Chapter 35.0 - The Fight

Dika terbelalak. Jantungnya berdetak semakin cepat. Dilirik kedua sahabat di kanan kirinya secara bergantian. Lalu, kedua matanya kembali tertusuk pada sosok pria jangkung bernama Rafi.

Tanpa aba-aba. Rafi berlari ke arah mereka bertiga. Azhar melangkah maju dengan tangan terkepal. Merasa dekat, Azhar melayangkan tinju kanannya ke arah Rafi.  Dengan mudah, Rafi menghindar ke arah kanan dan melayangkan lutut kirinya ke perut Azhar.

Azhar mengerang. Melihat hal itu Aldena bergerak maju guna membantu Azhar. Rafi yang sudah memperkirakan pergerakan Aldena tersenyum.

Kedua tangannya mendorong punggung Azhar yang  hingga terjatuh. Lalu, kaki kirinya berputar ke arah luar, melompat dan menendang kepala Aldena dengan tumit. Walau sempat mengenai dua tangan Aldena, tapi hal itu tak mengurangi kekuatan yang dilepaskan. Aldena terhuyung dan terjatuh ke arah kanan.

Rafi terdiam. Tanpa mengambil napas, ia berlari ke arah Dika dan kembali melompat. Tubuhnya berputar ke arah kanan di udara.

Jika tadi dia berputar ke arah kiri dan menendang dengan kaki kiri, maka ia akan menendang dengan .... Dika terpental membentur dinding karena tendangan kaki kiri Rafi.

Dika terdiam dan memandang kesekeliling. Dilihat kedua sahabatnya masih bisa bergerak. Selama hampir satu menit Azhar dan Aldena sudah kembali berdiri, begitupun dengan Dika.

Rafi hanya tersenyum melihat dirinya yang sudah berada di tengah mereka bertiga. Dipandangnya satu persatu ketiga mahasiswa itu yang sudah sedikit kelelahan.

"Seriously?" ejek Rafi seraya bertingkah seolah-olah kecapekanl

Dika meludah ke sisi kiri dan mendengus. "Kenapa lo ngelakuin semua ini?"

Rafi terkekeh. "Tadi temen lo si Reinard juga nanya gitu. Dia nanya, 'Kenapa lo harus ngejual narkoba?'"

"Terus?" tanya Aldena.

"Narkoba itu kaya barang primer bagi para pasien. Sama kaya lo semua terhadap nasi."

"Kalo gitu, kenapa lo gak ngejual nasi bungkus aja? Bukankah sama-sama barang primer?" tanya Azhar.

Dika terdiam mendengar perkataan Azhar. Dilirik sahabatnya yang berkata itu selama hampir satu detik.

Rafi tertawa terbahak-bahak. "Lo belom tahu apa-apa soal bisnis ini."

"Gue emang gak tahu soal bisnis itu, tapi,"--Dika memandang Rafi dingin--"gue tahu bisnis itu gak ada hubungannya Nayla."

Rafi tersentak mendengar hal itu. Kedua matanya melebar, pun alisnya meninggi. Mulutnya terbuka beberapa senti selama beberspa detik. Lalu, kedua tangannya mengepal seraya berdecak.

"Is not your bussiness!" bentak Rafi.

"Yes it is. She is my fliend ... oul fliend. Dia gak ada hubungannya sama nalkoba, atau lo mau buat hubungan sama dia dengan nalkoba?"

Rafi berteriak seraya berlari ke arah Dika. Sementara Dika mengangkat kedua tangannya, guna melindungi kepalanya dari tendangan Rafi. Namun, Rafi malah melayangkan tinju kanan tepat ke arah wajah Dika.

Dengan cepat, Dika menepis dengan tangan kiri dan menonjok hidung Rafi. Tidak tinggal diam, Aldena menarik baju Rafi dan melemparnya sekuat tenaga.

Azhar berlari mendekati Dika. "Lo gak papa?"

"Iya. Gak papa."

Aldena melangkah mundur dengan posisi tangan mengepal. "Lu berhasil mancing dia emosi, Dik?" tanya Aldena seraya berbisik.

"Gue gak niat mancing emosinya, tapi ... dia kayanya kepancing," jawab Dika dengan napas tersenggal-senggal.

"Narkoba?" tanya Azhar.

"Bukan, tapi Nayla."

Aldena menautkan kedua alisnya. "Nayla?"

Dika mengangguk. "Gue coba pancing lagi, tapi ... dalam game gue lagi kena debuff[1] senjata si Kumis. Zar, sebagai hero baru yang hobi naik gunung, damage lo lebih gede."

"Jadi gue yang bakal nyerang?" tanya Azhar

"Entar si Dena bantu."

"Terus lo?" Aldena menoleh sejenak.

"Gue bantuin kalian ... lewat doa."

Aldena berdecak. "Ini bukan waktunya becanda bego!"

"Gue punya rencana," bisik Azhar, "tapi ada hal-hal yang harus gue tahu dulu."

"Shoot'em," celetuk Dika.

Azhar menjelaskan rencana yang dia pikirkan. Sementara Rafi, memandang ketiga sahabat itu seraya memegang hidungnya. "Anjing!" umpat Rafi. Dengan cepat ia berdiri dan mengepalkan kedua tangannya.

"Lo semua brengsek! Gue abisin satu-satu!"

Dika membuka dan menutup mulutnya seolah-olah tengah menjawab. Namuh, Rafi tidak bisa mendengarnya.

"Lo ngomong apa?" ujar Rafi seraya mencondongkan telinga kanannya.

Dika tersenyum dan melirik ke arah Azhar. "Gue cuma mikil, kenapa lo masih mau ada di sini, sementala temen-temen lo pergi. Bukan gue sombong, tapi gue gak punya urusan sama lo."

Rafi berdecak.

"Satu-satunya alasan kita ke sini adalah nyelamatin Leinard dan Nayla. Gue bukan BNN atau kepolisian, gue gak peduli soal urusan lo. Gue lebih peduli soal Nayla. Lo gak pernah mikir ... dia cewek, kebayang gak apa yang dia rasakan?"

Rafi terdiam. Samar-samar sebuah bayangan beberapa tahun silam melangkahi alam bawah sadarnya.

"Atau lo sendiri emang gak bisa rasain? Gak bisa bayangin? Gue cuma takut, dia nanti dijadiin PSK. Nemenin ...." Dika terus berkata memancing emosi Rafi.

Sementara Rafi hanya terdiam mendengar perkataan Dika. Kepalanya tertunduk, tangannya mengepal kuat. Ritme napasnya berubah drastis dengan cepat. Alisnya merendah. Kedua matanya terkunci tepat ke arah Dika. Perkataan Dika yang terus menggema terdengar bagaikan ejekan di telinga Rafi.

"... wajar, sih," gumam Dika, "lo gak pernah jadi seorang Ayah, yang memikirkan nasib anak ceweknya. Dan lo juga gak pernah jadi seorang pria, yang memikirkan nasih pacarnya secantik ...."

"Anjing!" Rafi berteriak dengan kencang. "Lo tahu apal soal gue! Lo tahu apa soal gue hah!"

Dika terkekeh. "Satu-satunya hal yan gue tahu adalah, lo bahkan gak cukup pantas untuk dicintai oleh ...."

"Bangsat!"

Rafi berari dengan cepat ke arah Dika. Kedua matanya mengunci wajah Dika untuk dihancurkan. Tangan kanannya mengepal dan bergerak ke arah wajah Dika. Namun, pergerakan tangannya terkunci.

Rafi terbelalak melihat Aldena yang berdiri di samping kanannya. Lengan kanan Aldena bergerak masuk dan mengunci pergerakan Rafi dengan cara yang sama dengan memukul.

"Azhar!" teriak Aldena.

Dengan cepat Azhar berlari dari sisi berlawanan, menghantam telinga kiri Rafi dengan keras. Tanpa memberikan kesempatan untuk pulih, Azhar melayangkan tinju kiri tepat ke arah hidung Rafi.

Sementara Aldena, memegang pergelangan kanan Rafi dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya mencengkeram baju di bagian punggung Rafi. Dengan satu sapuan kaki kanan, Aldena menjegal kaki Rafi dan membanting tubuhnya ke lantai.

Rafi mengerang kesakitan, kedua matanya terpejam. Lalu, ketika mata Rafi terbuka, ia melihat Dika mengangkat sebuah linggis dan menghantam ke arah wajahnya.

Rafi memejamkan kedua matanya dan membuang muka. Sepersekian detik kemudian, terdengar bunyi besi yang menghantam benda keras di telinga Rafi. Namun, tidak ada satupun benda atau sesuatu yang menyentuh kepalanya.

Dengan perlahan, Rafi membuka matanya, dan melihat ketiga mahasiswa itu berdiri mengelilingi Rafi. Sementara linggis yang sempat diayun oleh Dika menghantam lantai kayu tepat di atas kepala Rafi.

"Gue bilang gue gak peduli ulusan lo. Gue cuma peduli sama ulusan Nayla. Lo sendili mungkin seneng ngelakuin bisnis ini, tapi ... lo gak suka, 'kan dengan aksi penculikan ini, 'kan?"

Rafi terdiam mendengar pertanyaan Dika. Pandangan datarnya bertemu dengan mata mahasiswa bertubuh buncit itu. Kemudian, Rafi berdecak. "Lo kaya yang tahu aja."

"Gue emang gak tahu apa yang teljadi dengan kehidupan lo di masa lalu. Tapi, gue tahu, dari leaksi lo tadi ... lo benci untuk menghadapi hal ini."

"Terus lo minta gue bantu lo gitu?"

"Gue cuma minta lo diem aja. Jangan ganggu ataupun ikut campul soal urusan gue dan Nayla. Dan jika temen-temen lo belulusan dengan Nayla. Maka itupun jadi ulusan gue," jelas Dika.

"Kalau gue menolak?"

Dika mengangkat linggis besi tadi dan menompang di bahu kanannya. Melihat hal itu Rafi hanya terkekeh. "Lagak lo kaya yang mau bunuh gue aja."

"Bunuh? Gue gak bakal bunuh lo," jawab Dika, "Zal, di dalem ada tali bekas Leinard dan Nayla. Ambil."

Azhar mengangguk dan segera berlari. Tidak lama kemudian, ia kembali dengan tali yang diminta. Tanpa menunggu aba-aba, Azhar mengikat tangan Rafi kebelakang. Kemudian, Azhar kembali mengingkat tali tersebut ke leher Rafi.

"Dengan begitu, tangannya gak bisa melewati kaki dan pantatnya dari bawah," ujar Azhar.

"Lo semua percuma nyelamatin Nayla. Lagian, kenapa lo nyelamatin dia sih? Dia cuma temen lo, bukan pacar lo."

"Shinichi Kudo pernah belkata, pellukah sebuah alasan bagi kita untuk menyelamatkan nyawa seseolang? Sementala banyak olang membunuh dengan motif yang belbeda-beda." Dika menoleh ke arah Rafi. "Bukankah lo sendili punya alasan kenapa lo ada hingga sekalang? Dengan hidup lo yang sekalang?"

"Lo gak tahu seberapa kejamnya dunia ini kepada lo."

"Karena itulah lo harus denger perkataan Patlick sahabat Spongebob. Hidup ini licik, jadi telbiasalah dengan itu."

"Sebagai mantan napi, kelicikan itu berubah dari tiga bahkan sampai empat kali. Gak ada kesuksesan bagi mantan napi di Indonesia."

"Jika Indonesia tidak mau mengakui lo, bialkan dunia yang mengetahui lo. Jika lo gak bisa jadi sebuah bunga untuk negela ini, setidaknya lo bisa jadi tai yang bakal nyubulin bunga-bunga yang lain."

Rafi terkekeh. "Gampang kalo ngomong, susah buat prakteknya."

"Di mata gu lo cuma berlali mencali alasan untuk meyakinkan dili bahwa lo gak sepenuhnya salah. Faktanya, lo tahu bahwa lo itu salah, tapi lo enggan mengakuinya," jelas Dika, "setidaknya buktikanlah kalau lo memang layak untuk dicintai."

Rafi terdiam kehabisan kata-kata. Kedua matanya memandang Dika yang kini masih berdiri di depannya. Samar-samar sosok gadis masih ia cintai melangkahi alam bawah sadarnya.

"Gimana Dik?"

"Kita masuk, bawa ketiga polisi itu kelual. Lapol pake handy talky dulu, dan nunggu pelintah. Abis itu ...."

"Tunggu," potong Rafi pelan.

Dika menoleh dengan tatapan datar. "Apa lagi?"

Rafi terdiam dan memandang mata Dika.

***

Dipublikasian pertama kali:
29 Agustus 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top