tangannya sudah di pelatuk. Namun Aldo tiba-tiba menyalakan klakson, seperti berbicara.
“Serius, sepeda listriknya Siri adalah Jelita, dan kalian balikan? Pantas enggak bad mood lagi,” Teriak Baim. “Oke, aku enggak akan melukai dia.”
Siri mengatur sudut spion. Matanya memerah, hendak mengeluarkan laser dari matanya. Tara mencopot kaca spion Aldo dan memberikannya pada Baim. Laser ditembakkan ke spion dan terpantul ke belakang, persis menargetkan Aldo. Namun berkat kaca spioin Aldo, Baim memantulkan cahaya lasernya kembali ke arah Siri. Menyayat perut tante antagonis itu.
Aldo berhenti. Tara dan Baim turun, Cacing masih terjepit. Ketika Aldo bertransformasi, “Akhirnya …,” seru Cacing yang tangannya bebas.
“Tara …, harusnya kau sudah mati!” Siri terjatuh ke tanah.
Tara berjalan pelan mendekati kendi emas ajaib. Baim memegang pistol rakitannya sendiri dan menempelkannya ke kepala Siri.
“Dia memang sudah mati, dan sekarang giliranmu.” Tangan baim siap menarik pelatuk.
“Tolong hamba, gusti pangeran,” ucah Siri lirih.
Dor!
Cahaya tiba-tiba datang. Seperti matahari dikala malam. Tara berdiri terpaku, tangan kanannya memegang tutup kendi, lalu dihempaskan ke tanah.
Dalam kendi, muncul satu sosok yang sedang duduk di kursi tahta. Dia besar, tapi bukan raksasa. Dia bercahaya, tapi bukan malaikat. Dia bertahta dan bermahkota, tapi bukan raja. Dia adalah Batara.
“Makhluk fana, apa yang inginkan?” tanya Batara. Namun dia menyadari sesuatu, “Tunggu, aku sudah membunuhmu—”
Dor!
Tara menembak Batara dengan shotgun Cacing, persis di kepala. Sang Batara terjatuh ke tanah. Dengan tenang, Tara berjalan ke tahta yang sekarang kosong.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Titisan Batara Kala?” murka Batara itu.
Gadis itu menjelaskan dengan tenang, sembari berjalan ke tahta. “Sebuah dunia dimana tidak ada ‘kegelapan’. Namun ada orang bijak berkata kepadaku ‘cahaya tidak akan tercipta jika gelap tidak ada.’ Jadi … utopia yang sebenarnya adalah ketiadaan.”
Tara kini berdiri di depan tahta. Dia membalikkan badan dan duduk di kursi tahta Batara. Tetiba badannya membesar, bercahaya, dan mahkota tersimpan di kepalanya.
“Aku Batari Tara. Akan ku lenyapkan ‘kegelapan dan cahaya’, ‘hitam dan putih’, ‘baik dan buruk’. Ketiadaan adalah utopia sesungguhnya. Aku ingin … menghapus semesta alam.”
Penulis: Cacinggrama
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top