Chapter 6.0 - The Fox

Sejenak, Reinard menepi di warung dekat rumah berpagar besi setinggi dua meter itu. Diparkirkan motor hitamnya, dan dipandangnya salah satu kamar di lantai dua yang bercahaya terutup gorden. Dengan perlahan, Reinard berdiri, melangkah mendekati kulkas yang berisi minumam botol dan kaleng.

Rumahnya aman-aman aja, gak ada yang aneh, batin Reinard, lagian ... masa iya si Nayla mau bunuh diri.

"Palay naon?" tanya si Ibu Penjaga yang melihat Reinard tengah berdiri di depan kulkas.

"Bu, ada aqua? Yanh gak dingin?" tanya Reinard tanpa mengalihkan pandangannya.

Melihat hal itu, si Ibu Penjaga hanya tertawa pelan. "Kalo mau yang gak dingin, mah ... ngapain ngebuka kulkas."

Reinard terdiam sejenak. Beberapa detik kemudian, ia menyadari kebodohannya sendiri. "Berapa, Bu?"

"Biasa, Rp3.000,00."

Reinard mengangguk dan mengeluarkan uang selembaran lima ribuan. "Yang dua ribunya lagi, nitip buat parkir motor ya, Bu?"

"Oh, muhun-muhun. Yang item ya?"

"Iya, Bu. Mari," pamit Reinard seraya berjalan keluar.

Kedua matanya, masih menatap lekat kamar Nayla di lantai dua. Lalu, sejenak menatap arloji di pergelangan tangan kirinya, dan kembali ke kamar Nayla. Dirogoknya saku celana bagian kanan, tempat di mana handphone miliknya berada. Tanpa mengalihkan pandangan, digerakan jempolnya di layar bercahaya itu. Lalu didekatkan, handphone-nya ke telinga bagian kanan.

Selama hampir dua puluh detik, handphone Reinard hanya mengeluarkan satu nada. Hingga pada akhirnya, pihak operator memberitahukan jika telepon yang sedang ia tuju, tidak dapat menjawab panggilannya. Sebanyak lima kali, Reinard terus mengulang hal ini. Selama itu pula, kedua matanya terpatri kuat di jendela kamar Nayla.

Gak ada pergerakan dari dalam, ujar Reinard seraya menyimpan kembali handphone-nya di saku celana kanan. Dikencangkan resleting jaket parka berwarna hijau tua itu, dan dinaikan hoodienya hingga menutupi seluruh rambutnya.

Sejenak, Reinard terdiam dan mengatur ritme napasnya. Lalu telunjuk kanannya bergerak ke dada kiri, dada kanan, dahi, dan ke mulut secara berurutan. Dengan satu embusan napas kasar, kedua kaki besarnya melangkah menyebrangi jalan raya dan membuka gerbang besi itu.

Sesaat setelah masuk, Reinard kembali menutup pagarnya dan menyapu ke setiap sudut halaman rumah Nayla. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat pepohonan di taman, dan bangku kayu di bawahnya. Semuanya tampak biasa saja, hingga Reinard tersadar seluruh ruangan di lantai satu ada yang menyala. Sejenak, Reinard kembali menelan saliva yang---bahkan---belum memenuhi rongga mulutnya itu. Secara perlahan, Reinard berjalan mendekati pintu depan, dan mengetukya sebanyak tiga kali.

"Nay! Ini gue, Reinard!" ujar Reinard dengan sedikit berteriak. Namun, tidak ada jawaban atau tanda kehidupan dari dalam rumah. Kemudian, Reinard berjalan mundur. Menatap ke sekeliling, dan mengamati setiap sentinya. Matanya terpaku tatkala menyadari kursi yang di dekat pintu merupakan rak sepatu. Dengan cepat, ia menggeser pintu raknya, dan mengarahkan flashlight dari handphone-nya.

Sepatu Nayla tadi kalau gak salah ... Nike warna hitam ..., batin Reinard seraya mencari di dalam rak berukuran 150x50x50 sentimeter kubik itu. Namun, selama satu menit Reinard tidak mampu menemukannya.

Apa disimpen di dalem dusnya? Kalo ori sih mungkin ..., batin Reinard lagi seraya mengedarkan pandangannya. Suasana malam itu cukup ramai, sehingga Reinard harus melakukannya senormal mungkin. Ia tidak mau nanti harus berurusan dengan pihak yang berwajib karena rasa kekhawatirannya.

Ya Bapa! batin Reinard seraya menyandarkan tubuh besarnya ke pintu. Lalu, tiba-tiba pintu itu terbuka yang membuat Reinard terbelalak. Dengan cepat, dibentangkan kedua tangannya ke arah kusen dan pintu satunya guna menahan tubuhnya terjatuh. Masih dengan napas tersenggal-senggal Reinard mencoba bangkit dan mengatur ritme napasnya.

Ya Bapa!

Setelah mampu mengontrol pernapasannya, Reinard kembali menatap ke arah pintu yang kini terbuka. Dengan cepat, Reinard melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan di luar. Merasa aman, Reinard melangkah masuk dan kembali menutup pintu rumahnya.

"Nay ... lo di mana?" tanya Reinard yang masih mematung di ruang tamu. Namun, hanya ada keheningan yang menjawan rasa kekhawatirannya. Sejauh mata memandang, suasana rumah begitu dingin, dan lembap. Satu-satunnya sumber cahaya yang ada pun berasal dari luar rumah. Diliriknya kembali arloji di tangan Reinard yang kini, sudah menunjukan pukul 19:22.

Dalam kegelapan--keremang-remangan--Reinard mencari saklar lampu di dinding dan menyalakannya. "Nay ... jangan becanda, ini gue cuma mau minta maaf ...," ujar Reinard lagi seraya berjalan ke ruang tengah dan kembali menyalakan lampunya.

"Nay ... lo gak lagi main petak umpet yang sama hantu dari Jepang, 'kan?"

Hening.

"Soalnya kalo ada pemain kedua, itu gak jadi permainannya ... so, gue usulin mending lo keluar aja."

Hening.

"Sial!" Dengan cepat Reinard menggerakan jempolnya di handphone-nya. "You wanna play with me? You got it!"

Tiba-tiba, terdengar sebuah alunan lagu "Love Yourself" dari Justin Bieber dari lantai dua. Mendengar hal itu Reinard terkekeh pelan. "I found you. Harusnya lo silent kalau emang niat," ujar Reinard seraya melangkah meniti tangga.

"Lo kenapa sih? Sampe kaya gini? Lo tahu gak tadi tuh ...." Terdengar sebuah pecahan kaca berasal tepat dari kaki Reinard. Dengan cepat, Reinard mengangkat sepatunya, dan mengarahkan flashlight ke lantai.

Sejenak Reinard terdiam dengan mata terbelalak. Hamparan kaca pecah dan pigura foto tampak berserakan memenuhi lantai di lorong. Sepersekian detik kemudian rasa khawatir itu menjelma menjadi monster bernama ketakutan. Beberapa bayangan mengerikan melangkahi alam bawah sadarnya. Namun, sebisa mungkin Reinard menepis hal itu dan berpikir jika ini hanyalah rencana dari Nayla.

"Na-Nay ...," panggil Reinard terbata-bata, "... gue akui rencana lo epic! Jadi bisa kita akhiri aja?" pinta Reinard memelas.

Namun, lagi-lagi hanya keheningan yang menjawab pertanyaannya. Lagi, akal dan hatinya kembali berdebat. Jika, hati berpikir hal yang menakutkan, maka akalnya mencoba mengimbangi rasa ketakutan itu. Kedua tangannya mengepal kuat, sedang rahangnya mengeras menggertakkan semua giginya. Detang jantungnya berdetak semakin cepat. Napas memburunya, mulai 'tak beraturan.

"Nay ... Nayla!" teriak Reinard seraya menembus lautan kaca di lantai lorong. Matanya terpatri pada kamar bercahaya yang terhalang oleh pintu. Dengan kuat, Reinard mencengkram kenop pintu berwarna silver dan membukanya.

"A ...." Reinard tak mampu melanjutkan kalimatnya. Isi kamar bercahaya itu memang tampak biasa saja dari luar, tapi tidak dari dalam. Berbagai barang tampak tergeletak di lantai kamar. Pigura foto, buku, binder, kursi, kaca bahkan guling pun berada di posisi tidak wajar. Tiba-tiba, ekor mata Reinard menangkap handphone Nayla tergeletak di dekar kasur.

Dengan cepat, Reinard melangkah melewati pecahan kaca dan barang-barang lain untuk mengambil handphone milik Reinard. Terdapat pemberitahuan sebanyak 47 miss called di layar handphone milik Nayla. Ya Bapa, apa yang terjadi ....

Reinard segera berdiri dan kembali menyapu setiap sudut kamar. Lalu, tiba-tiba, terdengar suara besi berderik yang membuat Reinard mengintip dari balik jendela. Di luar sana, tampak seorang pria jangkung tengah membuka pintu gerbang rumah Nayla.

Siapa? tanya Reinard pelan.

Kemudian, sebuah mobil mini bus berwarna silver melaju dan berhenti di halamam rumah Nayla. Lalu, dua orang bertubuh kekar dan kecil keluar dari mobil. Kemudian, si Kekar dan si Kurus melangkah masuk, meninggalkan si Jangkung yang tengah menutup gerbang.

Mereka ... lebih baik gue omongin kalau ....

"Rafi! Ini lo yang nyalain lampu?"

Reinard terdiam kala mendengar suara bernada tinggi itu. Kedua kakinya, tiba-tiba terdiam mematung di bibir pintu kamar.

"Kagak! Gue 'pan nungguin di luar tadi."

"Terus ini siapa yang nyalain?"

"Lu gimana, sih. Teknologi sekarang ada lampu yang bakal nyala otomatis, sesuai dengan pergerakam matahari."

"Omomg-omong lo kenapa ikut Zak?"

"Gue ada urusan lain. Lagian Bos sendiri nyuruh gue ngawasin kalian."

"Anjing lo!"

"David, kamar si Nayla di mana?"

"Lantai dua."

"Kalo gitu, lo semua tunggu dulu di sini."

"Kenapa?"

"Karena gue ada perlu sama si Penghuni Kamar."

Celaka ....

***

Dipublikasikan pertama kali:
21 Juli 2017

P.S.
Chapter ini penulis dedikasian buat @belyric yang mau ngebantu risetnya untuk tokoh Reinard.

Thanks ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top