Chapter 37.0 - The Death
Dika dan Nayla berlari menyusuri ruang bawah tanah itu. Sesuai dengan rencana awal, Dika akan pura-pura tak sadarkan diri. Lalu, Rafi mencoba mengurangi kekuatan musuh. Bersamaan dengan itu, Rafi mengalihkan perhatian agar ia bisa berlari bersama Nayla.
Hanya berbekal senter kecil milik ketiga polisi tadi, mereka berdua berlari dengan sedikit tertatih-tatih. Sejenak, Dika kembali merasakan sebuah sengatan kecil di pelipisnya. Walau sengatannya tidak sebesar pertama kali, hal itu membuat Dika berhenti.
"Ba-bang!"
Dika mengerang. Lalu, sebuah teriakan dari arah ia berlari terdengar menggema. Si Kumis mengaum laksana singa memburu makanannya.
"Nay! Lo liat galis itu?" Dika mengarahkan senter itu ke tanah. Terdapat sebuah garis terlukis tanpa putus di sana. "Ikuti galis itu! Ental lo berhasil ke gudang, di sana ada temen gue Aldena sama Azhal. Lo lali ke sana! Mereka yang bakal urus selanjutnya."
"Terus lo Bang?"
"Udah lo cepet lali!" ujar Dika.
"Gue gak mau, Bang!"
"Nay! Dengel! Lo halus ikutin lencana gue!"
Nayla sejenak terdiam. Lalu, suara auman tadi semakin mendekat. Ditatap wajah seniornya itu datar, dan mengangguk. Nayla berlari meninggalkan Dika.
"Anjing! Babi!" ujar si Kumis seraya berlari. Sejenak, ia terdiam melihat sebuah cahaya yang bergerak menjauh. Lalu bergerak ke arah kiri dan menghilang.
"Hah! Ketemu lo setan!" teriak si Kumis seraya berlari memegang flashlight dari handphone-nya.
Lalu, tanpa sepengetahuan si Kumis, Dika keluar dari persembunyiannya. Dengan cepat, kedua tangganya mengunci leher si Kumis melalui ketiak. Tanpa aba-aba, Dika menjegal kaki si Kumis.
Si Kumis mengerang karena terjatuh sekaligus tertindih tubuh Dika. Handphone yang dijadikan sumber cahaya pun terlepas. Beruntung, posisi flashlight-nya menghadap ke atas.
"An-anjing!" caci si Kumis pelan.
Dika tidak merespon perkataan si Kumis. Ia fokus pada kuncian yang membuat si Kumis terdiam.
"Beraninya ... lo berbuat sejauh ini."
Dika tidak menjawab.
"Lo pikir, dengan ini semua lo berhasil nyelesein tugas lo? Lo salah!"
Dika terdiam mendengar perkataan si Kumis.
"Lo gak pernah tahu seberapa dalam laut yang lagi lo datengi!"
Dika termenung. Perkataan si Kumis memanglah benar. Ia tidak tahu hal-hal yang berhubungan dengan dunia narkoba. Yang ia tahu hanyalah sebatas Indonesia memerangi narkoba, barang haram, sakaw, dan sejenisnya.
Si Kumis sadar musuhnya tengah berpikir. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, si Kumis menarik kedua tangannya yang terkunci. Dengan satu kali percobaan, si Kumis berhasil melepaskan kedua tangannya. Lalu, didorong tubuh Dika hingga terguling ke depan.
Dika mengerang. Namun, dengan cepat ia berdiri dan mengerjapkan kedua matanya. Ekor matanya menangkap sosok si Kumis yang sudah berdiri. Dengan cepat Dika berlari dan memukul pipi kiri si Kumis.
Si Kumis sejenak mengerang. Lalu, dilayangkan kembali serangan kedua oleh Dika sebuah tinju kirinya. Namun, Si Kumis berhasil menahan serangan itu. Tidak ingin membuang waktu, si Kumis melayangkan tinju kanannya tepat ke hidung Dika. Beruntung, Dika berhasil mengelak ke kanan.
Tanpa mengambil napas, Dika menahan bahu kiri si Kumis dengan tangan yang sama. Lalu, Dika kembali berada di belakang si Kumis dan mengunci lengan yang lain. Dika kembali berusaha menjegal kaki si Kumis. Namun, hal itu gagal.
"Lu pikir gue bego!" teriak si Kumis.
Si Kumis lantas memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Bergerak mundur mendorong tubuh Dika hingga membentur dinding.
Dika mengerang kesakitan.
Sebanyak tiga kali, si Kumis melakukan hal itu. Akhirnya, Dika menyerah dan jatuh tersengkur.
Si Kumis terdiam dan meregangkan kedua lengannya. Lalu, ia beranjak memunggut pistolnya yang terjatuh. "Sepertinya lo salah perhitungan. Dan karena gue gak punya waktu lama ...."
Si Kumis menempelkan pistolnya ke dahi Dika. "... good bye!"
Dengan cepat Dika mendorong dan mencengkeram bagian barrel dan breech block dengan tangan kanan. Sepersekian detik kemudian, tangan kirinya ikut mencengkeram pistol tersebut dengan kuat. Lalu, diputarnya pistol tersebut ke arah kiri, hingga terlepas dari pegangan si Kumis.
Setelah pistol itu berada di bawah kekuasaannya. Dengan cepat, Dika memegang barrel pistol dengan kuat seperti sebuah palu. Lalu, dihantamkan bagian magasin pistol tadi ke lutut kiri si Kumis.
Seketika si Kumis berteriak dan terjatuh. Kemudian, dengan kuat Dika menghantam pelipis kiri si Kumis dengan cara yang sama seperti tadi. Si Kumis tergelepak seraya meringis kesakitan. Tangan kirinya tampak menutupi bagian kepalanya yang terkenal serangan telak.
Sementara Dika terdiam dengan napas tersenggal-senggal. Dengan cahaya minim, kedua pupil matanya melebar secara maksimal. Dipandang pistol milik si Kumis yang dipegangnya dengan seksama. Lalu, ia kembali menatap si Kumis yang masih mengerang kesakitan.
Dengan perlahan, Dika berusaha berdiri. Lalu, diputar tubuh si Kumis dengan kaki kirinya hingga terlentang. Ditatapnya wajah si Kumis yang terasa begitu dingin menatap Dika.
"Lo mungkin beruntung ... berhasil di sini. Tapi lo bukan 'ikan' di 'lautan' ini! Lo cuma 'perenang'! Tak sengaja menemukan 'hiu' yang terluka, dan memburunya! Lo cuma beruntung!"
"Gue emang bukan 'ikan', temen-temen gue juga. Dan gue gak belniat jadi 'ikan'. Dan gue gak belniat membulu 'hiu' yang telluka. Gue cuma mau bawa tuh 'hiu' atau terselah mau lo apa ke lumah sakit. Lumah sakit itu, ya, penjala."
Si Kumis tertawa terbahak-bahak, lalu meludah ke arah Dika. "Jangan mimpi lo mau ngubah seekor 'hiu' menjadi 'lumba-lumba'!"
"Emang ... 'hiu' gak bakal bisa jadi 'lumba-lumba'. 'Seligala' pun gak bisa jadi 'domba'. Hanya, gue sendili gak nganggep lo sebagai 'hiu'. Lo itu semua sama kaya gue cuma 'pelenang'. 'Pelenang' yang lupa akan dalatan, dan menganggap dilinya sebagai golongan pisces. Tugas gue adalah, nyelet lo kembali ke dalatan ... dan ngelehabilitas lo semua."
Si Kumis kembali tertawa. "Percuma ... percuma, lo gak bakal bisa ngelakuin itu!"
Dika terdiam sejenak. Lalu, terdengar langkah kaki dari arah gudang. "Lo benel, gue emang gak bisa ... tapi kami bisa."
"Lo ... sama polisi? Lo ngelawak, mereka aja main kotor!"
"Bukan polisi yang main kotol. Meleka yang main kotol cuma sebagian oknum. Banyak penjabat yang kolupsi, tapi bukan pemelintah atau Indonesia yang salah. Bagaimanapun, setetes nila lusak susu sebelanga memang berlaku. Hanya, menjadikan hal kecil itu sebagai indikasi bahwa mereka kotor, jelek, bego ... itu kulang tepat.
"Bagaimanapun, kita sebagai masyalakat halus ikut menjaga keutuhan ini. Salah jika lo berpikil gue di sini cuma sendili ...." Dika terdiam beberapa detik. Matanya terpejam mengingat sahabat, kenalan, dan Rafi sendiri. "... ada pihak-pihak lain yang belhasil mendolong gue sampai di sini."
Si Kumis terdiam menatap kedua mata Dika dengan datar, lalu tersenyum. "Lo tahu satu hal? Indonesia memang tengah gencar memerangi narkoba, tapi Indonesia lupa memerangi ketidakjujuran, juga ketidakadilan."
Lalu, sebuah cahaya putih muncul dari arah suara derap kaki berasal. "Berhenti!"
Dika terdiam dan memandang ke arah cahaya tersebut.
"Angkat tangan!"
Secara perlahan-lahan, Dika mengangkat kedua tangannya.
"Letakan pistol di lantai secara perlahan, dan mundur tiga langkah!"
Dika kembali mengikuti perintah yang ia dengar, tanpa melakukan perlawanan. Kemudian, keempat orang bersenjata lengkap berjalan menghampiri mereka berdua. Lalu, kedua tangam Dika dan si Kumis dibogrol di belakang.
Secara teratur, mereka berdua berjalan menyusuri ruang bawah tanah itu menuju gudang. Suara riuh sirine dan sejenisnya mulai terdengar. Sesampainya di bibir pintu, ekor mata Dika menangkap sosok Azhar, Aldena, dan Nayla yang duduk di sudut ruangan.
"Dik!" teriak Aldena seraya berlari. Kedua matanya terbelalak melihat tangan Dika yang dibogrol. "Pak itu teman saya! Ngapain ...."
"Den," potong Dika lirih, "ini salah satu plosedul pengamanan. Bukan belalti gue salah. Nayla gimana?"
"Nayla udah dibawa ke rumah sakit. Dia sekarang sama si Azhar."
Dika mengangguk seraya tersenyum. Kemudian salah seorang pria berbaju cokelat menghampiri mereka. "Saudara Maulana Dika?"
"Iya, Pak."
Pria itu mengangguk dan menatap pria lain di belakang Dika. Lalu, pria itu melepas borgol yang mengikat lengan Dika.
"Saya ucapkan terima kasih atas semua laporan yang Anda dan teman-teman Anda berikan. Namun, saya harap Anda bersedia memberikan laporan untuk melengkapi data-data yang diperlukan."
"Pak, saya ingin membawa Dika terlebih dahulu ke rumah sakit," ujar Aldena pelan. Lalu, dengan lantang Aldena menjelaskan apa yang terjadi dengan Dika beberapa saat lalu.
Mendengar hal tersebut, pria itu mengangguk dan memgabulkan permintaan Aldena. Lalu, sebuah suara dari gawai yang tergantung di sabuk pria itu.
"Lapor, tim Badak Jawa sudah sampai di rumah target."
"Bagaimana?"
"Ditemukan sebuah tiga orang di lantai satu dalam keadaan tidak bernyawa."
"Semuanya?"
"Iya."
"Baik, laporan diterima!"
Dika terdiam mendengar laporan itu. Samar-samar, wajah Rafi menlangkahi alam bawah sadarnya.
"Dik?" tanya Aldena, "kenapa?"
Dika terdiam dan menggeleng.
***
Dipublikasikan perama kali:
1 September 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top