Pola Asuh Otoriter

Setiap orang tua memiliki cara tersendiri untuk mendidik anak - anaknya, terlepas dari itu para orang tua seringkali mengedepankan alasan yang sama yaitu demi masa depan sang anak.

Klise memang.

Tapi bagaimanapun juga pola asuh sejak dini sangat penting untuk membentuk karakter anak dalam menyikapi masalah di masa depan.

Sebut saja anak - anak yang masa kecilnya dihiasi dengan perintah dan aturan yang luar biasa ketat sehingga mereka berpikir segala sesuatu yang ada di dunia ini memang harus serba teratur, perfeksionis.

Lalu, suatu ketika anak itu dihadapkan pada keadaan atau seseorang yang hidupnya berbanding terbalik dengan kehidupannya selama ini. kira - kira apa yang akan terbesit dalam pikirannya?

Untuk itu, menemukan gaya pengasuhan yang sesuai adalah tugas Orang Tua yang juga merupakan hak anak untuk mendapatkan kasih sayang.

Pada hakikatnya, pengasuhan itu bermacam - macam, namun kali ini kita akan membahas dua jenis saja yang mana jenis ini sering kita temui di masyakakat.

1. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan yang paling ketat dan keras. Tipe pengasuhan ini berasal dari keyakinan orangtua bahwa perilaku dan sikap anak harus dibentuk oleh standar perilaku yang ketat. Tak heran jika pola asuh ini sangatlah mengendalikan, serta memiliki tuntutan yang tinggi dan respon penghargaan yang rendah terhadap anak. Berikut ciri-ciri pola asuh otoriter yang harus Anda kenali:

a. Memiliki banyak aturan

Dalam pola asuh otoriter, orangtua memiliki banyak aturan yang harus diikuti oleh anak. Orangtua mengatur hampir setiap aspek kehidupan dan perilaku anaknya, mulai dari bagaimana ia harus berperilaku di rumah maupun di depan umum. Selain itu, anak juga tak mendapat penjelasan mengapa aturan-aturan tersebut perlu diikuti.

b. Cenderung Bersikap dingin

Orang tua dengan pengasuhan otoriter umumnya bersikap dingin dan kasar. Ia akan lebih banyak mengomel dan meneriaki anaknya daripada memuji atau memberi dukungan. Selain itu, ia juga cenderung tak ingin mendengarkan anak dan hanya mengedepankan kedisiplinan.

c. Komunikasi satu arah

Dalam pola asuh otoriter, orangtua tidak melibatkan anak dalam mengambil keputusan. Ia juga cenderung enggan menjelaskan pada anak mengenai keputusan yang diambil, dan hanya menginginkan anak menurutinya saja. Bahkan orangtua otoriter juga sangat jarang berbicara dari hati ke hati dengan anak.

d. Memberi hukuman yang kasar

Orangtua yang otoriter menggunakan rasa takut anak sebagai sumber kontrol utama. Ketika anak melanggar aturan, alih-alih memberinya pengertian orangtua otoriter justru akan bereaksi dengan amarah dan kasar. Ia tak segan memberi hukuman agar anak selalu patuh. Bahkan hukuman fisik, seperti halnya memukul juga kerap dilakukan. 

e. Tidak memberi kesempatan pada anak

Dalam pengasuhan otoriter, orangtua tidak membiarkan anak membuat pilihan sendiri. Ia akan bersikap dominan sehingga membuat anak tak memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya. Orangtua otoriter juga akan berdalih bahwa ia tahu apa yang terbaik untuk sang anak sehingga tak boleh dibantah. 

f. Cenderung Memojokkan anak

Orangtua otoriter mungkin menggunakan rasa malu sebagai senjata untuk memaksa anak mengikuti aturannya. Ia akan mengatakan mengapa anak tak pernah melakukan sesuatu dengan benar atau mengapa anak selalu mengulangi kesalahan yang sama sehingga memengaruhi harga diri anak. Orangtua yang otoriter cenderung percaya bahwa mempermalukan anak akan memotivasinya untuk berbuat lebih baik. 

And see, Pola asuh otoriter tentu berdampak pada perkembangan anak, sebagian besar penelitian menemukan bahwa pengasuhan otoriter memiliki dampak yang cenderung negatif bagi anak misalnya, Tingkat depresi anak menjadi lebih tinggi, sulit bersosialisasi, tajut berpendapat atau memberikan keputusan, merasa kurang aman, kurang kasih sayang, kurang bahagia bahkan bisa sampai mengganggu kesehatan mental anak.

Oleh karena itu, Pola asuh ini tidak disarankan oleh psikolog anak karena mempertimbangkan pertumbuhan dan perkembangan anak di masa depan. namun, pada kenyataannya pola asuh ini cenderung mendarah daging dan diturunkan dari generasi ke generasi. misalnya, Jika orangtua dibesarkan dalam gaya pengasuhan otoriter, maka ia juga mungkin akan menerapkan cara yang sama mun, menurut penelitian lain ernyata pola asuh otoriter tidak selalu berdampak negatif bagi perkembangan kematangan emosi anak.

Bahkan, pola asuh ini dianggap dapat bermanfaat jika diterapkan secara konsisten oleh ibu maupun ayah secara bersama-sama.Tak menutup kemungkinan jika sebagian lain justru menerapkan pola asuh yang berlawanan. Meski begitu, orangtua dapat memilih pola asuh mana yang paling nyaman untuknya tapi tentu saja tetap harus mempertimbangkan perkembangan anak. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa dalam banyak kasus orangtua tak hanya tetap menggunakan satu pola asuh. Bisa saja pada saat anaknya masih balita, orangtua menerapkan pola asuh otoriter. Namun, saat anak telah remaja orangtua cenderung menerapkan pola asuh otoritatif, di mana ia akan tetap mendisiplinkan anak, namun juga memberinya rasa hormat dan kehangatan.

Menurut Baumrind (1968) pola asuh otoriter tepat diterapkan untuk anak usia awal namun tidak lagi cocok jika diterapkan kepada anak yang sudah memasuki usia remaja. Sebab, anak remaja sudah memiliki kemampuan yang lebih matang dibandingkan masa kanak-kanak. Penggunaan kekuasaan orangtua kepada anak remaja harus diimbangi dengan upaya memberikan penjelasan terkait dengan alasan dari peraturan tersebut.

Contohnya seperti pada penelitian Chao (2001) yang mengatakan bahwa pola asuh otoriter berdampak negatif pada anak dari keluarga Eropa-Amerika namun memberi dampak positif pada keluarga China-Amerika. Chao berkeyakinan bahwa pendekatan dari orangtua, terutama ibu, memberi dampak yang lebih positif terhadap perkembangan anak apabila diasuh dengan pola asuh otoriter.

Menurut Chao, pola asuh otoriter yang dijalankan di China memberi dampak positif terhadap perkembangan anak karena keberhasilan ibu dalam mengajarkan ideologi pada anak. Hal itu diperkuat oleh Baumrind (1996) yang menyatakan, orangtua menjalankan pola asuh tersebut dalam rangka memenuhi tuntutan ideologi bahwa orangtua sedang menerapkan aturan yang merepresentasikan aturan Tuhan maka pola asuh otoriter menjadi tepat dalam konteks ini

Penelitian lain menunjukkan, sikap sabar yang dimiliki anak berpotensi sebagai mediator dari pengaruh yang positif antara religiusitas dan kemampuan negosiasi konflik integratif (El Hafiz & Nuramalina, 2015). Kesabaran didefisikan sebagai kemampuan menahan emosi, pikiran, perkataan, dan perilaku yang dilakukan dengan tujuan kebaikan serta tidak melanggar aturan.

Karakter penuh kesabaran sudah lama dianggap sebagai karakter positif dan aspek penting dalam kesejahteraan seseorang. Kesabaran terdiri dari tiga unsur utama, yaitu menahan, bertujuan kebaikan, dan taat aturan. Kesabaran dinilai membuat seorang anak mampu menilai perlakuan orangtua terhadap dirinya walaupun dalam bentuk pola asuh otoriter. Penilaian anak dengan landasan kesabaran itu akan menyebabkan anak semakin matang emosinya.

Kesabaran besar kemungkinan lebih banyak diajarkan pada budaya Asia. Hal ini sebagaimana dijelaskan Schwartz (2006) bahwa negara-negara asia lebih menekankan pada nilai-nilai yang berorientasi pada lingkungan sekitar/masyarakat daripada nilai yang berorientasi pada diri sendiri.

Baumrind (1966) juga menjelaskan bahwa pola asuh otoriter bukanlah kondisi yang membuat anak dipaksa melakukan sesuatu tanpa tujuan atau alasan yang jelas. Pola asuh otoriter merupakan pola asuh orangtua yang menempatkan diri sebagai orang yang paling mengerti kebutuhan anaknya sehingga dirinya merasa pantas untuk memaksakan peraturan tertentu pada anak untuk dijalankan.

Kesabaran anak dapat membantu untuk mengatasi dampak negatif dari pola asuh otoriter ayah dan pada saat yang sama menguatkan pola asuh otoriter ibu. Berdasarkan penelitian ini maka pola asuh otoriter dari ibu tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya bagi perkembangan anak karena pola asuh ini terbukti memberi manfaat positif terhadap kematangan emosi anak remaja. Sebaliknya, jika pola asuh itu diterapkan ayah maka perlu didukung dengan kesabaran anak dan pola asuh yang juga otoriter dari ibu.

Daftar Pustaka :

https://id.theasianparent.com/pola-asuh-otoriter

https://www.sehatq.com/artikel/terapkan-pola-asuh-otoriter-ini-dampaknya-pada-anak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top