Chapter 34.0 - The Taekwondo

"Nayla ... gak ada?" tanya Dika.

Azhar menghela napas dan mengangguk. "Dia kayanya di bawa si penculiknya."

Dika terdiam memandang satu titik di lantai ruangan. Samar-samar, ketiga wajah yang sempat menghabisinya melangkahi alam bawah sadarnya. Terlebih sosok pria berkumis lengkap dengan jenggot tipisnya.

Sebuah gelombang datar bersumber dari gawai yang tergantung di sabuk si Pria Berbaju Cokelat terdengar.

"Lombok pati[1], Masuk!"

"8-6[2] Komando, ganti!"

"8-1-9[3]?"

"Empat 'lalat'[4] dengan kondisi tiga 8-1-1[5] dan satu lalat ...." Si Pria Berbaju Cokelat berbicara dengan sedikit menjauh. Sementara Dika, Azhar, dan Aldena hanya bisa terdiam.

"Polisinya cuma ada satu?"

Azhar menggeleng. "Ada tiga, dua orang lagi mencoba menelusuri di gudang ini. Habis gue dapet telepon dari Aldena soal posisi gudang, gue langsung ngomong ke mereka. Dan ...." Azhar menjelaskan semua kronologi mengapa ia dan tiga polisi berhasil sampai di sini.

"Kemungkinan meleka udah jauh," lirih Dika.

Azhar menggeleng. "Si Dena telepon gue jam setengah sembilan, sepuluh menit kemudian, gue udah di sini," jawab Azhar.

"Lo inget mobil silvel kemaren malem? Itu mobil meleka. Kemungkinan mereka ...."

"Mobilnya ada, kok, di luar," potong Azhar.

Dika terdiam memandang Azhar. "Meleka gak pake mobil?"

Azhar mengangguk. "Iya, lagian kata polisi bannya kempes."

"Tunggu ... itu ...,"--Dika menatap ke arah Aldena--"lo, 'kan?"

Aldena mengangguk.

"Kalau begitu, meleka masih belum jauh,"--Dika mengambil napas sejenak--"kita harus belgelak cepat," ujar Dika seraya berusaha berdiri.

"Sebelum lo ngomong pun, polisi udah mikir gitu. Makanya mereka minta bantuan dan coba nyari di sekitar sini," jelas Azhar lagi.

Dika terdiam. "Kalo gitu, gue bisa ...."

"Lapor! Terdapat sebuah lubang kecil yang bisa dilalui satu orang di benteng bagian timur."

Ketiga sahabat itu terbelalak mendengar suara dari handy talky si Baju Cokelat. Lalu, dengan bersusah payah, Dika berusaha berdiri. Namun, ia kehilangan keseimbangan dan kembali terjatuh.

"Di-dik!"

Dika kembali berdecak. Dibacanya kalimat basmalah seraya kembali berusaha berdiri. Dengan bantuan Aldena, Dika berhasil berdiri walau tidak setegak biasanya.

"Kalian tunggu di sini! Bapak pergi dulu ke luar!" ujar si Baju Cokelat.

Azhar mengangguk pelan. Namun, Dika kembali melangkah sendiri ke arah si Baju Cokelat berlari.

"Dik!" Azhar berlari dan berjalan di samping Dika. "Udah! Kita tunggu di sini aja."

"Kita cali meleka. Meleka pasti gak bakal jauh!"

"Iya, tapi kita harus nunggu polisi dulu!" larang Azhar.

"Bener kata Azhar. Kita gak boleh jadi beban polisi," imbuh Aldena.

Dika tidak menjawab. Dirinya terus berjalan melewati pintu besi dengan sedikit kesusahaan. Sesekali, telinganya berdengung entah kenapa. Lalu, sebuah sengatan kecil di kepalanya membuatnya terjatuh di lantai.

"Dika!" Azhar sontak membalikan tubuh Dika.

"Lo bego amat sih, jangan nafsu Dik! Kita udah nyelesein tugas ...."

"Suala ...." ujar Dika seraya terbata-bata. Tangan kanannya mengetuk-ketui lantai kayu di bawahnya. Terdengar suara "dung-dung" karena hal itu.

"Suara ... maksudnya?"

"Dengal," tambah Dika seraya terus mengetuk lantai itu. Secara perlahan, tangannya bergerak ke kanan. Tiba-tiba terdengar suara yang berbeda dari sebelumnya.

Azhar dan Aldena terdiam. Sejenak mereka saling memandang satu sama lain.

"Beda, 'kan?"

"I-iya ... yang itu lebih nyaring, ya?"

"Suala adalah gelombang yang melambat ... menggunakan media udara," jelas Dika pelan.

"Kalau gitu ...." Aldena lantas menggulingkan tubuh Dika. Mendapati perlakuan seperti itu, Dika berseru. Namun, Aldena tidak menanggapi protesan yang dikeluarkan oleh sahabatnya.

Dipandangnya permukaan lantai kayu itu secara seksama. Namun, kedua matanya tak menangkap sebuah gagang atau besi untuk membukanya.

"Gimana?" tanya Azhar

"Cuma bisa dibuka dari dalem. Kalau gitu,"--Aldena segera berdiri dan menatap Azhar--"awas."

Azhar mengangguk dan berjalan mundur. Tidak lupa ia membantu Dika berdiri agar bisa menjauhi area bersuara itu. Dengan satu tarikan napas, Aldena menginjak bagian kayu itu sekeras mungkin. Namun, hal itu hanya menimbulkan suara suara yang nyaring.

"Zal," celetuk Dika, "panggil aja polisinya ke sini."

"Terus lo?"

"Diemlah!" jawab Dika singkat.

"Oh, iya-iya." Azhar berlari ke luar melalui jendela. Sementara Dika, hanya menatap Aldena yang terus menerus menginjak area itu.

"Anjing!" umpat Aldena, "pake rangka besi ini, mah!"

Dika hanya bisa terdiam. Tidak lama kemudiah, Azhar dan ketiga polisi berbaju cokelat berdatangan satu persatu.

"Ada luang lahasia di sini. Kita halus membukanya ... argh!" Dika kembali mengerang karena sengatan listrik di kepalanya. Lalu, pandangannya sedikit terbagi hingga berkabur. Astagfirullah, gusti! batin Dika seraya memegang pelipisnya

"Kamu cadel?" tanya si Cepak Berbaju Cokelat.

"Entah kenapa sejak tadi agak cadel."

"Gak ... gak papa," potong Dika, "meleka kemungkinan jalan sini."

"Benar juga, agak mencolok jika mereka berlari membawa sandera wanita," ujar si Baju Cokelat berpangkat bripda.

Si Cepak Berbaju Cokelat yang berpangkat aipda termenung. "Rob, bawa di mobil ada linggis," pintanya.

"Siap, 8-6!" Seseorang yang berpangkat abrip melesat keluar. Tidak sampai satu menit, ia kembali dengan linggis di tangannya.

"Rob! Bongkar!"

"Siap, 8-6!"

Dengan satu tarikan napas, si Abrip mengangkat dan menusukan ujung linggis ke papan kayu. Sebanyak empat kali, si Abrip mengulang hal itu. Lalu, dengan kuat kakinya menginjak area diantara lubang itu. Tiba-tiba, terdengar suara papan triplek patah.

"Berhasip!"

"Buka coba, kayanya ada slot kunci!"

Si Abrip mengangguo dan memasukan tangannya. Tidak lama, ia mencoba menarik pintu kayu yang tertanam di lantai itu. Semua orang di dalam itu terbelalak melihat sebuah tangga.

"Ini ...." Dika terdiam tak mampu berkata-kata.

"Lapor menuju markas besar komando!" Si Aipda lantas pergi menjauh seraya berbicara lewat handy talky. Sementara Dika, Aldena, dan Azhar hanya memandang satu sama lain.

"Kita akan masuk! Ingat tetap tenang sampai satuan taktis datang dalam waktu lima menit!" ujar si Aipda seraya mengeluarkan sepucuk revolver.

"Bagaimana dengan kami?" tanya Dika.

"Kalian hanya sampai sini. Saya mengucapkan terima kasih karena sudah mau berkontribusi sejauh ini."

Dika mengangguk. Dipandangnya wajah Aldena dengan datar. Sadar akan maksud pandangan Dika, Aldena berjalan menghampiri Dika.

Dalam komando si Aipda, si Briptu dan si Abrip menuruni tangga  satu persatu. Sejenak, Dika mencoba memgintip ke dalam ruang bawa tanah itu. Keadaan begitu gelap di bawah sana. Lalu, ketiga polisi itu menyalakan senter kecil yan mereka bawa.

"Jadi ini akhir dari semuanya?" tanya Azhar seraya menghela napas lega. "Gila, lo gak tahu perasaan pas bikin laporan tadi."

Dika tersenyum. "Gimana Zal?"

Azhar kembali menghela napas. "Susah gue bayanginnya. Pas asa telepon dari si Aldena, gue langsung loudspeak. Si Dena ngomongnya belepotan lagi!" keluh Aldena.

"Ya abis, gue juga deg-deg-ser liat si Dika dikeroyok sama tiga orang," bela Aldena.

"Tiga orang?" tanya Azhar, "bukannya yang tiga lagi ngambil paket ya?"

Dika menggeleng pelan. "Yang tiga itu cuma jebakan, telus gue dikeloyok dan ...." Dika terdiam. Dipandangnya wajah Aldena dengan datar. "... satu lagi ke mana?"

"Satu lagi?" Aldena balik bertanya. "Iya, ya, gue cuma liat tiga orang. Si Kumis, si Cungkring, dan si Gede."

"Kalau gak salah kata si Nayla itu namanya ...."

"Rafi."

Sontak ketiga sahabat itu terdiam. Seketika mereka menoleh ke arah tangga bawa tanah. Seseorang pria berbadan tinggi berwajah putih muncul.

"Salam kenal," ujar si Rafi pelan.

"Ba-bagaimana mungkin mereka ...."

"Mereka? Oh ... maksud kalian,"--Rafi melemar tiga buah lencana kepolisian--"mereka tangguh, memang layak mendapatkan lencana itu, tapi kalian meremehkan gue."

Rafi melepaskan jaketnya dan melemparnya ke belakang. "Nama gue, Rafi. Atlet Taekwondo."

Dika dan kedua sahabatnya hanya bisa terdiam.

***

Catatan:
[1] Lombok Pati : Laporan polisi
[2] 8-6 : Dimengerti.
[3] 8-1-9 : Kondisi.
[4] Lalat : Mahasiswa (bisa disebut juga Solo Medan Ungaran).
[5] 8-1-1 : Hidup.

Dipublikasikan pertama kali:
28 Agustus 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top