Chapter 38.0 - The Last Request (Part I)
Dika terdiam melihat kesekeliling. Sejauh mata memandang, hanya satu warna yang ia temukan: hitam. Lalu, ekor matanya menangkap sebuah asap berwarna putih dari bawah. Asap itu terus menggupal setinggi lutut Dika.
Sejenak, Dika memejamkan kedua matanya. Dadanya mengemban dan mengempis secara perlahan. Ia tahu bahwa semua ini adalah mimpi. Selama hampir beberapa bulan ke belakang, ia sering datang ke tempat ini.
Semua tampak sama. Tidak ada yang berbeda. Satu-satunya yang berbeda adalah alasan mengapa ia bisa datang ke sini. Lalu, gendang telinganya bergetar karena suara langkah kaki dari arah belakang.
Dengan tenang, Dika memutar tubuhnya dan melihat sosok Rafi yang muncul dari kegelapan.
Rafi mengangkat tangan kanannya. Sementara Dika hanya tersenyum menanggapi sapaan Rafi.
"Bagaimana kabar lo?" tanya Rafi.
Dika kembali tersenyum. "Baik."
"Teman-teman lo?"
"Mereka juga."
Rafi mengangguk pelan. "Nayla?"
Dika menghela napas pelan dan berjalan mendekati Rafi. Lalu, diarahkan matanya ke sebuah danau yang entah sejak kapan muncul. Seketika, keheningan pun berubah menjadi nyanyian burung yang berkicau, serta air yang bergemericik.
"Dia aman. Gue pastiin dia baik-baik saja."
Rafi terkekeh dan melempar sebuah batu ke arah danau. Sebanyak lima kali batu itu menyentuh air, hingga akhirnya tenggelam. "Kalau lo gagal, gue sendiri yang bakal ngehabisin lo."
Kini, giliran Dika yang tertawa. Diambilnya sebuah batu berukuran sedang dan pipih. Lalu, dilemparnya ke arah danau seperti yang dilakukan Rafi. Namun, baru saja menyentuh air, batu itu lantas tenggelam 'tak memantul.
Rafi tertawa terbahak-bahak. Lalu ia kembali melempar beberapa batu ke arah danau. Sementara Dika, meletakan pantat dan punggungnya sejajar di atas rumput.
"Barang itu dicampur dengan permen anak-anak," ujar Rafi pelan, "saat ini kita sendiri mulai kewalahan nyelundupin dari Malaysia, Cina. Jika barang udah masuk, itu lebih gampang."
"Lebih gampang?"
"Duit yang ngomong."
Dika mengangguk paham.
"Dari luar masuk ke Indonesia, dan dari pulau ke pulau
lah yang sulit."
"Kenapa sulit?"
"Entahlah, gue cuma kurir. Nganterin orderan ke 'pasien' lama doang."
Dika terdiam mendengar jawaban Rafi. Ditatapnya dedaunan di atas yang bergesekan karena angin. "By the way, gue gak nyangka ada pesan sesimpel itu, disimpen disebuah lagu dengan serumit itu."
Rafi terkeleh. "Lo terlalu ngeremehin mereka. Lo pikir, puncak dari piramida ini siapa? Lulusan SD?"
Dika tergeming. Ada perasaan bahwa apa yang dikatakan Rafi memang benar. Diliriknya sosok Rafi yang masih asyik melempar batu ke arah danau dengan tatapan datar. "Omong-omong tadi, apa narkoba itu nyasarnya anak-anak?"
Rafi terdiam dan memandang Dika dengan heran. "Lo pikir kita kaya ngebagiin narkoba secara cuma-cuma ke anak-anak? Enggaklah bego!"
"Terus kenapa harus ke permen anak-anak?" tanya Dika.
"Lo gak bakal dicurigai membeli sesuatu yang banyak untuk alasan anak-anak, 'kan?"
"Bener juga, sih, eh tapi itu gak bakal salah sasaran?"
"Seperti yang gue bilang. Kami punya masing-masing. Kode itu pasti berbeda antara satu dan yang lain. Tidak ada kode internasional akan semua hal ini. Kalo anak kecil yang beli ya, yang asli di kasih."
Sejenak Rafi terdiam dan memandang Dika dengan datar. "Atao lo mikir tuh permen bakal dijual di warung depan SD?"
Dika mengangguk.
"Bego lo! Lo pikir permen lolipop apa! Setiap 'pasien' yang datang untuk 'berobat' pasti akan membuat jadwal lagi di kemudian hari. Lagi, dan lagi."
"Dan jadwal itu hanya diketahui oleh mereka?"
"Ya iyalah! Ada semacam kode etik juga di sini! Bukan asal make doang. Lo juga gak bisa ngobatin sembarang pasien. Bisa-bisa tuh pasien intel. Ini semacam membership SPG."
"SPG?"
"Seks Pajero Goyang," jawab Rafi.
Dika terbelalak mendengar perkataan Rafi.
"Narkoba dan pelacuran udah satu paket. Ada 'pasien' yang ketangkep pas mau 'make' cewek. Atau ada yang udah sering 'make' cewek, terus coba 'ngobat' buat nambah stamina."
"Terus kenapa Nayla? Gue rasa ... itu bukan cewek pertama yang bakal kalian bisniskan, 'kan?"
Rafi yang hendak melempar batu terdiam. Sejenak ia menghela napas panjang dan kembali melanjutkan aktifitasnya seraya berteriak. Lalu, ia duduk di samping Dika dan mengeluarkan sebuah foto dari saku jaketnya.
Sesaat, Dika mengintip foto yang dipandang oleh Rafi. Terdapat dua orang berdiri berdampingam dengan baju yang senada. "Itu ... lo sama Nayla?" tanya Dika.
"Bukan. Ini Sasa ... pacar gue."
Dika terdiam menyadari alasan mengapa Rafi bertingkah demikian.
"Sasa dulu pernah hampir diperkosa. Gue emang nyelamatin dia. Lalu, gue bunuh temen gue yang mau ngeperkosa dia. Saat itu, gue pikir udah jadi pahlawan yang nyelamatin dia. Faktanya, Sasa malah bunuh diri. Gak kuat dengan cemoohan masyarakat dan teman-temannya yang lain.
"Saat itu gue mikir. Bahwa hidup gue udah berakhir. Gue keluar dari penjara, pacar gue bunuh diri. Balik ke rumah bokap nyokap, pada pergi. Temen satu sel gue, si Kumis, sempet coba ngedorong gue buat tetap semangat. Akhirnya dia nawarin gue kerja, jadi kurir narkoba.
"Awalnya gue nolak. Gue yakin, dengan kemampuan gue sebagai atlit dan pengetahuan yang gue pelajari di kampus jurusan komunikasi, pasti bisa dapet kerja. Mentok-mentok jadi satpam. Tapi, cap mantap narapidana ngebuat gue mikir ... gak ada tempat buat gue."
"Dan akhirnya lo jadi gini?"
Rafi mengangguk. "Dan ketika gue liat Nayla, ada perasaan yang sempat gue buang, itu datang kembali. Gue bimbang, dan ...." Rafi mengangkat kedua bahunya.
Dika mengangguk dan mengusap punggung Rafi. "Lo ngelakuin yang bener, walau lo gak punya kesempatan untuk berubah secara utuh."
Rafi tersenyum. "Kata-kata lo ... 'Jika Indonesia gak bisa mengakui lo, biarka dunia yang mengetahui lo' itu ...." Rafi menekan-nekan dadanya.
"Lo kebayang gak sih, latihan tiap hari ... dan pas seleksi PON, lo gak bisa ikut karena di penjara?"
Dika memilih bungkam.
"Gue sempet mikir. Inilah akhir dari kisah hidup gue. Sebagai sampah yang gak bermanfaat bagi siapapun. Tapi, gue sadar satu hal ... setidaknya gue bermanfaat bagi gue pribadi, dan bagi sosok yang gue cintai."
Dika hanya tersenyum.
"Can I ask you something?" tanya Rafi. Lalu, Rafi membisikan sesuatu kepada Dika dengan perlahan dan seksama. Sementara Dika hanya terdiam memejamkan kedua matanya.
"It's beautiful!" gumam Dika seraya masih mengistirshatkan tubuhnya di atas rumput.
Rafi hanya tersenyum. Lalu, ia berdiri tegak dan meregangkan tubuhnya. "Gue harus pergi," ujar Rafi pelan.
Dika terdiam dan menatap Rafi yang tersenyum menatap mentari yang terbenam.
"Gue munkin egois, tapi gue mau ngomong satu hal ...." ujar Rafi pelan.
Dika membuka matanya dan menatap langit kamarnya yang gelap. Sejenak, dikerjakan kedua matanya beberapa kali. Sepersekian detik kemudian, Dika menyadari jika ia sudah terbangun sepenuhnya.
Suara Aldena yang mendengkur menambah keyakinan jika ia sudah terjaga. Namun, ia masih mengingat perkataan Rafi sepenuhnya. Bahkan, sebuah kalimat terakhir yang terucap itu, masih menggema di kepalanya.
Don't forget me.
***
Dipublikasikan pertama kali:
2 September 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top