Hadrah, Seruan Cinta dalam Islam

Kecenderungan kepada seni merupakan salah satu kodrat manusia, dengan pengertian banyak di antara manusia yang memiliki jiwa seni yang berkembang menurut bakat dan minat masing-masing. Kesenian merupakan bagian yang sangat penting bagi pembentukan pibadi manusia, karena kesenian berfungsi menghaluskan perasaan dan budi pekerti manusia.

Pandangan umat Islam Indonesia terhadap seni secara umum dirumuskan dalam musyawarah besar Seniman Budayawan Islam tahun 1961 sebagai berikut: "Islam memperkenalkan karya segala cabang kesenian untuk keluhuran budi (akhlak) dan untuk kehadirat Allah dan tidak berunsur asusila, maksiat, cabul, dan syirik serta melanggar larangan Allah dan Sunnah Rasul".

Islam yang dibawa, sebagian, oleh orang Arab ke Nusantara juga dengan membawa tradisi dan kebudayaan Arab itu sendiri termasuk bidang kesenian, tidak ketinggalan instrumen-instrumennya, walaupun tentu tidak mudah untuk memastikan kapan waktu kesenian ini pertama kali diperkenalkan di Nusantara. Salah satu jenis kesenian yang sangat populer dan terpengaruh dari Arab adalah kesenian musik dengan instrumen rebana atau terbangan di Jawa, yang digunakan dalam marawis, qasidah, dan hadrah. Dalam perkembangannya, alat musik rebana dijadikan sebagai simbol identitas kultural Islam di Nusantara.

Di Indonesia bila disebut istilah hadrah perhatian orang akan tertuju kepada sebuah bentuk kesenian dengan menggunakan alat-alat musik tepuk yang memiliki hiasan kerincing logam di sekitar bingkainya, dibuat dari papan kayu yang dilobangi ditengahnya, dan pada salah satu sisinya dipasang kulit kambing tipis yang telah disamak yang dikenal dengan nama rebana atau terbangan di Jawa.

Secara etimologi istilah hadrah berasal dari kata ﺣﻀﺮﺓ yang berarti "kehadiran." Di dalam tasawuf hadrah mengacu kepada jamaah yang di dalamnya melakukan zikir secara kolektif. Menurut Trimingham, kebanyakan tarekat Sufi memiliki bacaan zikir yang regular di dalam majelis mereka yang dikenal dengan nama hadrah. Hadrah yang berarti kehadiran dimaksudkan bukan kehadiran Allah, namun kehadiran Nabi Muhammad.

Secara sederhana, hadrah di dalam tasawuf terdiri atas 2 bagian: pertama, pembacaan hizib tarekat dan doa lainnya yang terkadang diselingi dengan musik dan nasyid (lagu); kedua, melakukan dzikir yang diiringi dengan musik dan lagu yang umumnya dimulai dengan doa khusus yang disebut dengan fatihah az- dzikir. Hadrah berlangsung pada hari Jum'at atau malam Jum'at dan pada acara-acara khusus di dalam kalender Islam, atau pada saat kelahiran anak atau berkhitan. Pembacaan maulid Nabi merupakan aspek sangat penting di dalam majelis hadrah. Pelacakan hadrah ke dunia tasawuf ini paling tidak memberikan petunjuk ada kaitan antara tradisi musik hadrah dengan tasawuf.

Sedangkan tradisi kesenian hadrah identik dengan kesenian Islam. Hadrah merupakan kesenian Islam yang di dalamnya berisi shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang digunakan sebagai media menyiarkan ajaran agama Islam. Dalam kesenian ini tidak ada alat musik lain kecuali rebana. Kesenian ini selain sebagai media untuk menyebarkan ajaran agama Islam juga sebagai sebuah hiburan. Sebab di dalam kesenian hadrah terdapat sebuah dorongan untuk mengagungkan asma Allah dan Nabi Muhammad serta amar ma'ruf nahi munkar. Hal ini dapat dilihat jelas dari syair-syair yang dilantunkannya.

Kesenian hadrah menjadi salah satu kesenian yang banyak dipertunjukkan di masyarakat, biasa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu bernafaskan Islam. Musik hadrah atau rebana atau musik terbang diperkirakan berasal dari bentuk-bentuk musik yang bercirikan Islam yang ada sebelumnya.

Bentuk - bentuk musik tersebut adalah : (1) Salawatan yaitu bentuk puji-pujian yang mengagungkan kebesaran Nabi Muhammad SAW; (2) Barzanji yaitu jenis musik vocal yang bercirikan Islam; (3) Kentrung yaitu musik bercirikan Islam yang diperkirakan paling awal kedatangannya di pulau Jawa, berkembang di daerah Blora, Pati Jepara dan Purwodadi; (4) Zapin pesisiran yaitu kesenian tarian yang diiringi dengan terbangan, berkembang di Demak dan Semarang; (5) Kuntulan yaitu tarian yang diiringi oleh musik terbangan, dan berkembang di daerah Kendal, Pemalang sampai Tegal; (6) Simtuduror yaitu kesenian musik salawatan dengan membaca kitab maulid yang bernama Simtuduror dengan diiringi musik terbang, dan musik ini berkembang di daerah Pekalongan, Kendal dan Semarang; (7) Gambus yaitu musik yang bercirikan Islam yang mendapat pengaruh dari Arab dengan alat musik gambus, dan berkembang di daerah pantura pulau Jawa.

Musik terbang hadrah merupakan permainan musik terbang sederhana, baik pola pukulan dari masing-masing alat musik, maupun lagunya. Syair lagu terbang hadrah berbentuk bait-bait, maksudnya syair lagu terbang hadrah terdiri dari beberapa bait, dan tiap bait terdiri dari empat baris, sehingga tidak menyulitkan bagi para pemula. Lagulagu terbang hadrah bervariasi, ada yang menggunakan syair berbahasa Arab, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Lagu-lagu terbang hadrah tidak selalu syairnya bershalawat tetapi ada juga syair lagu yang sifatnya memberi nasihat. Misalnya lagu Ya Rosul, merupakan lagu berbahasa Arab dan syairnya shalawat. Lagu terbang hadrah yang berjudul kisah Rasul merupakan lagu berbahasa Indonesia, sedangkan lagu Padang Bulan merupakan lagu terbang hadrah yang menggunakan bahasa Jawa dan bersifat memberi nasihat. Melodi lagu dalam musik terbang hadrah menggunakan tangga nada diatonis minor artinya lagu-lagu dalam musik terbang hadrah menggunakan tangga nada diatonis seperti musik modern, sehingga mudah dipahami.

Dewasa ini hadrah tidak saja bernuansa seni, namun ia juga terkait dengan masalah identitas. Seiring dengan semakin menguatnya peranan kelompok tradisional Muslim di Indonesia, hadrah merupakan salah satu bentuk identitas kebangkitan Muslim tradisional di Jawa, bahkan di daerah Surakarta atau Solo, parade hadrah diselenggarakan setiap tahun pada saat menjelang memperingati Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW.

Daftar Pustaka :

Abdul Khair, Sinoman Hadrah Seni Islam yang perlu mendapat perhatian, Jurnal Himmah Vol. IV No. 10 Edisi Mei – Agustus, 2003

Abdul Khair, Sinoman Hadrah Seni Islam, Mahmudah Nur, Pertunjukan Seni Rebana Biang di Jakarta sebagai Seni Bernuansa Islam, Jurnal Penamas, Vol. 28, Nomow 2, Juli-September 2015

Junaidi, Estetika Terbang Hadroh Nuurussa'adah, Ismail Yahya, Kebangkitan Muslim Tradisional di Surakarta, artikel di IBDA': Jurnal Kebudayaan Islam, IAIN Purwokerto, Vol. 14 Nomor 1 (2016: 51-56), jurnal terakreditasi DIKTI 2014,

ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top