Chapter 33.0 - The Enemy
"Bos!" ujar David.
Si Kumis membalikan tubuhnya. Ekor matanya menangkap David, Zaki, dan seorang bertubuh buncit. Kepala si Buncit ditutupi kain hitam. Sementara kedua tangannya terikat di belakang.
"Buka!"
Dengan satu kali tarikan, David menarik kaih hitam itu.
"Ah ... I see," ujar si Kumis pelan, "ini temen-temen lo, 'kan?" Si Kumis melirik ke arah Nayla dan Reinard yang duduk dilantai. terikat di
Si Buncit terdiam seraya memandang si Kumis dingin.
"Heh!" ujar si Kumis seraya menarik rambut Nayla.
Nayla berteriak, tapi suaranya tertahan karena kain di mulutnya.
"Diem!" bentak si Kumis lagi, "dia yang telepon lo tadi 'kan?"
Nayla mengangguk dengan cepat.
Si Kumis melepaskan tarikannya seraya menoyor kepala Nayla. Lalu, ekor matanya terpatri kuat ke arah si Buncit. "Maulana ... Dika, benar?"
"Benar," jawab Dika pelan.
Si Kumis mengangguk. "Vid!"
Dengan cepat David memukul perut Dika hingga terjatuh. Ditariknya hoodie Dika dengan kuat ke arah si Kumis. Lalu, dibantingnya tubuh Dika seperti sekarung beras.
Dika meringis. Namun, belum sempat ia membuka mata, sebuah sepakan keras mendarat tepat di bagian abdomen. Sontak, Dika terbelalak dan terkulai lemas. Sebuah energi dari dalam mendorong cairan kental keluar dari mulutnya.
"Anjing!" umpat David seraya melompat menghindari muntahan Dika.
"Sepertinya lo gak terbiasa main kaya gini," ledek si Kumis.
Dika tidak menjawab. Matanya mengintip ke arah Zaki dan David yang memasang ekspresi jijik.
"Cukup," ujar si Kumis, "Vid! Bangunin dia!"
David mengangguk. Diangkatnya tubuh Dika yang terkulai dengan satu tangannya. Dika mencoba berdiri tegak. Namun, perasaan sakit di perut, membuat tubuhnya sedikit sempoyongan.
"Lo siapanya mereka?"
"Senior ... mereka," jawab Dika.
"Hoo, jadi lo satu kampus."
Dika terdiam.
"Terus lo mau jadi Batman kesiangan di sini? Mau nyelamatin junior lo?"
Dika masih terdiam.
"Jawab!" bentak si Kumis. Namun, Dika tidak menjawab. Berang, si Kumis menampar pipi kanan Dika dengan keras. "Lo tuh, kuliah diajarin sopan santun gak! Kalo ada yang nanya, jawab!"
Dika meludah, dan kembali menatap si Kumis. "Sayangnya ... gue lebih diajarin soal komputer."
Si Kumis terdiam sejenak. Kemudian, ia tertawa terbahak-bahak selama beberapa detik. "Sepertinya,"--si Kumis kembali menampar pipi kiri Dika--"lo emang kurang ajar."
"Apa perlu kita beri ajar lagi?" tanya David.
"Tunggu dulu! Gue penasaran, kenapa dia bisa sampe sejauh ini," jawab si Kumis, "jadi ... bisa lo cerita kan semuanya?"
Dika terdiam beberapa saat. "Di kampus sekitar jam sepuluh. Itu cukup."
Si Kumis terbelalak dan memandang kedua anak buahnya. "Lo bilang gak ada saksi mata!"
"Emang gak ada bos!" bela Zaki, "heh Anjing! Jangan boong lu!" Zaki kembali menendang paha kanan Dika.
"Itu fakta," jawab Dika seraya meringis.
"Lo liat di mana liatnya? Sebutin Anjing!"
"Harus? Toh, lo semua tahu hanya dari satu ...." Perkataan Dika terhenti karena tarikan Zaki. Dengan cepat Zaki menghantam wajah Dika sekeras mungkin.
"Anjing! Bedebah!" Sebanyak tiga pukulan bersarang di wajah Dika. Beruntung David menahan pergerakan Zaki yang membabi buta.
"Zak! Lo pergi ke rumah aja!" titah si Kumis.
"Bos? Dia bohong, Bos! Pasti dia cuma ngasal! Kemungkinan dia ...."
"Zak!" potong si Kumis keras.
Zaki hanya berdecak dan melangkah pergi. Namun, belum sempat lima detik, terdengar suara teriakan dari luar. "Bos! Liat apa yang gue dapet!"
Zaki menarik seorang pria dengan hoddie yang sama dengan Dika. Lalu, didorongnya pria itu hingga terjatuh di samping Dika.
"Bos! Apa mungkin mereka berdua ada ditempat pas kita eksekusi si Reinard? Jelas enggaklah!"
Si Kumis terdiam. Tangan kanannya mengambil sepucuk pistol lengkap dengan peredamnya. Dengan satu kali tarikan, si Kumis mengokang pistolnya. Lalu, diarahkan pistol itu tepat ke dahi Dika.
"Seberapa jauh yang lo tahu?"
Dika menghela napas kasar. "Glock?"
Si Kumis terdiam. "Sepertinya kau mengetahui sedikit tentang senjatal, ya?"
"Pistol dengan kapasitas magasin dua belas? Kurang cocok untuk bandar narkoba seperti kalian," jawab Dika lagi.
Sontak, si Kumis terbelalak mendengar hal itu. Dipandang kedua anak buahnya dengan dingin secara bergantian. "Lo salah. Magasin Glock 19 itu sebanyak lima belas."
"Sisanya?" tanya Dika lagi.
Si Kumis terdiam.
"Omong-omong ... kalian mau ke Jakarta, 'kan? Hmm ... Bendungan Hilir?"
"Di-dia ...." Zaki berkata terbata-bata.
Dika menatap kedua mata si Kumis dengan dingin. "Lagu read_me berformat wav, itu ... memilih pesan jika kita membacanya dengan spectograph. 'Texas' 'Benhil' 'simbol kardus' dan 'simbol lolipop. Benar?"
Semua orang yang ada di sana terbelalak. "Kau,"--si Kumis menekan dahi Dika dengah pistolnya--"kubunuh ...."
"Dengan membunuhku, itu hanya akan membuatmu semakin kesulitan. Kau tahu, itu 'kan?"
"Kau ...." Si Kumis terdiam dengan mata terbelalak.
"Bos ...."
"Anjing!" Dengan keras si Kumis memukul pelipis Dika dengan pistol.
Dika berteriak dan membalikan tubuhnya. Namun, kedua matanya semakin berat. Kesadarannya pun semakin menjauh. Secara perlahan, kegelapan mulai menghalangi penglihatannya. Walau begitu, telinganya masih menangkap gelombang yang merambat di udara.
Terdengar sebanyak tiga kali teriakan di telinga Dika. Namun, pada teriakan terakhirlah, terdengar lebih lama. Setelah itu, hanya tersisa kesunyian yang menggema.
Sebuah sentuhan kasar dirasakan oleh Dika di bagian bahu. Samar-samar, kedua matanya terbuka secara perlahan. Kedua matanya mengerjap. Menyesuaikan dengan cahaya yang sedikit remang-remang.
Lalu, sebuah sorotan cahaya yang menyilaukan, diterima oleh kedua mata Dika secara bergantian. Samar-samar, ia mampu menangkap sebuah bayangan dengan pakaian cokelat di sampingnya.
"Dik!"
Dika kembali mengerjapkan kedua matanya. Lalu, ekor matanya menangkap sesosok pria yang duduk di sisi lain.
"Dik! Lo gak papa, 'kan?"
"Za-zal ...," ujar Dika terbata-bata dan sedikit cadel.
"Lo gak papa?"
Sejenak Dika terdiam menatap Azhar datar. Sepersekian detik kemudian, tanpa diundang sebuah bayangan melangkahi alam bawah sadarnya.
"Lebih baik, saudara Maulana pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Selebihnya, biarkan kami yang menangani," ujar seorang pria berpakaian cokelat.
"Ba-baik," jawab Azhar.
"Di-dik!"
Dika menoleh dan melihat Aldena yang berjalan seraya memegang perutnya.
"Lo gak papa Dik?"
"Dia cuma pingsan, walau mukanya agak bonyok," jelas Azhar.
"Gak pingsan, olang masih kedengelan."
"Gila, dia di-kepret pake bagian bawah pistol," ujar Aldena lagi.
Azhar terbelalak dan menatap Dika dalam-dalam. "Lo serius gak papa?"
Dika mengangguk. "Leinard ... Nayla mana?" tanya Dika.
"Reinard udah di bawa ke rumah sakit," jawab Azhar.
"Nayla?"
Azhar terdiam dan menatap ke Aldena. Lalu, ia kemali memandang Dika sesaat setelah menunduk. "Nayla gak ada."
Sontak, kedua mata Dika terbelalak.
***
Dipublikasikan pertama kali:
27 Agustus 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top