Chapter 39.0 - The Last Request (Part II)

"Dik!" panggil Aldena, "coba liat."

Dika berjalan menghampiri Aldena yang tengah sibuk menatap layar handphone-nya. Sebuah artikel berjudul "Buwas : Pengedar Incar Murid TK dan SD dengan Narkoba Bentuk Permen" terlihat jelas. Dibagian bawahnya, terdapat enam digit angka: 22/12/16.

"Itu ...."

"Iye!" potong Aldena, "BNN berhasil membongkar hal ini. Nih, dengerin ... Buwas berkata, 'Peredaran narkotika di kalangan anak-anak cukup besar, kemarin kita sempat musnahkan, baru datang dari Tiongkok, sebagian dari Thailand itu (narkoba) sudah berupa permen, itu sasarannya pada anak-anak'."

Dika terdiam seraya melipat kedua tangannya di dada. Sejenak, Dika teringat akan perkataan Rafi beberapa hari yang lalu di mimpinya.

"Ho ... ini tuh upaya para bandar buat regenerasi pangsa pasar katanya. Jadi, narkoba sejenis ekstasi dicampur dengan permen."

"Kata siapa?"

Aldena menunjuk foto pria yang tengah duduk mengenakan kemeja putih. "Budi Waseso. Kepala BNN."

Dika kembali terdiam. Lalu, gendang telinganya bergetar karena sebuah ketukan di pintu kamarnya.

Aldena terdiam dan memandang Dika dengan tatapan datar. Dika yang paham arti pandangan sahabatnya, hanya tersenyum dan berjalan mendekati pintu.

"Reinard. Dia udah chat gue mau ke sini, ada urusan."

Aldena membulatkan mulutnya seraya mengangguk. Lalu, ia mengangkat pantatnya dari lantai. "Yaudah. Lagian, lo bertiga juga yang punya masalah."

Dika terkekeh dan membuka pintu kamarnya. "Sorry, lama Rei."

"Iya, gak papa Bang!" ujar Reinard seraya menyalami tangan Dika, "eh Bang Dena!"

Aldena tersenyum seraya mengangkat tangannya. "Pergi buat jadi saksi lagi?"

"Nemenin Nayla Bang. Dia baru bisa sekarang."

"Naek motor?"

"Mobil lah, Den! Lu kira kita 'cabe-cabean' apa 'reptil'[1]?" protes Dika.

Aldena hanya tertawa dan mengangguk paham. "Yaudah, entar gue kalau ke AADC, kunci gimana?"

"Bawa aja," jawab Dika seraya mengikat tali sepatunya, "yuk!"

Reinard mengangguk. Lalu, ia mengeluarkan sebuah kunci yang dikaitkan dengan dompet dan memberikannya kepada Dika. "Bang Maul aja ya? Soalnya kalau gue takutnya gak enak."

"Gue pan senior lo, lo aja!" jawab Dika pelan.

"Lo aja Rei, kalau dia yang nyupirin cuma ada dua tujuannya. Rumah sakit atau kuburan," ledek Aldena seraya tertawa.

"Lo juga sama kaya gue, bego!" balas Dika, "udah, Rei, cabut sekarang. Gue pergi dulu, Assalamualaikum," ujar Dika seraya melangkah.

Aldena menjawab salam tersebut. Lalu, ia berari menahan tangan Reinard dan membisikan sesuatu seraya terkekeh.

"Si Dena, nya!" teriak Dika kesal.

Aldena segera berlari dan menutup kamar Dika dengan wajah sumeringah. Sementara Reinard terdiam menatap wajah seniornya.

"Ngomongin apa tadi?"

"Kagak apa-apa, Bang."

Dika hanya menghela napas dan kembali melangkah. "Lo gak kenapa-napa, 'kan?"

"Ya ... gitu deh. Untungnya gak sampe kenapa-napa. Padahal sempet dipukul pake pipa atau apalah di bagian belakang. Abang sendiri katanya sampe gegar otak?"

Dika menggeleng. "Cuma gejalanya gegar otak ringan, tapi pas diperiksa, alhamdulillah, baik-baik aja."

"Oh, syukur deh."

Di ujung gang, Reinard dan Dika berlari menuju parkiran kampus. Lalu, tidak jauh dari sana, sebuah mobil Honda Jazz berwarna merah terparkir di bawah pohon.

"Omong-omong Nayla di mana sekarang?" tanya Dika sesaat setelah masuk mobil.

"Soal itu ... dia nginep di rumah temennya."

"Hoo ... masih trauma?"

Reinard mengangguk. "Ya ... namanya juga cewek. Apalagi dia yang pertama ditangkep dan terakhir diselamatkan. Belom lagi soal ...." Reinard terdiam 'tak melanjutkan perkataannya.

Sadar apa maksud Reinard, Dika mengangguk paham. "Mungkin lo sebagai temen satu kelasnya harus bisa support dia."

"Pasti kok, Bang."

Dika tersenyum. Diarahkan kedua matanya ke depan, memandang barisan mobil yang mengantri di gerbang kampus. Karena menggunakan gardu parkir otomatis, mau tidak mau setap mobil menghabiskan waktu selama sepuluh detik.

"Thanks ya, Bang."

Dika menoleh ke arah Reinard yang tengah tersenyum. "Lo gak ... homo, 'kan?"

Sontak senyum yang sempat terlukis di wajah Reinard menghilang. "Ya elah, Bang! Lo pikir gue homo apa?"

"Rasa-rasanya lo kaya yang ngajak cipokan."

"Najis, Bang. Gue mending sama Nayla!" protes Dika.

"Ya bisa aja lo bayangin gue jadi Nayla dan lo manfaatin gue. Bener, 'kan?"

Reinard terbelalak dengan mulut menganga. Selama hampir satu semester, baru pertama kali ia melihat seniornya bertingkah konyol seperti itu. Selama di kelas, Dika lebih dikenal sebagai seseorang yang pendiam yang hanya akan berkata jika dibutuhkan.

Reinard hanya menghela napas dan kembali mengalihkan konsentrasinya ke stir mobil. Dengan santai, Reinard membuka jendela, dan memberikan tiket parkir. Setelah pintu portal terbuka, Reinard menginjak pedal gas secara lembut.

"Woles aja Rei," ujar Dika pelan, "gue cuma mikir ... kalau gue ada di posisi lo bakal gimana?"

Reinard tersenyum. "Gue tadinya udah ... it's the end of my life. Mungkin Tuhan Yesus cuma ngasih gue waktu sampe sini."

"Sorry ... Yesus?"

Reinard menoleh ke arah Dika bingung. "I-iya, Bang ... kenapa?"

"Oh, gue pikir lo Islam ... pantes, gue kok gak pernah liat lo solat di mushola atau masjid," jelas Dika datar.

Reinard tertawa. "Terus gimana? Lo nyesel Bang udah nolongin gue?"

"Nyesel?" Dika terdiam sejenak, "kenapa harus nyesel? Mau lo Islam, kek, Kristen, kek, Budha, kek, Hindu, kek. Gue pasti berusaha nolongin lo. Rencan awalnya juga, gue cuma lapor ke polisi ... polisi yang eksekusi. Sialnya gue, malah ketahuan dan ... gitu deh."

"Kali aja lo nyesel, 'kan kalo gak diselamatin juga, kaum kafir jadi berkurang dua orang."

Dika terbelalak dan menatap ke arah Reinard.

"Kenapa Bang?" tanya Reinard seraya tertawa, "udah biasa, kok. Telinga gue udah kebal soal yang begituan sejak SD."

Dika hanya menghela napas pelan, dan menatap ke arah lain. Sesekali, ia mengintip handphone-nya, memainkan sejenak, dan meletakannya kembali. Selama hampir lima kali, Dika melakukan itu.

"Kalo lo gitu juga gak papa kok, Bang. Nyantai aja. Gue emang gak terlalu tahu soal Islam juga, jadi ya ...."

"'Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas'. Itu adalah arti Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 190.

"Lalu, Ibnul 'Arabi dalam Ahkamul Qur'an menjelaskan, 'Maksud dari "wa la ta'tadu" pada ayat ini adalah orang kafir yang boleh dibunuh hanya mereka yang ikut berperang saja. Artinya mereka yang tidak ikut serta berperang tidak boleh dibunuh menurut pendapat sebagian ulama'. Sumber artikel, www.nu.or.id, penulisnya Hengky Ferdiansyah."

Dika menatap Reinard sejenak, dan kembali memadang handphone-nya.

"Rasulullah SAW, pernah bersabda, 'Ingatlah, siapa yang mendzalimi seorang kafir mu'ahad, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat'.

"Hadist riwayat Abu Daud, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami'. Sumber, www.muslim.or.id. Penulis, Raehanul Bahrean, alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, S1 Kedokteran Umum UGM, dosen di Universitas Mataram, kontributor majalah 'Kesehatan Muslim'."

Reinard terdiam mendengar penjelasan Dika yang begitu panjang.

"Gue sendiri selama di Ciamis gak pernah nemu kasus macam lo. Entah emang gak ada, atau gue aja yang gak sadar. Cuma ya ... gue rasa aneh aja buat mereka yang ngelakuin hal semacam itu."

Reinard masih terdiam.

"Lo nanya gue nyesel, jawaban gue enggak."

"Iya, kok, Bang ... gue juga minta maaf, ya. Gue gak nyangka reaksi lo bakal kaya gini."

"Biar lo sendiri paham soal. Selebihnya lo bisa googling, atau tanya di internet macam alodokter. Kalo mau lebih afdol, tanya ke ustadz aja. Lagipupa ... Indonesia ini negara demokrasi. Islam. Kristen, Budha, Hindu, Konghuchu, termasuk Indonesia itu juga.

"Sama seperti kata si Rafi. Mungkin gue nyelamatin lo juga, sebagai bentuk kepedulian gue untuk Indonesia. Dengan gue mengambil kontribusi pada kasus ini, setidaknya Indonesia sedikit terlepas dari narkoba."

Reinard mengangguk setuju. "Rafi ya ... gue gak nyangka dia kaya gitu."

"Lo bakal gak nyangka lagi kalo lo denger perkataan dia di mimpi gue," ujar Dika pelan.

"Emang lo mimpiin dia?"

Dika menangguk. "Dan karena gue gak bisa, maka ... gue bakal minta bantuan lo."

"Apa emang?"

"By the way, lo bisa maen gitar?"

***

Catatan:
[1] Reptil : Rempet tilu (bahasa sunda : rempet riga)

Dipublikasikan pertama kali:
4 September 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top