Chapter 31.0 - The Fireworks

Dentuman lagu metal menggema di telinga Dika. Dika yang pertama kali hadir di acara konser, hanya bisa memicingkan kedua matanya. Sementara itu, Aldena dengan tenang mengangguk-anggukan kepalanya.

"Den!" teriak Dika seraya menonyor helm yang digunakan Aldena, "bantu mikir!"

"Ini juga sambil mikir!" Aldena balas berteriak.

Dika hanya mendesah kesal. "Gue pergi dulu beli minum!"

Aldena mengangguk pelan.

Suasana malam itu sangatlah ramai. Kendaraan bermotor tampak seperti pinguin di tengah badai salju. Deru knalpot yang menggaung pun, seperti ikut memeriahkan acara tersebut.

Dengan bersusah payah, Dika melewati kendaraan yang mengantri. Sesekali, ia harus berdiri menunggu kemurahan hati si Pengemudi memberi jalan. Ditarik perut buncitnya agak tidak memakan lahan yang banyak.

Setelah lima menit berjuang, Dika berhasil menyebrang ke sisi lain. Dengan cepat ia mengambil ponsel, dan menekan kontak bernama "Aldena". Tidak sampai lima detik, terdengar suara protes dari seberang.

"Lo cari parkiran yang sepi!" pinta Dika.

"Lah? Emang?"

"Udeh cepet, pokoknya cari yang gak macet."

"Iye-iye! By the way, mizone orange satu."

Dika berdecak kesal dan menutup panggilannya. Diedarkan kedua matanya diantara manusia yang berdiri di trotoar. Lalu, ekor matanya menangkap tempat yang ia cari.

"Bu, punten."

"Kedap," ujar seseorang wanita dari dalam.

Dika hanya terdiam dan mengamati warung tersebut. Terdapat sebuah televisi berlayar datar yang ditempelkan di sudut ruangan.

"Palay naon, Kasep?"

Dika mengambil dua botol yang dipesan oleh Aldena. "Berapa, Bu?"

"Sapuluh rebu."

Dika mengangguk dan memberikan uang sepuluh ribuan. "Nuhun," ujar Dika pelan. Kemudian, ia mengambil handphone-nya yang tidak begetar atau berbunyi. Tanpa melihat, Dika mendekatkan handphone-nya ke telinganya. "Assalamualaikum, kumaha ... masih lami ...." Dika berpura-pura menerima sebuah telepon.

Selama hampir satu menit, Dika bermain sandiwara di depan si pemilik warung. Sesekali ia melirik ke arah si wanita yang tampaknya teperdaya.

"Enya atuh ... waaaikumsalam," ujar Dika dengan nada pelan.

"Nunggu jemputan?" tanya si Wanita.

Dika tersenyum sesaat. "Iya, Bu ... nunggu temen baru berangkat."

Si Wanita membulatkan mulutnya.

"Ikut nunggu di sini, ya, Bu."

"Mangga-mangga!"

Dika tersenyum dan meletakan pantatnya di atas kursi. "Suka macet, Bu di sini?"

"Ah, jarang. Ini mah karena ada acara band aja," jawab si Wanita, "ih Ibu mah da rarieut dengerin lagunya."

Dika terkekeh seraya mengangguk pelan. "Mending dangdutan, ya, Bu?"

"Iya. Inimah ... gogorowokan gak jelas." Dika kembali tertawa mendengar si Ibu menyebut scream dengan teriakan gak jelas.

"Kalau biasanya sepi di sini, Bu?"

"Ih! Ibu mah kalau udah jam sepuluh ke atas, tutup. Apalagi kalau gak ada suami Ibu, takut."

Dika membulatkan mulutnya seraya mengangguk. "Ada apa, Bu?"

"Ih ... sok aya nu liat ada anak perempuan yang suka nangis di sepanjang jalan ini."

"Oh kitunya? Sugan wilayah sini mah gak angker."

"Disebut angker nya henteu, tapi disebut gak angker juga henteu. Hmmm 50-50-lah."

"Tapi, Bu alhamdulillah, di kampung abdi mah ada bangunan tua yang angker."

"Ih, si Ujang ... di sini juga ada. Lima malah, dua bangunan bekas Walanda, tiga bekas gudang."

"Ih, banyak pisan. Di mana aja éta téh?"

Dengan bersemangat, si Wanita menjelaskan satu persatu posisi kelima tempat tersebut. Dika hanya terdiam melihat begitu detailnya si Wanita mengetahui kelima lokasi tersebut. Tanpa sepengetahuan si Wanita, Dika merekam percekapan ini dengan handphone satunya.

Selama hampir lima belas menit, Dika bertanya beberapa hal seputar wilayah tempat ia berada. Selama itu pula, si Wanita tampak antusias menjawab pertanyaan yang dilontarkan Dika. Bahkan, si Wanita tak segan bertanya kepada anaknya yang tengah bermain handphone.

Merasa cukup, Dika segera mengambil handphone-nya dan menekan kontak bertuliskan "Aldena". Selang lima belas detik, terdengar ucapan salam dari seberang.

"Waalikumsalam, Den, lokasi di mana?"

Sejenak Aldena terdiam. "Di depan hotel Kembang."

"Oh, yaudah ... I'm on my way!" ujar Dika seraya mengakhiri panggilan itu, "mangga bu! Udah dijemput."

"Oh, iya-iya. Ati-ati, Jang."

Dengaj cepat Dia berlari melewati kerumunan yang ada. Sesekali ia harus berhenti, dan berputar untuk mempercepat langkahnya. Tidak sampai lima menit, ekor mata Dika melihat Aldena yang duduk di atas jok motor.

"Eh, cepet amat!"

Dika terdiam 'tak merespon. Disodorkan kantong plastik berisi botol yang dipesan Aldena. "Nih! Udah gue beliin!"

"Allright, sankyuu!" ujar Aldena seraya menegak botol itu. "Terus sekarang gimana?"

"Gue dapet setidaknya ada lima tempat yang mungkin dijadikan tempat penyekapan Nayla dan Reinard."

"Di mana?"

Dika menunjuk ke lima arah yang sesuai dengan penjelasan si Wanita.

"Hmm ... ini kayanya ngebentuk bintang deh."

"Emang!" jawab Dika pelan.

"Yaudah," ujar Aldena seraya menyalakan motornya, "kita datangi satu persatu."

Dika terbelalak. "Dahimu satu persatu!" protes Dika seraya menoyor helm Aldena, "kita harus mengeliminasi dulu, lah!"

"Caranya?"

"Ya gue gak tahu!"

Aldena mendengus. "Daripada kita nunggu yang gak pasti mending kita bergerak cepat ke hal yang pasti!"

Dika terdiam seraya melipat kedua tangannya di dada.

"Buruan! Bentar lagi jam delapan!"

"Oh iya, gue telepon dulu aja, kali dapet petunjuk baru."

Aldena hanya mengangguk dan memperhatikan sahabatnya. Dengan cepat, Dika menekan nomor kedua di daftar panggilannya. Namun, beberapa detik kemudian, Dika berdecak kesal.

"Gak diangkat?"

"Gak aktif!" jawab Dika singkat.

"'Jangan-jangan ... udah lowbat?"

Dika tidak menjawab. Kedua matanya menatap datar di satu titik. "Halo Nay!"

"Iya Bang! Maaf, baru dinyalain!"

"Yaudah, sekarang gue ...."

Sebuah suara melengking terdengar. Beberapa detik kemudian sebuah ledakan menggelegar di udara. Sontak, Dika dan Aldena terdiam melihat ke langit malam. Sebuah bunga api berwarna merah terlukis indah di langit malam.

"Anjing!" keluh Dika seraya sedikit berteriak, "Nay! Gue sekarang ada di mana lampu sorot itu berada."

Terdengar suara jawaban dari seberang. Namun, Dika 'tak mampu menangkap apa yang dikatakan Nayla.

"Apa Nay?"

"Gu ... is ... at!"

"Hah? Apa!"

"Gu .. isa .. liat!"

"Lo bisa liat?" tanya Dika dengan sedikit berteriak.

"Iya, Bang!" jawab Nayla.

"Dik! Udah selesai kembang apinya," ujar Aldena.

Kemudian terdengar suara ledakan dari handphone Dika.

"Tuh, Bang, sampe kedengeran."

Dika terdiam selama beberapa saat. Ditatapnya wajah sahabatnya dengan tatapan dingin. "Lu bawa duit?"

"Bawa, kenapa!"

"Kita perlu tiga kembang api!"

***

Dipublikasikan pertama kali:
25 Agustus 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top